Karya :
Asma Nadia
“Hari Pertama Memandangmu”
“Ketika membuka mata saya melihat suster berlalu lalang
dalam pakaian hijau dan masker. Tidak berapa lama terdengar suara kelegaan.”
17 Juli 1996
Setahun setelah pernikahan, hingga hari ini, saya merasa momen
di mana saya dipertemukan dengan lelaki yang sekarang menjadi suami, adalah hal
terbaik yang pernah terjadi pada saya.
24 jam kemudian saya tahu saya salah.
RS. Haji 18 Juli 1996
Berjam-jam di rumah sakit. Konstraksi terus menerus. Diinduksi
sudah, dimasukkan sejenis obat untuk merangsang pembukaan juga sudah. Tapi
situasi tidak berubah. Pembukaan satu dan tidak maju-maju.
Tubuh saya lelah, keringat saya mengucur. Posisi tubuh jadi
serba salah. Duduk sakit.Berbaring ke kanan atau ke kiri terasa sakit. Setelah 24
jam saya tidak sanggup makan apa-apa lagi.
Padahal saya masuk ke rumah sakit dalam keadaan bugar dan
bisa berjalan gagah. Tidak ada mu las-mulas karena konstraksi sebelum dipancing
obat. Dokter mengatakan rahim saya sudah tua dan karenanya harus segera dirawat
dan diinduksi.
Pukul 14.00 siang.
Bercak-bercak darah, lebih banyak dari biasa.
Pukul 14.15 siang, ketuban pecah.
Suster berlari memanggil dokter, yang ternyata sedang dalam
perjalanan kembali ke rumahnya. Kami menunggu cemas.
Ketika dokter datang, ruang operasi segera disiapkan. Saya
nyaris tak bisa bersuara. Hanya mengangguk. Apa saja, pikir saya... setelah keletihan
30 jam ini, rasanya saya siap menghadapi tindakan apa pun.
Tepat pukul 15.00
Seperti berada dalam perahu yang terayun-ay un dengan pelan.
Saya dengan dokter berbicara. Ketika membuka mata saya melihat suster berlalu
la lang dalam pakaian hijau dan masker. Tidak berapa lama terdengar suara
kelegaan.
“Bayinya sudah keluar... kasih lihat ibunya.”
Saya seperti diloncatkan dari kesadaran yang minim. Bayi...
bayi saya?
“Apa semuanya lengkap, Dok? Jari-jarinya? Tubuhnya?”
Saya tahu setiap anak adalah anugerah luar biasa dari
Yang Maha. Saya tahu seorang ibu harus menerima apapun kondisi bayinya, dan
tetap bersyukur terhadap anugrah yang diberikan.
Dan dengan sepenuh hati saya mengagumi potret para ibu
yang dikaruniai anak-anak 'istimewa' namun sanggup menerimanya dengan
keikhlasan, ya ng dibuktikan dengan kegigihan membesarkan anak mereka.
Sekalipun menderita hdyrocephallus.
Sekalipun memiliki cacat fisik.
Sekalipun mengalami down syndrorne.
Ahh, sementara saya... apa saya akan siap?
Saya kira, dibandingkan para ibu yang saya kagumi itu, keimanan
saya mungkin berada jauh di anak tangga paling rendah. Buktinya pertanyaan
itulah yang pertama terloncat dari mulut saya.
Syukurlah kondisi ananda baik.
Seorang suster menggendong satu sosok mungil setengah telanjang,
hanya dibalut kain bedong seadanya dan menyodorkannya agar saya bisa melihat
lebih jelas.
Putih kemerahjambuan, montok. Matanya yang terpejam
terlihat sipit. Bibir mungilnya berbentuk segitiga sempurna. Seorang bayi
perempuan!
Subhanallah...
Sulit bagi saya melukiskan perasaan, tapi setiap Ibu akan
mengerti.
Hari pertama menjadi ibu.
Hari pertama ketika menerima hadiah terbaik yang Allah limpahkan
kepada setiap perempuan. Karunia yang di kemudian hari menjadi sumber kekuatan
bagi setiap istri ketika merasa begitu lemah dan linglung mencari pegangan.
Sumber dari semua keceriaan, di saat hati diam-diam menangis.
Jadi, sungguh saya tidak mengerti bagaimana bisa seorang
perempuan menolak kodratnya menjadi seorang ibu, dan menolak anugerah yang
diberikan Tuhan?
“Perempuan Istimewa di Hati Abah Agil”
“Ibu talalu barsi dan ikhlas untuk beta. Jadi Aba seng bisa
ganti dengan orang lain. “ (“Ibu terlalu bersih (menjaga kehormatannya) dan
ikhlas untuk saya, Saya tidak mungkin menggantikannya dengan orang lain. Nak.”)
(Aba Agil, di ruang tengah rumah kami)
Sudah cukup
lama saya pesimis dengan kesetiaan laki-laki.
Sebagian besar kisah yang saya tuangkan di sini rasanya
cukup memberikan gambaran bagi sa ya, betapa tipisnya kesetiaan lelaki zaman
sekarang. Kadang saya berpikir, lagi-lagi dengan pesimis, berapa lamakah waktu
yang diperlukan lelaki untuk siap menikah lagi, setelah istri mereka berpulang?
Ini mungkin lahir dari sentimentil saya. Sebab saya tahu,
dalam agama, bahkan dibenarkan bagi lelaki untuk menikah lagi ketika istri masih
hidup (poligami), apalagi jika istri sudah tidak ada? Sama sekali tidak
diperlukan batasan waktu untuk itu.
Barangkali karena saya perempuan yang besar dengan kisah-kisah
cinta dunia yang abadi. Taj Mahal, Romeo dan Juliet, dan banyak lagi, hingga
merasa secara pribadi penting menyoalkan hal ini.
Hingga suatu hari, saya kedatangan seorang pengarang muslimah
yang saya kagumi semangat dan kejujuran tulisannya. Ida Azuz, muslimah asli
Ambon ini mengomentari pernikahan kedua seorang ustadz terkenal yang ketika itu
menjadi berita yang mengguncang banyak pihak.
“Yang jelas, pernikahan beliau membuat saya makin bangga
dengan ayah saya, Mbak Asma.”
Ida Azuz lalu menceritakan sosok Aba Agil, ayahnya... dan
kisah cinta yang terus ingin dikenang lelaki itu hingga maut datang. Begitu menyentuh
hingga saya memintanya untuk membagi kisah tersebut, sambil berharap semoga kisah
terakhir ini menjadi catatan akhir yang indah, di hati sesama istri.
Gelegar suara Aba Agil pada saya ketika sarapan pagi membuat
saya mengerut ketakutan. Memang hanya dua kata yang dikeluarkannya, tetapi saya
benar-benar takluk. Saya benar-benar tidak berdaya dibuatnya. Saya ketakutan. Saya
benar-benar tidak siap dengan reaksi keras atas permintaan yang saya sampaikan
dengan penuh ketulusan.
Padahal untuk menyampaikan permintaan itu, saya menyusun
kata-kata sejak semalam agar tidak menyinggung perasaan Aba.Tetapi gelegar
suara itu belum cukup, dengan satu gerakan cepat, Aba langsung meninggalkan
meja makan, masuk ke kamar dan menguncinya dengan suara yang keras.
Seumur-umur saya baru sekali ini melihat Aba marah demikian
keras. Apalagi kami masih berada dalam suasana duka karena Ibu berpulang baru
dua bulan yang lalu.
Kemarahan yang keras di meja makan kemudian meninggalkan
meja makan dalam kultur kami merupakan hal yang sangat jarang kami lakukan.
Jika itu terjadi, pertanda kemarahan telah menghampiri batas-batasnya.
Dan itu saya dapatkan dari Aba Agil di pagi hari. Terus terang
saya tidak siap.
Aba lalu mengunci diri di kamar. Dengan perasaan takut,
saya menunggu Aba untuk makan siang. Sejam dua jam berlalu, Aba tidak mau keluar
dari kamar. Kali ini Aba betul-betul marah pada saya. Padahal yang saya sampaikan
itu menurut pandangan kami, anak-anak Aba, adalah untuk kebaikan Aba juga.
Apa yang saya sampaikan sebetulnya atas usul ustadz Agung
Wirawan setelah mengetahui bahwa Aba masih dirundung sedih karena ditinggal Ibu
dua bulan yang lalu.
Ustadz Agung mengatakan pada saya, sebaiknya kami membicarakan
secara baik-baik pada Aba, untuk mencari pengganti Ibu di sisi Aba.
Ini sebetulnya awal kemarahannya itu pada saya. Dua bulan
setelah ibu berpulang, saya melihat Aba seperti kehilangan semangat hidup. Kerap
Aba duduk di teras rumah memandang jauh, dan dengan gerakan yang samar, mengelap
matanya yang mulai berair. Saya juga sering mendapati Aba selesai shalat malam,
duduk berdoa sambil menangis. Ah, di manakah semua ketabahan dan ketegaran yang
Aba miliki itu?
Kami, anak-anaknya, berupaya keras bergantian menghibur
Aba dari duka yang mendalam itu. Saya memahami kedukaannya itu dengan baik.
Saya menyadari dengan sepenuhnya bahwa ketika Ibu berada pada saat-saat kritis
dalam hidupnya, ketika Ibu berdiri di ujung lekukan kehidupan dunianya, Aba,
lelaki yang membuat Ibu semakin paham agama itu, justru tidak sempat membisikkan
kalimat-kalimat pe ngantar untuk berpulang keharibaan Allah. Ketidakhadiran Aba
di samping ibu pada saat saat terakhirnya ternyata membuat Aba terpukul.
Saya masih ingat, sehari sesudah Ibu kami tidurkan di tanah
merah berliat Sudiang (Lokasi pemakaman di Makassar), Aba baru tiba dari Ambon.
Saya menjemputnya di pelabuhan kapal, karena tidak mungkin menggunakan pesawat
secara bebas dalam suasana konflik di Ambon.
Saya dan Aba bertemu pandang di pelabuhan, kami tidak berkata-kata,
saya hanya menggelengkan kepala. Saya ingin mengirim isyarat bahwa perempuan
yang kami cintai telah berpulang. Lidah saya kelu untuk mengucapkan kata-kata kepulangan
itu. Terlalu sakit bagi saya. Sesaat kami bersitatap, Aba memeluk saya
erat-erat, lalu saya mendengar nafas Aba yang berat. Ada yang basah di bahu saya.
Dua bulan telah berlalu. Saya masih menangkap kelabu di
mata Aba. Aba lebih suka menyendiri atau tidur menghadap dinding. Sebagai anak,
saya tahu, mata aba pastilah sudah basah. Kesedihan Aba tetap menggantung di matanya.
Lalu saya bertemu dengan ustadz Agung Wirawan yang kenal baik dengan keluarga
kami. Ustadz Agung menanyakan kabar Aba. Dan saya menyampaikan kalau Aba masih
berat ditinggalkan Ibu. Dan meluncurlah usulan untuk mencarikan pengganti Ibu
bagi Aba. Kata ustadz Agung, memang anak bisa merawat Aba dengan baik, tetapi
beda dengan kehadiran seorang istri di samping.
Ini bukan saja berkaitan dengan persoalan fisik, tetapi secara
mental, Aba butuh pendamping. Urai ustadz Agung.
Meskipun saya anak tertua, tetapi untuk hal-hal begini, saya
perlu berunding dengan adik-adik saya. Kami sepakat untuk mencarikan pengganti
Ibu. Tiba-tiba ada kesedihan yang menyergap kami saat berunding. Kami sedih
sekali ketika menyadari ada orang lain yang akan mengantikan posisi ibu.
Fidaan, si bungsu, mengatakan tidak mungkin orang lain bisa menempati tempat
Ibu di hati kami. Tetapi untuk menemani Aba, apa boleh buat,kami harus mencari orang
lain.
Berempat, kami memikirkan siapa kira-kira yang akan kami
usulkan untuk Aba. Kami berprinsip bahwa kami harus mendapatkan orang yang
mengetahui latar belakang keluarga kami, yang betul-betul dapat menghormati Ibu
yang sudah pulang, juga dapat membuat kami hormat padanya. Dalam pikiran kami,
kehadiran seorang pengganti Ibu, bukan sekedar untuk menemani Aba semata,
tetapi mestilah dapat merangkum kami semua dengan kasih sayang yang tulus.
Karena begitu orang lain menjadi ibu kami, kami harus menaruh hormat padanya
layaknya anak pada seorang ibu. Kami ingin menghormatinya tidak sekedar sebagai
istri Aba, tetapi dia adalah juga ibu bagi kami. Itu yang ada dalam dalam curah
pendapat antara kami, anak-anak Aba. Maka ketika kami telah sepakat untuk siap
memiliki ibu baru, pembicaraan kemudian meloncat pada ftgure siapakah yang
kiranya cocok dengan Aba dan kami semua, setelah timbang sana, timbang sini, kami
telah mendapatkan satu ftgure untuk Aba.
Masalah baru muncul seketika, siapa yang akan menyampaikan
usulan ini pada Aba.
Semua mata tertuju pada saya. “Ca ida kan yang tertua, jadi
ca Ida yang musti bilang par An-tua.” (“Ca Ida kan anak tertua, jadi Ca ida
yang harus menyampaikannya ke beliau.”)
Saya tersudut, saya tahu kami semua takut menyampaikan
hal ini pada Aba.Kami tidak mau berspekulasi. Semua adik-adik saya menghindar.
Mereka memiliki alasan yang kuat dan tidak dapat dibantah, yakni kedudukan saya
selaku anak tertualah yang harus bertanggung jawab. Apalagi saya yang pertama
membuka pembicaraan ini.
Kata sepakat telah kami ambil. Saya akan menyampaikan
usulan sekaligus dengan figure calon ibu bagi kami. Saya memilih waktu sarapan
pagi untuk menyampaikan usulan kami. Dan ketika dengan suara terbata-bata, karena
gugup menghadapi Aba, saya memulainya dengan menceritakan saat-saat bahagia
kami bersama Ibu. Saya melihat Aba tersenyum, saya menangkap Aba mulai gembira.
Ahai... ini entry yang bagus untuk memulainya.
Dengan mengucapkan bismillahirramanirrahim dalam hati,
saya melompat ke pembicaraan lain. Saya dengan suara yang rendah menyampaikan
bah wa kami anak-anak sayang sama Aba. Dan takut Aba sakit karena bersedih.
Kami juga takut kehilangan Aba. pokoknya kami ingin Aba senang.
Ahai saya menangkap cahaya kehidupan di matanya.Aba menghentikan makannya
sejenak, melihat ke mata saya, menyentuh lengan saya, “Beta sayang dong samua,
apalagi Ibu suseng ada lai.” (“Saya menyayangi kalian semua, terlebih lagi
ketika Ibu sudah berpulang.”)
Ah... saya tertegun mendengarnya.
Dengan satu helaan nafas panjang, saya menyampaikan bahwa
anak-anak meminta saya menyampaikan apa yang sudah kami rundingkan. Kami juga
akan menyiapkan mental untuk itu. “Mangkali katong musti cari Ibu lain par Aba,
supaya ada yang hibur Aba.” (“Mungkin sudah saatnya kami mencari pengganti Ibu
untuk Aba, biar ada yang menghibur Aba.”)
Ah, akhirnya keluar juga kata-kata yang berat membebani
hati saya.
Dalam hitungan detik, ketika kalimat itu sampai ditelinganya
dan difaharni dengan baik, saya mendapatkan reaksi yang keras. Aba langsung
berdiri di depan saya, dan dengan suara yang keras menembus gendang telinga
saya aba membentak saya. “Pakai Otak!” Saya memandangnya tidak percaya.
Bukankah itu simbol kemarahan yang tinggi?
Membentak di meja makan adalah hal yang tabu dalam kultur
kami. Aba telah melanggar kultur kami. Aba telah melanggar apa-apa yang
ditanamkan pada kami sejak kecil.
Sesaat saya melihat ke matanya, merah berkilat. Saya kemudian
menunduk takut dan pasrah. Dalam hitungan detik, Aba melangkah, melewati saya,
masuk kamar dan mengunci pintu dari dalam. Tamatlah saya.
Sehari semalam Aba tidak keluar kamar. Saya menunggu Aba
keluar dengan perasaan takut-takut. Pintu kamarnya sudah tidak terkunci. Saya
masuk mengajaknya makan malam. Tetapi saya hanya mendapati punggungnya. Aba tidur
menghadap dinding. Diam, membeku. Ketakutan dan penyesalan semakin membebani
kami. Saya menunggu di depan pintu kamarnya di ashar hari kedua sesudah Aba mendiamkan
kami. Bukan hanya mendiamkan, makanan yang saya berikanpun tidak disentuhnya.
Aba hanya memakan roti yang dibelinya sendiri. Saya bertekad untuk mengakhiri
kediaman Aba hari itu juga. Tidak bisa dibiarkan lagi. Saya sudah sampai pada
keputusan harus bertindak mengakhiri perang dingin ini.
Dalam menunggu itu, saya melihat Aba berdiri di pintu kamar,
saya melihat ke wajahnya, sudah tidak ada lagi kemarahan, yang tinggal adalah
kemuraman yang mendalam. Melihat Aba di depan pintu kamar, saya langsung lompat
memeluknya. “Aba, maaf beta juga, katong su seng pung Ibu, jang Aba Uang dari
katong. Kalau Aba bagini, katong musti pi mana” (“Aba, maafkan saya, kami semua
sudah tidak punya Ibu, janganlah Aba hilang dari kami. Jikalau Aba begini,
kemana kami harus pergi.”)
Saya merasakan tangan Aba yang besar melingkar di badan
saya. Aba mengeratkan dekapannya pada saya. Aba mengangkat wajah saya. Kami
bertatapan. Dengan suara pelan tetapi jelas terdengar oleh saya, “Dengar nak,
Ibu taiaiu bar si dan ikhlas untuk beta. Jadi Aba seng bisa ganti dengan orang
lain.” (“Ibu terlalu bersih (menjaga kehormatannya) dan ikhlas untuk saya. Saya
tidak mungkin menggantikannya dengan orang lain. Nak.”)
Bless... saya menyerah. Mata saya basah. Sebetulnya di sudut
hati saya, saya juga tidak menginginkan hal yang serupa.
Saya dan Aba lalu duduk di karpet sederhana kami. Aba menceritakan
pada saya bahwa Ibu dan Aba sejak lama “Su seng sama orang muda-muda” (“Tidak
seperti pasangan yang masih muda.”)
Bagi Aba, hubungan biologis tidak terlampau penting lagi.
Dalam perkawinan ada hal lain yang melebihi itu. Hati Ibu Ica terlalu bersih
dan ikhlas untuk Aba. Itu yang mengikat Aba. Apa yang bisa Aba balas untuk
semua kebaikan, keilhasan dan kebersihan hati Ibu Ica, menempatkan Ibu saja di
hati Aba. “Tidak ada yang melebihi Ibumu, Nak. Kalau Aba sendiri begini, ini
juga cara Aba tunjukkan sayang par Ibu sampai kapan pun.”
Saya mengangguk. Aba meraih saya, menyeka yang mengalir,
sesaat kemudian Aba mengatakan pada saya.
“Ida, katong tutup pembicaraan ini. Jangan pernah
berfikir untuk cari orang lain par Aba. Ibu Ica meskipun su seng ada, su cukup
par beta. Jangan ulangi lagi pembicaraan ini.” (“Ida, kita tutup pembicaraan ini.
Jangan pernah berfikir untuk mencari orang lain untuk Aba. Ibu Ica, meskipun
sudah berpulang, sudah cukup untuk saya. Jangan ulangi pembicaraan ini.”)
Aba meraih tangan saya, mengecup punggung tangan saya. Saya
tahu ini gerakan yang jarang Aba lakukan, mencium tangan saya adalah ungkapan
sayang yang mendalam dari Aba, meskipun saya anaknya. Aba memberikan saya senyum
kelegaan. Kami terdiam lama sekali, mungkin Aba juga seperti saya, mengenang
Ibu Ica yang telah pulang.
Ah. Saya memunguti kenangan ini, ketika kami berdebat keras
tentang poligami dalam kelas bahasa Inggris di lantai empat PPB UI. Aba meskipun
telah menyusul Ibu, tetapi masih menyisakan penghormatan kami padanya. Saya bangga
punya Aba Agil. Kebanggaan itu bertambah, justru ketika Aba Agil sudah tidak
bersama kami lagi, lelaki yang sebetulnya dengan status sosial yang dimilikinya
di Ambon, mampu beristri lagi, bahkan ketika Ibu masih hidup sekalipun...
Akhir Januari, 2007
(Ida Azuz & Asma Nadia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar