Penulis : Nurlaila Zahra
Sampai
dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera
mandi dan langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa yang
hendak pergi ke masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama
menyuruhku ini dan itu.
Selepas mandi dan
shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang menurutku aneh.
”Din, coba kamu pakai
ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus deh!” Pintanya sambil
mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.
”Untuk apa sih Ma? Ini
kan hanya acara silaturahim saja kan? Nggak usahlah pakai baju yang berlebihan.
Kayak mau pergi saja” Tolakku tanpa mau mengindahkan permintaan Mama.
Kuperhatikan ghamis biru tua itu yang menurutku lebih cocok dipakai keacara
walimahan.
”Eh, malam ini kamu
harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan marah
sama kamu. Dipakai ya?” Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya Bisa termenung
sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa sih yang
sebenarnya diinginkan Mama dariku? Sehingga aku harus mengenakan ghamis itu.
Kuturuti saja
permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua kedatangan
keluarga Bu Rahayu malam ini.
Pukul tujuh malam
kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku heran, apa mereka sudah
shalat Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Aku
tidak ikut menyambut mereka karena aku sedang sibuk membuatkan minum
dibelakang.
Hatiku tiba-tiba saja
berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf . Ya, dia datang malam ini. Jantungku
yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya. Kutarik nafas
dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama memanggil namaku.
”Dinda!! Kesini
sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu Rahayu!” Teriak Mama.
”Iya sebentar Ma!”
Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas melangkah
menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku dalam-dalam lalu
kuhembuskan.
Wajah yang pertama
kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh besar dengan
kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani mengalihkan pandanganku
pada Yusuf. Kuraih tangan Bu Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua tanganku
pada suaminya dan....Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji penampilanku.
”Wah!! Malam ini Dinda
cantik sekali. Cocoklah” Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah tanda
tanya besar dihatiku. Cocok?!
”Ah, Bu Rahayu bisa
saja. Terima kasih atas pujiannya” Sahutku sambil meminta diri. Aku ingat aku
sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja kedua
mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati ini. Kutarik
nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di belakang, aku
lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi siang Mama
beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan keluarga Bu
Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil membawa lima
cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu.
Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan
suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku,
kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan
suaminya.
Aku berbalik
kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih
padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang
dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba
saja merasuki jiwaku.
Aku kembali kebelakang
dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata. Kusuguhkan pada
mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku untuk tetap tinggal
diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan
jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok,
aku mendengar Pak Sardi bersuara.
”Ya, tujuan kami
datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga untuk
membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang
sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?”
”Ya ya, betul betul”
Sahut Papa.
”Saya yakin Bapak sama
Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini” Lanjut Pak Sardi.
”Saya hendak melamar
putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?”
”Prang!!” Sendok yang
tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut
mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu
dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku. Perlahan
aku mendengar jawaban Papa.
”Ya, kami sangat
senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami sebagai menantu.
Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan Ibu. Dengan
senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi langkah awal untuk
kebaikan kita bersama”
”Amin!” Jawab semuanya
serentak.
Dalam hati aku
bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu padaku dulu? Kenapa Papa
menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu denganku? Tapi,
biarpun Papa tidak menanyai hal itu kepadaku dulu juga, sebenarnya aku mau
menerimanya.
Oh, senangnya hatiku!!
Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak
menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja kukenal. Tapi,
bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu mengenalnya. Ah!
Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh
Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memnggil namaku.
”Dinda! Kesini
sebentar Nak!”
Aduh! Bagaimana ini?
Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau
tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.
”Iya Ma, sebentar”
Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku menunduk. Kuberanikan
diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon suamiku. Dia masih
menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.
”Kamu sudah mendengar
kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?” Tanya Mama sambil mengusap-usap
bahuku. Aku mengangguk pelan.
”Lalu bagaimana dengan
kamunya? Menerima tidak?” Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung kujawab
”Mau..mau!!” Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam sejenak sambil menatap
satu per satu wajah yang ada diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.
”Dengan segala
kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka
dengan menyebut nama Allah....” Kutarik nafasku perlahan.
”Aku menerimanya”
Lanjutku.
Lega rasanya hati ini.
Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya
dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk. Sesekali bibirnya
tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi sepertinya,
senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum
kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya, sama
seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa
gugupnya.
Aku tepis perasaan
itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku
hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama,
Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku sangat
bahagia malam ini.
*
* *
--NEXT-->
Jangan" Yusuf punya pilihan sendiri???
BalasHapusMenerima pertunangan hanya krn mau berbakti sm ortu.
Kasian donk Dinda.