Karya :
Asma Nadia
“Hal-hal Sederhana Yang Dirindukan”
“I'm a mother of two kids, and i'm proud of it!”
Apakah yang
paling dirindukan seorang perempuan ketika jauh dari tanah airnya?
Sandra Nicole Rolden, penulis dari Filipina iseng-iseng membuat
catatan lima hal yang paling dirindukannya sejak di Korea, sebagai berikut:
1. Kitty (her dog)
2. Her boyfriend
3. Her farnily and friends
4. Her kitchen
5. Surnmer time (kami tiba di akhir musim dingin)
Saat itu kami berada di sebuah coffee shop di depan Istana
Gyeongbokgung yang indah. Dari enam writers in residence hanya saya, Sandra,mas
Cecep dan Surachat Petchelela yang pagi itu memutuskan untuk menghabiskan waktu
di Seoul Collection, semacam klub bagi para foreigners di Korea, di mana mereka
bisa menonton film film korea setiap pekannya lengkap dengan teks berbahasa Inggris,
hanya dengan 3000 won (Rp. 30.000), sambil menikmati teh, kopi atau juice.
Sebuah cara yang nyaman untuk break dari aktivitas belajar
bahasa Korea (lima kali sepekan di Korea University) yang cukup melelahkan.
Ketika mendengar lima hal yang dirindukan Sandra, maka saya mencoba menganalisa
lagi, apa yang paling sa ya rindukan.
1. Caca dan Adam
2. Suami
3. Mami, HTR dan Ibu mertua
4. Kantor
5. Masakan Indonesia
Saya amati lagi list tersebut, dan merasa yakin... ya kelima
itulah yang paling saya rindukan. Jauh dari keluarga selama sebulan ini, ada
beberapa hal yang berubah pada rutinitas saya. Pertama pola hidup yang jelas
jauh lebih teratur, dan tidak seenaknya seperti di Jakarta. Sedikitnya ada tiga
kebiasaan jelek saya dulu: tidur menjelang pagi, bangun siang (habis subuh
tidur lagi) dan terakhir kerap lupa waktu makan.
Kebiasaan jelek pertama masih belum bisa diubah total dan
kadang sungguh menyiksa. Pernah saya sama sekali tidak bisa tidur dua malam
berturut-turut dan harus berusaha keras untuk fokus di kampus keesokan harinya.
Yang kedua, alhamdulillah jam berapa pun tidurnya, sempat
tidur atau tidak, saya 'hidup' lebih pagi. Dan yang ketiga, soal telat makan...
saya jaga benar-benar agar tidak terjadi. Hari kelima di Korea perut saya
sempat perih luar biasa gara-gara melewatkan makan siang. Ternyata jamuan makan
yang dijanjikan di 63 Building dalam Opening Ceremony, bukan makan siang
melainkan makan malam.
Saya benar-benar jeri, sebab dengan perut sakit hingga nyaris
pingsan, saya harus menempuh jalan cukup jauh ke subway station terdekat dalam
cuaca 2 derajat celcius pula!
Tapi perubahan besar lainnya terkait hal-hal yang saya rindukan.
Setelah jauh dari tanah air dan orang-orang yang saya cintai, saya jadi lebih
mampu menghargai momen-momen kecil, yang sebenarnya sejak dulu pun saya
nikmati. Tiba-tiba saya merasa belum cukup mensyukurinya. Apa saja?
Pertama, saya sangat bersyukur menjadi ibu. Dan kalimat
itulah yang dengan bangga saya sampaikan kepada teman-teman dari berbagai
negara, ketika cukup banyak yang menyembunyikan status seraya bercanda:
Petualangan itu perlu untuk proses kreatif, Asma! Apalagi bagi seorang penulis!
Tetapi saya tidak bisa melakukan itu. Menjadi ibu adalah hal
terbaik yang terjadi pada saya dan tidak ingin saya tutupi.
“Yes, I'm a mother of two kids, and i'm proud of it!”
Tapi saya harus memerinci syukur itu lagi, saya kira. Betapa
mengantarkan anak-anak tidur, adalah sebuah nikmat yang ternyata telah memberi
saya banyak kebahagiaan yang sanggup menghapus kesedihan, kekecewaan dan
hal-hal tidak enak yang saya lalui seharian.
Betapa saya bersyukur setiap pagi bisa terbangun dari tidur
dan menemukan anak-anak di sisi. Menemani Caca sarapan pagi hingga jemputan
sekolah datang, dan melepasnya pergi setelah mencium tangan saya.
Betapa saya bersyukur mendapatkan kecupan di kening setiap
pagi oleh Adam ketika dia berpamitan ke sekolah. Betapa saya bersyukur bisa
berada di sisi mereka ketika mereka ada masalah. Bahkan ketika keduanya bertengkar
dan mencari saya sebagai hakim.
Betapa saya bersyukur ada di dekat Caca, setiap kali dia sedih
dan berlari ke arah saya dengan tangan terkembang untuk sebuah pelukan.
Betapa saya bersyukur bisa mendengar kalimat: I love u, Bunda
(Caca), I love u, Mama (Adam), atau mendapatkan tatapan Adam yang memandang
dalam sebelum berkata: Bunda tahu nggak? Adam tuh cinta sekali sama Bunda!
Kalimat yang biasanya diikuti gerakan tangannya menarik leher
saya lembut agar mendekat kepadanya, untuk kemudian mengecup kening saya tepat
di tengah-tengah.
Betapa saya bersyukur bisa membaca lembar demi lembar
tulisan Caca yang dicoretnya di diary ibu dan anak yang kami miliki, di mana
hanya kami berdua yang memiliki akses untuk membacanya.
Betapa saya bersyukur bisa berada di sana, ketika Caca berkata:
Menurut Bunda, aku sebaiknya pakai baju apa ya hari ini?
Betapa saya bersyukur bisa bermain kartu tebak-tebakan bersama
mereka, bisa mendongeng (meski kadang di tengah kantuk),bisa berjalan sambil
menggandeng keduanya di sisi kiri dan kanan saya.
Begitu banyak hal yang harus saya syukuri. Juga suami
bertanggung jawab yang Allah kirimkan untuk saya.
Mami dengan 'kecerewetan' dan perhatian yang tak pernah
berkurang meski anak perempuannya ini sudah berusia kepala tiga. Ibu mertua yang
kerap membawa masakannya ke rumah, dan menjadi teman ngobrol di telepon. Juga
kakak baik hati yang Allah berikan untuk saya.
Kakak yang memberi saya hadiah acara ulang tahun saya di rumahnya
sebelum keberangkatan. Sahabat perempuan terbaik dan teman jalan-jalan yang
mengasyikkan.
Baru tiga pekan, sudah begitu banyak kerinduan. Tapi berada
jauh dari mereka untuk rentang enam bulan ini sungguh membuat saya menghargai
hal-hal kecil namun ternyata telah menjadi sumber dari banyak kebahagiaan.
Hal-hal sederhana yang kini terasa mewah.
Seoul, 10 April, 2006
“2 x 24 jam”
“Bagaimana perasaan seorang istri, jika menyadari bahwa
kebersamaan dengan lelaki yang dicintai mungkin akan berakhir, sebelum 2 k 24
jam?”
Seperti baru
kemarin, Nita Sundari, bagian keuangan kami, tergopoh-gopoh berpamitan dari
kantor, “Mbak Asma, Nita pamit dulu...” Ada nada panik pada suaranya ketika
melanjutkan, “Adik ipar Nita, suaminya Inge kecelakaan motor.”
Kebersamaan kami sejak awal mendirikan Penerbit Lingkar
Pena, cukup membuat saya mengenal sosok Nita Sundari dengan baik.Pribadi
bertanggung jawab yang tidak segan-segan melemburkan diri di kantor demi menyelesaikan
tugas-tugasnya. Situasi sang adik ipar mestilah mengkhawatirkan hingga Nita
sampai merasa perlu segera meninggalkan kantor.
Ujian di tahun kelima perkawinan
Saya tidak mengenal sosok Inge, adik Nita dengan baik. Hanya
satu dua kali pertemuan. Hingga peristiwa kecelakaan motor hari itu, yang
meninggalkan catatan mendalam di hati saya.
Usia perkawinan Inge dan Taufik Rahman baru menginjak
tahun ke lima ketika peristiwa pahit itu terjadi. Lelaki yang sehari-hari bekerja
sebagai karyawan di LSM UI Depok itu ditemukan orang tergeletak dalam keadaan luka
parah di jalan menurun se telah Universitas Indonesia.
Sampai saat ini tidak ada kejelasan bagaimanakah peristiwa
sebenarnya. Apakah Taufik terjatuh mengingat memang ada lubang besar tidak jauh
dari motornya ditemukan, ataukah lelaki itu merupakan korban tabrak lari?
Kondisinya masih sadar ketika orang-orang membawanya ke
RS. Tugu, kemudian dirujuk ke RS UKI. Masih bisa mengatakan lapar, atau protes
ketika pakaiannya hendak dibuka di UGD.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Inge, ibu
dari tiga orang anak, ketika kemudian dokter datang, dan memberinya dua
pilihan; Taufik harus segera dioperasi, sekalipun peluang berhasil tidak besar.
Pendarahan di otak terlalu parah, ada kemungkinan setelah
operasi dilakukan, kalaupun selamat maka akan menimbulkan cacat mental, dalam
pengertian suami Inge nanti akan berbicara dan bersikap tak ubahnya anak-anak.
Tetapi jika tidak dioperasi maka Inge dan anak anak tinggal
menunggu waktu, hanya bisa pasrah menyaksikan lelaki terkasih itu berpulang.
“Operasi...''
Keputusan itu akhirnya keluar dari bibir Inge.
Saya kira istri mana pun akan berjuang dan memberikan yang
terbaik demi pendamping hidup mereka. Apalagi hubungan keduanya sangat harmonis.
Inge dan Taufik telah saling melengkapi selama bertahun-tahun, nyaris tanpa pertengkaran.
Operasi dilakukan di tempat. Melihat keadaan Taufik, dokter
tidak berani memindahkannya dari UG D dan membawanya ke ruang operasi.Semua
benar-benar berpacu dengan waktu.
Masa-masa kritis itu...
Setelah selesai operasi, dokter memanggil pihak keluarga,
dan bicara pada sepupu keluarga yang me wakili. Tidak berapa lama setelah sepupu
mereka menyampaikan hasil kesimpulan dokter, Inge langsung pingsan, diikuti ibu
mertua dan terakhir Ibu Inge ikut pingsan.
Kondisi pasca operasi Taufik terbilang sangat buruk.
“Kita lihat dalam 2 x 24 jam.”
Jika lelaki itu bisa melewati masa kritisnya, maka kemungkinan
besar Taufik akan selamat. Jika tidak, maka 2x 24 jam itulah sisa waktu yang
dimiliki Inge bersama lelaki yang dicintainya.
Hhh... saya tidak kuat membayangkan jika harus berada di
posisi Inge saat itu. Terlebih mengingat tiga buah hati mereka, Jihan yang
masih berusia tiga tahun,Salsabila yang baru dua tahun dan si bungsu Hamzah
yang baru berusia dua bulan, ketiganya masih sangat kecil.
Alhamdulillah 1 x 24 jam pertama terlewati.
Seluruh keluarga menyusun tangan ke atas, terus memanjatkan
doa untuk Taufik. Lelaki yang selama ini meski tidak banyak bicara tetapi punya
banyak sekali teman. Lelaki sederhana yang kerap menun da-nunda mengganti
kacamata, meski sebelah kacanya sudah pecah, untuk keperluan-keperluan
keluarga, yang menurutnya lebih penting. Lelaki yang kerap diprotes
ipar-iparnya karena dianggap terlalu memanjakan anak-anak.
“Masa sih Mbak... misal anaknya habis pipis. Dia mau tuh
turun bantu si kecil bersih-bersih. Terus setiap kali anaknya bilang airnya dingin
dan minta air hangat. Buat kita kan repot... apalagi sudah di kamar mandi. Tapi
Taufik tuh sabar bukan main. Di-turutin aja meski harus bolak balik ke dapur.”
Begitu sekelumit cerita Nita, yang cukup menggambarkan
sosok lelaki itu sebagai bapak yang spesial dan amat dekat dengan anak-anaknya.
Cerita-cerita Nita membuat saya diam-diam ikut menunggu perkembangan kondisi
lelaki itu. Meski tentu tidak bisa mengalahkan debaran di hati Inge saat detik
demi detik bergulir. Akankah sang suami tercinta bertahan dan melewati masa kritisnya
yang 24 jam lagi?
Waktu terasa berjalan selambat butiran air yang jatuh satu-satu
dari ketinggian, ketika akhirnya telepon berdering.
Pihak rumah sakit mengabarkan kondisi Taufik yang semakin
memburuk. Ketika keluarga datang, tampak alat perekam dan pompa jantung yang
sudah dipasangkan. Dokter kembali memberi dua kemungkinan. Jika kondisi
membaik, maka tindakan akan dilanjutkan. Jika sebaliknya, maka alat medis tersebut
akan dilepas, “Sebab itu berarti tubuhnya tidak kuat, bu.” Inge terlihat tabah
menerima keterangan dokter. Sejak tiba, menurut Nita, adiknya terus mengaji.
Surat yang dilantunkan adalah kesukaan Taufik, surat Ar- Rahman. Fabi ayyi alaa i rabbikurnaa tukadzdzibaan... Maka nikmat Aliah manakah yang kamu ingkari?
Mendengar dan menyaksikan betapa tenangnya Inge membacakan
ayat satu demi satu, seluruh keluarga nyaris tak bisa menahan tangis. Tidak
juga sepupu mereka yang seorang polwan. Sikap Inge yang bahkan masih bisa tersenyum
dan menenangkan ya ng lain semakin membuat yang hadir bertambah-tambah sedih.
Dan tepat, ketika ayat terakhir dari surat Ar Rahman dibacakan, Taufik mengembuskan
napas terakhirnya, seiring tanda garis mendatar pada alat perekam jantung yang
dipasangkan. Allah!
2 x 24 jam.
Ternyata memang sesingkat itulah kebersamaan mereka dengan
Taufik; suami, ayah, anak, menantu, dan ipar yang dicintai. Tangis keluarga
pecah, satu persatu mendekati Inge. Perempuan berkacamata itu sebaliknya masih terlihat
tenang, malah menabahkan sanak keluarga yang menangis saat merengkuhnya. Memberi
mereka kalimat-kalimat yang meneduhkan. Meminta mereka semua untuk sabar.
Mata saya tak urung berkaca mendengar cerita Nita, sambil
membatin. Betapa tabahnya Inge. Betapa tawakalnya dia. Betapa hebat perempuan
muda itu mengemas air matanya!
Sampai saat ini, tiga tahun sejak peristiwa itu, Inge
masih terus menyimpan kenangan tentang almarhum Taufik dengan baik dan rapi.
Kerap kali lontaran kenangan muncul dalam percakapan Inge dengan keluarganya.
Meski mereka berusaha tidak lagi menyinggung-nyinggung tentang lelaki itu.
“Pernah Nita cerita, Mbak. Kepala Nita pusing kayak vertigo.
Langsung aja Inge menyambar, 'Inge juga pernah begitu, sakit kepalanya. Terus
dipijitin sama Taufik sampai hilang sakitnya...' “
Atau ketika keluarga menyantap sate kambing, “Wah, ini
makanan kesukaan Taufik, nih!”
Terkadang kalimat serupa lahir dari Jihan, terutama saat mereka
ke Kebun Binatang atau saat me reka melewati lapangan bola, “Jihan pernah
diajak abi ke situ... terus main sama temannya abi.”
Kalimat yang diam-diam membuat air mata yang mendengar
terasa tertahan di pelupuk. Siapa yang menduga kenangan-kenangan terakhir dengan
ayahnya begitu melekat dalam ingatan si sulung? Padahal Nita bahkan tidak
terlalu yakin apakah Jihan mengerti arti kepergian ayahnya, ketika mereka semua
menjelaskan kepada Jihan bahwa mulai saat itu abi akan tidur di sana (sambil menunjuk
ke arah gundukan tanah).
“Tapi Inge tidak pernah menangis selama prosesi?” Nita
menggelengkan kepala.
“Selama tujuh hari saya dan Ika (adik Nita yang lain) menemani
Inge. Kalau bertemu kami pasang wajah biasa. Baru ketika pulang saya dan Ika
menangis, tidak kuat melihat sabarnya Inge...”
Hanya satu alasan yang mampu memberi kekuatan pada seorang
ibu, apa pun kondisinya: Anak-anak.
Nita mengiyakan.
Sepertinya memang itulah alasan kuat kenapa Inge berusaha
tegar menghadapi kepergian Taufik. Betapapun hatinya menangis, betapa pun
gamang karena sejak itu dia akan hidup dan membesarkan anak-anak tanpa ayah.
Tapi anak-anak masih kecil. Si bungsu malah masih menyusu.
Dan seorang ibu yang baik mengerti betul betapa pentingnya
ASI ba gi anak-anak, dan betapa mudahnya situasi batin ibu mempengaruhi
kelancaran keluarnya ASI.
Hhh... saya lagi-lagi hanya bisa menarik napas dalam.
Beberapa detik saya dan Nita hanya terdiam. Barangkali membayangkan
bagaimana jika hal serupa terjadi pada kami masing-masing. Akan kuatkah?
“Dan Inge tidak pernah menangis?” Nita, perempuan berkulit
hitam manis itu tidak langsung menjawab.Barangkali mengajak ingatannya kembali
ke hari-hari yang memilukan itu, “Hanya sekali, Mbak... sebulan setelah
meninggalnya Taufik. Ya... setelah sebulan, dan hanya sekali itu.”
Dalam kenangan cinta: 22 Februari 1974 -
Taufik Rahman 17 Maret 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar