Kamis, 21 Mei 2015

Di Atas Sajadah Cinta


KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.

Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayatayat suci AlQuran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orangorang memanggilnya Jalal atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudznnya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.

Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayatayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyalayala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayatayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur skujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menagis,
“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa qad khaaba man dassaaha…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa yang itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya….)

Hatinya bertanyatanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?

Ayat itu ia ulang berkalikali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, dipinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampulampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlapkerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.

Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menarinari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang meneragi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair syair cinta,
“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si musyriqun bi dhau’ wal hubb al wariq…”
(jika aku pencinta malam maka gelasku memancarkan cahaya dan cinta yang mekar…)

***

Gadis itu terus manarinari dengan riangnya. Hatinya berbungabunga. Diruangan tengah, kedua orang tuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata,”Abu Jodha, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baikbaik syairsyair yang ia dendangkan.

“Ya, itu syairsyair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang dipasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Jodha untuk putranya, Yasir.”

“Bagaimana, kau terima atau…?”

“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu, Yasir itu gagah dan tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Jodha dulu?”

“Tak perlu! Kita tak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Jodha adalah Yasir.”

“Tapi engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Jodha, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, disebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh temantemannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggak lenggokkan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.

“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.

“Be … benarkah?”

“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau siasiakan kesempatan ini, Yasir!

“Baiklah. Bersenangsenang dengannya memang impianku.

Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menarinari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benarbenar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ke telinga Yasir,

“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”

Yasir tersenyum dan mengaggukkan kepalanya. Keduanya terus menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengkinglengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***

Keesokan harinya.

Usai shalat dhuha, Jalal meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayatayat suci AlQuran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaraya yang sakit.

Jalal berjalan melewati kebun korma yang luas, saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Jodha. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun korma itu. Tibatiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayupsayup telinganya menangkap suara,

“Tolong! Tolong!!”

Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.

“Tolong! Tolong!!”

Suara itu semakin jelasa terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.

“Tolong! Tolong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar hal itu Jalal tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepatcepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,

“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Jalal mendekati perempuan itu dan menyapanya.

“Assalamu’alaiki. Kau tidak apaapa?

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Jalal. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan, “Alhamdulillah, tidak apaapa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.

“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening dibalik cadar itu terus memandangi wajah tampan Jalal. Menyadari hal itu Jalal menundukkan pandangan ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Jalal, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona,

“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau kemana Tuan?”

Jalal mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih mempesona. Hatinya bergetar habat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Jalal, sementara gemuruh hati Jalal tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Jalal tersadar, ia cepatcepat menundukkan kepalanya.

“Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Jalal, aku dari masjid mau mengunjungi saudarku yang sakit.”

“Jadi, kaukah Jalal yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma di dalam masjid?”

“Tak tahulah. Itu mungkin Jalal yang lain,” kata Jalal sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.

“Tunggu dulu Tuan Jalal! Kenapa tergesagesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!

“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tibatiba gadis itu berlari dan berdiri dihadapan Jalal. Terang saja Jalal gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Sumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.

“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Jodha. Kebun ini milik ayahku . Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagi ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”

Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau.

“Tidak usah.”

“Terimalah, tidak apaapa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”

Terpaksa Jalal menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Jalal melangkahkan kedua kaki nya melanjutkan perjalanan.

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.

Jodha terpekur di kamarnya. Matanya berkacakaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun korma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Jalal bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orangorang tentang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Jalal semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tibatiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata, “Inikah cinta? Beginikah rasanya? Tersa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hambaMu yang bernama Jalal. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Jalal. Tibatiba ia tersenyum, “Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”

Hatinya berbungabunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***

Sementara itu di dalam Masjid Kufah tampak Jalal yang sedang menangis disebelah mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Jodha di kebun korma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Jodha bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relungrelung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Alquran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauhjauh aura pesona Jodha dengan melakukan shalat sekhusyukhusyu nya namun usaha itu siasia.

“Ilahi, kasihanilah hambaMu yang, lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cintaMu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang mahluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embunembun cinta yang menetesnetes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untukMu.isak Jalal mengharu biru pada Tuhan sang Pencipta hati, cinta dan segala keindahan semesta.

Jalal terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis nodanoda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embunembun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azabNya. Rasa cinta dan rindunya pada Jodha. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.

Menjelang subuh, ia terbagun. Ia tersentak kaget. Ia belum shalat tahajud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkrama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Bisaanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.

“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari di dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”

Ia lalu bangkit, wudhu dan shalat tahajud. Di dalam sujudnya ia berdoa, “Ilahi, hamba mohon ridhaMu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkaMu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Jodha padaMu, hamba terlalu lemah untuk menanggungNya. Amin. Ilahi hamba mohon ampunanMu, rahmatMu, cintaMu, dan RidhaMu.

Pagi hari, usai shalat dhuha Jalal berjalan kearah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Jodha. Hatinya mantap untuk melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Jodha. Mereka sangat senang dengan kunjungan Jalal yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Jodha keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Jalal dengan ayahnya. Jalal mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Jodha.

Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Jodha menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Jalal menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengar jawaban ayah Jodha,

“Anakku Jalal, kau datang terlambat. Maafkan aku, Jodha sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”

Jalal hanya mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkacakaca.

Sementara Jodha, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

Jalal kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Jalal ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Jodha. Apa yang ia dengar dari ayah Jodha membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkalikali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis, seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfar dan ….Jodha.

Kabar tentang derita yang dialami Jalal ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Jodha. Rasa cinta Jodha yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,

Kepada Jalal,
Assalamualaikum,
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa ku ingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selamalamanya.
Jalal,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, Aku akan datang ketempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau, kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Jodha

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Jalal. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Jalal saat itu juga.

Hari itu juga surat Jodha sampai ke tangan Jalal. Dengan hati berbungabunga Jalal menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristigfar sebanyakbanyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Jodha:

Kepada Jodha,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah sematamata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murkaNya.
Jodha,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Jodha,”Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzzba yaumin ‘adhim!” (sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabbku. AzZumar:13)
Jodha,
Jika kita terus bertakwa, Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis padaNya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya:
“Wanitawanita yang tidak baik adalah untuk lakilaki tidak baik, dan lakilaki yang tidak baik adalah buat wanitawanita yang tidak baik (pula, dan wanitawanita yang baik adalah untuk lakilaki yang baik dan lakilaki yang baik adalah untuk wanitawanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Jodha,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Jalal.

Begitu membaca jawaban Jalal itu Jodha menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Jalal itu telah mengubah jalan hidupnya.

Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Jalal ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah Swt. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya.

Diatas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, Yaitu cinta kepada Allah Swt. Hal yang sama juga dilakukan Jalal di masjid Kufah. Keduanya benarbenar larut dalam samudera cinta kepada Allah Swt.

Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Jalal menerima sepucuk surat dari Jodha:

Kepada Jalal,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hambaNya yang bertaqwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah Saw. secapatnya.
Wassalam
Jodha,

Seketika itu Jalal sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bungabunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

THE END

3 komentar:

  1. Makasih sudah memulai hariku dengn cerita yg sangat,,, sangat indah ini. Moga kita selalu diberi rahmat dan hidayah oleh Allah

    BalasHapus