KOTA KUFAH
terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa
sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup
kota Kufah masih terasa.
Di serambi
masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya
memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat‐ayat suci Al‐Quran. Hati dan
seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang‐orang
memanggilnya “Jalal” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudznnya
meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling
tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya
ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama
terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan,
pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus
larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat‐ayat azab, tubuh
pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala‐yala
dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat‐ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari
langit terasa bagai mengguyur skujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan
kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai
pada surat Asy Syams, ia menagis,
“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa
qad khaaba man dassaaha…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa yang itu jalan kefasikan
dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sungguh merugilah orang yang mengotorinya….)
Hatinya bertanya‐tanya. Apakah
dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori
jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia
ulang berkali‐kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang.
Akhirnya ia pingsan.
***
Sementara itu,
dipinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu‐lampu yang
menyala dari kejauhan tampak berkerlap‐kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu
milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang luas dan hewan
ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu
kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari‐nari riang
gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar
bagai tiga lentera yang meneragi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona.
Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair syair cinta,
“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si musyriqun bi dhau’ wal hubb
al wariq…”
(jika aku pencinta malam maka gelasku memancarkan cahaya dan
cinta yang mekar…)
***
Gadis itu terus
manari‐nari dengan
riangnya. Hatinya berbunga‐bunga. Diruangan tengah, kedua orang tuanya
menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu
berkata,”Abu Jodha, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik‐baik syair‐syair yang ia
dendangkan.”
“Ya, itu syair‐syair cinta.
Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang dipasar aku berjumpa
dengan Abu Yasir. Dia melamar Jodha untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau
terima atau…?”
“Ya jelas
langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang
budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu,
Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah
lebih baik kalau minta pendapat Jodha dulu?”
“Tak perlu! Kita
tak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok
untuk Jodha adalah Yasir.”
“Tapi engkau
tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu
gampang. Nanti jika sudah beristri Jodha, dia pasti juga akan tobat! Yang
penting dia kaya raya.”
***
Pada saat yang
sama, disebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi
oleh teman‐temannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggak
lenggokkan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun,
Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be … benarkah?”
“Benar. Ayo
cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia‐siakan
kesempatan ini, Yasir!”
“Baiklah.
Bersenang‐senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu
bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari
mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari‐nari diiringi
irama seruling dan gendang. Keduanya benar‐benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan
mesra penari itu membisikkan sesuatu ke telinga Yasir,
“Apakah Anda
punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum
dan mengaggukkan kepalanya. Keduanya terus menari. Suara gendang memecah hati. Irama
seruling melengking‐lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati
dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan
harinya.
Usai shalat
dhuha, Jalal meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk
saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat‐ayat suci Al‐Quran. Ia
sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaraya yang
sakit.
Jalal berjalan
melewati kebun korma yang luas, saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu
milik saudagar kaya, Abu Jodha. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah
kebun korma itu. Tibatiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus
berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu
menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang
kuda. Lalu sayup‐sayup telinganya menangkap suara,
“Tolong! Tolong!!”
Suara itu datang
dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya.
Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Tolong! Tolong!!”
Suara itu
semakin jelasa terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa
menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari
kencang.
“Tolong! Tolong
hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar hal
itu Jalal tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat
dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat‐cepat ia
menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan.
Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata
keras,
“Hai kuda
makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan
mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika.
Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Jalal
mendekati perempuan itu dan menyapanya.
“Assalamu’alaiki.
Kau tidak apa‐apa?”
Perempuan itu
mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Jalal. Dengan
sedikit merintih ia menjawab pelan, “Alhamdulillah, tidak apa‐apa. Hanya saja
tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau
begitu.”
Dua mata bening
dibalik cadar itu terus memandangi wajah tampan Jalal. Menyadari hal itu Jalal menundukkan
pandangan ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Jalal,
ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona,
“Tuan, saya
ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau
kemana Tuan?”
Jalal mengangkat
mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih mempesona. Hatinya bergetar
habat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia
menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya
keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Jalal, sementara
gemuruh hati Jalal tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah
merona, Jalal tersadar, ia cepat‐cepat menundukkan kepalanya.
“Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh
hatinya.
“Namaku Jalal,
aku dari masjid mau mengunjungi saudarku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Jalal
yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah.
Itu mungkin Jalal yang lain,” kata Jalal sambil membalikkan badan. Ia lalu
melangkah.
“Tunggu dulu
Tuan Jalal! Kenapa tergesa‐gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum
selesai!”
“Aku mau
melanjutkan perjalananku!”
Tiba‐tiba gadis itu
berlari dan berdiri dihadapan Jalal. Terang saja Jalal gelagapan. Hatinya
bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Sumur hidup
ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya
mau bilang, namaku Jodha. Kebun ini milik ayahku . Dan rumahku ada di sebelah selatan
kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang
dengan kehadiranmu. Dan sebagi ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu
mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau.
“Tidak usah.”
“Terimalah,
tidak apa‐apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi
jalan!”
Terpaksa Jalal
menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya
dengan cadar. Jalal melangkahkan kedua kaki nya melanjutkan perjalanan.
Saat malam
datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar
rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Jodha terpekur
di kamarnya. Matanya berkaca‐kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa
yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun korma hatinya terasa
gundah. Wajah bersih Jalal bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan
matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan
orang‐orang tentang
tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Jalal semakin membuat
hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur
suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba‐tiba air matanya
mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum
pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata, “Inikah cinta? Beginikah rasanya? Tersa hangat mengaliri syaraf.
Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati
pada hamba‐Mu yang bernama Jalal. Dan inilah untuk pertama kalinya aku
terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi,
izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya
terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Jalal.
Tiba‐tiba ia
tersenyum, “Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari
ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga‐bunga. Wajah
yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.
***
Sementara itu di
dalam Masjid Kufah tampak Jalal yang sedang menangis disebelah mimbar. Ia menangisi
hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Sejak ia bertemu dengan Jodha di kebun korma tadi pagi ia tidak bisa
mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Jodha bercokol dan mengakar sedemikian
kuat dalam relung‐relung hatinya. Aura itu selalu melintas
dalam shalat, baca Al‐quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia
telah mencoba berulang kali menepis jauh‐jauh aura pesona Jodha dengan melakukan
shalat sekhusyu‐khusyu –nya namun usaha itu sia‐sia.
“Ilahi,
kasihanilah hamba‐Mu yang, lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa
yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta‐Mu. Namun Engkau
juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang mahluk yang
Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah
dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun‐embun cinta yang
menetes‐netes dalam
dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling
Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk‐Mu.“ isak Jalal
mengharu biru pada Tuhan sang Pencipta hati, cinta dan segala keindahan
semesta.
Jalal terus
meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk
menepis noda‐noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun‐embun cinta itu
semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab‐Nya. Rasa cinta
dan rindunya pada Jodha. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur
dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia
pingsan.
Menjelang subuh,
ia terbagun. Ia tersentak kaget. Ia belum shalat tahajud. Beberapa orang tampak
tengah asyik beribadah bercengkrama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Bisaanya
ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan
kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari di dunia. Ilahi, hamba lemah
maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit,
wudhu dan shalat tahajud. Di dalam sujudnya ia berdoa, “Ilahi, hamba mohon
ridha‐Mu dan surga.
Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkaMu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh
hamba titipkan rasa cinta hamba pada Jodha pada‐Mu, hamba
terlalu lemah untuk menanggungNya. Amin. Ilahi hamba mohon ampunan‐Mu, rahmat‐Mu, cinta‐Mu, dan Ridha‐Mu.”
Pagi hari, usai
shalat dhuha Jalal berjalan kearah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Jodha.
Hatinya mantap untuk melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh kedua
orang tua Jodha. Mereka sangat senang dengan kunjungan Jalal yang sudah
terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Jodha keluar sekejab untuk
membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan
seksama pembicaraan Jalal dengan ayahnya. Jalal mengutarakan maksud kedatangannya,
yaitu melamar Jodha.
Sang ayah diam
sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Jodha menanti dengan seksama jawaban
ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Jalal menundukkan kepala ia pasrah
dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengar jawaban ayah Jodha,
“Anakku Jalal,
kau datang terlambat. Maafkan aku, Jodha sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk
putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Jalal hanya
mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya.
Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan
mata berkaca‐kaca.
Sementara Jodha,
lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti
lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
Jalal kembali ke
masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Jalal ternyata
tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Jodha. Apa yang ia dengar dari ayah Jodha
membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas.
Berkali‐kali ia pingsan.
Ketika keadaannya kritis, seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia
sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfar dan ….Jodha.
Kabar tentang
derita yang dialami Jalal ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun
meniupkan kabar ini ke telinga Jodha. Rasa cinta Jodha yang tak kalah besarnya
membuatnya menulis sebuah surat pendek,
Kepada Jalal,
Assalamualaikum,
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta
itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu
menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa ku ingkari, aku pun mengalami
hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku
selama‐lamanya.
Jalal,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa
haus kita berdua. Pertama, Aku akan datang ketempatmu dan kita bisa memadu
cinta. Atau, kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Jodha
Surat itu ia
titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar
surat itu langsung sampai ke tangan Jalal. Tidak boleh ada orang ketiga yang
membacanya. Dan meminta jawaban Jalal saat itu juga.
Hari itu juga
surat Jodha sampai ke tangan Jalal. Dengan hati berbunga‐bunga Jalal
menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya
bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristigfar sebanyak‐banyaknya.
Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Jodha:
Kepada Jodha,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini
tidaklah semata‐mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku
menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza
Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta
yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka‐Nya.
Jodha,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati
kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari
neraka. Jodha,”Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzzba yaumin ‘adhim!”
(sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb‐ku. Az‐Zumar:13)
Jodha,
Jika kita terus bertakwa, Allah akan memberikan jalan keluar.
Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada‐Nya. Tidak mudah meraih cinta
berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya:
“Wanita‐wanita yang tidak baik adalah untuk
laki‐laki tidak baik, dan laki‐laki yang tidak baik adalah buat wanita‐wanita yang tidak baik (pula, dan
wanita‐wanita yang baik adalah untuk laki‐laki yang baik dan laki‐laki yang baik adalah untuk wanita‐wanita yang baik (pula). Mereka
(yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka
ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan bidadari yang suci dan baik maka
aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Jodha,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi
pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Jalal.
Begitu membaca
jawaban Jalal itu Jodha menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis
karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan
percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Jalal itu telah mengubah
jalan hidupnya.
Sejak itu ia
menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan
wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Jalal ia jadikan
sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon
ampunan dan rahmat Allah Swt. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan
bermunajat pada Tuhannya.
Diatas sajadah
putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, Yaitu cinta
kepada Allah Swt. Hal yang sama juga dilakukan Jalal di masjid Kufah. Keduanya
benar‐benar larut
dalam samudera cinta kepada Allah Swt.
Allah Maha
Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Jalal menerima sepucuk surat dari Jodha:
Kepada Jalal,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar
hamba‐Nya yang bertaqwa. Hari ini ayahku
memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya.
Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah
Rasulullah Saw. secapatnya.
Wassalam
Jodha,
Seketika itu Jalal
sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga‐bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada
henti bibirnya mengucapkan hamdalah.
THE END
Makasih sudah memulai hariku dengn cerita yg sangat,,, sangat indah ini. Moga kita selalu diberi rahmat dan hidayah oleh Allah
BalasHapusAamiiin..
HapusSuka deh
BalasHapus