Penulis : Nurlaila Zahra
Hari berganti hari,
aku sudah tak lagi memikirkan sosok ”malaikat” itu. Dan aku berusaha untuk
tidak memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah undangan dari sahabatku,
Arini, teman satu kantor. Hari ini dia akan menikah. Aku tertawa sendiri
melihat namanya yang manis bertengger didalam undangan pernikahannya yang
berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama seorang ikhwan1 yang
sangat aku kenal, Fauzi. Yang jelas-jelas aku ingat dulu Arini sempat tidak
suka pada ikhwan yang mempunyai potongan rambut belah tengah itu dan berkaca
mata.
Menurut Arini -sebelum
akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling
aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca
matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya.
Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan
argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum mendengarnya
tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam
Fauzi menyimpan perasaan pada Arini.
Aku tahu hal itu dari
Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email padaku yang meminta
tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka padanya dan hendak
melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak antara ruanganku
dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi kami tak pernah
bertemu lama walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.
Setelah membaca ulang
emailnya, aku segera menulis balasan email untuknya.
Wa’alaikumussalam. Wr. Wb
Fauzi, apa yang bisa aku
lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada
Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan2, lebih
baik kamu hubungi saja murabbi3nya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat
dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.
Segera kukirim email
itu padanya dan kuketik sms untuknya yang mengatakan bahwa aku sudah memberikan
balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali. Mengedit beberapa tulisan
yang sudah masuk kedalam redaksi kami. Kantor tempat aku bekerja adalah
perusahaan majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta.
Tak berapa lama ponselku
berdering. Kulihat. Satu pesan diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini.
Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran4.
Aku tak membalas
smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini.
Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama, alamat, dan nomor
telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan permintaan
Fauzi.
1 laki-laki
2 maaf
3 guru ngaji
4 terima kasih
5. Kelompok pengajian
6. perempuan
Setelah aku megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh
y? Smg sukses. Afwan.
Aku kembali larut
dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama
kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu dari
Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang
banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan
kepercetakan.
*
* *
Aku tersenyum sendiri
melihat undangan manis yang kini masih tergeletak di atas meja riasku. Peranku
dalam usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu. Aku sungguh tak
menyangka kalau Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini menjadi istrinya.
Satu hal yang aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan Arini dulu.
”Rin, membenci
seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita membenci
orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu
membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari kamu
jadi menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya
sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya.
Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi
bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada
haditsnya lho Rin”
Sikap Arini saat itu
hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan
sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan seorang
ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
Hah...jodoh memang
sulit ditebak. Yang setiap hari bertengkar, ternyata dikemudian hari malah
menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus ditengah
jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa
saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak
pernah aku duga sebelumnya.
Diluar, Mama mengetuk
pintu kamarku dan minta izin untuk masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak
kagum ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.
”Wah...wah!! Mau
kemana sih kamu Din? Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?” Tanya
Mama sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.
”Tuh, lihat saja Ma!”
Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning keemasan diatas meja
riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama mengambil undangan
itu dan membacanya.
”Undangan pernikahan,
Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah” Ucap Mama mengeja huruf-huruf yang
terangkai dengan indah di undangan tersebut.
”Oh...ini Arini yang
pernah main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah
lamaran....siapa itu?”
”Fauzi Ma!” Sahutku.
”Iya Fauzi. Lha kok
jadi nikah begini? Katanya nggak suka, kok jadi nikah?” Tanya Mama penasaran.
”Ma, jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa
nantinya kita akan menikah. Kalau Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi
kalau memang Allah sudah menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?”
Jawabku meyakinkan Mama.
Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca
undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku
bertanya-tanya.
”Oh iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang
kesini”
”Keluarganya Bu Rahayu?” Tanyaku dengan menatap wajah Mama
dengan serius.
”Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu
ingat kan?”
Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan
itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi
maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari
dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.
”Untuk apa mereka kemari Ma?”
”Ya sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu.
Sekalian ada yang mau kami bicarakan” Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda
tanya besar untukku. Membicarakan apa?
”Siapa saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?” Tanyaku
makin penasaran.
”Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin”
Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku. Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat
ketika Mama menyebutkan ”anaknya yang kemarin”.
”Nanti jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu Rahayu
dengan keluarganya” Ucap Mama sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih
terpaku dengan ucapan Mama. Dia ikut? Sosok ”malaikat” itu nanti malam akan
datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Aku segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas
pergi menuju pesta walimatul ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa
sebuah bingkisan untuk mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.
* * *
Sepulang dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak
oleh Shanti, teman satu halaqah5ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada acara pameran
buku Islami atau Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak
ada salahnya menghabiskan waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk
referensi novel terbaruku.
Selepas Ashar aku
langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat6 yang
berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena sesaknya
orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari ini
ada temu penulis novel bestseller ”Ayat Ayat Cinta”, Habiburrahman El
Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang
untuk melihat Kang Abik secara langsung.
7 Saudaraku (untuk laki-laki)
Aku yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi
temu penulis ”Ayat Ayat Cinta”. Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai
penulis inspirasiku dalam menulis novel.
Beberapa buah buku
referensi telah aku dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel
dan beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan novelku. Lain lagi dengan
Shanti. Dia lebih tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang perjalanan
hidup Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang
guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur’aniyah di daerah
Poltangan, Jakarta Selatan.
Di saat langkahku
tengah mendekati ruang Anggrek, tempat dimana acara temu penulis ”Ayat Ayat
Cinta” digelar, aku melihat sosok ”malaikat” yang pernah kulihat dirumah Bu
Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala sambil membuka
lembar demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang ikhwan
yang tengah mengajaknya berbicara.
Entah ada angin apa,
tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand Penerbit
Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. ’Aidh bin Abdullah
alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut dibuatnya.
Yusuf belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis
membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada dibelakangnya. Atau mungkin,
kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
Shanti masih saja
mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku
yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia berbicara
dengan temannya.
”Suf, ente bener hari
ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi? Ente nanti nyesel lho!” Ucap temannya
Yusuf dengan semangat.
”Bener akhi, ana nggak
bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua kerumah teman mereka”
Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
”Ente jadi ikut sama
orang tua ente? Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar undangan?” Tanya
temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya. Undangan?!
”Ah, antum jangan
begitu dong. Ana lagi pusing nih memikirkan permintaan orang tua” Sahut Yusuf.
”Lagi sih ente. Ane
bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu. Ya terima deh
nasib dijo...”
”Sstt!!” Tiba-tiba
Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.
”Udah yuk ah, ana mau
langsung pulang nih. Nanti Ibu marah, terus jatuh sakit lagi” Lanjutnya menutup
perbincangan dia dan temannya. Aku semakin bertanya-tanya. Ada masalah apa
sebenarnya dengan Yusuf? Apa yang diminta orang tuanya padanya?
Shanti menyadarkanku
dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan
buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju ruang Anggrek,
tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.
”Ya Ma?” Sapaku
langsung pada Mama.
“Din, kamu dimana
sekarang? Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya Bu Rahayu akan segera datang”
Ucap Mama dengan nada sedikit kesal.
”Iya Ma. Sebentar lagi
Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan
telat datangnya” Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu, Yusuf saja masih ada
di Senayan.
”Sok tahu kamu. Dari
dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah.
Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah” Ucap Mama sambil
menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan lagi.
Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu
artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang masih
aku pikirkan. Apa kira-kira yang diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
*
* *
--NEXT-->
Mbak ceritany bagus saya suka bnget sama alurnya,, klw boleh sih d postny jgn lama2 y.
BalasHapusmakasih mbak sebelumny
Iya, saya usahakan posting setiap hari..
HapusIya mbak... bagus.... post nya jgn lama2.... makasih....
BalasHapusSuka dgn cerita nya mbak...
BalasHapus