Karya :
Asma Nadia
Kalau Saya Jatuh Cinta Lagi
“Kalau saya menikah lagi, itu murni karena saya suka dengan
gadis itu. Saya jatuh cinta. Titik.”
Santai,
santun meski ceplas ceplos. Begitulah kesan saya tentang Pak Haris. Pimpinan
sebuah penerbitan di Solo yang saya temui dalam satu kesempatan.
Saya lupa bagaimana awalnya hingga Pak Haris menyinggung
poligami. Kebetulan saya tertarik dengan persoalan ini, dan sedang menulis
sebuah novel bertema poligami yang penggarapannya sangat menyita energi.
Saya ingin mendalami pikiran laki-laki. Sebenarnya apa yang
ada di kepala mereka ketika menikah lagi? Awalnya saya kira seperti lelaki lain,
Pak Haris akan mengelak atau memberi jawaban ala kadar. Ternyata...
“Sejujurnya Mbak Asma, hanya ada satu alasan inti kenapa
lelaki menikah lagi.”
Saya dan seorang teman saat itu langsung menyimak baik-baik.
“Dan itu bukan karena menolong, bukan karena kasihan, atau
alasan lain. Saya lelaki. Dan kalau saya menikah lagi itu murni karena saya suka
dengan gadis itu. Saya jatuh cinta. Titik. “
Wah, jujur sekali. Pikir saya salut.
Dialog yang berawal di rumah makan berlanjut ke dalam mobil.
Saya dan teman yang memang bekerja di penerbitan yang dikelola Pak Haris kemudian
mengunjungi penerbitan beliau. Saya diperkenalkan kepada beberapa pegawai dan juga
produk-produk mereka.
Di sofa tamu, obrolan berlanjut lagi.
“Sebenarnya Ramadhan kemarin saya tergoda sekali untuk
menikah lagi. Sungguh keinginan itu datang begitu dahsyatnya.”
“Padahal Ramadhan ya, Pak?” Lelaki itu tertawa, mengiyakan.
“Dan saya kira saya hampir saja berpoligami, kalau saja saya
tidak bertemu seorang teman. Ikhwan yang memberi satu pernyataan yang luar biasa
benar dan akhirnya berhasil mengubah niat saya.”
Dalam hati saya menebak-nebak kemana penjelasan Pak Haris
berikutnya.
“Ikhwan itu berkata begini, Mbak Asma... Jika saya menikah
lagi: Pertama, kebahagiaan dengan istri kedua belum tentu... karena tidak ada
jaminan untuk itu. Apa yang diluar kelihatan bagus, dalamnya belum tentu. Hubungan
sebelum pernikahan yang sepertinya indah, belum tentu akan terealisasi indah.
Dan sudah banyak kejadian seperti itu.”
Benar sekali, komen saya dalam hati.
“Yang kedua, Pak?” Lelaki itu terdiam, lalu menatap saya
dengan pandangan serius.
“Sementara luka hati istri pertama sudah pasti, dan itu akan
abadi.”
Saya melihat Pak Haris menarik napas panjang, sebelum
menuntaskan kalimatnya, “Sekarang, bagaimana saya melakukan sebuah tindakan untuk
keuntungan yang tidak pasti, dengan mengambil resiko yang kerusakannya pasti
dan permanen?”
Dialog di atas terjadi bertahun-tahun lalu. Saya tidak tahu
bagaimana kabar Pak Haris sekarang, apakah masih berpegang pada masukan si
ikhwan itu atau tidak.
Saya sendiri menerima aturan poligami yang memang ada
dalam Qur'an, tetapi cenderung menyetujui pendapat seorang ustadz muda yang
mengatakan asal syari'at poligami pada dasarnya adalah monogami. Artinya dalam keadaan
normal, monogami tetap lebih utama. Betapa pun, sungguh saya iri terhadap para
istri yang sanggup mengikhlaskan suaminya menikah lagi. Hal yang tentu teramat
sulit. Bagaimana bisa berbagi pasangan hati yang selama bertahun-tahun hanya
menumpukan perhatian pada kita sebagai satu-satunya istri?
Rasa iri tadi sering ditambah dengan kesedihan yang luar biasa,
saat menyadari betapa mudahnya lelaki kemudian melalaikan tanggung jawab bahkan
sampai menelantarkan istri pertama dan anak-anak nya.
Untuk kebahagiaan yang belum pasti?
Teringat seorang teman asal Malaysia yang saya temui di Seoul.
Lelaki yang dengan lantang menerangkan statusnya, ketika ditanyakan berapa anak
yang Allah telah karuniakan kepadanya, “Dari istri pertama ada tiga. Dari istri
kedua belum ada...”
Barangkali karena merasa bertemu dengan muslim di negeri
yang sebagian besar penduduknya non muslim itu, hingga dia menjadi terbuka
kepada saya. Apalagi setelah saya katakan bahwa saya seorang penulis. Pernikahan
kedua itu tidak pernah direncanakan.
“Ini takdir,” katanya,”Saya tidak pernah sengaja mencari istri
lain.”
Saya diam saja. Tidak hendak berdebat soal itu.
Hanya setelah saya tanyakan kerepotan memiliki dua istri,
ceritanya semakin menarik. Terakhir saya tanyakan apakah dia merasa lebih
bahagia setelah menikah lagi?
Mendengar pertanyaan saya, lelaki bertubuh tinggi itu tampak
termenung cukup lama sebelum menjawab, “Yang sudah terjadi, tidak bolehlah kita
sesali.” Menatap senyum getir lelaki itu, seketika ingatan saya terlempar pada kalimat
terakhir Pak Haris, beberapa tahun lalu.
Seoul, 18 Agustus 2006
crta yg luar biasa...lnjut pengen tw lg tntng poligami
BalasHapuscerita yang menarik...
BalasHapus