Karya :
Asma Nadia
Menikah Tanpa Memandang
“Betapa kagetnya saya. karena perempuan itu sama sekali
tidak cantik!”
Saya sungguh
tidak mengerti laki-laki, atau isi kepala mereka. Seperti sosok di depan saya.
Seorang kawan, yang mengajak saya dalam satu proyek event orga-nizer untuk acara
parenting.
Sepanjang perjalanan ke lokasi acara, di atas bis, lelaki
itu menceritakan sesuatu yang sebenarnya terbilang pribadi dan membuat saya
sungkan.
Dia dan istrinya sudah lama menikah. Dari pernikahan itu
telah lahir empat orang anak yang sungguh menghibur.
Setidaknya dia selalu tampak bahagia jika bercerita
tentang anak-anak.
“Tapi pernikahan saya tidak bahagia,” cetusnya tiba-tiba.
Saya kaget mendengarnya. Tetapi ternyata itu belum apa-apa
dibanding kekagetan saya saat mendengar kalimat berikut yang meluncur dari
mulut lelaki berusia 35-an itu.
“Saya tidak pernah mencintainya.”
A... apa maksudnya?
Saya pernah bertemu istrinya dan sekejap bisa melihat kesalihan
dan komitmen perempuan itu mengasuh anak-anak, dengan tangannya sendiri.
Keluarga mereka, meski sederhana terlihat cukup bahagia, setidaknya menurut pengamatan
sepintas saya.
Lalu meluncurlah kisah dari lisan lelaki yang awalnya cukup
saya hormati karena komitmennya dalam dakwah, bahkan tergolong senior di
kalangan ikhwan (aktifis keislaman).
“Saya ingin ikhlas ketika menikah. Karenanya...”
Saya memasang wajah tidak bersemangat, berharap lelaki
itu berhenti. Sebab rasanya tak pantas dia menyampaikan hal yang tergolong
pribadi itu kepada orang luar dan perempuan pula.
“Karenanya saya memutuskan tidak melihat wajah istri ketika
kami berproses.”
Lelaki itu mengalihkan pandangan ke beberapa penumpang
yang naik dan membuat bis semakin penuh sesak.
“Saya baru melihatnya setelah di pelaminan.”
Ya, saya pernah mendengar kisah dari guru mengaji saya maupun
beberapa teman, tentang trend menikah di mana ikhwan memutuskan tidak melihat
calon istri. Pernikahan dengan guru ngaji sebagai perantara. Sama seperti
mediator yang kadang dibutuhkan dalam perjodohan. Sebenarnya tidak ada yang
salah dengan itu.
Umumnya mereka diberikan foto, jadi bisa memiliki gambaran
tentang wajah calon istri. Tetapi ada juga yang bercerita, bahwa kebalikan dari
situasi muslimah yang kerap tidak punya banyak pilihan hingga laki-laki yang kemudian
melamar adalah satu-satunya calon yang muncul, para ikhwan justru seringkah
mendapatkan banyak penawaran pada detik mereka memutuskan akan menikah.
Penawaran dan banyak alternatif foto, yang kemudian membuat
sebagian aktifis muda itu mungkin agak sungkan, seperti teman di hadapan saya
yang lalu berusaha 'ikhlas'.
Saya pernah mendengar cerita bagaimana beberapa ikhwan membalikkan
atau menutup foto-foto muslimah yang disodorkan kepada mereka, untuk kemudian
menunjuk salah satu, tanpa melihat lebih dulu. Awalnya, cerita ini membuat saya
salut, sungguh. Menikah tanpa melihat wajah dan fisik.Sesuatu yang makin
langka, di jaman sekarang.
“Jadi saya baru melihatnya ketika kami di pelaminan,” lelaki
itu menyambung kalimatnya dengan nada murung, “betapa kagetnya saya... karena
perempuan itu sama sekali tidak cantik!”
Tidak cantik dan karenanya tidak bisa mencintai?
Tapi mereka sudah dikaruniai empat orang anak, bagaimana
mungkin?
Mudah-mudahan saya tidak subjektif ketika menilai raut istrinya
yang di mata saya tergolong manis.
Sungguh perkataannya membuat saya seketika ingin protes.
Lihat Rasulullah yang bersedia menikahi perempuan yang 25
tahun lebih tua darinya, bahkan ada yang lebih tua lagi dari itu!
