Kamis, 07 Mei 2015

Ketika Cinta Harus Bersabar Bag. 13


Penulis : Nurlaila Zahra

Waktu berjalan begitu cepat rasanya. Aku masih ingat betul seperti apa raut wajah Mas Yusuf ketika dia mengetahui keadaan Alifa saat ini.
Dari kantor aku langsung pergi kerumah sakit untuk menjenguk Alifa. Kondisinya tidak begitu baik dari waktu aku menjenguknya pertama kali. Tak lama aku disana. Namun kali ini aku bertemu dengan mertua Alifa dan beberapa anggota keluarganya. Satu informasi lagi, sampai sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau menikahi Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati, kalau saja mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi Alifa.
Setelah dari rumah sakit aku langsung pulang kerumah. Jujur, aku sudah tidak sabar mendengar jawaban Mas Yusuf. Tapi sampai maghrib menjelang, Mas Yusuf belum juga pulang. Aku coba menghubunginya lewat hand phone tapi tidak aktif. Mungkin dia pergi lagi kerumah Bule Rinta, atau mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di rumah sakit? Entahlah, aku sudah mulai cemas.
Tiba-tiba hand phone-ku berdering. Kulihat satu nomor yang tidak kukenal. Kuangkat.
”Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam. Apa benar ini Ibu Dinda?” Suara seorang laki-laki tak kukenal menjawab salamku.
”Iya benar, saya Dinda. Maaf ini siapa ya?”
”Saya Pak Azril, petugas kepolisian”
”Petugas kepolisian?”
”Iya. Saya ingin memberitahukan bahwa suami ibu yang bernama Yusuf saat ini ada di rumah sakit...”
”Di rumah sakit? A, ada apa dengannya Pak?” Tanyaku dengan panik.
”Tadi siang suami ibu kecelakaan. Motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan dan akhirnya dia terpental sejauh lima belas meter dari lokasi kejadian. Kondisinya saat ini sangat kritis dan dia belum sadarkan diri”
Suara petugas kepolisian itu bagaikan sebuah petir yang menyambar tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa. Setelah polisi itu memberitahukan dimana Mas Yusuf dirawat sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat. Mas Yusuf dirawat di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa mungkin Mas Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia kecelakaan di tempat yang tak jauh dari rumah sakit?
Belum sempat aku menemukan jawaban itu, aku langsung pergi ke Pasar Rebo untuk mengetahui kondisi Mas Yusuf sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa berhenti menangis. Mungkin supir taxi yang membawaku ke rumah sakit melihatku dengan heraan, kenapa dari tadi aku menangis? Diapun tak berani menanyakan perihal itu padaku.
Setelah aku membayar ongkos taxinya aku langsung berlari ke ruang UGD untuk mencari suamiku, Mas Yusuf. Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu, dan...ada. Di pojok ruangan aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak berdaya bersama dua orang polisi yang kini menemaninya. Segera saja aku menghampirinya.
”Permisi Pak. Saya Dinda, istrinya Yusuf” Ucapku pada dua orang polisi itu.
“Oh, anda yang bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu” Sahut seorang polisi yang mengenakan jaket tebal dan berkumis. Aku mengangguk pelan dan segera mengalihkan pandanganku pada Mas Yusuf.
Di keningnya terdapat perban yang membalut lukanya. Di tangan kanannya pun terdapat sebuah jarum yang ditusukkan untuk mengaliri cairan infus kedalam tubuhnya. Wajahnya penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya terhantam benda keras.
”Bagaimana keadannya Pak?” Tanyaku pada salah satu polisi itu.
”Coba Mbak tanyakan saja keadaan suami Mbak pada dokter atau suster yang ada disana” Jawab polisi itu sambil menunjuk kearah seorang dokter dan dua orang perawatnya.
Aku mengangguk dan menghampiri dokter itu. Setelah dokter itu memberitahukan kondisi Mas Yusuf sekarang, aku langsung disuruh mengurus administrasi agar Mas Yusuf bisa segera dipindahkan ke ruang rawat inap.
Aku menurut saja.
Karena aku tidak membawa uang banyak di tas, aku mengambil tabunganku di ATM. Setelah urusan administrasi selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang rawat inap kelas satu. Aku hanya ingin Mas Yusuf mendapat perawatan yang benar-benar intensif agar dia bisa cepat sembuh.
Air mataku tidak bisa berhenti sampai Mas Yusuf di pindahkan ke ruang rawat inap. Aku teringat Alifa. Sebelumnya aku sempat bertanya pada polisi yang tadi menemani Mas Yusuf, dimana lokasi kecelakaan itu. Dan polisi itu mengatakan bahwa lokasi kejadian itu tak jauh dari Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari itu Mas Yusuf dibawa kesini.
Aku sempat mengaitkan kejadian itu dengan keadaan Alifa saat ini. Mungkin saja Mas Yusuf telat pulang kerumah karena hendak menjenguk Alifa. Aku pun menyempatkan diri menjenguk Alifa yang berada satu lantai dibawah lantai Mas Yusuf dirawat kini. Kondisinya masih belum menunjukkan perubahan. Sampai sekarang belum ada satu orang pun yang mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu siapa yang sebenarnya hendak menikahi putrinya itu, mereka pasti akan terkejut. Tapi sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak jauh berbeda dengan kondisi Alifa saat ini.
Aku kembali lagi ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk disampingnya sambil memandangi wajahnya yang pucat. Tanpa terasa air mataku jatuh menetes. Di sela-sela waktu itu aku teringat, aku belum shalat Isya. Kuputuskan untuk mencari masjid terdekat.
Setelah shalat Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid. Merenungi segala kejadian yang baru saja aku alami. Tiba-tiba aku teringat, aku belum memberi kabar pada orang tua dan mertuaku.
Kupencet nomor telepon orang tuaku dan kuberitahukan keadaan Mas Yusuf saat ini. Mereka benar-benar tidak menyangka akan hal ini dan mereka berniat menjenguk Mas Yusuf malam ini juga. Tapi aku bilang bahwa mereka tidak usah menjenguk Mas Yusuf sekarang karena hari juga sudah larut. Mereka memahami.
Setelah menghubungi orang tuaku, aku langsung menghubungi mertuaku. Mereka tidak bisa menahan tangis haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan. Sama seperti orang tuaku, mereka ingin menjenguk Mas Yusuf sekarang tapi aku juga melarang mereka dengan alasan hari sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras dan ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa menangis saat ibu mertuaku menyuruhku untuk tabah. Malam ini adalah malam yang sangat menyedihkan untukku.
Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan menemani Mas Yusuf disana. Aku ingin memberikan seluruh kasih sayangku padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar mencintainya.
* * *
Hari-hari aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Sudah dua hari Mas Yusuf dirawat dan sampai sekarang dia belum sadarkan diri. Dokter bilang ini disebabkan oleh reaksi obat yang masuk kedalam tubuhnya. Mungkin beberapa jam lagi dia akan sadar kembali. Tapi aku tidak bisa menahan rasa cemasku padanya.
Di setiap shalatku, selalu aku menyebut namanya di akhir do’aku agar Allah berkenan menyembuhkannya. Aku tak kuasa menahan air mataku kala aku menatap wajahnya.
Sudah dua hari ini aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah meminta izin cuti pada pihak kantor. Alhamdulullah mereka mengizinkan. Semalam dari pihak penerbit yang hendak menerbitkan novelku juga kembali menghubungi karena aku lupa memberikan prakata ucapan terima kasih pada mereka. Aku sampaikan alasanku kenapa aku sampai lupa. Alhamdulullah juga mereka mengerti dan berencana mengundurkan proses penerbitan novelku.
Selama aku menemani Mas Yusuf, aku selalu menyempatkan diri menjenguk Alifa juga dikamarnya. Masih tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku diberi tahu oleh pihak keluarganya bahwa ada seorang laki-laki yang datang menjenguk Alifa membawa serta kedua orang tuanya.
Laki-laki yang datang itu hendak meminang Alifa sebagai istrinya. Dia bersedia membantu Alifa mempertahankan hidupnya. Tapi ketika kutanya siapa laki-laki itu, pihak keluarga Alifa tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu mereka lakukan atas permintaan laki-laki itu. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku kembali ke kamar. Tak terasa matahari sudah menyembunyikan dirinya di peraduannya. Tadi siang ayah dan ibu mertuaku datang menjenguk Mas Yusuf. Selepas Ashar, mereka pulang. Dan tinggal aku sendiri di dalam kamar menemani Mas Yusuf yang belum juga sadar sampai detik ini.
Selama dia tak sadarkan diri, aku yang membasuh tubuhnya dengan handuk kecil basah. Aku tak kuasa melihat tubuhnya yang penuh luka akibat kecelakaan itu. Dokter bilang memang tidak ada yang serius tapi aku sebagai istrinya benar-benar khawatir akan keadaannya saat ini.
Dari luar, terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku lansung bergegas mengambil air wudhu dan langsung menunaikan shalat Maghrib di samping tempat tidur Mas Yusuf.
Selesai shalat, aku bermunajat pada Tuhan semesta alam. Ku adukan semua gundah gulanaku saat ini. Sambil ditemani air mata yang terus mengalir dari ujung mataku, aku berdo’a untuk kesembuhan Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan atas pernikahanku. Aku mengharapkan yang terbaik dari keputusan yang nantinya akan Mas Yusuf berikan padaku. Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku juga masih memikirkan siapa laki-laki yang datang dan hendak meminang Alifa itu.
Aku sudah merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb penggenggam hati seluruh makhluk di dunia ini, Allah Swt. Aku benar-benar ikhlas kalau nantinya Mas Yusuf sadar dan dia memutuskan untuk berkenan menikahi Alifa. Semuanya aku ucapkan dengan penuh pengharapan bahwa Allah berkenen memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf, dan Alifa.
Kusudahi doa panjangku. Kulanjutkan dengan membaca Al Ma’tsurat dan tilawah Qur’an beberapa lembar. Selesai itu, kulipat sajadah dan kuletakan di pinggir kursi. Dengan masih mengenakan mukena, kuhampiri Mas Yusuf dengan mata yang sedikit memerah akibat menangis.
Kuseret kursi yang ada dan kududukkan tubuhku disana. Kubetulkan selimut yang menutupi tubuhnya. Sesaat kutatap wajahnya yang begitu putih dan bersih. Perlahan kuberanikan diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak ingin melepasnya.
Inilah untuk yang pertama kalinya aku menggenggam tangan suamiku setelah setahun pernikahan. Kuciumi tangannya sambil berucap kata-kata mesra untuknya. Sekali lagi aku tak kuasa menahan tangisku. Tangis yang begitu menyedihkan untukku. Sedih karena Mas Yusuf belum juga sadar dan sedih karena sampai saat ini, Mas Yusuf belum juga bisa menerimaku sebagai istrinya.
* * *
”Saya terima nikahnya dan kawinnya, Alifa binti Sukirman dengan mas kawin tersebut. Tunai” Ucap Mas Yusuf dengan lantang.
Semua yang hadir memberikan tepuk tangan yang meriah. Diantara semua tamu yang hadir, mungkin hanya aku saja yang merasakan kepedihan dalam dada. Aku menatap Mas Yusuf dan Alifa dengan perasaan hancur.
Setelah akad nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi meninggalkan aku sendiri. Aku duduk terdiam tanpa menghalangi mereka pergi. Mataku menangkap wajah Mas Yusuf tidak memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alifa, dia amat bahagia membawa Mas Yusuf pergi dari hadapanku.
Aku menangis atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa pergi membawa Mas Yusuf.
Tiba-tiba, aku terbangun dari tidurku. Astaghfirullah! Ternyata semua hanya mimpi. Aku tertidur di tepi tempat tidur. Kuingat kembali mimpiku barusan. Mimpi tentang pernikahan Mas Yusuf dengan Alifa. Aku masih belum memikirkan bagaimana jadinya kalau hal itu sampai terjadi. Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu, Mas Yusuf terlihat tidak bahagia?
Kembali kupandangi wajah Mas Yusuf.
Kuseka air mataku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tegar. Kuletakkan tangannya di tempat tidur. Kembali kutatap wajahnya. Sejurus kemudian, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dan....Subhanallah. Aku menciumnya.
Aku mencium bibirnya. Dan ini juga untuk yang pertama kalinya aku menciumnya setelah setahun pernikahan. Aku mencium bibirnya yang hangat. Ada perasaan bahagia, senang, cemas, dan takut. Seketika jantungku berdegup kencang. Ingin rasanya sekali lagi aku menciumnya tapi aku takut. Aku takut kalau dia sampai tidak ridho dengan apa yang barusan aku lakukan padanya, Allah pasti akan murka terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami. Bila suami tidak ridho, maka Allah pun tidak ridho pula.
Tiba-tiba ada perasaan berdosa yang seketika menyusup kedalam hatiku. Apakah aku berdosa bila menciumnya tanpa seizinnya? Rabbi maafkan aku.
Perlahan kumundurkan kakiku sambil menggeleng. ”Maafkan aku Mas, maafkan aku” Ucapku pelan.
Aku berbalik dan duduk di sofa yang tersedia disana. Sambil termenung, aku membuka mukenaku dan menggantinya dengan jilbab coklat.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf menggerakkan jarinya. Oh Tuhan, apa dia sudah sadar?
Aku hampiri dirinya sambil menggenggam tangannya.
”Mas Yusuf? Mas sudah sadar?” Tanyaku dengan perasaan senang bercampur cemas.
Perlahan kulihat kedua matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dan...Alhamdulillah, dia bangun. Aku berucap syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas Yusuf. Air mata begitu saja mengalir dari mataku. Aku melihat Mas Yusuf menggerakan bibirnya.
”D..Dinda. A, aku ha..us” Ucap Mas Yusuf lirih sambil terbata-bata. Aku segera mengambilkan air putih yang ada di samping tempat tidurnya dan membantunya minum melalui sedotan.
Setelah minum, dia menatapku dengan tatapan hampa. Tak ada senyuman atau pun ekspresi wajah yang lain. Aku takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku sungguh takut. Tapi sejurus kemudian, aku berpikir untuk memberi tahu dokter bahwa Mas Yusuf sudah sadar.
Aku melangkah keluar untuk memanggil dokter dan meninggalkan Mas Yusuf di kamar. Namun baru beberapa langkah aku keluar kamar, tiba-tiba aku melihat semua benda yang ada dihadapanku seolah berputar. Kurasakan mual yang teramat sangat diperutku. Seketika kepalaku pusing dan tubuhku lemas.
Ketika kupaksakan diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Kulihat semua gelap. Samar-samar kulihat ada beberapa orang suster berlari menghampiriku. Tapi aku sudah tak kuat lagi bangun. Kurasakan tubuhku diangkat. Makin lama aku tak tahu apa yang terjadi kemudian.
* * *
Perlahan kubuka mataku yang tadinya sulit untuk kubuka. Namun kupaksakan karena memang aku ingin bangun dari tidurku. Awalnya gelap, lalu perlahan cahaya itu mulai masuk dan menembus kornea mataku. Aku merasakan kehangatan di keningku. Sebuah kecupan hangat tengah mendarat disana.
Yang aku dapati, seorang laki-laki tengah mencium keningku. Samar-samar aku melihatnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, aku menyadari ternyata laki-laki itu adalah suamiku. Ya, dia adalah Mas Yusufku. Oh Tuhan, kekasihku tengah mencium keningku. Apakah ini nyata?
Aku hanya terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf di keningku. Lalu kemudian dia menatap wajahku lekat-lekat.
”Kamu sudah sadar?” Tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan.
”Ya” Suaraku terdengar begitu lirih.
Dia tersenyum. Kulanjutkan perkataanku.
”Kau menciumku?”
Mas Yusuf mengangguk sambil tersenyum.
”Karena kau adalah istriku.” Jawabnya dengan nada yang sangat menyenangkan hatiku. Tapi aku masih belum mengerti apa maksudnya.
”Bukankah....”
”Sstt!” Mas Yusuf segera menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Aku melihat ada yang berbeda dari kedua matanya. Di dalamnya terpancar sesuatu yang aku tidak mengerti apa sesuatu itu. Mas Yusuf kembali berucap,
”Sudah dua hari kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Kamu ingat?”
Aku berusaha mengingatnya kemudian mengangguk.
”Iya aku ingat. Waktu itu aku ingat kamu sadar dari koma, dan aku langsung memanggil dokter untuk segera memeriksamu. Namun kemudian, tiba-tiba saja aku merasakan mual di perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Seketika aku merasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat Isya” Jelasku.
”Ya, kamu pingsan karena terlalu lelah menjagaku setiap hari. Dokter dan perawatnya segera membawamu untuk diperiksa” Ucap Mas Yusuf yang wajahnya hampir mendekati wajahku.
”Maafkan aku Mas...” Lirihku.
”Untuk apa?”
”Kemarin saat kamu tidak sadarkan diri, aku...aku sempat menciummu. Aku harap kau tidak marah padaku. Dan semoga kau ridho atas perbuatanku itu”
Mas Yusuf terdiam menatap wajahku. Aku semakin takut. Namun tiba-tiba dia tersenyum dan berkata dengan manis padaku.
”Kenapa aku harus marah padamu?”
”Ja, jadi kamu nggak marah sama aku?” Tanyaku yang kemudian disusul dengan gelengan kepala dan senyuman Mas Yusuf. Aku tersenyum senang. Hatiku lega setelah mendapat pengakuan darinya.
”Aku adalah suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu merasa takut atas perbuatanmu. Insya Allah, Allah akan meridhoinya. Justru aku yang harusnya minta maaf padamu”
”Untuk apa?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti.
”Maaf jika selama ini aku tidak sepenuhnya menjadi suami yang bertanggung jawab, jika aku sering menyakiti hatimu sehingga sering membuatmu menangis di tengah malam”
Hah!! Aku terkejut. Dari mana Mas Yusuf tahu kalau aku sering menangis di tengah malam? Aku masih bingung dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus melanjutkan kata-katanya.
”Maafkan jika selama ini aku selalu membuat kamu terbangun sebelum fajar untuk makan sahur, karena aku tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami untuk memuaskanmu”
Aku semakin terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu? Aku tidak pernah menceritakan hal itu pada siapapun. Tapi, kenapa Mas Yusuf tahu?
”Sekali lagi maaf, karena aku pernah berbohong padamu...”
”Berbohong apa Mas?” Tanyaku tidak mengerti. Mas Yusuf coba menjelaskan.
“Tempo hari, sewaktu ada munashoroh Palestine di Monas, aku bilang padamu kalau aku ada urusan di sekolah sehingga tidak bisa pergi kesana bersamamu. Aku memang ada urusan, namun setelah itu aku pergi kesana bersama teman-temanku. Dan aku tahu, kau melihatku disana kan? Tapi karena kau tidak mau aku melihatmu yang memergoki aku, makanya kamu segera mengajak temanmu untuk pergi dari sana. Iya kan? Aku benar-benar minta maaf atas hal itu. Aku sungguh menyesal” Jelas mas Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
Aku masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dan air mataku mengalir begitu saja bagaikan anak sungai. Aku lihat Mas Yusuf menunduk sambil menangis. Aku menghapus air matanya dengan tanganku. Dia meraihnya dan menciumnya. Aku jadi terharu. Lantas, segera saja aku menanyakan dari mana dia bisa tahu semua hal itu, dan dia menjawab.
”Buku harianmu. Aku sudah membaca semua tulisanmu yang ada disana. Juga kaset rekaman itu. Aku sudah mendengarnya. Aku mohon segala maafmu atas kesalahanku selama ini” Pintanya sambil terisak dan terus menciumi tanganku. Aku pun semakin sedih dan ikut terisak juga. Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
”Mas, apa...apa semua itu berarti, kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu?”
Perlahan kutatap kedua mata Mas Yusuf. Butir-butir cinta itu masih tersisa disana. Aku perhatikan dan dia mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan itu berarti, cintaku terbalas. Ini untuk yang pertama kalinya aku merasakan cinta yang sesungguhnya. Cinta seorang suami kepada istrinya. Aku merasa menjadi wanita yang paling berbahagia. Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun tersenyum. Bahkan lebih manis dari biasanya.
Kupandang lekat-lekat wajah itu.
”Apa yang akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?”
”Karena kau adalah anugrah terindah yang pernah Allah berikan untukku. Kau jiwaku, kau nafasku, kau nadiku, dan kau adalah hidupku. Betapa bodohnya aku yang telah membiarkan kau menderita selama ini. Aku baru menyadari, kalau aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu dalam hatiku. Tidak akan ada”
”Termasuk Alifa?” Tanyaku dengan tiba-tiba.
”Ya. Termasuk Alifa.” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Lalu apa keputusanmu mengenai Alifa? Saat ini dia membutuhkanmu Mas...”
Mas Yusuf terdiam sejenak.
”Sebelum aku menjawabnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Terima kasih atas kesabaranmu selama ini padaku. Terima kasih karena kau telah mencurahkan seluruh cintamu padaku. Terima kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan mendo’akanku selama aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih...”
”Sstt!” Sahutku menyela perkataannya. Kucoba menempelkan jariku di bibirnya.
”Kau sudah terlalu banyak mengucapkan terima kasih padaku. Hanya dengan rasa cintamu padaku pun, itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak enak dalam hal percintaan. Aku benar-benar mencintaimu Mas...” Ucapku pelan.
”Terima kasih sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah...” Ucapnya senang.
Aku terdiam mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku tak sanggup berucap satu katapun. Yang ada malah lelehan air mata yang mengalir di wajahku lalu menyerap ke jilbab yang aku kenakan sekarang.
Aku benar-benar terkejut mendengarnya.
”Kamu hamil, sayang....” Ucap Mas Yusuf lagi dengan penuh kemesraan.
Air mataku kembali mengalir membasahi jilbabku dan kini semakin deras.
”Kau tidak membohongiku?” Tanyaku seolah ingin penegasan.
Mas Yusuf menggeleng.
”Aku tidak bohong. Kau sungguh-sungguh hamil. Saat ini kau tengah mengandung anakku. Anak kita. Buah cinta kita”
Kuberikan senyumanku pada Mas yusuf. Aku hamil. Aku benar-benar hamil. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu. Oh Tuhan, terima kasih. Kau telah memberikan kebahagiaan ini padaku.
”Kemarin kamu pingsan karena terlalu letih. Dan setelah diperiksa oleh dokter, ternyata kamu tengah mengandung. Usia kandunganmu baru dua bulan. Kamu harus jaga kesehatan ya?” Pinta Mas Yusuf padaku.
Aku mengangguk dengan air mata yang terus meleleh. Mas Yusuf menghapusnya dengan sentuhan hangatnya.
Namun tiba-tiba aku tersadar. Kebahagiaanku belum sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada satu yang mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian yang baru saja aku alami memang suatu kebahagiaan yang sangat aku impikan. Kebahagiaan karena akhirnya Mas Yusuf bisa mnerimaku dan mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil.
Tapi biar bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab atas permohonanku pada Mas Yusuf yang memintanya untuk menikahi Alifa. Aku harus siap dengan segala konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf menyatakan kesediaannya untuk menikahi Alifa.
Aku terdiam dari tangisku dan mulai bertanya,
”Mas...”
”Hm?...”
Kuhela nafasku sesaat.
”Mencintaimu adalah suatu hal yang sangat membahagiaakan untukku. Apalagi ketika kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku semakin lengkap, apalagi sebentar lagi kita akan menjadi orang tua bagi anak kita. Tapi aku tidak mau egois. Saat ini, aku ingin mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau menikahi Alifa. Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah dikandungnya, juga butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan yang terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada Alifa”.
Kulihat Mas Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan dia berdiri dari duduknya.
”Kau tunggulah disini sebentar. Aku akan keluar untuk memberikan jawaban dan keputusanku terhadap penawaranmu” Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar kamar sambil menyisakan rasa penasaran untukku. Apa yang hendak suamiku lakukan?
Sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit, aku menunggu Mas Yusuf datang dengan membawa jawaban dan keputusannya. Sungguh, saat ini aku begitu resah. Tiba-tiba Mas Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya. Tak ada yang berubah darinya. Juga tak ada yang dibawanya. Kuperhatikan wajahnya.
”Apa keputusanmu Mas?” Tanyaku dengan serak menahan tangis.
Dia menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang keluar kamar dengan wajah berseri-seri. Aku tambah tak mengerti. Akupun ikut memandang keluar kamar.
Masih dalam kondisi berbaring di tempat tidur, perlahan aku melihat sebuah bayangan datang menghampiri kamarku. Bayangan siapa itu?
Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat aku kenal muncul dihadapanku dengan menggunakan kursi roda. Dan orang yang mendorong kursi rodanya juga adalah orang yang sangat aku kenal.
Dia Alifa dan Randi. Alifa duduk di kursi roda berbalut ghamis coklat dan jilbab hitam, dan yang mendorongnya adalah Randi. Orang yang kukenal sebagai sahabat Mas Yusuf. Orang yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk segera menikahi Alifa. Orang yang dulu sempat menegurku pada saat acara di Bumiwiyata, Depok. Kenapa mereka datang bersamaan?
”Alifa?! Randi?! Kalian....” Ucapku tergagap.
”Ya. Alifa sudah menikah dengan Randi” Sahut Mas Yusuf mengejutkanku.
”Apa?”
”Ya Dinda. Aku sudah menikah dengan Randi. Dia telah membantuku untuk tetap hidup. Dia juga sudah membuatku menjadi seperti ini. Alhamdulillah, Randi sudah berkenan menjadi suamiku” Ucap Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya mendekatiku.
Mas Yusuf dan Randi pergi keluar kamar meninggalkan aku dan Alifa berdua.
Sambil menggenggam tanganku, Alifa berkata,
”Aku tahu kamu wanita yang sangat mulia hatinya. Aku sudah dengar semua dari Yusuf. Kamu menyuruhnya untuk menikahiku bukan? Niat baikmu untuk menjadikanku sebagai istri kedua Yusuf sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau aku tahu yang hendak menikahiku adalah Yusuf, aku tidak akan menerimanya...”
”Kenapa?”
”Karena aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku yakin hatimu pasti hancur ketika Yusuf sampai menikahiku. Untung saja belum Yusuf memberikan keputusannya karena dia mengalami kecelakaan dan koma, Randi datang dengan sebongkah rasa kasihan dan cintanya untukku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa seperti ini. Kepergian Mas Guntur memang menyisakan luka yang mendalam untukku. Sampai aku harus dirawat di rumah sakit dan mengalami koma. Dokter bilang, penyakitku ini disebabkan karena aku mengalami tekanan batin yang begitu mendalam sehingga harus ada yang mau menikahiku dan bersedia menjadi suami keduaku. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Tapi memang, setelah Randi menikahiku dan dia mulai membisikkan kata-kata mesranya untukku, seolah ada setetes embun pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi. Ketika Randi menyentuh tanganku dan membelaiku, perlahan aku seperti menemukan kembali semangat hidupku. Memang aku sempat terkejut ketika kubuka mata, yang kulihat bukanlah Mas Guntur, tapi Randi. Sahabatku sendiri yang kini telah menjadi suamiku. Awalnya aku sempat drop lagi tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan akhirnya aku sudah bisa menerima semua kenyataan ini, kalau Mas Guntur sudah tiada dan yang menggantikannya adalah Randi. Terima kasih ya? Karena biar bagaimanapun, kau sudah berniat baik padaku dengan menyuruh Yusuf agar mau menikahiku dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang tengah kukandung ini. Dan selamat ya? Akhirnya kau juga akan menjadi seorang ibu”
Alifa menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tersenyum padanya. Aku baru ingat, ternyata laki-laki yang dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak menikahi Alifa adalah Randi. Seseorang yang tanpa sengaja telah menyelamatkan hati dan cintaku ternyata adalah Randi. Karena dia, akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua. Terima kasih Randi.
”Kapan kamu menikah dengannya?” Tanyaku.
”Kemarin. Bahkan Yusuflah yang menjadi saksi pernikahan kami”
Diam-diam ada perasaan syukur yang menyusup kedalam diriku.
Tak berapa lama, Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke kamar. Aku tersenyum pada mereka dan kuucapkan selamat pada Randi. Kami pun berbincang bersama di kamar itu. Penuh keceriaan dan tawa yang kami ciptakan saat itu.
* * *
--NEXT-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar