Kamis, 14 Mei 2015

Catatan Hati Seorang Istri Bagian 7


Karya : Asma Nadia

Suami Yang Membuatku Disini

“Akhirnya saya malah kerja di sini, mbak. Tempat yang dulu sering dikunjungi laki saya...”
Kamar sempit dengan penerangan yang minim. Tempat tidur kecil memanjang adalah satu-satu nya benda yang ada di ruangan itu. Di atasnya tampak hamparan sprei berwarna putih yang sudah kusam dan tampak kotor dengan noda di mana-ma na. Saya menahan perasaan ketika mengambil posisi duduk di atasnya, agar berhadap-hadapan dengan seorang perempuan yang usianya barangkali sebaya saya.
Di luar pintu kami yang tertutup, terdengar gelak tawa dan lengking suara musik dangdut. Suasana rutin malam-malam di lokalisasi. “Kalau boleh tahu, mulai kerja di sini gimana mbak?”
Saya menyodorkan pertanyaan itu kepada perempuan yang mengenakan celana panjang hitam dan kaus berwarna merah. Dandanannya biasa saja, jauh dari kesan menor. Tapi yang paling mencengangkan saya adalah banyaknya kalimat-kalimat tauhid yang keluar dari lisannya.
“Astaghfirullah... ya, saya juga tahu ini salah mbak...”
“Ya pengin berhenti juga sih kadang Mbak, malu sama Yang Di Atas. Malu sama anak-anak kalau sampai tahu.”
“Oh, setiap harinya? Kalau lagi ramai alhamdulillah bisa empat orang, mbak!”
Penampilan serta gaya bicara mbak, yang dapat saya kira berasal dari satu daerah di Jawa Tengah itu, sungguh telah mengubah bayangan saya tentang mereka yang menyandang predikat pelacur di mata masyarakat. Kembali ke pertanyaan awal saya,perempuan itu tampak tercenung sejenak. Matanya sedikit berkabut ketika mulai bertutur, “Awalnya karena suami saya, Mbak. Suami sering nggak pulang. Akhirnya suatu hari saya ikuti diam-diam. Saya jadi tahu ternyata suami suka ke tempat ini...”
Saya mendengarkan, membiarkan perempuan itu meneruskan ceritanya kapan saja dia merasa nyaman.
“Lalu saya ribut sama suami. Sebab suami tetap nggak mau berhenti ke sini. Soalnya di sini dia sudah punya cemceman. Akhirnya suami malah ninggalin saya, Mbak... pergi dan nggak ada kabarnya.”
Saya tersenyum kecil mendengar istilah yang digunakannya barusan.Di hadapan saya, perempuan dengan rambut pendek itu menarik napas panjang.
“Ya, ditinggal begitu saya bingung. Akhirnya saya coba cari suami ke sini kali aja dia nemuin pacarnya lagi.”
Perempuan berkulit kuning langsat itu menatap saya, mencoba menyunggingkan senyum, ketika bibirnya yang bergetar terbuka, “Tapi saya nggak nemuin dia. Pikiran saya pengin pulang ke kampung tapi malu. Pulang kok sendiri, nggak sama suami. Lagian mikir anak saya mau dikasih makan apa? Saya nggak punya keterampilan.”
Jadi?
Sosok di depan saya tersenyum salah tingkah, “Akhirnya saya malah kerja di sini, mbak. Tempat yang dulu sering dikunjungi laki saya...” Ironis.
Tetapi bisakah saya begitu saja menyalahkan profesinya yang kerap mengancam ketenangan setiap istri? Berkata seharusnya perempuan itu lebih kuat, seharusnya dia kembali saja kepada keluarganya di kampung. Bukankah lebih baik menganggur daripada melacur?
Tetapi bukan saya yang berada di posisinya. Saya tidak mengetahui persis situasi yang dia hadapi, latar belakang keluarga, usia dan kondisi sebenarnya anak dari perempuan di hadapan saya ini, dan karenanya tidak pantas menghukum dengan alasan apapun, apalagi berdasarkan asumsi.
Saya menjabat tangannya dan mengucapkan terima kasih, seraya menyelipkan sejumlah uang atas waktu yang telah diberikannya. Perempuan itu tampak kaget sejenak, kemudian memeluk saya dan mengucapkan terima kasih berkali-kali, sambil berbisik, “Doakan saya ya mbak, suatu hari nanti...” Kalimat itu tidak selesai, tapi saya tahu apa yang harus saya lakukan.
Mengamininya.
Tanah Abang, 31 Desember 2003

“Saya Ingin Dia Memilih”

“Jika pergi berduaan ke hotel, aktivitas apa yang biasanya mereka lakukan? Silahkan cek kembali.”
Kalau bukan karena saya percaya kepada Mbak Asma Nadia, penulis yang selama ini saya lihat sangat memperhatikan idealisme dalam karya-karya nya, dan berusaha berbagi kepada perempuan Indonesia, rasanya tidak mungkin saya menceritakan kisah ini dan meminta beliau menuliskannya.
Menikah dengan lelaki baik
Panggil saya Amini. Usia dua puluh tahun saya menikah dengan lelaki yang dua tahun lebih tua dari saya. Arief adalah lelaki yang sangat baik.
Kadang-kadang memang perkataannya keras dan menyakitkan, tapi saya bisa menerima sebab biasanya ada alasan kuat hingga dia merasa perlu menegur dengan keras.
Tetapi di luar itu tidak pernah Arief berlaku kasar apalagi hingga main tangan. Bukti kasih sayangnya pada saya, teruji ketika saya harus melahirkan. Kebetulan karena penyakit asma yang akut, saya tidak bisa melahirkan normal, hingga ketiga anak kami lahir melalui operasi caesar. Waktu itu kondisi ekonomi memang masih minim.
Saya harus melahirkan di rumah sakit pemerintah, kelas tiga, karena hanya itulah kesanggupan kami. Tetapi Arief menunjukkan tanggung jawab yang besar.
Sejak konstraksi hingga akhirnya keputusan caesar, dia tidak pernah meninggalkan saya dan selalu menemani di rumah sakit. Bahkan rela tidur di kolong ranjang rumah sakit dengan alas seadanya. Dia juga tidak membiarkan saya ke kamar mandi sendiri, setelah hari kedua operasi.
Dengan sabar dan tanpa rasa jijik dia ikut masuk ke kamar mandi, menunggui saya bahkan mengambil alih tugas memandikan saya dari tangan suster.
Saya kira, sayalah yang paling beruntung dibandingkan keenam perempuan lain yang sama-sa ma operasi caesar. Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang ibu terpaksa menahan nyeri dan berjalan pelan sambil menenteng infus, ke kamar mandi, karena suami tidak bisa dibangunkan. Malah ada yang menyuruh istrinya berjalan sendiri. Sama sekali tidak khawatir jika istri yang membawa luka bedah yang belum kering terpeleset dan jatuh di kamar mandi misalnya.
Hal ini saya catat betul dalam hati. Kebaikan Arief yang membuat saya sangat terharu. Apalagi setelah itu, Arief tidak segan-segan turun tangan untuk membantu memandikan bayi, hingga urusan ganti diapers ketika anakanak menjelang batita.
Satu persatu anak-anak kami tumbuh, dekat tidak hanya kepada saya, tetapi juga kepada papa mereka. Sebagai ayah, komitmen Arief memang luar biasa.Saya sempat membaca buku Rumah Cinta Penuh Warna karya Mbak Nadia, dan menemukan kemiripan sosok suami Mbak Nadia yang juga suka ber main dengan anak-anak.
Tipe lelaki rumahan, begitulah Arief. Sepulang dari kantor, Arief selalu kembali ke rumah. Seperti tak sabar untuk berkumpul dengan istri dan anak-an aknya. Jarang lelaki itu keluar rumah kalau tidak perlu sekali. Jarang pula menghabiskan waktu sekadar ngurnpul-ngurnpul dengan teman lelaki lain di kantor.

Badai itu datang
Ujian bagi rumah tangga kami muncul ketika usia perkawinan mencapai angka tujuh belas tahun. Saya tidak sengaja menekan tombol play pada video yang direkam di hp Arief. Awalnya masih berprasangka baik, meski heran... bagaimana Arief bisa tertarik merekam seseorang gadis. Tidak ada adegan mesra. Hanya sosok si gadis, berjilbab yang berbicara sambil tertawa-tawa (sepertinya ditujukan kepada Arief yang sedang merekam).
Ada pun isi kata-katanya tidak terlalu jelas terdengar. Gadis itu, saya tidak mengenalnya dengan dekat. Saya hanya mengetahui sosoknya sebagai adik dari seorang teman yang sempat menghadiri satu seminar dengan Arief, dan kemudian beberapa kali rapat terkait bisnis. Beberapa
kali saya dan kakak si gadis bertemu dan menjadi akrab. Meski tanpa tendensi apa-apa, video itu saya perlihatkan kepada Arief. Saya agak kaget melihat reaksi Arief yang luar biasa terkejut. Wajahnya berubah dan terlihat 'menarik diri'. Dari situ saya jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka? Tapi percakapan kami tertunda karena Arief harus berangkat ke kantor.
Malamnya Arief mengajak saya makan di luar. Sudah cukup lama kami tidak berdua, karena kebersamaan rasanya hanya lengkap jika ada anak-anak.
Saya perhatikan Arief memandang saya lama sekali. Lalu mencium tangan saya dan menangis. Berulang kali saya tanya kenapa Arief menangis, tapi Arief tak bisa menjelaskan. Baru setelah reda dia sanggup berkata-kata, “Arief sudah menyia-nyiakan cinta Amini. Arief minta maaf.”
Saya terpukul, otak saya menarik benang merah dari sosok gadis di video itu.
“Arief sudah menikah dengan dia?” pertanyaan itu reflek saja meluncur dari mulut saya.
Suami dengan cepat menggeleng.
“Sejauh apa?”
“Jangan dibayangkan yang tidak-tidak, Amini.”
Jawaban Arief dengan cepat meneduhkan saya. Bagaimana pun Arief lelaki baik, suami dan ayah yang baik. Soal salah saya kira semua manusia pasti melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna.
Malam itu seperti jadi babak baru dalam kehidupan rumah tangga, yang pada akhirnya malah menambah kemesraan hubungan saya dan Arief.

Setelah dua bulan
Saya hampir yakin semuanya baik-baik saja, hingga suatu malam menjelang sahur di bulan puasa, saya terbangun oleh dering SMS masuk. Setelah saya cari, ternyata berasal dari hp suami. Saya pikir urusan biasa saja, hingga tanpa ragu saya membuka. Membaca isinya yang ternyata berasal dari kakak si gadis, saya sungguh terperanjat. Kasar sekali. Banyak caci maki di dalam SMS itu. Intinya mengancam suami saya yang dituduh tidak bertanggung jawab.
Ada kata-kata... Ibu akan melabrak ke rumah dan membuat malu, atau kalau perlu membantai anak-anak elo!
Saya benar-benar terpukul. Jika yang mereka tuduhkan benar, berarti hubungan Arief memang sudah jauh, hingga mereka menuntut Arief untuk bertanggung jawab.
Saya coba berpikir tenang. Saya tidak ingin terbawa emosi dan akhirnya terdorong untuk mengambil tindakan impulsif, yang pada akhirnya malah membuat situasi semakin runyam.
Jujur saya tidak menyangka, si kakak yang selama ini tampak ramah dan 'terdidik' bisa melontarkan kalimat-kalimat sedemikian kasar. Mereka mengancam juga akan mendatangi dan membuat anak-anak malu di sekolah!
Tentu saja saya sedih dan marah dengan ketidakjujuran Arief. Jika diturutkan mau rasanya saya meluapkan amarah dan membangunkan dia saat itu juga. Saya juga jadi tidak yakin apakah dengan ketidakjujuran ini, saya masih bisa memaafkan Arief? Bahkan terlintas untuk meminta cerai, karena bagi saya kejujuran itu penting artinya.
Keinginan untuk melindungi anak-anak yang membuat saya kemudian memutuskan untuk mengirim SMS ke si akak perempuan yang sudah memaki-maki Arief. Intinya satu, saya tidak ingin mereka merasa memanfaatkan ketidaktahuan saya terhadap hubungan terlarang itu, dan mengancam Arief.
Detik berikutnya saya sudah menyusun kata-kata dan membalas SMS si kakak langsung melalui hp saya. Sama sekali bukan SMS kasar atau penuh kemarahan. Saya hanya meminta mereka untuk jernih melihat persoalan, bahwa keduanya (suami dan perempuan itu) punya andil dalam affair ini. Dan tidak adil menimpakan kesalahan hanya kepada satu pihak. Tidak berapa lama SMS saya berbalas.
Intinya menurut perempuan itu saya tidak pantas menerima perlakuan Arief. Dan bahwa ini bukan kesalahan pertama atau kedua Arief. Saya saja yang menurutnya tidak tahu.
SMS berikutnya menyusul kemudian,
Jika pergi berduaan ke hotel, aktivitas apa yang biasanya mereka lakukan? Silahkan cek kembali.
Saya menggigit bibir. Menahan perih di dada dan mencoba tetap tenang ketika merespon.
Saya sudah tahu apa yang saya perlu tahu. Arief sudah menceritakan segalanya pada saya. Jika kamu ingin membuat saya sakit hati dan terluka, saya sudah lama terluka. Tapi saya sudah memaafkan Arief dan Dian, untuk semua pengkhianatan mereka pada saya.
Tahu? Sebenarnya apa yang saya tahu?
Tentu saja tidak banyak. Saya juga tidak tahu kalau ternyata mereka masih berhubungan sebab gadis itu mengancam bunuh diri jika ditinggalkan!
Sekarang apa yang bisa dilakukan?
Saya tidak tahu apakah orang-orang akan percaya atau tidak, jika saya katakan saya sungguh bersimpati kepada Dian, gadis itu. Memahami rasa kehilangannya. Tapi ada satu sisi di hati saya yang ingin memercayai bahwa Arief bersungguh-sungguh ketika meminta saya memaafkannya.
Sampai di sini, saya bangunkan Arief. Saya tunjukkan SMS-SMS itu kepadanya. Saya minta dia berterus terang jika dia mencintai gadis itu, jika dia ingin meninggalkan saya dan anak-anak, saya katakan tidak akan mencegahnya.
Saya hanya ingin dia memilih, dia yang mengambil keputusan.
Lelaki itu menggeleng. Memeluk saya dan meminta maaf.
Saya tanyakan sekali lagi, apa dia yakin itu yang menjadi keputusannya, untuk kembali kepada keluarga. Saya lihat Arief mengangguk, matanya tampak sungguh-sungguh, meski sebenarnya saya sulit memercayainya lagi.
Dengan jawaban dari Arief, baru saya membalas SMS.
Saya katakan, jika memang orang sudah berbuat salah, apa yang harus kita lakukan? Apakah menjerumuskannya lebih jauh kepada dosa, atau rnernaafkannya? Sekarang adalah tugas bersama untuk menjaga pihak masing-masing. Saya menjaga Arief dan keluarga mereka memberikan pondasi yang lebih kuat hingga Dian bisa bertawakal kepada Allah.
Tapi SMS berikut yang saya terima masih bernada kemarahan.
Mungkin benar kak, keluarga nggak ngasih pondasi yang kuat sampai adik saya berani bunuh diri (apalagi karakter orang beda, kakak imannya kuat, dia nggak...) tapi berarti ibunya Arief juga mungkin salah pondasi sampai menghasilkan anak yang mendorong orang bunuh diri. Lebih kasihan lagi ibunya Arief udah tahu anaknya bejat lempang aja tuch!
Saya mencoba memahami kemarahan si kakak, dan keluarga besar mereka. Saya tahu Arief salah. Tetapi kesalahan seperti ini hanya mungkin terjadi ketika perempuan memberikan peluang.
Keluarga kita nggak pernah ingin Dian kawin sama Arief, amit2!! Juga nggak ingin kk cerai dari Arief. Itu urusan kalian. Urusan kita harga diri keluarga. Kk, ngerti masalahnya nggak? Ini urusan nyawa. Kalau Dian nggak sampe bunuh diri, saya nggak peduli. Coba bayangkan yang bunuh diri adik kakak, gimana? Di luar salah siapa tapi ada yang terluka seperti ini. Masalahnya nggak sesederhana itu. Ini bukan sekadar affair biasa.
Ahh, luka.
Siapakah yang paling terluka?
Hubungan suami saya dan Dian baru berkisar hitungan bulan. Belum lagi mencapai tahun. Lantas bagaimana dengan saya? Tujuh belas tahun pernikahan, dengan tiga orang anak di belakang saya. Tidakkah saya juga terluka, lebih terluka?

Menoleh ke belakang
Setelah kejadian itu, yang kemudian terdengar ke pihak keluarga kami entah bagaimana, saya menerima support yang luar biasa dari pihak keluarga. Macam-macam bentuknya. Dari mendukung meneruskan perkawinan, hingga meyakinkan saya untuk meminta cerai.
Terus terang pemikiran cerai ini memang menghinggapi saya. Sebab saya kehilangan kepercayaan kepada suami, dan tidak tahu apakah tahun demi tahun yang berlalu bisa memberikan penawar. Tapi biarlah semua berjalan mengalir dulu seperti seharusnya.
Saya dan suami sama-sama tidak pernah menyinggung masalah ini lagi. Secara bertahap saya dorong suami untuk mengurangi kontak dengan Dian, hingga gadis itu kuat untuk melanjutkan hidup sendiri. Alhamdulillah, sepertinya pihak keluarganya berusaha keras untuk itu, hingga akhirnya Dian hilang dari kehidupan kami.
Tulus, meski gadis itu telah menorehkan luka, saya memaafkan dan mendoakan agar Allah memberinya pengganti yang lebih baik. Bagi saya dia tak ubahnya adik kecil yang ketika itu bingung dan kehilangan pegangan.
Mengingat jeda usia, saya beranggapan suamilah yang memegang porsi kesalahan terbesar.
Sanak saudara yang tahu peristiwa ini sering bertanya, bagaimana saya bisa melaluinya? Bagaimana saya bisa memaafkan Arief dan melanjutkan kehidupan kami seolaholah tidak terjadi apa-apa.
Saya tidak tahu darimana kekuatan dan ketenangan itu datang. Yang saya tahu Allah Maha Penerima Taubat. Jika Allah memaafkan, kenapa saya tidak? Meski memaafkan juga tidak berarti melupakan.
Saya hanya tidak ingin kehilangan syukur ke pada-Nya. Sebab di luar kesalahan-kesalahan suami yang manusiawi, saya telah mengecap begitu banyak bilangan hari dalam kebahagiaan. Jejak kebaikan Arif bagi saya dan anak-anak telah amat panjang jika disebutkan satu persatu.Dan kebaikan seseorang tidak boleh hilang dari ingatan, hanya karena sebuah atau dua, atau tiga kekhilafan...
(Berdasarkan kisah Amini)

“Terbang Dengan Satu Sayap”

Seorang teman online meminta saya menuliskan kisahnya. Semoga Allah menguatkannya.
Sebuah email kaleng
Suara ketukan di pintu makin keras terdengar. Aku diam.
“Tania... Tania... please open the door!” Aku tetap tidak bereaksi.
Bukan maksudku membuat teman-teman baruku kebingungan. Tapi bagaimana aku sanggup membuka pintu?
Bagaimana bisa membiarkan orang asing melihat kekacauanku?
“Tania, please.” suara itu terdengar lagi.
Aku hanya diam. Membiarkan air mata terus menitik. Tidak berapa lama, suara langkah kaki terdengar menjauhi pintu.
Tuhan
Air mataku menderas lagi.
Satu email dan hidupku kontan terjungkal kembali, setelah luka bertahun silam yang coba kuobati... time will heal, begitu kata orang. Benarkah? Apakah waktu juga akan mengobati lagi, jika luka kali ini benar dan bukan hanya kabar burung?
Mencari Jawaban
Tapi kenapa sekarang?
Kenapa terjadi saat aku berada ribuan mil dari tanah air, jauh dari orang-orang yang bisa mengu-atkanku, kenapa?
Tapi kupikir takdir barangkali tidak memilih tempat, apalagi waktu.
Sebuah email.
Awalnya kupikir hanyalah surat kaleng biasa yang dikirimkan orang tidak bertanggung jawab.
Saya minta maaf harus menyampaikan ini, Saya harap kamu kuat.
Suamimu menjalin kasih di sini.
Meski tidak terpancing, aku membaca email tersebut hingga tuntas.
Mereka berdua sudah kemana-mana.
Bahkan mungkin sudah melakukan hal yang terlarang itu, Berzina atau telah menikah siri, Hanya itu kemungkinannya...
Ketenanganku belum terbang. Hingga di akhir email aku melihat satu attachment. Foto, sepertinya diambil lewat handphone melihat kualitas gambar. Meski begitu aku bisa melihat jelas sosok perempuan, teman keluarga kami yang tidak asing itu, berada dalam pelukan seorang lelaki berbadan kurus dengan kumis tipis berbaris di atas bibir.
Lelaki itu, suamiku! Badanku bergetar hebat.
Kepalaku mendadak pening.
Tapi masih kucoba berpikir jernih. Barangkali ini hanya rekayasa, bukankah dunia digital rentan dimanipulasi? Barangkali ada orang-orang yang tidak senang.
Mungkin hanya peluk biasa, meski setahuku suami tidak biasa menyentuh perempuan yang bukan mahramnya.
Tapi, suamiku bukan selebritis... begitupun perempuan bertubuh sintal di dalam foto itu. Kenapa orang merasa perlu merekayasa gambar keduanya?
Mungkin memang ada yang berniat mengacak-acak perkawinanku. Untuk sementara kutahan air mata yang tiba-tiba tak sabar hendak menerobos. Tapi tidak bisa kutahan perasaan yang tiba-tiba tidak enak. Aku terprovokasi atau ini feeling seorang istri?
Entahlah. Tapi kuputuskan mencari jawaban. Tentu saja banyak keterbatasan. Paling mungkin menelepon dan menanyai keluargaku di tanah air. Tapi apa yang menjadi landasanku? Insting? email kaleng dan foto ini?
Aku berpikir cepat. Kubuka halaman mozilla, kuketikkan account suamiku di yahoo, kebetulan aku memang hapal pa sswordnya, karena dulu suami sendiri yang memintaku untuk dibuatkan email address. Untuk hal-hal begini bisa dibilang suami tidak begitu mengikuti.
Berhasil.
Waktu terasa begitu lama ketika aku menyusuri satu persatu email di inbox suami. Sejujurnya aku tidak merasa nyaman melakukan ini. Tapi adakah pilihan lain?
Dan debar di jantungku bertambah keras ketika menemukan sebuah email. Hanya satu email dari perempuan itu. Isinya biasa saja, kecuali panggilan mesra yang ditujukan perempuan itu untuk suamiku.
Perasaanku makin tidak enak. Dan tangis yang dari tadi kutahan akhirnya menetes satu-satu, seiring butiran salju yang melayang turun dari balik jendela kamar.
Ah, apa yang bisa kuperbuat dalam jarak yang terentang begitu jauh. Bagaimana aku bisa mencari ketenangan dengan menanyakan langsung persoalan ini sambil menatap bulatan hitam di mata suami, seperti yang sebelumnya kulakukan? Bagaimana aku bisa bertanya tanpa ragu dibohongi?
Di sisi yang lain, aku juga mencoba menjaga kepala agar tetap dingin, sambil berpikir sudah cukupkah alasan bagiku untuk merasa dikhianati?
Sejujurnya sulit menenangkan diri. Apalagi mengingat aku akan berada jauh dari rumah selama setahun untuk tugas belajar. Tiba-tiba aku ingat kalimat adik perempuanku, yang kerap diulang-ulangnya sebelum keberangkatanku, “Perhatiin suami, kak... jaga baik-baik!”
Mungkinkah adikku mengetahui sesuatu? Kalimat seperti itu tidak pernah muncul sebelumnya selama pernikahanku bertahun-tahun.
Seperti kanak-kanak yang berusaha menjawab teka-teki, inilah aku. Beberapa waktu aku hanya terdiam, sambil berdiri di jendela, memandangi salju yang menutupi jalan-jalan. Udara terasa dingin, tapi hatiku seperti dipenuhi bara api.

Teka-teki terkuak
Berjam-jam aku masih tepekur dan berpikir keras. Tetapi hatiku terlanjur hampa. Belakangan kuraih telepon genggam, Adikku tampak kaget mendengar pertanyaanku yang bertubi-tubi. Tidak berapa lama, bukannya menjawab dia malah menangis, “Ade nggak ingin kakak tahu, tidak sekarang ini... “ ujarnya disela sedu sedan.
Perasaanku makin tidak karuan. “Keluarga perempuan itu datang ke rumah ade malam-malam, Kak... menceritakan semuanya. Hubungan sudah terlalu jauh. Mereka sempat bertemu di Solo dan beberapa kota lain secara diam-diam.” Tangis adikku makin keras, “Kakak jangan hancur ya? Nggak boleh hancur. Jangan sampai tugas-tugas berantakan.”
Dadaku sesak. Kepalaku pusing. Kutanyakan lagi siapa saja yang sudah mengetahui hal ini. Akibatnya tangis adikku makin keras, “Tidak ada yang tahu kecuali Ibu. Sebab Ibu menginap di rumah ade ketika keluarga besar mereka datang. Kabarnya mereka malah mau menuntut Mas ke polisi karena melarikan anak orang.Sekarang nggak jelas anak gadisnya di mana.”
Ahhh.
Kutarik napas panjang usai menelepon. Anehnya air mataku justru tidak keluar sama sekali. Mungkin hatiku terlalu hempas, kecewa, tidak menyangka Mas akan mengkhianati aku seperti ini.
Selama tiga hari aku mengeram diri di dalam kamar sempit yang beberapa bulan ini menjadi rumahku. Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan, bahkan harus membolos dari tempat tugas sebagai librarian, dengan alasan tidak sehat. Belakangan kondisiku terus menurun karena muntah terus menerus akibatnya berat badanku drop drastis.
Teman-teman baikku dari negara lain yang sama-sama bertugas di sini mencoba menjenguk; tapi ketukan mereka tak pernah kujawab. Pada atasan yang mengurusi karni, aku mengirimkan sebuah email, menjelaskan kondisi fisik yang tidak sehat.
Seharian kerjaku hanya meringkuk di tempat tidur, terkadang duduk di belakang komputer dan melihat foto anak-anak. Melihat senyum mereka, perasaan sentimentilku makin parah. Hhh, sejujurnya aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, membayangkan hari-hari di masa depan... jika harus terbang dengan sebelah sayap.
Kucoba menenangkan hati. Kubuka I-tunes music library kuklik shuffle untuk mendengarkan lagu secara acak, dan apa yang kudengar makin memperparah perasaanku,
Khianati...
Teganya dirimu mengkhianati
Walau kupastikan kelak kau mohon aku Pinta aku,
untuk kembali padamu, lagi... (Keris Patih, Cinta Putih)
Hatiku terasa kosong. Air mata mulai menitik. Entah kenapa pula setelah itu semua lagu seolah mewakili kedukaanku. Seperti sebuah lagu yang terselip di antara email-email menghibur yang dikirimkan teman-teman
When the day is long and the night,
the night is y our s alone,
When you're sure you've had enough o f this life, well
hang on, don't let y our sel f go, 'cause everybody cries and
everybody hurts sometimes
Lirik The Corrs ini malah membuatku menangis makin keras.
Selama beberapa hari itu aku mencoba melihat ke belakang. Kepergianku, suamilah yang mendorong hingga aku yang awalnya ragu, akhirnya mempunyai keberanian. Dia juga yang membelikanku berbagai keperluan agar hidupku di negeri orang tidak sepi. Benarkah itu semua agar aku enyah dan mereka bisa berduaan sepuasnya?
Pikiran buruk itu sulit kutepis. Apalagi mengingat begitu sulit menghubungi telepon genggamnya. Pernah sampai 16 kali aku mencoba menelpon tidak satu pun tembus. Email-email nyaris tidak pernah dibalas. Padahal banyak dari email yang kukirimkan kutujukan untuk anak-anak, agar mereka tetap merasa mamanya tidak pernah meninggalkan.Aku ingat pernah menangis ketika menyampaikan betapa aku nyaris frustrasi dengan sikapnya yang kurang peduli.
Saat itu Mas mencoba rnenenangkanku, dengan alasan sibuk sekali. Bahkan mencek keluar masuknya dana dari rekeningnya pun dia tak sempat lagi. Dulu aku menerima saja jawabannya, tetapi sekarang? Kesedihan perlahan berganti warna menjadi kemarahan. Bagaimana bisa dia menjawab seperti itu? Aku kalah penting oleh rekening? Yang benar aku kalah oleh perempuan itu!
Marah, kecewa, sedih... menangis. Hanya saat menerima telepon ibu, aku menggigit bibir kuat-kuat agar tangis tidak tumpah. Tidak mungkin aku menambah kesedihan Ibu yang seperti adikku sudah lebih dulu menangis karena khawatir akan kondisiku.
Tapi aku tahu, tidak boleh membiarkan diri hanyut dalam kesedihan. Aku harus bangkit, sebab dengan begitu aku bisa memikirkan keputusan yang terbaik. Dan untuk anak-anak aku harus sehat.
Hari ketujuh, meski dengan wajah sembab, aku meninggalkan apartemen, dan berputar-putar tidak tentu arah dengan bis hingga larut malam. Hari berikutnya aku mengunjungi toko buku terbesar dan menghabiskan waktu berjarnjarn sebelum pulang dengan mengantongi buku: He's just not that into you!
Isinya membuatku berpikir, apa yang sebenarnya masih aku dan suami miliki? Masih banyak kah yang tersisa? Bisakah di perbaiki? Mungkin saja aku subjektif, tetapi jika merujuk pembahasan buku dan ciri-ciri yang disebutkan, mataku seperti terbuka... begitu banyak poin yang digambarkan yang membuatku berpikir, barangkali sudah cukup lama sebenarnya aku kehilangan suamiku. Sejak pengkhianatan pertamanya? Anyway, at least he hasn't been that into me for three years!
Apalagi suamiku, menurut penuturan keluarga si gadis berdasarkan update dari mereka, konon akan menikah. Bahkan berulangkah si gadis mendesak agar suami tidak perlu menunggu kepulanganku.
Allah...
Kutahan keinginan untuk melabrak suami di telepon, sebab aku tidak ingin bicara dalam kemarahan. Kesedihan kucurahkan dalam sujud-sujud shalat malam, dan mengaji.
Aku berharap dengan mendekat kepada Allah,aku bisa kuat menerima apa pun bentuk penyambutan kepulanganku nanti. Bahkan jika suamiku memutuskan untuk menikahi gadis itu.
Jika itu yang terjadi, aku harus siap. Ya, selama anak-anak, sumber kebahagiaanku berada di sisi.
Sayang, Mama akan mengajak kalian terbang tinggi, meski hanya dengan satu sayap.
(Berdasarkan kisah Tania, Japan)

“Lagu Kelabu”

“Aku harus menjaga otakku tetap sehat, waras, sebab dibutuhkan untuk mengatur strategi agar bisa keluar dari situasi buruk ini!”
Dengan visa turis kami berdua, aku dan anakku, terbang menuju Negeri Kincir Angin, tepatnya 29 Juni 1986.
Esoknya kami tiba di Bandara Schiphol, Amsterdam. Ya, inilah negeri bangsa kolonial. Pada zaman revolusi, ayahku bersama pasukan pejuang pernah menyabung nyawa, melawan Belanda.
Sekarang, di sinilah aku dan anakku, putri dan cucu seorang pejuang '45. Demi mengadu nasib, demi meraih masa depan, demi melacak jejak surga yang kudamba.
“Ya Tuhanku... kami mohon. Lindungilah kami berdua, lindungilah,” desisku mengambang di udara musim panas negeri asing.
Beberapa saat aku menghirup aroma Negeri Kincir Angin sebanyaknya-banyaknya, seluas paru-paruku mampu menampungnya. Berharap bahwa ini ha nya mimpi belaka yang segera terbangun, kemudian kutemukan anakku berada di ruang keluarga yang nyaman tempat favoritnya asyik bermain-main. Namun tidak, ini adalah sepenggal awal perjalanan me lacak jejak surga!
“Mama... dia siapa?” suara mungil anakku merenggut seluruh khayal dan kenyataan yang sempat nyaris tak bisa kubedakan lagi.
Aku tersentak, mengikuti telunjuk mungil yang mengarah kepada seorang lelaki bule. Sosok itu, ya, ternyata berwajah keras, terkesan angkuh dan show-off dalam berbusana. Ini persis sekali dengan mantan suami.
Seketika ada yang berdesiran dalam dadaku, sesuatu yang seharusnya kumaknai sebagai pertanda buruk.
Lelaki itu, Gez, menghampiri kami diikuti oleh beberapa orang yang diperkenalkannya sebagai keluarga besarnya.
Dia menyalamiku, tepatnya menciumi pipi-pipiku dengan atraktif. Apabila tak kucegah dengan gerakan tegas, bibirnya memaksa akan mencium bibirku saat itu juga.
“Yeah... inikah jagoan kecilmu, hem?” ujarnya seraya hendak memangku anakku dengan gerakan kasar.
“Mama... gak mau!” protes Peter spontan menghindarinya, berlari dan bersembunyi di balik tubuhku sambil memegangi ujung blazerku.
Aku bisa melihat perubahan pada raut wajah Gez, perpaduan antara geram dengan hasrat menguasai. Dia berhasil mengekang dirinya dengan bersikap santun terhadap diriku, penyayang terhadap anakku. Empat lelaki dan tiga perempuan, keluarganya itu, berusaha pula menyambut kami bedua dengan ramah dan sukacita.
“Nah, kita berpisah di sini,” berkata Gez saat berada di parkiran. “Mereka akan pulang ke apartemen masing-masing dan kita... Yeah, kita harus segera menyelesaikan urusanku!”
“Urusanmu?” buruku tak paham, sedetik kemudian kami sudah berada di dalam mobilnya dengan anakku meringkuk di jok belakang.
“Maksudku urusan kita, Darling... jangan takut, semuanya akan membuat dirimu puas, yakinlah!” sahutnya disertai kekehannya yang aneh. Aku berusaha keras membunuh rasa takut yang mulai membayangi setiap helaan napasku. Kulihat anakku sudah kelelahan dan tertidur lelap. Sungguh, dia anak yang manis, tenang, sama sekali tak pernah rewel. Itu bukan anakku yang biasanya periang, banyak bertanya dan berkomentar. Namun, aku tak bisa berpikir banyak lagi tentang perubahan sikap anakku. Benakku dipenuhi berbagai rencana, pengharapan dan kecemasan.
“Minumlah ini, Darling,” Gez menyodorkan botol minuman, baru kusadari ada boks minuman keras di antara kaki-kaki kami.
“Bolehkah nanti saja supaya tetap segar?” Mungkin dia mengartikannya lain, bahwa aku menjaga kesegaran selama mendampinginya, meladeninya. Ya Tuhan, bulu kudukku merinding mendengar tawanya yang terbahak-bahak, dan sorot matanya yang ceriwis liar. Namun, lagi lagi semuanya telah telanjur. Tahu-tahu kami sudah sampai di apartemennya di Hilversurn. Dalam sekejap kami pun telah berada di dalam ruangan yang segera dikunci dengan sigap oleh lelaki itu.
“Apaaa... mau apa kamu?!” seruku kaget saat Gez dengan gerakan tak terduga, tiba-tiba menodongkan pistol ke kepalaku.
“Sini, anak setan, siniiii!” Gez merenggut anakku dari tanganku, sedetik kemudian dia telah menyeret tubuh mungil kesayanganku itu ke dalam toilet, lalu menguncinya rapat-rapat.
Mataku melotot hebat dan tubuhku lunglai, sendi-sendi tulangku bagai berlepasan.Seketika aku merasa hanyalah seonggok daging yang tak bernyawa. Separuh jiwaku, belahan nyawaku telah direnggut dari dekapanku.
“Kamu diamlah! Jangan coba-coba melakukan tindakan bodoh. Kalau tidak, aku akan bunuh anak kesayanganmu itu!” ancamnya terdengar tidak main-main. Gez, sosok yang tampak gentle dalam video itu, telah berubah dalam sekejap.
“Kumohon, kumohon... demi Tuhan yang kamu sembah...” aku mulai meratap, memohon dengan segenap jiwaku. “Jangan sakiti anakku... Dia sama sekali tak berdosa.” Hancur hatiku mendengar tangisan anakku lamat-lamat dari dalam toilet, hingga tak terdengar lagi, mungkin kelelahan atau pingsan?
Gez terbahak-bahak, semakin gencar menenggak minuman keras, sedang tangannya yang satu lagi mulai liar menggerayangi tubuhku.
Baru kusadari koper, tas, perhiasan, uang, paspor, semua bawaanku dari Indonesia sudah diamankan oleh Gez.
Mengapa profilnya di video yang direkomendasi biro jodoh internasional itu tampak begitu simpatik, ganteng dan lembut? Belakangan baru kutahu bahwa semuanya memang telah direkayasa. Gez adalah seorang interniran militer, penipu, pemabuk dan... psikopat. Sejak saat itu, dia sering menghajar tubuhku hingga babak-belur. Sejak saat itu pula, aku dipaksa melayani kebutuhan seksualnya secara biadab, kapan pun dan di mana pun. Bila aku menjerit karena menahan sakit, dia akan tertawa terbahak-bahak dan bertindak dengan lebih keji dan brutal!
Aku berusaha keras untuk tidak menjerit, menangis apalagi meratap-ratap, memohon belas kasihnya. Dalam ketakberdayaan sekalipun, aku sungguh ingin tetap memberontak. Beberapa kali aku mencoba membebaskan diri dari kungkungannya. Namun, sebanyak itu aku mencoba lolos, sebanyak itu pula aku dipergoki, kemudian tanpa ampun lagi dihajar habis-habisan.
Yang paling tidak tahan adalah kalau dia mengancam akan membunuh anakku, tidak memberi makan dan minum. Jika aku dibiarkan menemui anakku, kami berpelukan dan kutahan sedemikian rupa air mataku agar tidak tumpah. Kuperhatikan anakku sudah seperti robot, sepasang mata bintangnya yang cemerlang telah hilang, disilih oleh dua butir mutiara hitam yang kelam, dingin dan suwung...
Suatu malam aku menemukannya dalam keadaan mengenaskan, meringkuk di sudut kamar mandi, demam dan menggigil. Daya tahan tubuhnya anjlok drastis, tubuhnya seakan-akan menciut. Selain kelaparan niscaya mentalnya pun tak tahan lagi harus sering dijauhkan dari ibunya.
“Nak, Anakku... aduuuh, demi Tuhan!” jerit tangisku kini tak terbendung lagi. Aku sungguh panik, dan merasa sangat berdosa karena tak mampu melindunginya. “Bangunlah, Nak, bangunlah! Jangan tinggalkan Mama sekarang, jangaaan...” ratapku histeris, tak peduli lagi akan angkara Gez yang melongok di belakang tubuhku. Melihat keadaan gawat begitu agaknya Laki-laki itu tergerak juga hatinya. Pasti dia hanya menakutkan dampak terhadap keselamatannya sendiri.
“Diamlah, perempuan dungu! Kamu jangan berteriak-teriak terus!” sergahnya, diangkutnya sosok mungil kesayanganku, kemudian ditaruhnya di ruangan lain apartemen itu. Sejak malam itu anakku diperbolehkan menempati ruangan yang layak huni, meskipun kemungkinan cuma gudang, sebab banyak barang. Hatiku agak lega, setidaknya anakku berangsur membaik dan tidak selamanya dikurung di kamar mandi. Kami berdua diperbolehkan bersama kembali. Pada saat-saat Gez 'membutuhkanku', terpaksa kuberi pengertian anakku.
“Peter, Cinta, jangan berteriak-teriak, jangan nangis selama Mama pergi, ya? Kalau kamu lakukan itu kita akan dipisahkan lagi,” bisikku sambil menahan bendungan air mata yang nyaris tak tertahankan. Kubelai wajahnya, ooh, baru kusadari tampak tirus. Tubuhnya pun tidak lagi gemuk, pipi-pipinya yang tembam... ke mana gerangan?
“Iya... aku gak akan nangis, Mama. Gak akan jerit-jerit, Mama. Asalkan Mama ke sini lagi, hati-hati, ya Mama...
Dia mengiyakanku sambil berlinangan air mata, di tahu, dan tak mau mengungkitnya di kemudian hari; apakah selama ibunya ini diperlakukan keji, anak yang malang itu tetap tinggal di tempatnya? Ataukah dia diam-diam mengintip?
“Ya Tuhan, jangan tinggalkan kami, kumohon, jangan tinggalkan kami,” jeritku mengawang nun kelapisan ketujuh. Apabila laki-laki itu meninggalkan rumah, kami akan dikunci dari luar. Tiada televisi, tiada telepon, bahkan aliran listrik pun akan dimatikan. Makanan yang diberikan alakadarnya; sepotong roti keras, semangkuk sup krim dingin dan segelas susu tawar. Adakalanya aku diperbolehkan memunguti remah-remah roti atau pizza bekas makanannya.
“Aku masih lapar, Mama,” pinta anakku takut-takut, mengerling secuil roti yang baru saja akan kumasukkan ke mulutku.
“Ya, tentu saja... ini boleh buatmu, Cinta,” segera kusuapkan roti jatahku itu ke mulutnya. Tangisku pecah jauh di dalam dada melihat hasrat dan kelahapan anakku. Secuil roti yang hanya pantas buat mainan tikus dan kecoa saat di Tanah Air. Namun, lihatlah, Tuhan! Hari-hari ini begitu dibutuhkan anakku sebagai pengganjal perutnya. Entah bagaimana reaksi kakek-neneknya jika mengetahui hal ini.
Adakalanya otakku berputar-putar dengan berbagai kemungkinan, berbagai macam hal. Apakah ayahnya masih peduli akan keberadaan kami, terutama anakku? Masihkah dia bernafsu untuk menculik dan menguasai anaknya? Mengapa aku begitu panik menghadapi ancaman-camannya? Bagaimana kalau itu hanya omong kosong belaka? Bukankah sejak bercerai, dia tak peduli lagi, terbukti kewajibannya (janji hitam di atas putih, disaksikan pejabat KUA) untuk membiayai anaknya pun telah diabaikan. Tak pernah memberi biaya sepeser pun lagi sejak palu hakim diketukkan. Pikiran-pikiran itu acapkali sangat menyiksa diriku, membuatku tak bisa memejamkan mata sekejap pun. Sungguh, rasanya aku nyaris menjadi gila!
Namun, segera aku disadarkan akan realita yang tengah kuhadapi. Aku tak boleh menyerah,tak boleh membiarkan diriku stress, frustasi. Aku harus menjaga otakku tetap sehat, waras, sebab dibutuhkan untuk mengatur strategi agar bisa keluar dari situasi buruk ini, melawan Gez!

Setelah dua pekan dikurung di dalam apartemen sumpek itu, akhirnya Gez mengajak kami ke luar rumah. Kami diperkenalkan kepada beberapa kenalannya. Gez berlagak gentle membiarkanku bersosialisasi. Dia wara-wiri di antara teman-temannya sambil menikmati makanan dan minuman yang terhidang. Sikapnya berlagak penuh kasih sayang terhadap anakku.
“Lihatlah, Kawan! Sekarang aku punya seorang anak yang hebat, padahal dia berasal dari negara terbelakang... segalanya!” celotehnya kacau.
“Eeeh, apakah kamu baik-baik saja?” Paul Van Moorsel, nama lelaki itu, memandangi wajahku lekat-lekat. Dialah satu-satunya yang berani menghampiri dan berkomunikasi denganku. Ia bertanya banyak hal tentang Indonesia, tentang alasanku meninggalkan negeriku dan lain-lain.
“Aku tidak apa-apa,” sahutku pelan, kurasai sesungguhnya Gez tetap mengawasiku dari kejauhan. “Yah... tidak apa-apa, hanya sedikit tak enak badan. Terima kasih.”
Aku menundukkan kepala dalam-dalam, menatap lantai di ujung kakiku. Cepat-cepat kulindungi pelipisku dengan syal yang menutupi sebagian wajah dan kepalaku. Sepasang kacamata berukuran raksasa juga menclok di wajahku. Semuanya itu kupakai demi menyembunyikan bilur-bilur ungu, tapak kekerasan yang kuterima selama dua pekan.
“Jangan sungkan, Nyonya, katakan kepadaku kalau kalian butuh sesuatu,” ujar Paul setengah berbisik, kemudian diraihnya tubuh anakku, dan didudukkannya di atas pangkuannya. Anakku berjingkrak kegirangan saat lelaki itu memberinya seraup permen. Aku terharu sekali dengan perhatian yang diberikannya terhadap kami berdua. Sedangkan yang lainnya bersikap acuh tak acuh, belakangan kutahu juga alasan mereka. Sesungguhnya mereka malas berurusan dengan Gez, mengingat perilakunya yang kasar.
“Mama dan aku... sakit, Om Paul,” gumam anakku dalam bahasa Inggris patah-patah. Jantungku sampai berdetak keras mendengarnya, kuatir diketahui oleh Gez.
Tapi lelaki itu tampak sedang asyik berbincang dan tertawa keras dengan seorang perempuan berambut pirang.
“Aku sudah menduganya,” desis Paul muram. “Kalian mendapat perlakuan... Gez menyakitimu dan anakmu, bukan?”
“Mm, jangan memaksa.” bisikku mencoba menghindar
“Dengar,” dia menundukkan kepalanya di belakang punggung anakku. “Kalian masih memegang dokumen perjalanan?”
Aku menggeleng. Wajah Paul seketika mengelam.
“Carilah! Kamu harus menemukan dokumen perjalanan kalian. Aku akan berusaha membantu kalian.” Secercah cahaya sekejap membernas dalam gulita hidupku. Titik air mataku bahna terharu. Semula aku mengira takkan pernah ada yang sudi memedulikan kami berdua. Bahkan aku hampir menganggap bangsa ini identik dengan si jahanam.
“Kamu harus secepatnya pergi dari apartemennya. Laporkan ke polisi!” Paul terus menyemangatiku.
“Yeah... terima kasih,” tangisku merebak dalam dada.
Ketika Paul kemudian tampak lebih akrab dengan anakku, monster yang mulai mabuk itu mendatangi tempat kami.
“Sudah saatnya kita pulang!” dengusnya seraya mencekal tanganku dengan kasar. Bau alkohol meruap dari mulutnya.
Betapa sering hasratku untuk menghabisi nyawanya nyaris tak terbendung lagi, terutama saat menemukannya terkapar mabuk berat. Namun, aku segera disadarkan bahwa ada seorang anak yang menjadi tanggunganku. Bagaimana jadinya anakku jika aku menjadi seorang pembunuh, di negeri asing pula?
“Masih sore, Gez, biarlah mereka...” Moorsel mencoba menahan kami.
“Tak ada yang menanyakan pendapatmu, Moorsel!” sergahnya galak. Kemudian tanpa melepaskan botol minumannya, tangannya mencoba menggaet leher anakku hingga minuman beralkohol itu tumpah. Paul bergerak refleks menepiskan tangan Gez, sehingga kepala anakku terhindar dari tumpahan minuman keras itu.
Plaaakkk!
“Aduuuh!” Gez menjerit tertahan. Agaknya pergelangan tangannya ditepis sekaligus dipelintir keras oleh Paul Van Moorsel. Dalam sekejap keributan terjadi, suara Gez yang lantang menghamburkan kata-kata tak senonoh. Kurasa mereka berdua akan berbaku hantam, andaikan tak segera dilerai oleh teman-temannya.
“Neem me niet kwaklijk... sterkte, ya Mevrouw. (Maafkan aku... kuatkan dirimu, ya Nyonya.)”
Masih kudengar suara anak bungsu aktivis gereja, Moorsel itu, tatkala Gez menggelandangku keluar dari klub.
Simpati seorang Moorsel, meskipun hanya sebatas itu dan nyaris tak berpengaruh apa-apa terhadap keadaan kami, bagiku sungguh berkesan. Keberaniannya menyadarkan diriku bahwa tak semua lelaki di negeri bekas penjajah bangsaku ini seperti Gez. Keberadaannya pun menyadarkan diriku akan pengharapan yang nyaris raib, ditelan kekejian seorang manusia berhati iblis. Malam itu, untuk kesekian kalinya Gez melampiaskan kekejiannya terhadap diriku. Tubuhku melumbruk bagai tak bertulang, tak bersendi, tak bernyawa. Darah berceceran di mana-mana, membasahi sekujur bagian bawah tubuhku. Kutahu sejak itu aku takkan pernah bisa menikmati hubungan intim lagi sepanjang hayatku! Ya Tuhaaan, kusebut nama-Mu dalam keyakinan yang tak tahu lagi apa namanya ini.
Lamat-lamat kutangkap suara isak anakku. Ya, berkat isak tangis belahan jiwaku itulah, diriku masih mampu bertahan, menghabiskan sisa-sisa malam jahanam.
Tengah malam menjelang dinihari, tepatnya dua puluh satu hari dalam cengkeraman Gez. Aku sudah bertekad bulat, apapun yang terjadi, kami berdua harus keluar dari tempat yang bagaikan neraka ini. Kulihat anakku sudah terlelap tidur. Sementara Gez tengah keluar untuk mabukmabukan.
Aku berjingkat mencari dokumen perjalanan milik kami. Aku menyisir dengan sangat cermat setiap laci laci, lemari pakaian, gudang, basement, seluruh penjuru ruangan.
Tidak juga kutemukan!
“Ya Tuhanku, di mana paspor dan tiket milikku itu? Kumohon, bantulah aku menyelamatkan diriku dan anakku, Tuhan? Kumohon, bukankah Engkau Maha Pengasih?” lolongku melindap dalam dada.
Saat aku hampir putus asa, mataku sekonyong melihat sesuatu di sudut kamar Gez. Yup, sebuah kotak kecil yang terkunci. Semangatku bangkit kembali, dadaku seketika dipenuhi debar-debar asa. Adakah demikian perasaan ayahku, ketika bersama pasukan pejuang hendak merebut tangsi militer di Cimahi zaman revolusi dahulu? Demikian sempat terlintas dalam benakku, membuat air mataku menitik perlahan.
Aku terus mengotak-atik kunci kotak itu sambil berdoa, menyeru nama Tuhanku, ayahku, ibuku, ka kakku, adikadikku, seluruh keluarga besarku. Ya, semuanya saja kuseru dalam dadaku. Entah mengapa, seketika itu, sesuatu yang nyaris raib dari benakku muncul kembali. Ya, ternyata aku masih punya keyakinan, bahwa mereka niscaya masih mengingatku, masih mendoakanku, terutama kedua orang tuaku yang mengasihi kami berdua.
Setelah kucoba dengan berbagai nomer serabutan, akhirnya kotak itu terbuka dengan angka-angka kelahiran Gez. Benar saja, di sinilah agaknya pasporku disembunyikan. Hanya pasporku, sedangkan tiket, seluruh perhiasan dan uang milikku tidak kutemukan.
“Tidak mengapa, biarlah, ini juga sudah bagus,” gumamku penuh suka cita. Dengan mengucap rasa syukur untuk pertama kalinya, aku mengambil paspor dan kusembunyikan baik-baik di dalam jaket anakku. Sejak bentrok dengan Paul, Gez bersikap hati-hati terhadap anakku. Mungkin karena diancam oleh Paul akan memerkarakannya, apabila diketahuinya dia menyakiti anakku.
“Nak, bangunlah, Cinta,” kuraih tubuh mungil kesayanganku, tanpa menunggu reaksinya lagi secepatnya kukenakan pakaiannya.
“Ke mana kita, Mama?” tanyanya setengah mengantuk saat kutuntun bocah yang malang itu menuju pintu keluar.
“Kita harus pergi dari sini, Nak. Kuatkan dirimu dan hatimu, ya Cintaku, Buah Hatiku,” bisikku meracau seraya membungkuk, sekali lagi kubetulkan kerah jaketnya.
Udara akhir Juli mulai dingin dan aku tak tahu entah apalagi yang bakal menghadang kami di luar sana. Ketika ku baru saja hendak membongkar pintu depan dengan paksa, sebelumnya berhasil kurusak, seketika pintu terkuak.
Sosok yang ingin sekali kubakar hidup-hidup itu, terhuyung-huyung limbung dengan botol minuman keras di tangannya.
“He... kalian mau ke mana?” suaranya menandakan sedang mabuk parah.
“Dengar, kami tidak akan membuat keributan di sini. Kami hanya ingin pergi dari sini, oke?” Sekali ini kutegakkan tubuhku dan bicara dengan sangat tegas. “Jadi... menyingkirlah!”
Kurasa jika memang diharuskan, diriku sudah bertekad akan melakukan apapun demi kebebasan kami berdua. Aku sudah tak peduli lagi jika harus menjadi seorang pembunuh, atau menjadi mayat sekalipun. Aku tak sudi menjadi pecundang.
“Apa kamu bilang, perempuan tolol? Memangnya siapa dirimu itu, hah?” tangannya yang bebas menggapai-gapai di udara,tubuhnya semakin limbung.Bagus, keadaannya menambah keberanian dalam dadaku!
“Aku, putri seorang pejuang' 45, bangsa Indonesia!” sergahku lantang.
Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih dimilikinya, telunjuknya menuding-nuding wajahku. “Jij ben niks waard en je heb niks geen pass-port en geen tiket, dus godverdomme wegwezen juiiie!” (“Kamu tidak punya apa-apa, tidak berarti apa-apa, tidak punya paspor dan tiket, jadi pergilah kamu dari sini!”)
Ya Tuhan, sungguhkah ini? Ternyata begini mudahkah kami terlepas dari cengkeramannya? Mengapa tidak dari kemarin-kemarin aku melakukannya? Mengapa ketakutan akan kehilangan nyawa anakku begitu menghancurkan setiap hasrat bangkang dalam diriku? Demikian aku sempat menjeritkan kenaifanku. Ah, sudahlah, sudahlah, jerit hatiku kemudian. Akhirnya, Tuhanku, Tuhanku, terima kasih!
Bagaikan sinting rasanya diriku mencekal kuat-kuat tangan anakku. Setengah berlari kuseret langkah kami berdua, bergegas pergi. Kami tak membawa apapun selain yang melekat di tubuh dan paspor, ditambah beberapa lembar gulden yang kutemukan di laci dapur. Aku tak memikirkan apapun lagi. Bagiku yang terpenting pergi sejauh mungkin. Samar-samar suaranya masih terdengar meracau tak jelas.
Udara dingin di penghujung bulan Juli pada dini-hari itu seketika menyergap tubuh kami. Beberapa saat kupangku anakku dan kudekap erat tubuhnya yang gemetar. Selang kemudian anakku minta diturunkan, tentu merasa kasihan kepadaku yang terhu yung-huyung limbung. Kami berjalan kaki menuju stasiun terdekat selama kurang lebih 20 menit. Tak ada pejalan kaki lainnya kecuali kami berdua. Aku berjuang keras menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk di bagian bawah tubuhku. Kuyakinkan pada diriku bahwa rasa sakit badaniah itu sungguh bukan apa-apa, jika dibandingkan dengan kebebasan yang baru kami dapatkan.
“Mama... sakit ya?” anakku merandek, lalu menengadahkan wajahnya, sepasang bintang mencari-cari jawaban di wajahku.
“Tidak apa-apa, Nak... Mama baik-baik saja,” sahutku seraya membelai pipi-pipinya yang putih. “Masih kuat berjalan, Sayang?”
“Ya, Mama... aku sudah kuat, kuat sekali!” dia tersenyum manis dengan selaksa bintang yang berbi narbinar di matanya. Itulah bintang asa dan citaku!
“Kita lanjutkan perjalanan, Cinta?” tanyaku seraya menahan gelombang keharuan yang bagai me nggumpal gumpal di leher, di tenggorokan, di dada terus menusuk ke persendian tulang, ke sekujur jiwa dan ragaku.
“Siaaap!” jawab anakku bersemangat sekali, walau kutahu itu hanya demi menghibur hatiku. Kami pun terus berjalan, tanpa berkata-kata lagi.Aku telah memelajari peta yang sempat kuambil begitu menginjakkan kaki di bandara Schiphol. Tujuan yang terlintas di benakku adalah
Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag. Aku membeli tiket kereta api senilai 25 gulden (saat itu mata uang Belanda gulden) dari Hilversurn ke Utrecht.
Beberapa saat kurasai aura keheningan, kesenyapan yang ajaib membalut diriku. Anakku merebahkan kepalanya di atas pangkuanku, sesaat kemudian dia telah tertidur lelap. Napasnya mengalun lembut melalui hidungnya.
Mencermati tubuhnya yang mungil dan kurus, tak tahan air mataku berderaian yang segera kuhapus, khawatir mengusik tidurnya. Kurasa inilah saat tidurnya yang terlena sejak meninggalkan Tanah Air.
Beberapa jenak kubiarkan pula diriku menikmati udara kebebasan, walaupun masih ada kekhawatiran si jahanam memburu kami. Sewaktu kereta api berhenti di stasiun Utrecht, aku tak membangunkan anakku melainkan menggendongnya pelan-pelan. Semangat hidupku serasa mengalir deras, tatkala merasai detak jantung anakku yang menyatu dengan detak jantungku sendiri.
“Ya, kita harus bertahan hidup, Anakku... Harus, haruuus!” desisku berulang kali, tak terhitung lagi sebagai upaya menguatkan benteng pertahanan diri yang baru kuraih.
Di sebuah bangku panjang di sudut stasiun Ut-recht, kubiarkan waktu berjalan dengan semestinya. Penampilan kami pasti aneh di mata mereka, tidak sesuai dengan musim. Aku mengenakan celana jins, kaos dalam yang dirangkap baju hangat. Anakku masih mengenakan piyama dirangkap celana jins dan jaketnya. Tak kupedulikan orangorang yang melintas di hadapan kami, sekilas memandangiku ter heran-heran. Hari, apa peduliku? Sebaliknya aku yang harus heran. Mengapa tiada seorang pun yang meluangkan waktunya, sekadar menanyakan keadaan karni? Bukankah kami tampak sangat menyedihkan, wajahku amat pucat dengan bilur kebiruan di pipi dan keningku? Sosok mungil dalam pangkuanku tampak mengerut kecil, diliputi ketakberdayaan dan keringkihan. Mengapa kalian tak peduli?
Di sinilah di daratan Eropa kami kini berada. Di negeri sebuah bangsa yang konon sangat menjunjung tinggi kesopanan, peradaban luhur, di mana para nyonya begitu senang menata rumah, dan menyediakan makanan yang lezat untuk keluarganya. Di mana salah seorang warganya begitu kejam memerlakukan kami berdua, tak punya hati, tak punya nurani, hanya nafsu iblis yang menjelma utuh dalam dirinya...
Ops, ternyata ada juga yang mau memerhatikan keberadaan kami. Seorang gadis muda menghampiri kami, membungkuk di samping anakku, kemudian memandangi wajah anakku lekat-lekat. Aku menyapanya dan mencoba berkomunikasi. Aku mengatakan bahwa kami baru datang dari luar kota, bermaksud pergi ke Den Haag.
“Anda harus melanjutkan perjalanan dengan kereta lagi, Mevrouw,” berkata gadis yang kutaksir mahasiswa atau karyawati itu.
“Dia ini... apakah anak Anda?” selidiknya.
“Iya, dia anakku, mengapa?” balik aku bertanya.
“Mmm, kasihan... tidak apa-apakah dia?” tanyanya pula dengan sorot mata ingin tahu, kemudian sejenak lebih mencermati keadaan anakku. Aku berusaha tersenyum.
“Tidak, Sister, dia hanya kelelahan.”
Gadis itu menatap wajahku dan tersenyum simpati. Entah apa yang ada dalam pikirannya, saat kemudian ia mengingatkanku agar berhati-hati. Ia juga mengatakan ingin membantuku, tapi menyesal sekali karena sudah ada janji. Ia berpamitan dengan ramah, setelah minta izinku untuk mengelus pipi anakku, dan meletakkan sekotak cokelat di dekat tangan anakku.
Kupandangi tas punggungnya sambil kuhela napas dalam-dalam. Setidaknya pengetahuanku bertambah, pengharapanku membernas tentang peradaban bangsa ini.
Gadis itu, siapapun dia, telah membuat hatiku terharu. Sikapnya terhadap anakku sungguh telah menggoyah benteng kebencian dan dendam dalam dadaku. Ya, tidak semua warga Belanda seperti si Gez!
Dan tiba-tiba benakku disergap berbagai macam pikiran. Kesadaran itu, kesadaran akan segala keputusan dengan sebab akibatnya itu... Menggugatku!
“Kita mau ke mana lagi, Mama?” Pada saat bersamaan anakku terbangun, agaknya bisa menangkap kebimbanganku. Kubiarkan dia menikmati cokelatnya sebagai pengulur waktu. Aku memang tak bisa langsung menyahut, kugigiti ujung-ujung bibirku. Benakku mendadak suntuk, dikejar bayangan-bayangan yang belum pasti untuk masa depan kami. Bagaimana reaksi keluargaku jika mengetahui lakonku di Belanda ini? Tensi ayahku niscaya akan melejit, bisa-bisa stroke.
Apa yang harus kukatakan kepada mereka, andaikan kami pulang ke Indonesia dalam keadaan serba kacaubalau, dan sangat mengenaskan begini? Lagipula, aku tak punya tiket untuk pulang, tak punya uang selain 50 gulden di saku jaketku. Bagaimana kalau aku tak mendapatkan apa yang kuinginkan di Kedutaan Besar Indonesia?
“Mama, ingat tidak Om Paul? Yang memberiku cokelat dan permen di pesta?” anakku mengusikku lagi. Oh, dia mengira klub itu tempat pesta? Aku meliriknya dan terheran-heran, mengapa anak ini masih mengenang sosok yang telah memelintir tangan si Gez malam itu?
“Ya, Nak, ada apa dengan orang itu?”
“Om Paul sudah janji mau bantu kita, Mama. Aku ingat janjinya itu, Mama,” cetus anakku terdengar mengambang.Aku memandangi wajahnya lekat-lekat. Di mataku pipi-pipinya tampak semakin tirus, kelelahan, kesakitan dan ketakutan yang sangat.Ya Tuhan, aku sungguh telah mengingkari hak-haknya.
“Maafkan Mama, ya Nak, maafkan segala kelemahan Mama, maafkan...”
Aku meracau penuh penyesalan. Seketika kupeluk erat-erat tubuhnya, kuciumi pipi putihnya, berharap bisa menyatukan seluruh daya yang masih kami miliki.
Akhirnya kubiarkan, kubiarkan, ya, kubiarkan saja segala kepedihan itu membuncah ruah. Semoga air mata ini menjadi terapi bagi hati kami, jiwa kami, fisik kami yang telah porak-poranda.
“Mama nangis... aku juga mau nangis, hikkksss”
“Iya Nak, Cinta, tidak mengapa kita menangis saja, ya,” Pada saat bersamaan di dalam hati aku pun mengucap sumpah. “Tuhanku, dengarlah sumpahku ini, jika Engkau tetap ada untuk kami berdua... Demi Engkau Yang Maha Tinggi, aku akan membesarkan anakku, dan memberinya masa depan sebaik-baiknya! Dengarlah sumpah seorang ibu yang teraniaya ini, ya Tuhan, dengarlah!”
Betapa ingin kulengkingkan, kujeritkan, kulolongkan sumpahku. Tidak, ternyata hanya mampu kuperdengarkan untuk diriku sendiri, di dalam hatiku sendiri. Kupahatkan dengan tinta nurani seorang ibu di relung-relung jiwaku. Sehingga aku takkan pernah mampu mengingkarinya sepanjang hayat dikandung badan.
“Kita cari Om Paul saja, ya Mama?” tanya anakku setelah puas kami bertangisan, masih di bangku di sudut stasiun Utrecht. Kubersit hidung dan kuhapus air mata yang membasahi pipi-pipiku. Anakku mengikuti kelakuanku, cepat-cepat menghapus air matanya dengan ujung-ujung jaketnya. Ya, Tuhan! Aku berjanji dalam hati, sejak saat itu aku takkan pernah menangis lagi di hadapan siapapun. Terutama di hadapan anakku, mata hatiku, sumber semangat hidupku, kepada siapa aku telah berutang janji.
“Baiklah, kita kan cari Om Paul!” kuputuskan untuk menerima gagasan anakku. Kupikir sudah saatnya memberi kesempatan kepada anak kecil ini, lima tahun setengah. Ya, mengapa tidak? Selama ini aku telah melakukan kesalahan yang berimbas terhadap kehidupan anakku.
Kami kembali ke Hilversurn dengan sangat waspada, supaya tidak bertemu lagi dengan “monster” itu. Setelah bertanya kesana-kemari khirnya kami menemukan tempat tinggal keluarga Moorsel.
“Oh, mijn God, mijn God!” seru Paul menyambut kedatangan kami, langsung bereaksi begitu mencermati kondisi kami berdua. “Malang sekali kalian, malang sekali kalian... Maafkan, aku tidak bisa membantu kalian tempo hari.”
“Tidak beradab, binatang itu pantas mati!”
“Kita harus segera melaporkannya ke pihak berwajib!”
Kemarahan dan kegeraman dalam sekejap menggema di ruangan yang hangat dan nyaman itu. Kedua orang tua Paul, belakangan aku memanggil mereka Muder dan Fader, segera bergabung dan memberi bantuan. Aku mengatakan kepada mereka bahwa untuk saat ini, kami berdua hanya ingin kedamaian, perlindungan dan kenyamanan. Segalanya yang di luar itu biarlah belakangan dibenahi.
“Tentu saja, Nak, jangan pikirkan apa-apa lagi. Tinggallah di rumah kami, ya Nak. Kami jamin, kalian aman dan akan baik-baik saja berada di sini,” ujar ayah Paul dengan sorot mata memancarkan kebajikan, mengingatkanku kepada ayahku nun di kampung halaman.
Selama beberapa hari kemudian aku membiarkan orang-orang baik itu merawat diriku dan anakku. Sekilas lakonku di apartemen Gez kuungkap, tetapi rincinya kusimpan baik-baik dalam diari hatiku. Suatu kekejian luar biasa yang telah menimbulkan kerusakan lahir-batin, trauma pada jiwaku dan anakku hingga berbelas tahun kemudian.
(Aliet Sartika)

2 komentar:

  1. Aq tertarik dgn kisah Aliet Sartika. Bagaimana nasibnya sekarang? Apakah dia sdh kembali ke tanah air?

    BalasHapus
  2. aku tidak bisa memahami kenapa justru kembali pada orang-orang di lingkungan si Gez? sangat beresiko. bagaimana jika ternyata mereka sama saja? Bukankah mendatangi KBRI adalah pilihan terbaik? Dan keinginan pulang ke Indonesia bisa dengan mudah ditepis dengan ketakutan respon keluarga besarnya jika mengetahui nasib mereka di Belanda? menurut saya seburuk apapun respon dan dampak yang akan terjadi jika keluarga besar di Indonesia mengetahui nasib mereka, tidak sebanding dengan keselamatan mereka, terutama anaknya, yang masih terlalu kecil untuk pantas mengalami penderitaan sekeji itu....

    BalasHapus