Lihat para sa-habiyah... perempuan yang menerima pinangan
Bilal Bin Pabah!
Tetapi saya pun mengerti, betapa berlikunya jalan menuju
keikhlasan. Betapa berat menjaga suasana hati yang sudah terkondisi agar tidak
terkotori. Karenanya, saya tetap menghormati sikap si teman yang tidak melarikan
diri, dan tetap berusaha menjadi ayah yang bertanggung jawab bagi anak-anaknya.
Dan tentu saja siapapun tidak boleh dan tidak berhak menghakimi.
Meski jika dibenarkan, ingin sekali saya meninjunya.
Depok, September 1999
Pernikahan Pertama dan Kedua
“Bagaimanakah perasaan seorang istri bila menemukan wanita
lain, tidur di kamar kosong dirumah kami dalam kondisi tak berpakaian?”
Aku menikah
dua kali. Bukan prestasi cemerlang memang. Tapi juga tak perlu kututupi.
Kadang, jujur masih lebih baik daripada munafik. Meski tentu saja tak semua orang
berpendapat sama denganku. Tapi biarlah, ini menjadi lembaran hidupku yang
mungkin bisa berguna bagi orang lain. Kadang bila kita menghadapi masalah dan
tak siap untuk menceritakannya, membaca pengalaman orang lain juga bisa
membantu kita dalam memecahkan masalah.
Inilah yang dulu tak sempat kulakukan. Semoga pengalaman
burukku tak dialami orang lain, tapi kalaupun ada yang mengalami, mudah-mudahan
tulisan ini bisa memberi manfaat.
Pernikahanku yang pertama di tahun 1994 kulangsungkan dalam
usia 21 tahun. Aku terpaksa menikah, bukan karena dijodohkan, tapi karena
terlanjur mengandung putra pertama. Bayangan-bayangan indah seputar pernikahan
sirna di rninggu pertama setelah pernikahan kami. Dalam kondisi mengandung 6,5
bulan, tentu saja tak ada honeyrnoon.
Menikah dengan lelaki yang usianya sebaya denganku, belum
bekerja dan merupakan drug user tentu saja menimbulkan kesulitan besar bagiku.
Tinggal di rumah mertua makin melengkapi buruknya situasi. Semua diatur mertua,
termasuk uang bulanan jatah dari mereka, aku tak boleh meneruskan karirku,
bahkan tak boleh lagi melanjutkan kuliah.
Tugasku hanyalah menjaga kandungan dan suamiku. Sementara
tak seorang pun penghuni rumah mewah itu berbicara padaku. Mungkin karena kami
berbeda ras. Mungkin karena aku bukan keturunan orang kaya seperti mereka.
Sehari-hari, hanya para pembantu dan tukang kebun sajalah teman ngobrolku. Dan
harus kuakui, merekalah teman sejati yang selalu siap membantu.
Kejenuhan segera melanda, dan harapan untuk disayang suami
sirna setelah kujalani hari demi hari. Suamiku lebih sibuk dengan teman-teman
dan narkobanya. Seringkah ia pergi malam, bahkan tak pulang hingga matahari
berada tepat diatas kepala. Kesabaranku betul-betul diuji.
Di saat aku melahirkan, dia memang mendampingi. Tapi malamnya,
dia juga tak lupa mendampingi teman-temannya gaul dan dugern. Pernah suatu hari
ia merasa sebagai Batman, lalu lompat dari kamar kami di lantai dua, terjun
bebas ke garasi. Kakinya patah dan aku harus merawat dua “bayi” sekaligus. Pada
waktu itu usia anak kami masih 6 bulan.
Pernah juga dia cemburu dan menamparku di sebuah mall di
kawasan Jakarta Selatan. Di saat mengemudikan mobil, ia selalu ugal-ugalan, tak
per-duli pada keselamatanku dan anaknya. Jangan tanya apakah ia pernah
membantuku mengurus anak kami. Melihat dia ada di rumah saja sudah merupakan
kemewahan bagiku. Belum lagi berita-berita miring yang sering mampir di
telingaku seputar perselingkuhannya. Tapi aku tak pernah mengambil sikap
apapun. Selama itu tak kulihat sendiri, biarlah gosipgosip itu terbang kesana
kemari. Aku memang pernah beberapa kali memeriksa dompetnya dan menemukan bonbon
restoran yang tak pernah kami kunjungi bersama. Atau memeriksa Handphonenya dan
menemukan pesan-pesan 'ajaib' disana. Aku bahkan pernah mengemudikan mobil dalam
kondisi mengandung tujuh bulan, hanya untuk membuktikan bahwa suamiku sedang
berada di hotel A, kamar sekian, dengan seorang wanita.
Dan apa yang kulihat di sana membakar rasa cemburuku.
Ternyata gosip-gosip yang selama ini rajin mampir di telingaku benar adanya.
Tapi aku tetap diam.
Aku begitu takut kehilangan dia. Kehilangan statusku sebagai
istri. Bagaimana nasib anak kami nanti?
Kondisi demikian berlangsung hingga dua tahun pernikahan.
Sebagai perempuan muda yang biasa mandiri, harus meminta uang sekedar untuk
biaya hidup dari mertua adalah siksaan bagiku. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan
dari mertua seputar keberadaan suamiku, yang aku sendiri tak pernah punya jawabannya
karena suami memang tak pernah pamit kalau pergi.
Aku hanya menyabarkan diri demi buah hati kami. Tapi kejadian
di suatu hari meruntuhkan semua kesabaran, semua akal sehatku dan menenggelamkan
semua rasa cinta yang pernah ada. Bagaimanakah seharusnya perasaan seorang
istri bila menemukan wanita lain, tidur di kamar kosong dirumah kami dalam
kondisi tak berpakaian? Salahkah aku bila aku begitu marah dan kecewa hingga memutuskan
untuk pulang kerumah orang tua? Salahkah aku bila aku kehilangan rasa percaya
yang selama dua tahun ini kupupuk dengan begitu susah payah?
Tak perlu ditanyakan bagaimana herannya orang tuaku melihat
aku pulang memboyong anak. Selama dua tahun masa pernikahan kami, mereka memang
tak pernah tau apa yang sesungguhnya terjadi karena aku selalu berusaha menutupinya.
Cukuplah aku memberi mereka aib. Tak perlu aku tambah kesedihan mereka.
Tapi aku hanyalah manusia biasa yang punya perasaan dan
batas kesabaran. Aku tak mampu diam dan terus menerima penghinaan. Maka
kuputuskan untuk bercerai.
Orang tuaku hanya mampu memberi support tanpa mampu
mencegah niatku.
Masa pernikahan yang sulit, bukan berarti akan mempermudah
proses perceraian. Dengan hadirnya seorang anak di tengah kami, maka persoalan
bertambah dengan perebutan hak asuh anak. Entah terbuat dari apa hati sang hakim,
hingga akhirnya anakku jatuh ke tangan suamiku. Padahal selama ini dia tak
pernah memperdulikan anaknya.
Setelah proses perceraian yang menghabiskan seluruh tabunganku,
mantan suamiku pindah ke luar negeri dan membawa anak kami. Hingga kini,
perceraian 9 tahun lalu itu masih sering kusesali. Kalau saja dulu aku bersikap
lebih dewasa, mungkinkah aku kini masih mengasuh anakku?
Kalau saja dulu aku tak sedemikian cemburu, mungkin kini aku
tak perlu menahan rindu untuk hanya bisa bertemu sulungku empat bulan sekali.
Dan beribu 'kalau saja' lainnya yang kadang menari-nari dalam kepalaku.
Tapi semua sudah terjadi, dan tak ada yang bisa kulakukan
selain menerimanya dengan ikhlas. Setidaknya, empat bulan sekali aku masih bisa
melihat sulungku yang datang berkunjung.
Kini aku sudah menikah lagi. Punya rumah tangga yang bahagia.
Punya suami yang baik, setia, bertanggung jawab, sayang padaku dan keluarga.
Dia bahkan begitu cinta pada anak sulungku. Pernikahan kami makin indah setelah
putri kecil kami lahir. Suami begitu telaten merawat putri kami. Mulai dari
meninabobokan, memandikan, bahkan mengganti popok pun dia ahli.
Tak ada alasan untuk cemburu karena kemana pun dia pergi,
keterangan yang jelas dia berikan. Mulai pergi kemana, dengan siapa, rneeting
dimana dan jam berapa kira-kira akan pulang. Komunikasi kami selalu terjalin meski
hanya lewat SMS. Hingga aku betul-betul tak perlu merasa cemburu. Aku bahkan
lupa bagaimana rasanya cemburu.
(Kaitlyn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar