Penulis : Nurlaila Zahra
Di tengah pejam malamku, tiba-tiba aku
terbangun. Aku merasakan haus yang tak tertahankan. Akhirnya aku bangkit dari
tidurku dan melangkah keluar kamar. Betapa terkejutnya aku melihat suamiku
tengah tertidur di depan laptopnya. Kulirik jam dinding. Pukul sebelas malam.
Aku terenyuh melihatnya. Kuhampiri dia. Wajahnya begitu lelah terlihat. Wedang
jahe yang tadi aku buatkan untuknya juga sudah habis diminumnya. Aku juga
melihat ketikan di komputernya. Masih banyak yang belum ia selesaikan. Aku
bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?
Sejenak aku
berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk menghubungi Mas Bambang, temannya
Mas Yusuf di tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang soal-soal yang
tengah diselesaikannya sekarang. Mas Bambang itu mengajar pelajaran matematika.
Tapi, apa tidak terlalu malam untuk menghubunginya? Apa tidak mengganggunya?
Ah, ini kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak selesai malam
ini juga, maka besok tidak ada soal fisika yang bisa dikerjakan. Aku putuskan
untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel Mas Yusuf yang tergeletak di meja
dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil. Bismillah.
Sesaat lamanya
yang kudengar hanya nada sambung. Kuulangi lagi. Alhamdulillah diangkat.
”Ada apa Suf?
Malam-malam kok mengganggu saja” Ucap Mas Bambang dengan nada kesal. Terdengar
sekali suaranya yang baru saja terbangun dari tidurnya.
”Maaf Mas, saya
Dinda, istrinya Mas Yusuf” Tukasku agak pelan. Takut Mas Yusuf terbangun.
”Oh,
maaf...maaf. Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?” Tanya Mas
Bambang terdengar kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya
Yusuf, bukan Yusuf.
“Maaf ya Mas,
sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai UTS besok. Apa mata pelajaran Mas
Yusuf itu akan diujikan besok pagi, Mas ya?”
”Oh...iya.
Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama pelajaran Bahasa Indonesia.
Ada apa rupanya ya?” Tanya Mas Bambang ingin tahu.
”Tidak Mas,
tidak ada apa-apa. Ehm...setiap soal pelajaran itu mendapat jatah berapa nomor
ya Mas?”
”Setiap soal
pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor, kecuali matematika, hanya 40 nomor”
Jelas Mas Bambang singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal yang
diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23 nomor. Jumlah yang
cukup besar bila harus diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu terus
berputar dan malam semakin larut menjelang.
”Ya sudah Mas,
terima kasih kalau begitu. Maaf ya mengganggu malam-malam” Ucapku masih dengan
pelan.
”Ya...ya, tidak
apa-apa” Sahut Mas Bambang.
”Makasih sekali
lagi Mas, ya. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam”
Jawabnya menutup pembicaran.
Aku langsung
bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku. Kubaca dengan seksama konsep soal-soal
fisika yang ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai mengetiknya dengan
melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku membacanya dan mengetiknya. Agak
sulit juga rupanya karena banyak istilah-istilah fisika yang masih sangat asing
bagiku. Namun karena niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus benar-benar
berusaha untuk menyelesaikan soal-soal ini.
Waktu terus
bergulir hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam lewat lima belas
detik. Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang dan kurasa
benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam flash disk, lalu kuprint semuanya di
komputerku yang ada di di dalam kamar. Alhamdulillah wa syukurillah, lima
lembar soal dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman dengan ukuran 12
font, telah selesai aku ketik. Lega rasanya hati ini karena akhirnya soal-soal
ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Kuletakkan lima
lembar soal itu di atas meja. Kubereskan semua kertas-kertas yang ada disana
dan kumatikan laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat melaksanakan shalat
tahajud. Sebelum kuberanjak ke kamar mandi, kusempatkan mataku menatap wajah
Mas Yusuf. Begitu bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan
pancaran cinta yang dia berikan untukku. Oh, ingin sekali rasanya aku menyentuh
wajahnya, membelai rambutnya, dan...mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin
sekali menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan ciuman hangat
darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja niatku untuk menciumnya diam-diam. Aku tak
ingin menciumnya karena terpaksa. Biarlah. Jika memang seumur hidup aku tidak
akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan berusaha untuk ikhlas. Hanya
dengan keikhlasan dan kesabaran, aku akan menjalani hidup ini.
Ku langkahkan
kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
*
* *
“Dinda,
apa semua ini kamu yang mengerjakan?” Tanya Mas Yusuf ketika dia baru saja
terbangun dari tidurnya. Aku melongok keruang tamu dari balik dinding dapur dan
balik bertanya padanya seolah-olah tidak mengerti apa yang ditanyakannya.
”Mengerjakan
apa?”
”Soal-soal UTS
ini?” Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil membaca dengan
seksama kertas-kertas soal yang dimaksud.
”Oh! Iya, itu
aku yang mengerjakan. Kenapa, ada yang salah?”
Mas Yusuf
terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja bertemu
ketika membaca soal-soal itu.
”Ehm....Tidak,
tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada beberapa kata yang salah
penulisannya” Jawabnya sambil memandang kearahku kemudian menunduk lagi
memeriksa soal-soal itu.
”Syukurlah kalau
begitu” Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi goreng dan telur
dadar. Aku kembali berkata pada Mas Yusuf.
”Hari semakin
siang, Mas. Kau belum shalat Subuh” Ucapku lagi pada Mas Yusuf. Sekedar
mengingatkan kalau dia memang belum shalat Subuh.
”Astaghfirullahal’adzim”
Ucapnya terdengar di telingaku. Tak lama kemudian dia bergegas masuk ke kamar
mandi tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan terburu-buru.
Nasi goreng yang
kubuat sudah matang. Kuangkat dan kusajikan menjadi dua piring. Telur dadarnya
pun senantiasa menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja makan. Dari kamar
mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa kalau dia tidak
membawa handuk. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk mengambil air wudhu.
Tapi karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian saja dia mandi. Tanpa
ingat kalau dia lupa membawa handuk.
Setelah
meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil handuk
dan menyerahkannya pada MasYusuf.
”Mas, ini
handuknya!” Ucapku dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintunya.
Tak lama dia
membuka sedikit pintu kamar mandi dan mengulurkan tangannya seraya mengambil
handuk yang aku berikan padanya.
”Terima kasih”
Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku kembali lagi
ke meja makan dan menatanya dengan rapi. Setelah kurasa beres semua, aku
beranjak ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia kenakan
untuk berangkat mengajar. Kemudian aku merapikan diriku untuk segera
bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah keluar
dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Aku
sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian dia keluar
kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
”Sudah shalat
Mas?” Tanyaku ketika dia baru saja keluar dari kamar.
Dia hanya
mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di sebelahku. Di hadapannya
sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan ketimun serta
tomatnya yang kuiris tipis-tipis. Di sebelah nasi gorengnya sudah aku siapkan
segelas teh manis hangat untuk menghangatkan perutnya.
Dia melahapnya
dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya makan. Tak ada
perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan. Entahlah. Mungkin sampai
detik ini, perasaannya terhadapku belum berubah. Masih dingin dan acuh. Padahal
sebenarnya, aku ingin sekali mendengarkan dia berucap sepatah kata saja padaku.
Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar dia memanggil namaku seperti
semalam. Rasanya indah sekali.
Jam dinding
sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit. Mas Yusuf menyudahi
makannya dengan menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah itu dia beranjak
mengambil sepatunya dan memakainya di ruang tamu. Semua kertas soal yang aku
ketik semalam sudah dia masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya dirasa cukup
dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa tasnya.
Aku mengiringi
langkahnya dari belakang. Setelah di depan pintu dia berbalik kearahku. Aku
mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan
biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
”Hati-hati di
jalan ya? Jangan ngebut” Pesanku sebelum dia berangkat.
Lagi-lagi dia
hanya mengangguk pelan tanpa menyahut sedikitpun. Dia melangkah kearah motornya
sambil mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya dan berbalik menghampiriku.
”Ada apa lagi?
Ada yang tertinggal?” Tanyaku dengan penuh kebingungan.
Dia menggeleng
kemudian bersuara, ”Tidak ada yang tertinggal namun ada yang terlupa...”
Jawabnya membuat aku tambah bingung.
”Apa yang
terlupa? Biar aku ambilkan” Ucapku.
”Tidak usah kau
ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan terima kasih padamu atas bantuanmu
menyelesaikan soal-soal UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin pagi
ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian sambil di
kejar-kejar waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu malammu untuk
menyelesaikan pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas” Ucapnya panjang
lebar membuat aku terhenyak.
”Tidak perlu
seperti itu. Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang istri untuk
membantu suaminya” Sahutku menimpalinya.
Dia mengangguk
pelan dan kembali berkata, ”Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam”
Dia pun menaiki
motornya dan sejurus kemudian dia menyusuri jalanan dan menghilang dari
pandanganku. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu yang
menetes di kedalaman hatiku yang kemudian membuatnya menjadi segar kembali.
Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam
pada sosok suamiku. Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku bersamanya.
Aku pun masuk
kedalam dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
*
* *
--NEXT-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar