Penulis : Nurlaila Zahra
Detik berganti detik, menit berganti
menit, jam berganti jam, hari berganti hari, dan minggu berganti minggu. Tak
terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai seorang istri. Menjalani
hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang belum bisa menerimaku
sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah sedikitpun aku lihat sebuah
kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada tatapan mesra penuh kehangatan
yang dia berikan padaku ketika dia pulang dari kerjanya ataupun ketika aku
pulang dari kewajibanku bekerja di sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal
ini juga, novel ketigaku yang harusnya sudah rampung beberapa bulan yang lalu,
kini harus rela tertunda karena masalah hatiku.
Suasana di rumah
dan di kantor sangat berbeda sekali. Di rumah tak bisa aku temukan kemesraan
seikitpun dari suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui Arini dan
Fauzi yang kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar cerita Arini
tentang Fauzi, suaminya, yang menurutnya sangat lembut dan mesra sekali pada
dirinya. Aku semakin iri dibuatnya.
Andai saja Arini
tahu apa yang aku alami selama hidup berumah tangga, aku yakin Arinipun akan
menangis dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali menangis bila
melihat atau mendengar kabar atau berita yang menyedihkan. Saat ini dia tengah
mengandung dua bulan, hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya bisa
tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama dia
mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan
aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
”Do’akan saja ya
Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku dan
suami”
”Amin”, Sahut
Arini mengamini.
Mengingat hal
itu, aku jadi teringat akan bulan maduku bersama Yusuf di hotel Maharani lima
bulan yang lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu sampai sekarang, kami baru
melakukannya lima kali. Ya, bisa diperhitungkan dalam sebulan itu hanya sekali
kami melakukannya. Maka tak jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan
sahur agar keesokannya aku kuat melakukan shaum. Hal itu sengaja aku
lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak tersalurkan.
Terkadang pula
sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu melaksanakan shalat tahajud dan
sedikit bermunajat pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk bisa
menjalani hidup ini, meminta kesabaran agar aku bisa lebih tabah menerima
keadaan suamiku, dan tak lupa, meminta kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar
berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama
aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku
menikah. Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku
hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam
kehidupanku.
Ditengah
munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya warna
mukena yang kukenakan. Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat
witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah
sahur, aku mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana.
Tentang Yusuf suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang
harapan-harapanku di masa depan.
Terkadang ayah
dan ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah.
Aku hanya menjawab, ”Ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak
melakukan ibadah-ibadah sunnah”
Biasanya ayah dan
ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk pelan.
Aku juga sering
mandi sebelum subuh. Hal itu aku lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku.
Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu artinya semalam
aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka berpikiran yang
baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika
aku masih tinggal di rumah mereka.
Tapi kini, hal
itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa hari yang lalu aku dan Yusuf
memutuskan untuk mengontrak rumah di daerah Lenteng Agung. Tak besar memang,
tapi aku rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan.
Tempat tidur,
lemari pakaian, komputer, bufet, televisi, kursi, dan meja, semuanya telah
tertata dengan rapi dirumah kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu
mertuaku turut membantuku merapikan rumah. Mereka benar-benar mengira kalau
kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia, sampai-sampai kami memilih untuk
mengontrak rumah karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta
do’a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar Bisa menemukan
kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini.
* * *
Malam ini Yusuf tengah bergelut dengan
laptopnya. Aku sendiri tak tahu apa yang sedari tadi dikerjakannya. Selepas
Maghrib tadi dia sudah mulai duduk di depan laptop sambil mengetik beberapa
tulisan yang ada dihadapannya. Beberapa lembar kertas berserakan di meja dan
itu membuatnya tampak sangat sibuk. Sepertinya tak ada jeda untuk dia melakukan
aktivitas lain. Dia menjeda kegiatannya tatkala azan Isya berkumandang dari
masjid dekat rumah baru kami. Masjid Al Mustofa namanya. Kali ini dia memilih
untuk shalat Isya dirumah ketimbang di masjid. Alasannya kalau di masjid,
selesai shalat tidak bisa langsung pulang karena bapak-bapak disana sering mengajaknya
berbincang-bincang terlebih dahulu. Kalau itu sampai terjadi, maka malam ini
dia harus ekstra lembur karena banyak sekali ketikan yang yang harus
diselesaikan.
Selesai shalat
Isya, dia kembali lagi bergelut dengan laptopnya di ruang tamu. Aku mencoba
memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil membawakan segelas wedang jahe
untuknya agar tidak masuk angin, karena malam ini ia harus lembur.
”Ngetik apa sih
Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk sekali?” Tanyaku sambil memanggilnya
dengan sebutan ’Mas’. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku
memanggilnya dengan sebutan ’Mas’. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya
seperti itu.
Mendengar
pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal. Wajahnya tak tampak seguratpun
senyuman. Mungkin karena dia yang sudah sibuk, ditambah lagi dengan
pertanyaanku yang sebenarnya tidak Bisa membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah
kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari
laptop.
”Ngetik soal
buat UTS besok” Jawabnya singkat.
”Memang sebanyak
itu?” Tanyaku lagi.
Dia hanya
mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak pergi dari hadapannya.
”Jangan tidur
terlalu malam ya? Khawatir besoknya kurang fit malah tidak bisa ngajar. Wedang
jahenya jangan lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku tidur duluan ya?”
Ucapku sebelum beranjak pergi ke kamar.
Lagi-lagi dia
hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa kasihan padanya. Ketika aku hendak
membuka pintu kamar, dia bersuara.
”Terima kasih
ya? Dinda” Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun menoleh padanya
dan memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan kembali lagi mengetik.
Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia. Entah mengapa mendengar dia memanggil
namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan sayang untukku. Dinda. Ya,
nama itu seolah menjelma menjadi panggilan, ’Dindaku sayang’.
Ah, andai saja
itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan kehidupan
baruku. Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah sangat
senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.
”Terima kasih
ya? Dinda” Suaranya terus menggema di telingaku, sampai aku memejamkan mata.
* * *
--NEXT-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar