Karya :
Asma Nadia
“Label Baru Seorang Istri”
“Tindakan mereka telah memberikan pelabelan baru yang
tidak mengenakkan bagi istri pertama.”
Semua mata
mengarah ke panggung utama. Termasuk saya yang saat itu duduk di barisan paling
belakang. Tidak berapa lama muncul seorang muslimah cantik dengan atribut serba
pink, dari jilbab hingga rok bertumpuk yang dikenakannya.
Muda, cantik dan berbakat. Itulah yang ada di kepala, hingga
seorang perempuan yang duduk selisih dua kursi dari saya, mulai menunjuk-nunjuk
muslimah yang sedang bernyanyi di depan kami,
“Eh, itu istri tuanya si anu kan?”
Komentarnya menyebut nama pelantun lagu islami yang sangat
terkenal. Teman yang diajak bicara mengiyakan.
Saya sempat terganggu dengan komentar yang menurut saya
bukan pada tempatnya. Terbayang perasaan muslimah berbusana pink itu, jika tahu
dia bernyanyi, dan komentar yang tidak nyambung itu yang justru ditujukan
padanya.
Tapi sedih saya bertarnbah-tarnbah, setelah saya pulang, dan
menerima SMS dari seorang teman.
“Asma, tadi Pak Nurhan bilang ke saya sambil menunjuk mbak
fulanah... 'Itu kan istri tuanya Pak Fulan.' Benar Pak Fulan poligami, ya?”
Istri tua... istri tua.
Saya yakin perempuan-perempuan yang dibicarakan ini memiliki
hati yang lapang, terbukti dari kesiapan mental yang telah mereka tunjukkan
ketika suami menikah lagi.
Dengan hati sekuat itu, saya kira mereka akan bijak
menanggapi hal ini. Hanya saja saya tiba-tiba tercenung cukup lama, berpikir. Apakah
para lelaki yang berpoligami, mereka yang beralasan menikah lagi dalam kerangka
sunnah Nabi atau alasan mulia lain, pernah sekejap saja merenung bahwa tindakan
mereka telah menggoreskan tidak hanya luka yang coba diobati oleh para perem
puan, tetapi juga stempel baru yang tidak mengenakkan bagi istri pertama?
Perempuan yang menempuh banyak pengorbanan agar bisa
bersama lelaki yang dulu mendatangi mereka dengan kalimat-kalimat penuh bunga. Perempuan
yang menyertai mereka di awal perkawinan, ketika pekerjaan suami belum lagi
mapan. Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan anak-anak dengan baik
hingga menjadi sosok yang membanggakan. Perempuan yang telah menghabiskan kemudaan
dan kecantikannya dalam bakti, cinta dan keikhlasan bertahun-tahun hingga suami
mereka sampai pada posisi sekarang.
Katakan jika saya salah, tidak kah setelah semua yang mereka
lakukan, seharusnya mereka dimuliakan?
“Tetapi dengan menikah lagi suami berusaha memuliakan istri
tuanya, Asma... hingga mudah mendapatkan surga!”
Ya, ya... saya mencoba mengerti kalimat itu.
Tetapi apakah dimadu dan menjadi istri tua, merupakan jalan
satu-satunya untuk mendekatkan perempuan (yang telah menghabiskan tahun-tahun
dalam kepatuhan dan bakti itu) pada surga?
3 Maret 2007
“Sebab Aku Berhak Bahagia”
“Tepat ketika aku berjuang melawan rasa sakit karena melahirkan,
aku sempat berpikir, barangkali sebaiknya aku mati saja. Dengan begitu,
selesailah semua penderitaanku.”
Palu pun diketuk!
Hari ini
selesailah sudah seluruh drama rumah tanggaku, di tempat yang paling muskil dan
di hadapan orang-orang tak kukenal. Aneh memang! Sepuluh tahun itu, yang
kumulai dengan tawa sukacita, pesta pora, dan berkumpulnya segenap keluarga, ku
akhiri pada hari ini dengan banjir air mata, dalam kesepian yang mencekam dan
memilukan antara aku dan ayahku, dan para hakim serta panitera. Inilah tempat
yang muskil itu, tempat pertemuan terajaib di dunia bagi dua orang yang mengaku
suami dan istri: Pengadilan Agama!
Maka perpisahan itupun dipertegas lagi, setelah hakim ketua
mengetukkan palunya, menyatakan bahwa perceraian kami sah, kami aku dan 'bekas'
suamiku berjalan keluar ruang sidang dan menuju arah yang berlainan. Pulang ke rumah
masing-masing. Tak ada lagi saling menjemput dan mengingatkan waktu pulang. Tak
ada lagi rumah yang menjadi tujuan bersama. Tak ada lagi suami dan istri. Yang ada
hanyalah pribadi-pribadi. Dia dan aku. Tak ada lagi 'kami'.
Ya.... perpisahan itu nyata sudah. Statusku kini berubah sudah.
Aku bukan lagi istri seseorang. Aku bukan milik siapa-siapa. Aku milik Allah
dan.... kebebasan. Bahagiakah aku karena aku bebas? Tidak! Tak ada yang membahagiakan
dari sebuah perceraian. Yang ada adalah rasa sedih karena semua ini harus
terjadi, karena jalan ini harus kupilih, karena aku harus melakukan sesuatu
yang meski halal tapi paling dibenci Allah, karena anak-anakku harus berpisah
dengan ayah mereka. Ya! Ini adalah sebuah kerusakan. Tapi bahkan kerusakan
sekalipun, ketika itu menjadi jalan satu-satunya cara untuk tetap hidup, menghindarkan
diri dari kehancuran, untuk kemudian membangun hidup baru yang lebih baik, maka
pilihan itupun harus diambil dan dilakukan. Selebihnya memperkuat kesabaran dan
berlapang dada menerima segala cobaan.
Maka ketika aku melewatkan malam-malamku setelah itu
dengan menangis, tangisku bukanlah tangis penyesalan dan kehilangan, apalagi ketakutan.
Tidak! Tangisku adalah percampuran antara rasa sedih karena harus mengalami sebuah
perceraian dan gembira karena akhirnya aku berhasil membuat keputusan teramat
penting dalam hidupku. Aku berhasil membuat sebuah pilihan yang meski pahit dan
menyakitkan tapi kutahu merupakan pilihan yang benar agar aku tetap hidup.
Hidup yang bahagia. Sebab, aku berhak untuk berbahagia.
Kilas Balik
Sungguh tak pernah terpikir olehku, akan beginilah nasib pernikahan
yang sepuluh tahun lalu ku-perjuangkan matimatian. Orang yang dulu kuyakini
dapat bertanggung jawab atasku hingga aku rela meninggalkan rumah orang tuaku dan
hidup bersamanya, ternyata suatu saat dapat menjadi orang yang paling tidak
peduli padaku.
Betapa tipis batas antara suka dan tak suka, cinta dan tak
cinta. Sikapnya yang semula baik, mulai berubah pada tahun kesekian pernikahan
kami. Ia yang semula begitu kasihan melihatku bekerja keras, malah menjadi
orang yang paling tega rnembiarkanku bekerja seharian dan kemudian menggunakan
hasil kerjaku untuk kepentingannya; Membuka bisnis ini dan itu, yang tak
satupun berhasil. Ia juga yang kemudian menjadi penganjur nomor satu agar aku
tetap bekerja, sebab bila tidak maka rumah tangga kami akan limbung dan segala
mimpi kami untuk dapat hidup berkecukupan akan hancur. Ia bahkan membiarkanku
bekerja di daerah lain, memisahkanku dengan kedua anak kami.
Bahkan ketika anak ketiga kami lahir, dan aku ingin berhenti
bekerja, ia tetap meyakinkanku bahwa sebaiknya aku tak berhenti bekerja. Ia
bahkan lebih suka melihatku pindah ke daerah tempatku bekerja dengan membawa ketiga
anak kami. Sementara ia tetap di daerah asal kami dengan alasan ia tak mungkin
meninggalkan dinasnya.
Maka begitulah. Perkawinan kami kian aneh saja. Aku yang
lebih banyak menafkahi keluarga. Di satu pihak, aku menyadari bahwa rumah
tanggaku mulai timpang. Ada ketidakpuasan pada diriku dengan posisiku dalam
rumah tangga. Ada yang salah. Aku iri melihat para istri yang berderet di depan
ATM pada hari gajian suami-suami mereka. Aku iri melihat para ibu dengan tenang
mengantar anak-anak mereka ke sekolah setelah melepas suami pergi bekerja. Aku
iri melihat para ibu sibuk menyiapkan penganan sore hari untuk suami yang baru
pulang bekerja, kemudian duduk bersantai di depan rumah se mbari memandangi dan
sesekali mentertawai kelucuan perilaku anak-anak mereka yang bermain di ha
laman. Sungguh gambaran yang jauh dari rumah tanggaku.
Di daerah asing, aku sendirian. Suamiku dengan tenang melepasku
bekerja. Setiap pagi hatiku pilu meninggalkan anak-anakku di tangan pembantu
rumah tanggaku. Melihat anak keduaku menangis dan anak ketiga yang belum mengerti
apa-apa berada dalam gendongan pembantuku.
Sepulang bekerja, dalam keadaan lelah, aku masih harus mengajari
si sulung pelajaran sekolahnya dan menunda waktu bersama si tengah dan si
bungsu. Pedih hati ini karena begitu sedikit waktu untuk ketiga anakku. Tapi
aku sendirian. Sungguh tak guna untuk terlalu banyak mengeluhkan keadaan.
Aku tak mungkin memprotes suamiku. Tentulah ia benar menyuruhku
untuk terus bekerja dan melepasku pergi ke daerah lain. Tentulah ia punya
alasan yang baik, bahwa semua ini untuk kebahagiaan kami. Maka aku terima. Bukankah
aku ingin menjadi istri yang baik? Maka aku tak boleh berpikiran buruk tentang
suamiku. Tak mungkin ia bermaksud jahat dan hanya rnemanfaatkanku saja. Bukankah
ia suamiku dan ayah anakanakku?
Maka ketika pikiran buruk itu berbagai prasangka yang
kutujukan pada suamiku karena membiarkanku bekerja bahkan ke daerah lain
datang, segera saja kusingkirkan dari benakku. Suamiku adalah orang yang mencintaiku
dan aku harus percaya padanya.
Ketika ia memintaku membeli mobil, tentunya karena ia ingin
agar ketika kami berkumpul bersama, ia dapat membawa kami semua sekaligus. Atau
ketika ia memintaku membeli tanah dan rumah atas namanya, tentunya ia berpikir
bahwa menggunakan namanya akan jauh lebih aman. Sebab ia lelaki, katanya. Dan
jauh lebih mudah mengurus semua surat jual beli sebab ia pegawai negeri.Tentu
ia benar dengan semua itu. Atau ketika ia meminta modal dari-ku untuk berbisnis
ini dan itu, tentulah ia ingin agar aku segera dapat berkumpul dengannya. Meski
kemudian semuanya gagal karena ia tak pandai mengurusnya.
Maka selama hampir tujuh tahun kami menjalani kehidupan
seperti itu. Terpisahkan oleh jarak. Beberapa kali aku mencoba menggali jalan
pikiran suamiku tentang keadaan kami yang terpisah, tapi yang kudapatkan hanyalah
ketidakpedulian tersamar. Suamiku selalu berkata, bahwa aku harus tetap bekerja
demi masa depan keluarga kami. Setiap kali aku menanyakan kapan ia akan mengeluarkanku
dari situasi seperti ini,ia selalu berkata bahwa aku harus realistis. Tanpa
penghasilanku rumah tangga kami akan kolaps.
“Kalau begitu, apa usaha Abang untuk melepaskanku dari
situasi ini?” tanyaku selalu. Tetapi jawaban yang kuterima sungguh mengecewakan,
“Yah, kamu boleh saja berhenti bekerja, asalkan kamu sanggup hidup dengan
gajiku yang tak seberapa,” Dari situ naluriku mulai bicara. Rasanya ada sesuatu
yang salah dengan reaksi suamiku. Bukankah ia telah menghabiskan begitu banyak
uang untuk memulai berbagai usaha? Dan ketika kutanya mengapa ia gagal, ia
berkata, “Semua gara-gara kamu tidak cukup mendukungku!”
Lalu apakah namanya setelah begitu banyak tabunganku yang
telah digunakannya untuk memulai usaha dan membeli ini dan itu? Ah, baiklah...
barangkali dukunganku belum cukup banyak. Membeli rumah, tanah, dan sebagainya,
belum lagi cukup untuk mendukungnya.
Tapi dalam hatiku aku bertanya tanya, bukankah sikap seperti
itu adalah sikap laki-laki yang tak bertanggung jawab? Bukankah semestinya ia
berusaha keras untuk menyatukan kami dalam satu atap, dan bukannya bertahan untuk
terus berlama-lama hidup terpisah? Aneh....
Tapi kutekan semua prasangka itu dan selalu ku meminta
ampun pada Allah, setiap kali pikiran seperti itu muncul. Mungkin tak ada yang
aneh dalam diri suamiku. Itu hanya perasaanku saja. Maka aku harus bersabar.
Tapi aku tetap ingin lepas dari situasi itu. Aku tetap ingin menjadi ratu dalam
rumah tanggaku. Aku ingin berada di rumah untuk anak-an akku, seperti perempuan
lainnya.
Maka satu pelajaran yang kupetik dari situasi itu adalah,
bahwa akulah satu-satunya yang bisa melepaskan diriku dari himpitan kesulitan ini.
Akulah yang harus berusaha. Maka aku bekerja lebih keras, mendorong suamiku
untuk membuka bisnis dan usaha sampingan dengan memberinya modal. Sementara
itu, hidup kami makin aneh saja. Pada suatu titik, suamiku mulai terlihat
berbeda. Bila kami bertemu, entah karena aku dan anak-anak pulang ke daerah kami,
atau ia yang berkunjung ke te mpat kami, ia sering tak mempedulikanku, memarahiku
karena hal-hal remeh seperti salah meletakkan pulpen atau kertas kerja
miliknya, terlambat membayar tagihan, terlambat membukakan pintu gerbang, dan
sebagainya.
Tentu aku tak mengatakan bahwa diriku benar. Aku memang
salah, sungguh tak kutampik kenyataan itu. Kekurangmampuanku menjadi perempuan
dan istri yang cermat dalam mengatur barang-barang nya, efisien dalam mengatur
waktuku, memang tak bisa dibenarkan.
Masalahnya adalah, aku bekerja seharian di sebuah perusahaan
swasta asing milik warga negara Jepang, yang terkenal disiplin dan ketat dalam
mengatur waktu kerja. Maka, aku harus mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga,
yang mengurusi segala tetek bengek rumah tangga kami, termasuk keperluannya,
yang semuanya di bawah instruksiku. Malangnya, pembantuku ini tidaklah selalu
bisa bekerja dengan baik. Ada kalanya ia membuat begitu banyak kesalahan.
Malangnya lagi, setiap kesalahan yang diperbuatnya, akan merupakan bencana
bagiku, karena begitu aku pulang dari bekerja, dalam keadaan lelah luar biasa,
aku akan menerima segala amarah dan omelan dari suamiku.
Baiklah! Aku ini perempuan. Sudah menjadi tugasku untuk
mengatur semua urusan rumah tangga. Ketika pembantu rumah tanggaku alpa, maka
itu adalah salahku. Tanggung jawabku! Aku terima. Aku pun terima ketika suamiku
menegurku dengan cara mendiamkanku berlamalama, tak menerima maafku meski aku
menangis dan menyembah. Ketika itu kupikir, baiklah...aku memang salah.Tentu
seorang suami berhak memarahi istrinya. Maka aku pun membiarkannya mendiamkanku
beberapa hari bahkan berminggu-minggu. Hingga lama-lama aku terbiasa dengan
cara itu, bahkan ketika ia memdiamkanku selama beberapa bulan karena kesalahan
yang tak jelas .Kupikir, sebagai istri aku harus menurut dan menerima.
Barangkali memang begitu jugalah para suami lainnya ketika memarahi istrinya.
Aku tak pernah berpikir untuk melawan, aku malah berpikir
bagaimana cara menebus dan memperbaiki semua kesalahanku. Bagaimana cara
membuatnya tenang dan mau berbaik-baik denganku. Bagaimana caranya agar ia mencintaiku
lagi.
Kupikir, barangkali ego kelelakiannya telah kusi-nggung sebab
aku berpenghasilan 5 kali lipat lebih besar dibandingkan penghasilannya.
Barangkali ia cemburu dan begitulah caranya menyalurkan kecemburuannya, tapi di
satu pihak ia tak sanggup menghidupi kami.
Berpikir seperti itu membuatku kasihan padanya. Maka kuputuskan
untuk menyerahkan seluruh gaji dan bonus bonus yang kuperoleh dari perusahaan
padanya. Aku hanya mengambil seperlunya untuk keperluan seharihari rumah tanggaku.
Selebihnya, kubiarkan ia mengelola keuanganku.
Kupikir dengan begitu ia akan merasa dipercaya dan tahu bahwa
sungguh aku tak pernah memikirkan uang. Yang penting bagiku adalah kami semua
bahagia.
Akupun setuju ia membeli tanah, rumah, dan banyak lagi
yang lainnya. Aku juga makin mendukung sepenuhnya dan membebaskannya menggunakan
ua ng hasil kerjaku untuk berbisnis. Meski, setiap kutanya apa hasilnya ia akan
marah dan mendiamkanku untuk beberapa lama.
Semakin ia marah dan makin lama mendiamkanku, semakin aku
merasa harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanku. Entah mengapa aku
selalu merasa bahwa semua sikapnya itu adalah reaksi dari perbuatanku, dari
kesalahan yang kubuat. Maka akupun makin mencoba membeli perasaannya, cintanya.
Kubelikan ia hadiahhadiah, yang seringkah malah tak cocok dengan seleranya dan
menjadi kemarahan lainnya. Kubujuk ia untuk pergi ke toko bersamaku dan memilih
baju atau apa saja kesukaannya. Sungguh aku makin giat berusaha mendapatkan
kembali cintanya.
Dalam hati, sering muncul pertanyaan, “Mengapa suamiku
sepertinya membenciku? Apakah ia tidak mencintaiku lagi?” Lalu, sisi hati yang
lain membantah, “Tentu ia mencintaimu. Bukankah ia suamimu?”. “Tapi jika memang
ia mencintaiku, mengapa ia selalu bersikap memusuhiku?” kata sisi hati lainnya.
Ku bertahan. Bahkan hingga aku hamil anak ke empat.
Kupikir, dengan memberinya seorang anak lagi, tentu ia akan
senang dan sembuh dari semua kemarahannya. Mempersembahkan seorang anak lagi,
tentu akan merekatkan kembali hati kami. Ingin kutebus cintanya dengan anak
kami yang keempat ini.
Tapi ternyata, harapanku tinggal harapan. Suamiku makin
menjadi-jadi. Ia mendiamkanku berbulan-bulan karena kesalahan-kesalahan kecil
atau bahkan tak jelas apa yang membuatnya marah padaku. Bahkan dalam keadaan aku
hamil tua dan kemudian melahirkan, ia mendiamkanku. Ketika itu, tepat ketika
aku berjuang melawan rasa sakit karena melahirkan, aku sempat berpikir,
barangkali sebaiknya aku mati saja. Dengan begitu, selesailah semua
penderitaanku. Aku menangis sembari menahan rasa sakit yang amat sangat. Aku
begitu putus asa. Sungguh aku tak tahu lagi cara mengambil hati suamiku.
Tapi tangis bayi membuatku menarik keinginan itu. Bayi bermata
indah itu membutuhkanku. Juga ketiga anakku yang lain. Aku harus hidup. Apapun
yang terjadi.
Maka kupilih untuk bersabar. Kupikir lagi, barangkali kalau
ada rizki dan aku bisa membawa suamiku berhaji, itu akan menjadi obat baginya,
bagi kami. Maka itulah niatku.
Aku mulai mengumpulkan uang untuk bisa pergi haji. Aku ingin
bermunajat pada Allah di tanah suci, agar aku bisa mendapatkan cinta suamiku.
Aku juga ingin mendapat jawaban, mengapa aku tak lagi dicintai. Aku banyak berdoa,
dan salah satu doa yang paling sering kuucapkan adalah: Allah humma arinal haqqa haqqan, warzuknatti ba'ah, wa arinal
batiia batilan warzuknajtinabah (Ya Allah, tunjukkanlah yang hak adalah hak dan
berilah hamba kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah yang batil adalah
batil, dan berilah hamba kekuatan untuk menjauhinya).
Malangnya, justru ketika uang untuk berangkat berhaji telah
terkumpul, nasib berkata lain. Rupanya Allah SWT mendengar doaku. Aku
mengetahui mengapa suamiku membenciku. Aku memergokinya memiliki perempuan lain.
Bukan hanya satu, tapi ia juga menggoda banyak perempuan. Awalnya aku tak
percaya. Sempat aku mengabaikan pesan-pesan mesra di telepon genggamnya yang
diakuinya sebagai orang salah kirim.Tapi belakangan, rasa penasaran membuatku
mencari tahu, hingga akhirnya aku mendapat pengakuan dari beberapa orang.
Maka terjawablah semua teka-teki mengapa ia lebih suka membiarkanku
bekerja di daerah lain dan dengan sukacita menerima semua uang penghasilanku
tanpa rasa malu dan bersalah. Itu pula sebabnya ia tak mempedulikanku dan
banyak mendiamkanku.
Semua itu membuat hatiku hancur. Aku pun mulai mau mengakui
bahwa naluriku yang merasakan hal-hal tak beres dalam rumah tangga kami
ternyata benar adanya. Aku mengakui pula, bahwa suamiku bukanlah suami yang
baik.
Meski pahit, tapi aku harus mulai mau menerima kenyataan,
bahwa apa yang dilakukan suamiku tidaklah benar menurut hukum perkawinan
universal maupun hukum agama. Aku telah dikhianati.
Kenyataan bahwa suamiku menggoda beberapa perempuan bahkan
hingga pada tahap menjurus pada hubungan badan, telah menghancurkan
kepercayaanku padanya. Aku pun merasa terhina. Harga diriku sebagai istri dan
perempuan diinjak-injak. Aku mulai tak terima dan putik-putik pemberontakan mu
lai bersemi dalam benakku.
Aku mulai bertanya-tanya, kemana perkawinan kami ini akan
kubawa? Sementara suamiku bukannya mengakui kesalahan dan meminta maaf, malah
berbalik menyerang dan makin memojokkan dan menghinaku. Diamnya makin menjadi-jadi.
Ia bahkan mulai tak peduli pada keluargaku yang datang menjenguk kami dan
mengata-ngatai orang tuaku. Ya Allah...
Aku, dalam kekalutanku, mulai mengalami stress. Aku terombang-ambing
pada keadaan di mana aku menginginkan perceraian tapi aku takut untuk hidup sendiri.
Sementara di pihak lain, aku tahu, aku tak lagi bisa mentolerir perbuatan
suamiku. Aku membencinya dan hidup bersamanya serta harus melayaninya lahir dan
bathin telah bergeser dari kenikmatan menjadi siksaan dan deraan yang membuatku
kian sakit dan terpuruk. Bagaimana mungkin aku terus hidup dengan orang yang mengkhianatiku?
Yang membohongiku? Yang menyianyiakanku? Tapi perceraian? Ya Allah, aku bahkan
tak berani memikirkannya.Tak berani melafazkannya, apalagi melakukannya? Lagipula,
bukankah itu perbuatan yang meski halal namun sangat dibenci Allah?
Bercerai atau menderita?
Aku terombang-ambing dalam keadaan tanpa keputusan.Aku
takut mengajukan gugatan cerai. Aku terpuruk, tenggelam dalam kekalutan dan
kesedihan yang amat sangat. Aku takut mengambil ke-putusan. Akupun memperbanyak
doa dan sholat malam, memohon pada Allah agar diberi petunjuk.
Dan memang, Allah Maha Baik dan Mendengar. Aku bertemu
dengan seorang laki-laki yang kebetulan bekerja di Pengadilan Agama. Darinya
kudengar kalimat ini, “Bu, dalam perkawinan, kedua belah pihak haruslah berbahagia.
Bila satu pihak berbahagia di atas penderitaan pihak lainnya, maka perkawinan
itu sudah tak bisa dikatakan baik. Dalam hal ini, perempuan dan laki-laki memiliki
hak untuk berbahagia dengan porsi yang sama.”
Kepadanya kuceritakan masalahku. Tentang kemarahan suamiku
serta sikap diamnya, ia berkata, “Kasus ibu termasuk dalam kekerasan rumah tangga.”
Aku terpana.B agaimana mungkin mendiamkan dan tidak memukul
bisa dikatakan kekerasan?
“Suami saya tak pernah memukul saya, Pak. Tidak pernah
sama sekali!” bantahku.
“Kekerasan dalam rumah tangga itu bukan Cuma tindakan
memukul, Bu. Membuat istri merasa tertekan bathinnya, menyakitinya terus
menerus dan mengintimidasinya hingga mempengaruhi kondisi kejiwaan dan
rnentalnya juga disebut kekerasan. Membuat istri merasa khawatir dan ketakutan
terus menerus, juga disebut kekerasan.”
Aku diam, mencoba mencerna kata-kata lelaki itu. Harus kuakui,
aku memang selalu merasa ketakutan dan khawatir suamiku akan meledak amarahnya
hanya karena aku atau pembantuku salah meletakkan barang miliknya, terlambat memberi
makan hewan peliharaannya, terlambat membukakan pintu gerbang, atau hal-hal
lainnya.
“Sering mengancam, seperti mengancam akan membunuh,
menyakiti, dan meneror dengan melontarkan kata-kata ancaman atau menghina
dengan kata-kata yang tak pantas hingga membuat pasangan kita merasa tertekan jiwanya
dan merasa tak aman, juga disebut kekerasan. Sekarang terserah Ibu. Jika memang
masih bisa diperbaiki, sebaiknya diperbaiki. Jika tidak, maka ambillah langkah
yang benar. Sebab tinggal dan bertahan dalam rumah tangga yang sudah tak lagi
dapat dipertahankan akan membuat semua pihak menderita.”
“Tapi anak-anak saya.....,” kataku terbata.
“Orang seringkah lupa, bahwa rumah tangga yang tak harmonis,
jika dibiarkan berlarut-larut juga dapat mempengaruhi anak-anak. Melihat orang
tuanya bertengkar setiap hari, tak ada kemesraaan, rumah tangga bagaikan neraka.
Apalagi jika banyak terjadi kekerasan, meski tak ada pemukulan, tapi suasana
rumah yang selalu tegang dan membuat takut para penghuninya sungguh bukan
tempat yang baik bagi anak-anak. Jika keadaan sudah seperti itu, haruskah kita
pertahankan meski membawa kemudharatan? Coba pikirkan. Saya tak menyuruh
bercerai. Tapi saya ingin Ibu memikirkan kondisi Ibu, dan membuat keputusan
yang tepat, sebab Ibulah yang paling tahu kondisinya. Keputusan ada di tangan
Ibu.”
“Tapi bagaimana membuktikan hal-hal seperti itu di pengadilan?
Saya tak punya bekas pukulan, bahkan tak ada lebam sama sekali untuk dapat
dijadikan bukti!” kataku ragu.
“Bu, semua yang Ibu ceritakan pada saya tadi, dapat menjadi
alasan yang sangat kuat untuk mengajukan gugatan cerai. Pengadilan Agama tahu
apa itu kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang yang mengaturnya pun ada
dan jelas.” lanjut lelaki itu.
Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Benarkah? Suamiku
memang beberapa kali melontarkan ancaman akan membunuhku, hingga membuatku
takut sendirian bersamanya.
“Pikirkan juga ini, Bu. Dalam Islam, tak dibenarkan seorang
suami mengambil hasil jerih payah istrinya. Tidak sepeserpun kecuali atas izin
si istri. Apa-apa yang dihasilkan istri adalah haknya dan si istri berhak untuk
membelanjakannya sesuka hatinya as alkan di jalan yang benar dan sesuai
syariat. Tidakkah Ibu merasa heran dengan tindakan suami Ibu yang mengambil
semua milik Ibu? Membeli rumah dan tanah dan mengatasnamakannya dengan namanya
sendiri meski semua itu dibeli sepenuhnya dengan uang Ibu? Saya rasa setiap
orang setuju bahwa itu adalah perbuatan yang sangat memalukan dan tak bertanggung
jawab.”
Aku diam, tapi setiap kata-kata lelaki itu menghujam begitu
dalam. Sebab, ia benar. Dan kali ini tak ada jalan bagiku untuk mengelak, untuk
membenarkan segala perbuatan suamiku. Apa yang dilakukannya salah dan aku harus
mengakuinya.
“Dan itulah kelemahan perempuan, Bu. Jelas-jelas suami sudah
berbohong, berkhianat, bahkan ada yang sampai memukul dan menyiksa lahir dan
bathin, masih saja tinggal diam. Bahkan baru-baru ini, ada perempuan yang
sampai disuruh memotong jempol kakinya oleh suaminya, tapi masih tetap juga
ngotot bertahan dalam rumah tangga, padahal jelas-jelas suaminya salah.
Padahal, Islam memberikan hak kepada perempuan untuk hidup bahagia, dihormati,
dihargai, dicintai dan dilindungi. Dan jika hak itu tak diperoleh dari
suaminya,maka perempuan bo leh memperjuangkan haknya. Tak ada yang salah
apalagi dengan itu!”
Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya mengusap air mata yang
mengalir diam-diam.
Keputusan itu...
Suamiku makin tak terkendali. Dia makin sering mengintimidasiku,
mengancam akan membunuh, mendiamkanku atau bahkan berteriak-teriak memarahiku
di hadapan anak-anak kami. Ia mulai membanting barang-barang, beberapa kali
hampir memukulku dengan benda yang dipegangnya meski tak pernah benar-benar melakukannya.
Suasana rumah kian memanas. Rumah tangga kami sudah
seperti neraka. Anak-anak kami makin suka menangis dan berteriak tak karuan.
Anak sulungku seringkah melamun dan mudah menangis serta tersinggung. Sedang
anak kedua dan ketiga mudah mengamuk dan berteriak jika apa yang diinginkan tak
diperolehnya.
Maka diam-diam, setiap kemarahan serta ancaman, atau diam
suamiku, justru menjadi jalan setapak yang kulalui hingga kusampai pada
keputusan itu. Sungguh bukan keputusan yang mudah, karena pada dasarnya aku
masih saja takut jangan-jangan ini semua adalah salahku. Namun satu hal yang
membuatku tak menyurutkan langkah adalah bahwa aku merasa tak mampu lagi hidup
bersama lelaki yang telah 10 tahun menjadi suamiku ini. Aku tak lagi memiliki
sedikit pun keikhlasan untuk melayaninya. Dan aku tahu, setiap ketidakikhlasanku
itu hanya akan menjadi jalan bagiku untuk berbuat dosa. Aku tahu, perkawinan
ini tak akan lagi menjadi ladang a-mal bagiku, sebab aku membenci suamiku dan
tak akan mampu lagi hidup bersamanya dengan ikhlas, sabar dan suka cita.
Maka aku pergi menemui lelaki petugas Pengadilan Agama
itu. Aku bertanya apa-apa yang kubutuhkan untuk menggugat cerai suamiku.
Ternyata sederhana saja. Aku hanya perlu menyerahkan foto copy KTP dan Surat Nikah
serta membuat pengaduan. Ia pun menyarankanku untuk menyimpan surat-surat tanah
yang mungkin masih bisa kuselamatkan dan kubaliknamakan, menyimpan surat-surat kendaraan,
dan surat-surat rumah, agar jangan sampai suamiku menguasai seluruhnya tanpa
memberiku bagian sedikit pun.
Maka proses itupun dimulai. Perlahan-lahan dan diam-diam,
kukumpulkan semua milikku. Uang gajiku yang tadinya hampir seluruhnya masuk ke
dalam rekening bank suamiku, sedikit demi sedikit kukurangi. Aku telah merencanakan,
begitu aku mengajukan gugatan cerai, maka seluruh uangku akan masuk ke rekening
bankku saja. Dan hari itu tibalah. Aku menebalkan tekad dengan sholat malam dan
memperbanyak doa. Dengan menguatkan hati, kumasuki kantor Pengadilan Agama. Tak
terkira debaran jantungku dan sekuat tenaga kutahan air mataku. Aku tidak akan
surut.
Dan hari itu, di bulan Agustus, aku pun membuat pengaduan.
Selang beberapa hari kemudian, tepatnya seminggu setelah pengaduan dibuat,
surat panggilan untuk menghadiri sidang pun datang. Ketika itu, aku telah berpisah
rumah dengan suamiku yang pada suatu malam menjadi demikian marah dan gila
hingga mengusir aku dan keempat anakku dari rumah kami. Ketika itu pukul 3 dinihari.
Dan kejadian itu, menorehkan luka begitu dalamnya di hatiku, hingga melecutku
serta memberiku kekuatan untuk akhirnya mendatangi Kantor Pengadilan Agama.
Rasa Bersalah
Persidangan itu begitu menakutkanku. Belum pernah aku merasa
begitu kecil, terhina, dan menderita karena aku harus menceritakan aibku
sendiri di hadapan orang-orang asing yang bernama Hakim Ketua, dua Hakim Anggota,
dan seorang Panitera. Belum lagi kenyataan bahwa orang yang kulawan adalah
suamiku sendiri. Bagaimana mungkin semua ini terjadi? Aku merasakan kesedihan
yang amat hebat, hingga tak jarang aku menangis di hadapan orang-orang yang
hadir dan tak mampu berkata-kata. Akupun memilih untuk lebih banyak menyampaikan
pembelaan dan pengakuanku dalam bentuk tertulis.
Itulah suasana teraneh yang pernah kualami. Berseteru dengan
orang yang pernah begitu kucintai, saling menyerang, saling membuka kesalahan
dan aib. Oh... entah ke mana cinta yang dulu ada di antara kami. Sungguh begitu
mudah cinta tercerabut, hingga ke akar akarnya, hingga kami bisa saling
berhadapan dan saling memburukkan satu sama lain. Ketika akhirnya gugatanku dikabulkan,
aku merasa bebas. Tapi belakangan aku didera rasa bersalah, terutama setiap
kali melihat wajah keempat anakku. Oh, Tuhanku... apa yang telah kulakukan? Bersalahkah
aku? Berdosakah aku telah membuat anakanakku terpisah dengan ayah rnereka?
Egoiskah aku? Benarkah aku memberikan yang terbaik bagi anak-anakku? Benarkah
aku melakukan semua ini demi ketenangan mereka, demi perkembangan jiwa mereka
yang telah kerap menyaksikan pertengkaran demi pertengkaran, mendengar ancaman
demi ancaman? Benarkah? Benarkah?
Aku menjadi sakit. Berbagai dokter kukunjungi, sakitku tak
juga sembuh. Hingga suatu hari, salah seorang keluargaku membawaku menemui
seorang dokter yang terkenal taat ibadahnya. Dari dialah aku mendengar bahwa aku
sebenarnya tak sakit. Aku sehat-sehat saja. Yang sakit adalah jiwaku.
“Sakit perut seperti mag, sakit punggung yang berkelanjutan,
merasa kedinginan setiap saat, pusing yang terus menerus, adalah gejala stress.
Pergerakan usus Ibu normal, tak ada yang bermasalah. Apa yang Ibu khawatirkan
dan pikirkan? Stress tak ada obatnya. Obatnya datang dari diri sendiri. Dari
penguatan diri. Saran saya, apapun masalah Ibu, perbanyaklah berdoa dan shalat malam.
Semua masalah ada jalan keluarnya. Berserah diri pada Allah,” kata dokter itu
sambil tersenyum.
Sejak itu, aku tak lagi membiarkan diriku tenggelam dalam
siksaan rasa bersalah. Aku banyak berdoa, banyak sholat malam dan lebih
memasrahkan diri pada Allah. Kupandangi anak-anakku. Melihat wajah mereka, aku
pun 'terjaga' dari tidurku selama ini. Jika aku jatuh dan terpuruk, siapa yang
akan menjaga anak-anakku? Jika aku tenggelam dalam kesedihan, siapa yang akan menggembirakan
anak-anak ku? Akulah satu-satunya harapan mereka. Aku telah menciptakan situasi
ini.
Menangis sungguh tak akan membawa hasil apaapa. Apa yang
telah terjadi adalah menjadi bagian dari hidup yang harus kuhadapi. Allah lebih
tahu apa yang terbaik bagiku.
Jika ini yang terbaik, maka aku terima dengan lapang
dada. Aku pun sampai pada kesadaran, bahwa aku adalah orang yang 'terpilih' untuk
menerima ujian ini. Mengapa aku? Tentunya karena Allah tahu sesuatu yang aku
tak tahu. Maka aku tak lagi mempertanyakan mengapa Allah menimpakan ujian ini.
Semangat hidupku bangkit lagi. Aku kian giat berusaha dan
bermunajat kepada Allah. Dalam doa, aku meminta agar Allah menghilangkan rasa
bersalah, kegelisahan dan ketidaktenangan dari dalam jiwaku.
Lagi-lagi, Allah menjawab doaku. Sebab, pada suatu hari aku
berkenalan dengan seorang laki-laki yang tak sengaja bertemu denganku di sebuah
seminar. Lelaki yang belakangan kutahu seorang ustadz ini, berkata padaku setelah
kami cukup dekat dan aku dapat menceritakan tentang perceraianku.
“Mbak, Allah yang membenci perceraian itu, adalah Allah
yang sama yang juga mengajari kita cara untuk melakukan perceraian secara
ma'ruf. Jadi, Allah sudah tahu bahwa akan ada di antara hambanya yang tak akan
berhasil dengan rumah tangganya, sehingga Dia pun membolehkan perceraian untuk
mengatasi masalah yang sudah tak dapat lagi dicarikan jalan keluarnya.”
Aku diam mendengarkan.
“Jadi, perceraian itu memang ada dan diperbolehkan. Meski
memang dibenci Allah.Tapi bila memang tak ada jalan keluar dan alasan-alasan
untuk melakukan perceraian sesuai syariat, maka itu boleh. Tak usah merasa bersalah.
Allah Maha Tahu dan Mengerti. Jangan siksa diri dengan perasaan bersalah itu.
Mbak tidak bersalah! Suami Mbak berkhianat dan Mbak tidak bisa mentolerirnya.”
“Tapi orang lain bisa. Jangan-jangan seharusnya saya bertahan
dan bersabar,” kataku.
“Bertahan gimana? Suami Mbak tidak mengaku bersalah. Apalagi
mau minta maaf dan memperbaiki diri. Sudahlah... Mbak tidak bersalah!” katanya
meyakinkanku. “Sekarang, banyak-banyaklah memohon pertolongan Allah, agar Mbak
diberi kekuatan.”
Jalan masih panjang
Dan begitulah... Allah sungguh Maha Adil. Makin hari, makin
ditunjukkannya bukti-bukti tentang kesalahan suamiku, kadang dengan cara-cara
yang sangat ajaib.
Misalnya, aku bertemu sahabat lama yang telah lebih dari 10
tahun tak berjumpa dan darinya kudengar bahwa suamiku berselingkuh dengan
seorang karyawati, yang ternyata adalah teman sekantor tetangga dekat rumahnya.
Ada juga kejadian, ketika suamiku salah kirim sms yang ditujukan kepada kekasihnya
ternyata terkirim ke HPku. Maka semua kejadian itu membuatku semakin yakin pada
jalan yang kutempuh.
Setelah merasa yakin dan rasa bersalah berkurang sedikit demi
sedikit, aku mulai memperoleh kepercayaan diri lagi. Aku membangun hidup dengan
memprioritaskan kepentingan anak-anak. Aku harus kuat sebab akulah tempat
anak-anak bersandar.
Ketika saat-saat sedih datang menyesaki dada, aku banyak
mengadu pada Allah dalam sholat-sholat malam yang panjang. Aku tumpahkan
seluruh beban dan air mata ini hanya kepada Allah. Sebab Dia sebaik-baik
pendengar. Dari apa yang kujalani, aku pun banyak belajar.Salah satunya adalah,
bahwa akulah satu-satunya yang mampu membuat keputusan untuk hidupku, atas
pertolongan Allah.
Bahwa sebenarnya, akulah yang paling mengerti apa yang kubutuhkan,
apa yang kurasakan, apa yang harus kulakukan. Bahkan keluarga terdekat
sekalipun, tak dapat sepenuhnya mengerti perasaanku. Akan ada masanya mereka
merasa jenuh mendengar keluh kesahku, sementara masih begitu banyak yang ingin
kukeluhkan, seolah tak pernah ada habisnya. Dari situlah aku mengerti, bahwa hanya
dirikulah yang bisa mengendalikan perasaanku dengan cara bersabar dan
bertawakkal. Dan hanya Allah sebaik-baik tempat mengadu.
Pengalaman ini juga memperkuat apa yang selama ini kuyakini;
bahwa bagaimana pun, sebaiknya perempuan haruslah mandiri dan bekerja. Tentu
tak harus bekerja di luar rumah jika itu memang menyulitkan. Bekerja dari rumah
dan menghasilkan sesuatu bagi dirinya sendiri, merupakan hal yang baik untuk
memupuk kemandirian serta kesiapan mental ketika terjadi musibah. Bukan hanya karena
perceraian, tetapi untuk menghadapi saat-saat ketika suami tak ada di rumah,
entah karena bepergian, jatuh sakit yang tak memungkinkannya bekerja,
kecelakaan ,atau bahkan meninggal dunia.
Semua pengalaman ini membuatku yakin, bahwa sebenarnya
perempuan mampu bila keadaan memaksa untuk hidup dan berjuang sendirian.
Keteguhan serta keberanian serta kegigihan dan kesabaran untuk tetap berjuang
dan bertahan hidup demi diri sen diri dan anak anak adalah senjata yang sangat
ampuh, yang rasanya wajib dimiliki oleh seorang perempuan.
Tentu, tak seorang perempuan pun ingin diceraikan apalagi
menceraikan, tak seorang perempuan pun ingin ditinggal mati suaminya, tak
seorang perempuan pun ingin berjuang sendirian karena suami tiba-tiba jatuh
sakit, tak seorang perempuan pun ingin menjadi janda. Tapi ketika semua itu
harus terjadi, karena takdir ilahi,maka seorang perempuan yang paling lemah
sekalipun, harus siap memanggul beban dipundak. Sebab perempuan berhak sekaligus
berkewajiban untuk berusaha dalam hidup. Tetap kuat dan sabar menjawab setiap
tantangan, tetap terpacu untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sebab, perempuan juga berhak bahagia. Dan aku berhak bahagia,
sebab aku juga seorang perempuan dan seorang hamba Allah. Insya Allah.
(Nejla Humaira)
Momen Kecil yang Meninggalkan Jejak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar