Jumat, 15 Mei 2015

Catatan Hati Seorang Istri Bagian 8


Karya : Asma Nadia

 “Label Baru Seorang Istri”

“Tindakan mereka telah memberikan pelabelan baru yang tidak mengenakkan bagi istri pertama.”
Semua mata mengarah ke panggung utama. Termasuk saya yang saat itu duduk di barisan paling belakang. Tidak berapa lama muncul seorang muslimah cantik dengan atribut serba pink, dari jilbab hingga rok bertumpuk yang dikenakannya.
Muda, cantik dan berbakat. Itulah yang ada di kepala, hingga seorang perempuan yang duduk selisih dua kursi dari saya, mulai menunjuk-nunjuk muslimah yang sedang bernyanyi di depan kami,
“Eh, itu istri tuanya si anu kan?”
Komentarnya menyebut nama pelantun lagu islami yang sangat terkenal. Teman yang diajak bicara mengiyakan.
Saya sempat terganggu dengan komentar yang menurut saya bukan pada tempatnya. Terbayang perasaan muslimah berbusana pink itu, jika tahu dia bernyanyi, dan komentar yang tidak nyambung itu yang justru ditujukan padanya.
Tapi sedih saya bertarnbah-tarnbah, setelah saya pulang, dan menerima SMS dari seorang teman.
“Asma, tadi Pak Nurhan bilang ke saya sambil menunjuk mbak fulanah... 'Itu kan istri tuanya Pak Fulan.' Benar Pak Fulan poligami, ya?”
Istri tua... istri tua.
Saya yakin perempuan-perempuan yang dibicarakan ini memiliki hati yang lapang, terbukti dari kesiapan mental yang telah mereka tunjukkan ketika suami menikah lagi.
Dengan hati sekuat itu, saya kira mereka akan bijak menanggapi hal ini. Hanya saja saya tiba-tiba tercenung cukup lama, berpikir. Apakah para lelaki yang berpoligami, mereka yang beralasan menikah lagi dalam kerangka sunnah Nabi atau alasan mulia lain, pernah sekejap saja merenung bahwa tindakan mereka telah menggoreskan tidak hanya luka yang coba diobati oleh para perem puan, tetapi juga stempel baru yang tidak mengenakkan bagi istri pertama?
Perempuan yang menempuh banyak pengorbanan agar bisa bersama lelaki yang dulu mendatangi mereka dengan kalimat-kalimat penuh bunga. Perempuan yang menyertai mereka di awal perkawinan, ketika pekerjaan suami belum lagi mapan. Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan anak-anak dengan baik hingga menjadi sosok yang membanggakan. Perempuan yang telah menghabiskan kemudaan dan kecantikannya dalam bakti, cinta dan keikhlasan bertahun-tahun hingga suami mereka sampai pada posisi sekarang.
Katakan jika saya salah, tidak kah setelah semua yang mereka lakukan, seharusnya mereka dimuliakan?
“Tetapi dengan menikah lagi suami berusaha memuliakan istri tuanya, Asma... hingga mudah mendapatkan surga!”
Ya, ya... saya mencoba mengerti kalimat itu.
Tetapi apakah dimadu dan menjadi istri tua, merupakan jalan satu-satunya untuk mendekatkan perempuan (yang telah menghabiskan tahun-tahun dalam kepatuhan dan bakti itu) pada surga?
3 Maret 2007

“Sebab Aku Berhak Bahagia”

“Tepat ketika aku berjuang melawan rasa sakit karena melahirkan, aku sempat berpikir, barangkali sebaiknya aku mati saja. Dengan begitu, selesailah semua penderitaanku.”
Palu pun diketuk!
Hari ini selesailah sudah seluruh drama rumah tanggaku, di tempat yang paling muskil dan di hadapan orang-orang tak kukenal. Aneh memang! Sepuluh tahun itu, yang kumulai dengan tawa sukacita, pesta pora, dan berkumpulnya segenap keluarga, ku akhiri pada hari ini dengan banjir air mata, dalam kesepian yang mencekam dan memilukan antara aku dan ayahku, dan para hakim serta panitera. Inilah tempat yang muskil itu, tempat pertemuan terajaib di dunia bagi dua orang yang mengaku suami dan istri: Pengadilan Agama!
Maka perpisahan itupun dipertegas lagi, setelah hakim ketua mengetukkan palunya, menyatakan bahwa perceraian kami sah, kami aku dan 'bekas' suamiku berjalan keluar ruang sidang dan menuju arah yang berlainan. Pulang ke rumah masing-masing. Tak ada lagi saling menjemput dan mengingatkan waktu pulang. Tak ada lagi rumah yang menjadi tujuan bersama. Tak ada lagi suami dan istri. Yang ada hanyalah pribadi-pribadi. Dia dan aku. Tak ada lagi 'kami'.
Ya.... perpisahan itu nyata sudah. Statusku kini berubah sudah. Aku bukan lagi istri seseorang. Aku bukan milik siapa-siapa. Aku milik Allah dan.... kebebasan. Bahagiakah aku karena aku bebas? Tidak! Tak ada yang membahagiakan dari sebuah perceraian. Yang ada adalah rasa sedih karena semua ini harus terjadi, karena jalan ini harus kupilih, karena aku harus melakukan sesuatu yang meski halal tapi paling dibenci Allah, karena anak-anakku harus berpisah dengan ayah mereka. Ya! Ini adalah sebuah kerusakan. Tapi bahkan kerusakan sekalipun, ketika itu menjadi jalan satu-satunya cara untuk tetap hidup, menghindarkan diri dari kehancuran, untuk kemudian membangun hidup baru yang lebih baik, maka pilihan itupun harus diambil dan dilakukan. Selebihnya memperkuat kesabaran dan berlapang dada menerima segala cobaan.
Maka ketika aku melewatkan malam-malamku setelah itu dengan menangis, tangisku bukanlah tangis penyesalan dan kehilangan, apalagi ketakutan. Tidak! Tangisku adalah percampuran antara rasa sedih karena harus mengalami sebuah perceraian dan gembira karena akhirnya aku berhasil membuat keputusan teramat penting dalam hidupku. Aku berhasil membuat sebuah pilihan yang meski pahit dan menyakitkan tapi kutahu merupakan pilihan yang benar agar aku tetap hidup. Hidup yang bahagia. Sebab, aku berhak untuk berbahagia.
Kilas Balik
Sungguh tak pernah terpikir olehku, akan beginilah nasib pernikahan yang sepuluh tahun lalu ku-perjuangkan matimatian. Orang yang dulu kuyakini dapat bertanggung jawab atasku hingga aku rela meninggalkan rumah orang tuaku dan hidup bersamanya, ternyata suatu saat dapat menjadi orang yang paling tidak peduli padaku.
Betapa tipis batas antara suka dan tak suka, cinta dan tak cinta. Sikapnya yang semula baik, mulai berubah pada tahun kesekian pernikahan kami. Ia yang semula begitu kasihan melihatku bekerja keras, malah menjadi orang yang paling tega rnembiarkanku bekerja seharian dan kemudian menggunakan hasil kerjaku untuk kepentingannya; Membuka bisnis ini dan itu, yang tak satupun berhasil. Ia juga yang kemudian menjadi penganjur nomor satu agar aku tetap bekerja, sebab bila tidak maka rumah tangga kami akan limbung dan segala mimpi kami untuk dapat hidup berkecukupan akan hancur. Ia bahkan membiarkanku bekerja di daerah lain, memisahkanku dengan kedua anak kami.
Bahkan ketika anak ketiga kami lahir, dan aku ingin berhenti bekerja, ia tetap meyakinkanku bahwa sebaiknya aku tak berhenti bekerja. Ia bahkan lebih suka melihatku pindah ke daerah tempatku bekerja dengan membawa ketiga anak kami. Sementara ia tetap di daerah asal kami dengan alasan ia tak mungkin meninggalkan dinasnya.
Maka begitulah. Perkawinan kami kian aneh saja. Aku yang lebih banyak menafkahi keluarga. Di satu pihak, aku menyadari bahwa rumah tanggaku mulai timpang. Ada ketidakpuasan pada diriku dengan posisiku dalam rumah tangga. Ada yang salah. Aku iri melihat para istri yang berderet di depan ATM pada hari gajian suami-suami mereka. Aku iri melihat para ibu dengan tenang mengantar anak-anak mereka ke sekolah setelah melepas suami pergi bekerja. Aku iri melihat para ibu sibuk menyiapkan penganan sore hari untuk suami yang baru pulang bekerja, kemudian duduk bersantai di depan rumah se mbari memandangi dan sesekali mentertawai kelucuan perilaku anak-anak mereka yang bermain di ha laman. Sungguh gambaran yang jauh dari rumah tanggaku.
Di daerah asing, aku sendirian. Suamiku dengan tenang melepasku bekerja. Setiap pagi hatiku pilu meninggalkan anak-anakku di tangan pembantu rumah tanggaku. Melihat anak keduaku menangis dan anak ketiga yang belum mengerti apa-apa berada dalam gendongan pembantuku.
Sepulang bekerja, dalam keadaan lelah, aku masih harus mengajari si sulung pelajaran sekolahnya dan menunda waktu bersama si tengah dan si bungsu. Pedih hati ini karena begitu sedikit waktu untuk ketiga anakku. Tapi aku sendirian. Sungguh tak guna untuk terlalu banyak mengeluhkan keadaan.
Aku tak mungkin memprotes suamiku. Tentulah ia benar menyuruhku untuk terus bekerja dan melepasku pergi ke daerah lain. Tentulah ia punya alasan yang baik, bahwa semua ini untuk kebahagiaan kami. Maka aku terima. Bukankah aku ingin menjadi istri yang baik? Maka aku tak boleh berpikiran buruk tentang suamiku. Tak mungkin ia bermaksud jahat dan hanya rnemanfaatkanku saja. Bukankah ia suamiku dan ayah anakanakku?
Maka ketika pikiran buruk itu berbagai prasangka yang kutujukan pada suamiku karena membiarkanku bekerja bahkan ke daerah lain datang, segera saja kusingkirkan dari benakku. Suamiku adalah orang yang mencintaiku dan aku harus percaya padanya.
Ketika ia memintaku membeli mobil, tentunya karena ia ingin agar ketika kami berkumpul bersama, ia dapat membawa kami semua sekaligus. Atau ketika ia memintaku membeli tanah dan rumah atas namanya, tentunya ia berpikir bahwa menggunakan namanya akan jauh lebih aman. Sebab ia lelaki, katanya. Dan jauh lebih mudah mengurus semua surat jual beli sebab ia pegawai negeri.Tentu ia benar dengan semua itu. Atau ketika ia meminta modal dari-ku untuk berbisnis ini dan itu, tentulah ia ingin agar aku segera dapat berkumpul dengannya. Meski kemudian semuanya gagal karena ia tak pandai mengurusnya.
Maka selama hampir tujuh tahun kami menjalani kehidupan seperti itu. Terpisahkan oleh jarak. Beberapa kali aku mencoba menggali jalan pikiran suamiku tentang keadaan kami yang terpisah, tapi yang kudapatkan hanyalah ketidakpedulian tersamar. Suamiku selalu berkata, bahwa aku harus tetap bekerja demi masa depan keluarga kami. Setiap kali aku menanyakan kapan ia akan mengeluarkanku dari situasi seperti ini,ia selalu berkata bahwa aku harus realistis. Tanpa penghasilanku rumah tangga kami akan kolaps.
“Kalau begitu, apa usaha Abang untuk melepaskanku dari situasi ini?” tanyaku selalu. Tetapi jawaban yang kuterima sungguh mengecewakan, “Yah, kamu boleh saja berhenti bekerja, asalkan kamu sanggup hidup dengan gajiku yang tak seberapa,” Dari situ naluriku mulai bicara. Rasanya ada sesuatu yang salah dengan reaksi suamiku. Bukankah ia telah menghabiskan begitu banyak uang untuk memulai berbagai usaha? Dan ketika kutanya mengapa ia gagal, ia berkata, “Semua gara-gara kamu tidak cukup mendukungku!”
Lalu apakah namanya setelah begitu banyak tabunganku yang telah digunakannya untuk memulai usaha dan membeli ini dan itu? Ah, baiklah... barangkali dukunganku belum cukup banyak. Membeli rumah, tanah, dan sebagainya, belum lagi cukup untuk mendukungnya.
Tapi dalam hatiku aku bertanya tanya, bukankah sikap seperti itu adalah sikap laki-laki yang tak bertanggung jawab? Bukankah semestinya ia berusaha keras untuk menyatukan kami dalam satu atap, dan bukannya bertahan untuk terus berlama-lama hidup terpisah? Aneh....
Tapi kutekan semua prasangka itu dan selalu ku meminta ampun pada Allah, setiap kali pikiran seperti itu muncul. Mungkin tak ada yang aneh dalam diri suamiku. Itu hanya perasaanku saja. Maka aku harus bersabar. Tapi aku tetap ingin lepas dari situasi itu. Aku tetap ingin menjadi ratu dalam rumah tanggaku. Aku ingin berada di rumah untuk anak-an akku, seperti perempuan lainnya.
Maka satu pelajaran yang kupetik dari situasi itu adalah, bahwa akulah satu-satunya yang bisa melepaskan diriku dari himpitan kesulitan ini. Akulah yang harus berusaha. Maka aku bekerja lebih keras, mendorong suamiku untuk membuka bisnis dan usaha sampingan dengan memberinya modal. Sementara itu, hidup kami makin aneh saja. Pada suatu titik, suamiku mulai terlihat berbeda. Bila kami bertemu, entah karena aku dan anak-anak pulang ke daerah kami, atau ia yang berkunjung ke te mpat kami, ia sering tak mempedulikanku, memarahiku karena hal-hal remeh seperti salah meletakkan pulpen atau kertas kerja miliknya, terlambat membayar tagihan, terlambat membukakan pintu gerbang, dan sebagainya.
Tentu aku tak mengatakan bahwa diriku benar. Aku memang salah, sungguh tak kutampik kenyataan itu. Kekurangmampuanku menjadi perempuan dan istri yang cermat dalam mengatur barang-barang nya, efisien dalam mengatur waktuku, memang tak bisa dibenarkan.
Masalahnya adalah, aku bekerja seharian di sebuah perusahaan swasta asing milik warga negara Jepang, yang terkenal disiplin dan ketat dalam mengatur waktu kerja. Maka, aku harus mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga, yang mengurusi segala tetek bengek rumah tangga kami, termasuk keperluannya, yang semuanya di bawah instruksiku. Malangnya, pembantuku ini tidaklah selalu bisa bekerja dengan baik. Ada kalanya ia membuat begitu banyak kesalahan. Malangnya lagi, setiap kesalahan yang diperbuatnya, akan merupakan bencana bagiku, karena begitu aku pulang dari bekerja, dalam keadaan lelah luar biasa, aku akan menerima segala amarah dan omelan dari suamiku.
Baiklah! Aku ini perempuan. Sudah menjadi tugasku untuk mengatur semua urusan rumah tangga. Ketika pembantu rumah tanggaku alpa, maka itu adalah salahku. Tanggung jawabku! Aku terima. Aku pun terima ketika suamiku menegurku dengan cara mendiamkanku berlamalama, tak menerima maafku meski aku menangis dan menyembah. Ketika itu kupikir, baiklah...aku memang salah.Tentu seorang suami berhak memarahi istrinya. Maka aku pun membiarkannya mendiamkanku beberapa hari bahkan berminggu-minggu. Hingga lama-lama aku terbiasa dengan cara itu, bahkan ketika ia memdiamkanku selama beberapa bulan karena kesalahan yang tak jelas .Kupikir, sebagai istri aku harus menurut dan menerima. Barangkali memang begitu jugalah para suami lainnya ketika memarahi istrinya.
Aku tak pernah berpikir untuk melawan, aku malah berpikir bagaimana cara menebus dan memperbaiki semua kesalahanku. Bagaimana cara membuatnya tenang dan mau berbaik-baik denganku. Bagaimana caranya agar ia mencintaiku lagi.
Kupikir, barangkali ego kelelakiannya telah kusi-nggung sebab aku berpenghasilan 5 kali lipat lebih besar dibandingkan penghasilannya. Barangkali ia cemburu dan begitulah caranya menyalurkan kecemburuannya, tapi di satu pihak ia tak sanggup menghidupi kami.
Berpikir seperti itu membuatku kasihan padanya. Maka kuputuskan untuk menyerahkan seluruh gaji dan bonus bonus yang kuperoleh dari perusahaan padanya. Aku hanya mengambil seperlunya untuk keperluan seharihari rumah tanggaku. Selebihnya, kubiarkan ia mengelola keuanganku.
Kupikir dengan begitu ia akan merasa dipercaya dan tahu bahwa sungguh aku tak pernah memikirkan uang. Yang penting bagiku adalah kami semua bahagia.
Akupun setuju ia membeli tanah, rumah, dan banyak lagi yang lainnya. Aku juga makin mendukung sepenuhnya dan membebaskannya menggunakan ua ng hasil kerjaku untuk berbisnis. Meski, setiap kutanya apa hasilnya ia akan marah dan mendiamkanku untuk beberapa lama.
Semakin ia marah dan makin lama mendiamkanku, semakin aku merasa harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanku. Entah mengapa aku selalu merasa bahwa semua sikapnya itu adalah reaksi dari perbuatanku, dari kesalahan yang kubuat. Maka akupun makin mencoba membeli perasaannya, cintanya. Kubelikan ia hadiahhadiah, yang seringkah malah tak cocok dengan seleranya dan menjadi kemarahan lainnya. Kubujuk ia untuk pergi ke toko bersamaku dan memilih baju atau apa saja kesukaannya. Sungguh aku makin giat berusaha mendapatkan kembali cintanya.
Dalam hati, sering muncul pertanyaan, “Mengapa suamiku sepertinya membenciku? Apakah ia tidak mencintaiku lagi?” Lalu, sisi hati yang lain membantah, “Tentu ia mencintaimu. Bukankah ia suamimu?”. “Tapi jika memang ia mencintaiku, mengapa ia selalu bersikap memusuhiku?” kata sisi hati lainnya.
Ku bertahan. Bahkan hingga aku hamil anak ke empat.
Kupikir, dengan memberinya seorang anak lagi, tentu ia akan senang dan sembuh dari semua kemarahannya. Mempersembahkan seorang anak lagi, tentu akan merekatkan kembali hati kami. Ingin kutebus cintanya dengan anak kami yang keempat ini.
Tapi ternyata, harapanku tinggal harapan. Suamiku makin menjadi-jadi. Ia mendiamkanku berbulan-bulan karena kesalahan-kesalahan kecil atau bahkan tak jelas apa yang membuatnya marah padaku. Bahkan dalam keadaan aku hamil tua dan kemudian melahirkan, ia mendiamkanku. Ketika itu, tepat ketika aku berjuang melawan rasa sakit karena melahirkan, aku sempat berpikir, barangkali sebaiknya aku mati saja. Dengan begitu, selesailah semua penderitaanku. Aku menangis sembari menahan rasa sakit yang amat sangat. Aku begitu putus asa. Sungguh aku tak tahu lagi cara mengambil hati suamiku.
Tapi tangis bayi membuatku menarik keinginan itu. Bayi bermata indah itu membutuhkanku. Juga ketiga anakku yang lain. Aku harus hidup. Apapun yang terjadi.
Maka kupilih untuk bersabar. Kupikir lagi, barangkali kalau ada rizki dan aku bisa membawa suamiku berhaji, itu akan menjadi obat baginya, bagi kami. Maka itulah niatku.
Aku mulai mengumpulkan uang untuk bisa pergi haji. Aku ingin bermunajat pada Allah di tanah suci, agar aku bisa mendapatkan cinta suamiku. Aku juga ingin mendapat jawaban, mengapa aku tak lagi dicintai. Aku banyak berdoa, dan salah satu doa yang paling sering kuucapkan adalah: Allah humma arinal haqqa haqqan, warzuknatti ba'ah, wa arinal batiia batilan warzuknajtinabah (Ya Allah, tunjukkanlah yang hak adalah hak dan berilah hamba kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah yang batil adalah batil, dan berilah hamba kekuatan untuk menjauhinya).
Malangnya, justru ketika uang untuk berangkat berhaji telah terkumpul, nasib berkata lain. Rupanya Allah SWT mendengar doaku. Aku mengetahui mengapa suamiku membenciku. Aku memergokinya memiliki perempuan lain. Bukan hanya satu, tapi ia juga menggoda banyak perempuan. Awalnya aku tak percaya. Sempat aku mengabaikan pesan-pesan mesra di telepon genggamnya yang diakuinya sebagai orang salah kirim.Tapi belakangan, rasa penasaran membuatku mencari tahu, hingga akhirnya aku mendapat pengakuan dari beberapa orang.
Maka terjawablah semua teka-teki mengapa ia lebih suka membiarkanku bekerja di daerah lain dan dengan sukacita menerima semua uang penghasilanku tanpa rasa malu dan bersalah. Itu pula sebabnya ia tak mempedulikanku dan banyak mendiamkanku.
Semua itu membuat hatiku hancur. Aku pun mulai mau mengakui bahwa naluriku yang merasakan hal-hal tak beres dalam rumah tangga kami ternyata benar adanya. Aku mengakui pula, bahwa suamiku bukanlah suami yang baik.
Meski pahit, tapi aku harus mulai mau menerima kenyataan, bahwa apa yang dilakukan suamiku tidaklah benar menurut hukum perkawinan universal maupun hukum agama. Aku telah dikhianati.
Kenyataan bahwa suamiku menggoda beberapa perempuan bahkan hingga pada tahap menjurus pada hubungan badan, telah menghancurkan kepercayaanku padanya. Aku pun merasa terhina. Harga diriku sebagai istri dan perempuan diinjak-injak. Aku mulai tak terima dan putik-putik pemberontakan mu lai bersemi dalam benakku.
Aku mulai bertanya-tanya, kemana perkawinan kami ini akan kubawa? Sementara suamiku bukannya mengakui kesalahan dan meminta maaf, malah berbalik menyerang dan makin memojokkan dan menghinaku. Diamnya makin menjadi-jadi. Ia bahkan mulai tak peduli pada keluargaku yang datang menjenguk kami dan mengata-ngatai orang tuaku. Ya Allah...
Aku, dalam kekalutanku, mulai mengalami stress. Aku terombang-ambing pada keadaan di mana aku menginginkan perceraian tapi aku takut untuk hidup sendiri. Sementara di pihak lain, aku tahu, aku tak lagi bisa mentolerir perbuatan suamiku. Aku membencinya dan hidup bersamanya serta harus melayaninya lahir dan bathin telah bergeser dari kenikmatan menjadi siksaan dan deraan yang membuatku kian sakit dan terpuruk. Bagaimana mungkin aku terus hidup dengan orang yang mengkhianatiku? Yang membohongiku? Yang menyianyiakanku? Tapi perceraian? Ya Allah, aku bahkan tak berani memikirkannya.Tak berani melafazkannya, apalagi melakukannya? Lagipula, bukankah itu perbuatan yang meski halal namun sangat dibenci Allah?
Bercerai atau menderita?
Aku terombang-ambing dalam keadaan tanpa keputusan.Aku takut mengajukan gugatan cerai. Aku terpuruk, tenggelam dalam kekalutan dan kesedihan yang amat sangat. Aku takut mengambil ke-putusan. Akupun memperbanyak doa dan sholat malam, memohon pada Allah agar diberi petunjuk.
Dan memang, Allah Maha Baik dan Mendengar. Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama. Darinya kudengar kalimat ini, “Bu, dalam perkawinan, kedua belah pihak haruslah berbahagia. Bila satu pihak berbahagia di atas penderitaan pihak lainnya, maka perkawinan itu sudah tak bisa dikatakan baik. Dalam hal ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak untuk berbahagia dengan porsi yang sama.”
Kepadanya kuceritakan masalahku. Tentang kemarahan suamiku serta sikap diamnya, ia berkata, “Kasus ibu termasuk dalam kekerasan rumah tangga.”
Aku terpana.B agaimana mungkin mendiamkan dan tidak memukul bisa dikatakan kekerasan?
“Suami saya tak pernah memukul saya, Pak. Tidak pernah sama sekali!” bantahku.
“Kekerasan dalam rumah tangga itu bukan Cuma tindakan memukul, Bu. Membuat istri merasa tertekan bathinnya, menyakitinya terus menerus dan mengintimidasinya hingga mempengaruhi kondisi kejiwaan dan rnentalnya juga disebut kekerasan. Membuat istri merasa khawatir dan ketakutan terus menerus, juga disebut kekerasan.”
Aku diam, mencoba mencerna kata-kata lelaki itu. Harus kuakui, aku memang selalu merasa ketakutan dan khawatir suamiku akan meledak amarahnya hanya karena aku atau pembantuku salah meletakkan barang miliknya, terlambat memberi makan hewan peliharaannya, terlambat membukakan pintu gerbang, atau hal-hal lainnya.
“Sering mengancam, seperti mengancam akan membunuh, menyakiti, dan meneror dengan melontarkan kata-kata ancaman atau menghina dengan kata-kata yang tak pantas hingga membuat pasangan kita merasa tertekan jiwanya dan merasa tak aman, juga disebut kekerasan. Sekarang terserah Ibu. Jika memang masih bisa diperbaiki, sebaiknya diperbaiki. Jika tidak, maka ambillah langkah yang benar. Sebab tinggal dan bertahan dalam rumah tangga yang sudah tak lagi dapat dipertahankan akan membuat semua pihak menderita.”
“Tapi anak-anak saya.....,” kataku terbata.
“Orang seringkah lupa, bahwa rumah tangga yang tak harmonis, jika dibiarkan berlarut-larut juga dapat mempengaruhi anak-anak. Melihat orang tuanya bertengkar setiap hari, tak ada kemesraaan, rumah tangga bagaikan neraka. Apalagi jika banyak terjadi kekerasan, meski tak ada pemukulan, tapi suasana rumah yang selalu tegang dan membuat takut para penghuninya sungguh bukan tempat yang baik bagi anak-anak. Jika keadaan sudah seperti itu, haruskah kita pertahankan meski membawa kemudharatan? Coba pikirkan. Saya tak menyuruh bercerai. Tapi saya ingin Ibu memikirkan kondisi Ibu, dan membuat keputusan yang tepat, sebab Ibulah yang paling tahu kondisinya. Keputusan ada di tangan Ibu.”
“Tapi bagaimana membuktikan hal-hal seperti itu di pengadilan? Saya tak punya bekas pukulan, bahkan tak ada lebam sama sekali untuk dapat dijadikan bukti!” kataku ragu.
“Bu, semua yang Ibu ceritakan pada saya tadi, dapat menjadi alasan yang sangat kuat untuk mengajukan gugatan cerai. Pengadilan Agama tahu apa itu kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang yang mengaturnya pun ada dan jelas.” lanjut lelaki itu.
Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Benarkah? Suamiku memang beberapa kali melontarkan ancaman akan membunuhku, hingga membuatku takut sendirian bersamanya.
“Pikirkan juga ini, Bu. Dalam Islam, tak dibenarkan seorang suami mengambil hasil jerih payah istrinya. Tidak sepeserpun kecuali atas izin si istri. Apa-apa yang dihasilkan istri adalah haknya dan si istri berhak untuk membelanjakannya sesuka hatinya as alkan di jalan yang benar dan sesuai syariat. Tidakkah Ibu merasa heran dengan tindakan suami Ibu yang mengambil semua milik Ibu? Membeli rumah dan tanah dan mengatasnamakannya dengan namanya sendiri meski semua itu dibeli sepenuhnya dengan uang Ibu? Saya rasa setiap orang setuju bahwa itu adalah perbuatan yang sangat memalukan dan tak bertanggung jawab.”
Aku diam, tapi setiap kata-kata lelaki itu menghujam begitu dalam. Sebab, ia benar. Dan kali ini tak ada jalan bagiku untuk mengelak, untuk membenarkan segala perbuatan suamiku. Apa yang dilakukannya salah dan aku harus mengakuinya.
“Dan itulah kelemahan perempuan, Bu. Jelas-jelas suami sudah berbohong, berkhianat, bahkan ada yang sampai memukul dan menyiksa lahir dan bathin, masih saja tinggal diam. Bahkan baru-baru ini, ada perempuan yang sampai disuruh memotong jempol kakinya oleh suaminya, tapi masih tetap juga ngotot bertahan dalam rumah tangga, padahal jelas-jelas suaminya salah. Padahal, Islam memberikan hak kepada perempuan untuk hidup bahagia, dihormati, dihargai, dicintai dan dilindungi. Dan jika hak itu tak diperoleh dari suaminya,maka perempuan bo leh memperjuangkan haknya. Tak ada yang salah apalagi dengan itu!”
Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya mengusap air mata yang mengalir diam-diam.
Keputusan itu...
Suamiku makin tak terkendali. Dia makin sering mengintimidasiku, mengancam akan membunuh, mendiamkanku atau bahkan berteriak-teriak memarahiku di hadapan anak-anak kami. Ia mulai membanting barang-barang, beberapa kali hampir memukulku dengan benda yang dipegangnya meski tak pernah benar-benar melakukannya.
Suasana rumah kian memanas. Rumah tangga kami sudah seperti neraka. Anak-anak kami makin suka menangis dan berteriak tak karuan. Anak sulungku seringkah melamun dan mudah menangis serta tersinggung. Sedang anak kedua dan ketiga mudah mengamuk dan berteriak jika apa yang diinginkan tak diperolehnya.
Maka diam-diam, setiap kemarahan serta ancaman, atau diam suamiku, justru menjadi jalan setapak yang kulalui hingga kusampai pada keputusan itu. Sungguh bukan keputusan yang mudah, karena pada dasarnya aku masih saja takut jangan-jangan ini semua adalah salahku. Namun satu hal yang membuatku tak menyurutkan langkah adalah bahwa aku merasa tak mampu lagi hidup bersama lelaki yang telah 10 tahun menjadi suamiku ini. Aku tak lagi memiliki sedikit pun keikhlasan untuk melayaninya. Dan aku tahu, setiap ketidakikhlasanku itu hanya akan menjadi jalan bagiku untuk berbuat dosa. Aku tahu, perkawinan ini tak akan lagi menjadi ladang a-mal bagiku, sebab aku membenci suamiku dan tak akan mampu lagi hidup bersamanya dengan ikhlas, sabar dan suka cita.
Maka aku pergi menemui lelaki petugas Pengadilan Agama itu. Aku bertanya apa-apa yang kubutuhkan untuk menggugat cerai suamiku. Ternyata sederhana saja. Aku hanya perlu menyerahkan foto copy KTP dan Surat Nikah serta membuat pengaduan. Ia pun menyarankanku untuk menyimpan surat-surat tanah yang mungkin masih bisa kuselamatkan dan kubaliknamakan, menyimpan surat-surat kendaraan, dan surat-surat rumah, agar jangan sampai suamiku menguasai seluruhnya tanpa memberiku bagian sedikit pun.
Maka proses itupun dimulai. Perlahan-lahan dan diam-diam, kukumpulkan semua milikku. Uang gajiku yang tadinya hampir seluruhnya masuk ke dalam rekening bank suamiku, sedikit demi sedikit kukurangi. Aku telah merencanakan, begitu aku mengajukan gugatan cerai, maka seluruh uangku akan masuk ke rekening bankku saja. Dan hari itu tibalah. Aku menebalkan tekad dengan sholat malam dan memperbanyak doa. Dengan menguatkan hati, kumasuki kantor Pengadilan Agama. Tak terkira debaran jantungku dan sekuat tenaga kutahan air mataku. Aku tidak akan surut.
Dan hari itu, di bulan Agustus, aku pun membuat pengaduan. Selang beberapa hari kemudian, tepatnya seminggu setelah pengaduan dibuat, surat panggilan untuk menghadiri sidang pun datang. Ketika itu, aku telah berpisah rumah dengan suamiku yang pada suatu malam menjadi demikian marah dan gila hingga mengusir aku dan keempat anakku dari rumah kami. Ketika itu pukul 3 dinihari. Dan kejadian itu, menorehkan luka begitu dalamnya di hatiku, hingga melecutku serta memberiku kekuatan untuk akhirnya mendatangi Kantor Pengadilan Agama.
Rasa Bersalah
Persidangan itu begitu menakutkanku. Belum pernah aku merasa begitu kecil, terhina, dan menderita karena aku harus menceritakan aibku sendiri di hadapan orang-orang asing yang bernama Hakim Ketua, dua Hakim Anggota, dan seorang Panitera. Belum lagi kenyataan bahwa orang yang kulawan adalah suamiku sendiri. Bagaimana mungkin semua ini terjadi? Aku merasakan kesedihan yang amat hebat, hingga tak jarang aku menangis di hadapan orang-orang yang hadir dan tak mampu berkata-kata. Akupun memilih untuk lebih banyak menyampaikan pembelaan dan pengakuanku dalam bentuk tertulis.
Itulah suasana teraneh yang pernah kualami. Berseteru dengan orang yang pernah begitu kucintai, saling menyerang, saling membuka kesalahan dan aib. Oh... entah ke mana cinta yang dulu ada di antara kami. Sungguh begitu mudah cinta tercerabut, hingga ke akar akarnya, hingga kami bisa saling berhadapan dan saling memburukkan satu sama lain. Ketika akhirnya gugatanku dikabulkan, aku merasa bebas. Tapi belakangan aku didera rasa bersalah, terutama setiap kali melihat wajah keempat anakku. Oh, Tuhanku... apa yang telah kulakukan? Bersalahkah aku? Berdosakah aku telah membuat anakanakku terpisah dengan ayah rnereka? Egoiskah aku? Benarkah aku memberikan yang terbaik bagi anak-anakku? Benarkah aku melakukan semua ini demi ketenangan mereka, demi perkembangan jiwa mereka yang telah kerap menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran, mendengar ancaman demi ancaman? Benarkah? Benarkah?
Aku menjadi sakit. Berbagai dokter kukunjungi, sakitku tak juga sembuh. Hingga suatu hari, salah seorang keluargaku membawaku menemui seorang dokter yang terkenal taat ibadahnya. Dari dialah aku mendengar bahwa aku sebenarnya tak sakit. Aku sehat-sehat saja. Yang sakit adalah jiwaku.
“Sakit perut seperti mag, sakit punggung yang berkelanjutan, merasa kedinginan setiap saat, pusing yang terus menerus, adalah gejala stress. Pergerakan usus Ibu normal, tak ada yang bermasalah. Apa yang Ibu khawatirkan dan pikirkan? Stress tak ada obatnya. Obatnya datang dari diri sendiri. Dari penguatan diri. Saran saya, apapun masalah Ibu, perbanyaklah berdoa dan shalat malam. Semua masalah ada jalan keluarnya. Berserah diri pada Allah,” kata dokter itu sambil tersenyum.
Sejak itu, aku tak lagi membiarkan diriku tenggelam dalam siksaan rasa bersalah. Aku banyak berdoa, banyak sholat malam dan lebih memasrahkan diri pada Allah. Kupandangi anak-anakku. Melihat wajah mereka, aku pun 'terjaga' dari tidurku selama ini. Jika aku jatuh dan terpuruk, siapa yang akan menjaga anak-anakku? Jika aku tenggelam dalam kesedihan, siapa yang akan menggembirakan anak-anak ku? Akulah satu-satunya harapan mereka. Aku telah menciptakan situasi ini.
Menangis sungguh tak akan membawa hasil apaapa. Apa yang telah terjadi adalah menjadi bagian dari hidup yang harus kuhadapi. Allah lebih tahu apa yang terbaik bagiku.
Jika ini yang terbaik, maka aku terima dengan lapang dada. Aku pun sampai pada kesadaran, bahwa aku adalah orang yang 'terpilih' untuk menerima ujian ini. Mengapa aku? Tentunya karena Allah tahu sesuatu yang aku tak tahu. Maka aku tak lagi mempertanyakan mengapa Allah menimpakan ujian ini.
Semangat hidupku bangkit lagi. Aku kian giat berusaha dan bermunajat kepada Allah. Dalam doa, aku meminta agar Allah menghilangkan rasa bersalah, kegelisahan dan ketidaktenangan dari dalam jiwaku.
Lagi-lagi, Allah menjawab doaku. Sebab, pada suatu hari aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang tak sengaja bertemu denganku di sebuah seminar. Lelaki yang belakangan kutahu seorang ustadz ini, berkata padaku setelah kami cukup dekat dan aku dapat menceritakan tentang perceraianku.
“Mbak, Allah yang membenci perceraian itu, adalah Allah yang sama yang juga mengajari kita cara untuk melakukan perceraian secara ma'ruf. Jadi, Allah sudah tahu bahwa akan ada di antara hambanya yang tak akan berhasil dengan rumah tangganya, sehingga Dia pun membolehkan perceraian untuk mengatasi masalah yang sudah tak dapat lagi dicarikan jalan keluarnya.”
Aku diam mendengarkan.
“Jadi, perceraian itu memang ada dan diperbolehkan. Meski memang dibenci Allah.Tapi bila memang tak ada jalan keluar dan alasan-alasan untuk melakukan perceraian sesuai syariat, maka itu boleh. Tak usah merasa bersalah. Allah Maha Tahu dan Mengerti. Jangan siksa diri dengan perasaan bersalah itu. Mbak tidak bersalah! Suami Mbak berkhianat dan Mbak tidak bisa mentolerirnya.”
“Tapi orang lain bisa. Jangan-jangan seharusnya saya bertahan dan bersabar,” kataku.
“Bertahan gimana? Suami Mbak tidak mengaku bersalah. Apalagi mau minta maaf dan memperbaiki diri. Sudahlah... Mbak tidak bersalah!” katanya meyakinkanku. “Sekarang, banyak-banyaklah memohon pertolongan Allah, agar Mbak diberi kekuatan.”

Jalan masih panjang
Dan begitulah... Allah sungguh Maha Adil. Makin hari, makin ditunjukkannya bukti-bukti tentang kesalahan suamiku, kadang dengan cara-cara yang sangat ajaib.
Misalnya, aku bertemu sahabat lama yang telah lebih dari 10 tahun tak berjumpa dan darinya kudengar bahwa suamiku berselingkuh dengan seorang karyawati, yang ternyata adalah teman sekantor tetangga dekat rumahnya. Ada juga kejadian, ketika suamiku salah kirim sms yang ditujukan kepada kekasihnya ternyata terkirim ke HPku. Maka semua kejadian itu membuatku semakin yakin pada jalan yang kutempuh.
Setelah merasa yakin dan rasa bersalah berkurang sedikit demi sedikit, aku mulai memperoleh kepercayaan diri lagi. Aku membangun hidup dengan memprioritaskan kepentingan anak-anak. Aku harus kuat sebab akulah tempat anak-anak bersandar.
Ketika saat-saat sedih datang menyesaki dada, aku banyak mengadu pada Allah dalam sholat-sholat malam yang panjang. Aku tumpahkan seluruh beban dan air mata ini hanya kepada Allah. Sebab Dia sebaik-baik pendengar. Dari apa yang kujalani, aku pun banyak belajar.Salah satunya adalah, bahwa akulah satu-satunya yang mampu membuat keputusan untuk hidupku, atas pertolongan Allah.
Bahwa sebenarnya, akulah yang paling mengerti apa yang kubutuhkan, apa yang kurasakan, apa yang harus kulakukan. Bahkan keluarga terdekat sekalipun, tak dapat sepenuhnya mengerti perasaanku. Akan ada masanya mereka merasa jenuh mendengar keluh kesahku, sementara masih begitu banyak yang ingin kukeluhkan, seolah tak pernah ada habisnya. Dari situlah aku mengerti, bahwa hanya dirikulah yang bisa mengendalikan perasaanku dengan cara bersabar dan bertawakkal. Dan hanya Allah sebaik-baik tempat mengadu.
Pengalaman ini juga memperkuat apa yang selama ini kuyakini; bahwa bagaimana pun, sebaiknya perempuan haruslah mandiri dan bekerja. Tentu tak harus bekerja di luar rumah jika itu memang menyulitkan. Bekerja dari rumah dan menghasilkan sesuatu bagi dirinya sendiri, merupakan hal yang baik untuk memupuk kemandirian serta kesiapan mental ketika terjadi musibah. Bukan hanya karena perceraian, tetapi untuk menghadapi saat-saat ketika suami tak ada di rumah, entah karena bepergian, jatuh sakit yang tak memungkinkannya bekerja, kecelakaan ,atau bahkan meninggal dunia.
Semua pengalaman ini membuatku yakin, bahwa sebenarnya perempuan mampu bila keadaan memaksa untuk hidup dan berjuang sendirian. Keteguhan serta keberanian serta kegigihan dan kesabaran untuk tetap berjuang dan bertahan hidup demi diri sen diri dan anak anak adalah senjata yang sangat ampuh, yang rasanya wajib dimiliki oleh seorang perempuan.
Tentu, tak seorang perempuan pun ingin diceraikan apalagi menceraikan, tak seorang perempuan pun ingin ditinggal mati suaminya, tak seorang perempuan pun ingin berjuang sendirian karena suami tiba-tiba jatuh sakit, tak seorang perempuan pun ingin menjadi janda. Tapi ketika semua itu harus terjadi, karena takdir ilahi,maka seorang perempuan yang paling lemah sekalipun, harus siap memanggul beban dipundak. Sebab perempuan berhak sekaligus berkewajiban untuk berusaha dalam hidup. Tetap kuat dan sabar menjawab setiap tantangan, tetap terpacu untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebab, perempuan juga berhak bahagia. Dan aku berhak bahagia, sebab aku juga seorang perempuan dan seorang hamba Allah. Insya Allah.
(Nejla Humaira)
Momen Kecil yang Meninggalkan Jejak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar