Selasa, 12 Mei 2015

Catatan Hati Seorang Istri Bagian 4


Karya : Asma Nadia

Rombongan Gadis Yang Melamar Suami Saya

“Apa yang bisa saya katakan, ketika melihat seorang gadis bersama rombongan keluarganya datang dan melamar suami saya?”
Satu hal yang tak pernah lupa saya syukuri dari rangkaian acara launching buku atau temu penulis yang harus saya hadiri, adalah kesempatan untuk bertemu dan belajar dari banyak orang.
Seperti pada acara launching buku Kisah Kasih dari Negeri Pengantin (yang dicetak ulang dengan judul: Kisah Seru Pengantin Baru), yang membawa saya ke Makassar.
Acara yang bertempat di ruang pertemuan kecil di salah satu rumah makan terkenal itu bukanlah acara utama.
Kegiatan sebenarnya adalah diskusi kepenulisan terkait buku baru saya saat itu, Aku Ingin Menjadi Istrimu.
Sedikit terlambat hadir pembicara lain, yang segera mengambil tempat di sisi saya. Pada pandangan pertama, saya sudah dibuat terkesan oleh Ustadzah yang usianya lebih dari separuh abad itu. Saya bisa merasakan sikapnya yang tenang, bijak dan meneduhkan.
Hanya saja saya tidak mengira, momen peluncuran buku baru yang berisi kisah-kisah pernikahan dari proses hingga adaptasi dan semua perniknya, menyentuh hati Ustadzah hingga tergerak membagi satu bagian dalam hidupnya, yang selama ini tidak pernah dibicarakannya secara terbuka.
“Apa yang bisa saya katakan, ketika melihat seorang gadis bersama rombongan keluarganya datang dan melamar suami saya?”
Gadis baik-baik. Pertemuan si gadis dan suami Ustadzah berlangsung di luar kota, kebetulan sang suami memang sering bepergian dalam waktu cukup lama.
“Tentu saja saya sedih, terpukul... tetapi di sisi lain saya juga menyadari: suami saya orang baik, pintar, saleh. Wajar jika ada perempuan lain yang jatuh cinta, kan? Padahal selisih usia mereka cukup jauh.”
Dengan suara tertahan, Ustadzah melanjutkan kisahnya, “Saya sempat bertanya kepada Allah, kenapa ujian ini diturunkan sekarang? Di saat usia saya jauh dari muda. Saya terus mencoba mencari jawaban.”
Seperti audiens, saya pun tersihir untuk terus mengikuti kisah yang dituturkan perempuan berjilbab itu.
“Lalu tiba-tiba saya melihat kejadian ini bukan sebagai ujian, melainkan pertolongan Allah. Bagaimana pun saya sudah tua. Mungkin karena itu Allah ingin meringankan beban dan tanggung jawab saya sebagai istri. “
Ada air mata yang menitik. Bentuk kepasrahan perempuan itu. Kami belum lama berjabat tangan tetapi sikap dan upayanya berpikir positif, membuat saya dengan cepat berempati, “Hari-hari saya setelah itu adalah doa. Saya terus menghitung nikmat Allah yang lain.Saya sadar Allah telah memberi saya banyak sekali kebahagiaan. Salah satunya anak-anak. Yang hingga besar, belum pernah melukai hati saya. Prestasi akademis mereka pun luar biasa. Satu hal yang menggembirakan saya, untuk keputusan-keputusan penting dalam hidup, mereka selalu menimbang perasaan saya, menanyakan keridhaan saya.”
Ada sejuk yang tiba-tiba menyapa hati. Sebagai sesama perempuan, saya tidak bisa membayangkan betapa kuatnya sosok yang berdiri di samping saya. Sementara saya mungkin akan ber sikap seperti kebanyakan perempuan yang hanya bisa menangis, tergugu dan tiba-tiba merasa kehilangan pegangan, jika suami harus membagi kasih, cinta dan perhatiannya pada perempuan lain.
Ketika acara selesai dan kami berjabatan tangan untuk terakhir kali, saya menatap kedua mata Ustadzah yang teduh, seraya diam-diam berdoa. Semoga Allah pun menjaga mata dan hati saya, agar selalu bisa menangkap hikmah, betapapun kesedihan membenamkan. Amin.

Kebanggaan Seorang Istri

“Saya tidak punya kelebihan seperti kalian. Dan bisa menikah dengan lelaki ini jauh melampaui impian saya!” Kami mengenalnya sejak masa kuliah. Seorang muslimah berjilbab yang selalu merasa dirinya biasa-biasa saja.
“Saya tak punya kelebihan seperti yang lain,” kalimatnya suatu hari, yang dengan cepat kami bantah.
“Sungguh. Kamu bisa menulis, Asma. Sedang kamu jago memasak dan kamu pintar dalam hampir semua mata kuliah.” Ujarnya sambil menunjuk muslimah yang lain.
“Semua orang pasti punya kelebihan.” Saya bersikeras.
Si Muslimah menggeleng, “kecuali saya.”
Perdebatan kami berlangsung seru.
“Saya bukannya tidak bersyukur atas semua yang Allah berikan,” tukasnya lagi membela diri. “Tetapi?”
“Tapi kenyatannya saya memang tidak memiliki sebuah potensi yang bisa dibanggakan. Tidak seperti yang lain.”
Sewaktu tahun-tahun kuliah berlalu, dialog itu hampir terlupakan. Hingga saya bertemu lagi dengannya suatu sore. Wajah muslimah tersebut sumringah.Senyumnya terus mengembang, dan keriangan di matanya seperti kerlip bintang yang bisa saya lihat saat menengadah dari halaman rumah.
“Saya akan menikah,” katanya.
“Benarkah?” Begitu mendadak, pikir saya. Tapi mungkin memang tidak perlu waktu banyak untuk merasakan sang jodoh telah tiba. Seperti yang saya dan teman-teman lain rasakan. Kami gembira, salah satu teman yang belum menikah sebentar lagi akan menggenapkan separuh dien.
“Dengan siapa?” Pipinya yang putih segera merona kemerahan. Lalu dengan senyum yang tak juga hilang, muslimah tersebut menceritakan perkenalannya dengan seorang pria berkewarganegaraan asing.
“Tidakkah terlalu cepat?” Seorang diantara kami bertanya. Muslimah tersebut menggeleng. Lalu dengan semangat berapi-api mengungkapkan kelebihan-kelebihan sang calon.
“Orangnya ganteng.” Kami semua tertawa mendengarnya, bukan karena tak percaya, tapi melihat bagaimana tingkah si muslimah yang sampai mengacungkan dua ibu jarinya.
“Terus?”
“Saya bertemu dia di perpustakaan.”
“Lalu?”
“Lalu lelaki itu mengikuti saya, dan memberikan kartu namanya, sambil memohon saya memberikan alamat agar dia bisa datang dan...”
“Dan?”
Kami semua menunggu. Muslimah tersebut nyaris berteriak ketika menuntaskan kalimatnya, “Dan dia bisa melamar saya!” Ajaib!
Seperti dongeng. Pikir teman-teman saya ketika itu.
Sejujurnya batin saya membisikkan sesuatu yang aneh.
Entah kenapa, semuanya serba too good to be true. Dan
alarm hati saya selalu menjadi lebih sensitif setiap kali berhadap dengan segala sesuatu yang terlalu sempurna.
“Jangan tergesa-gesa dulu,” ujar saya.
“Kenapa?”
“Kamu harus kenal lelaki itu dengan lebih baik.”
“Sudah!” jawabnya cepat.
“Dan?”
“Dia pernah menikah, tapi sudah bercerai. Mantan istrinya kini tinggal di luar negeri.”
Saya dan teman-teman berpandangan. Tetapi kenyataan bahwa calon suaminya seorang duda tampaknya tidak menggoyahkan niat teman saya tersebut.
“Kamu harus bertemu dengan mantan istrinya, minimal bicara.”
“Saya tidak harus melakukan itu,” kalimatnya bersikeras,
“sebab saya percaya kepadanya.”
Kami menyerah. Dan sepanjang jalan, si muslimah terus memuji-muji calon suaminya yang warga negara asing itu.
Di sampingnya sang kakak yang mendampingi dan cukup dekat dengan kami, ikut menasihati. Tapi pendiriannya tak berubah.
Dia tidak hanya ganteng, tapi juga cerdas! Dia sangat pintar bicara. Pengetahuannya begitu luas. Keislamannya pun baik.
Lalu sebelum berpisah, muslimah tersebut menutup dengan sebuah kalimat yang dulu akrab dengan kami,
“Saya tidak punya kelebihan seperti kalian. Dan bisa menikah dengan lelaki ini jauh melampaui impian saya!”
Kami mendadak sadar, dan tak ingin merusak kebanggaannya.
Pernikahan tetap berlangsung. Sekalipun sang kakak dan ibu si muslimah awalnya menentang keras. Perlahan seluruh keluarga luluh dengan pembela an-pembelaan si muslimah.
“Saya harus menikah dengan dia. Dia adalah hal terbaik yang pernah datang dalam hidup saya!”
Saya hadir dan menikmati kegembiraan teman tersebut, dalam pernikahan yang diadakan besar-besaran. Maklum keluarga mereka adalah keluarga terpandang. Kedua orang tua si muslimah adalah pejabat teras kala itu.
Sebelas hari setelah pernikahan, kakak si muslimah datang kepada saya, sambil menangis.
“Lelaki itu brengsek!” Lalu mengalirlah cerita demi cerita tentang suami adiknya.
“Hanya sepuluh hari setelah menikah, lelaki itu sudah main perempuan lain, Asma!”
“Kakak yakin?”
Sang kakak mengangguk.
“Sepuluh hari! Ya Allah. Bukan hanya saya yang memergoki, tapi juga om, tante, saudara-saudara kami.”
“Mungkin perempuan itu rekan kerjanya, kak.”
Saya mencoba berprasangka baik.
“Tidak. Saya yakin tidak.” Si kakak bersikeras.
Pembicaraan putus sampai di situ. Hingga dua bulan kemudian sang kakak datang lagi kepada saya, dengan tangis terisak menceritakan ulah adik ipar yang tak hanya main perempuan, tapi membawanya ke rumah.
Saya hanya bisa beristighfar.
Ingin saya memeluk dan mengalirkan ketabahan kepada si muslimah jika nanti kami bertemu. Kelakuan suaminya sudah keterlaluan.
Tapi alangkah kagetnya ketika suatu hari kami tidak sengaja berpapasan dan si muslimah menceritakan tentang kabarnya setelah pernikahan, suami juga anak yang kini dikandungnya dengan nada gembira.
Saya melihat matanya yang sembab, bahkan le-bam biru di pipinya. Tapi seolah tak menghiraukan tatapan saya, si muslimah terus saja berbicara tentang kebaikan-kebaikan suaminya, kejutan-kejutan manis, canda dan kelucuannya.
Dan ketika saya nyaris berbicara, muslimah tersebut menatap saya, dan kembali mengulang kalimatnya, “Asma, dia adalah hal terbaik yang pernah datang dalam hidup saya!”
Ingin sekali saya bisa memercayai perkataannya. Tapi kabut di matanya, lalu bibir yang bergetar, membuat saya tidak tahu apa yang harus saya percayai.
Muslimah ini lalu mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Persiapan-persiapan selama masa kehamilan, dan kelahiran nanti.
Saya tak sanggup bicara. Ketika teman saya itu melahirkan bayi pertamanya, saya mampir dan bertemu dengan ibu si muslimah yang kesehatannya jauh menurun sejak pernikahan anak bungsunya.
“Kasihan dia... kasihan. Menikah dengan lelaki yang tak punya tanggung jawab. Malah menyakiti saja kerjanya!”
Dengan tangis yang panjang pendek, ibu si muslimah merangkul saya dan menumpahkan semua. Lebih dari yang bisa saya tampung.
“Dia tidak pernah bekerja, Asma! Anak saya yang harus membiayai semua. Dia jarang pulang. Bahkan tak pernah peduli dengan darah dagingnya sendiri! Belum setiap hari dia minum, dan memukuli bungsu saya. Kenapa dia tidak menceraikan saja anak saya, daripada membuatnya menderita seperti itu?”
Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak dengan sikap tertutup si muslimah, yang menyambut saya dengan senyum dipaksakan. Mendadak saya ingat, dulu sekali kami biasa bicara terbuka, bebas, kedekatan yang sudah lintas keluarga. Kapan semuanya berubah? Sejak dia menikah, kah?
“Ini anakku, Asma.”
Berkata begitu si muslimah menyodorkan seorang bayi tampan ke hadapan saya.
“Ganteng kan seperti papanya?” lanjutnya lagi sambil mencium si bayi dalam-dalam. Lalu sederet cerita tentang kebaikan suaminya mengalir.
“Dia membelikan ini buat anak pertama kami,” tuturnya dengan keriangan anak-anak. Pernikahan mereka masih berlangsung hingga saat ini. Beberapa kali saya bertemu dengan teman saya tersebut yang tampak selalu berganti pekerjaan. Anak mereka sudah dua. Dan sang suami tak kunjung berubah.
Di hadapan saya, si muslimah memangku bayinya yang kedua. Seperti yang sudah-sudah, tak berhenti bercerita tentang suami yang dia banggakan. Di kursi, saya terpaku. Tidak tahu harus berbicara apa. Sementara sepasang mata tua milik ibu si muslimah, menatap kami dengan pandangan berkabut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar