Penulis :
Nurlaila Zahra
Waktu berjalan begitu cepat rasanya.
Aku masih ingat betul seperti apa raut wajah Mas Yusuf ketika dia mengetahui
keadaan Alifa saat ini.
Dari kantor aku
langsung pergi kerumah sakit untuk menjenguk Alifa. Kondisinya tidak begitu
baik dari waktu aku menjenguknya pertama kali. Tak lama aku disana. Namun kali
ini aku bertemu dengan mertua Alifa dan beberapa anggota keluarganya. Satu
informasi lagi, sampai sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau
menikahi Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati, kalau saja
mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi Alifa.
Setelah dari
rumah sakit aku langsung pulang kerumah. Jujur, aku sudah tidak sabar mendengar
jawaban Mas Yusuf. Tapi sampai maghrib menjelang, Mas Yusuf belum juga pulang.
Aku coba menghubunginya lewat hand phone tapi tidak aktif. Mungkin dia pergi
lagi kerumah Bule Rinta, atau mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di rumah
sakit? Entahlah, aku sudah mulai cemas.
Tiba-tiba hand
phone-ku berdering. Kulihat satu nomor yang tidak kukenal. Kuangkat.
”Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam.
Apa benar ini Ibu Dinda?” Suara seorang laki-laki tak kukenal menjawab salamku.
”Iya benar, saya
Dinda. Maaf ini siapa ya?”
”Saya Pak Azril,
petugas kepolisian”
”Petugas
kepolisian?”
”Iya. Saya ingin
memberitahukan bahwa suami ibu yang bernama Yusuf saat ini ada di rumah
sakit...”
”Di rumah sakit?
A, ada apa dengannya Pak?” Tanyaku dengan panik.
”Tadi siang
suami ibu kecelakaan. Motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan dan
akhirnya dia terpental sejauh lima belas meter dari lokasi kejadian. Kondisinya
saat ini sangat kritis dan dia belum sadarkan diri”
Suara petugas
kepolisian itu bagaikan sebuah petir yang menyambar tubuhku. Aku bingung harus
berbuat apa. Setelah polisi itu memberitahukan dimana Mas Yusuf dirawat
sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat. Mas Yusuf
dirawat di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa
mungkin Mas Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia kecelakaan di
tempat yang tak jauh dari rumah sakit?
Belum sempat aku
menemukan jawaban itu, aku langsung pergi ke Pasar Rebo untuk mengetahui
kondisi Mas Yusuf sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa berhenti menangis.
Mungkin supir taxi yang membawaku ke rumah sakit melihatku dengan heraan,
kenapa dari tadi aku menangis? Diapun tak berani menanyakan perihal itu padaku.
Setelah aku
membayar ongkos taxinya aku langsung berlari ke ruang UGD untuk mencari
suamiku, Mas Yusuf. Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu, dan...ada.
Di pojok ruangan aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak berdaya bersama dua
orang polisi yang kini menemaninya. Segera saja aku menghampirinya.
”Permisi Pak.
Saya Dinda, istrinya Yusuf” Ucapku pada dua orang polisi itu.
“Oh, anda yang
bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu” Sahut seorang polisi yang mengenakan
jaket tebal dan berkumis. Aku mengangguk pelan dan segera mengalihkan
pandanganku pada Mas Yusuf.
Di keningnya
terdapat perban yang membalut lukanya. Di tangan kanannya pun terdapat sebuah
jarum yang ditusukkan untuk mengaliri cairan infus kedalam tubuhnya. Wajahnya
penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya terhantam benda keras.
”Bagaimana
keadannya Pak?” Tanyaku pada salah satu polisi itu.
”Coba Mbak tanyakan
saja keadaan suami Mbak pada dokter atau suster yang ada disana” Jawab polisi
itu sambil menunjuk kearah seorang dokter dan dua orang perawatnya.
Aku mengangguk
dan menghampiri dokter itu. Setelah dokter itu memberitahukan kondisi Mas Yusuf
sekarang, aku langsung disuruh mengurus administrasi agar Mas Yusuf bisa segera
dipindahkan ke ruang rawat inap.
Aku menurut
saja.
Karena aku tidak
membawa uang banyak di tas, aku mengambil tabunganku di ATM. Setelah urusan
administrasi selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang rawat inap kelas
satu. Aku hanya ingin Mas Yusuf mendapat perawatan yang benar-benar intensif
agar dia bisa cepat sembuh.
Air mataku tidak
bisa berhenti sampai Mas Yusuf di pindahkan ke ruang rawat inap. Aku teringat
Alifa. Sebelumnya aku sempat bertanya pada polisi yang tadi menemani Mas Yusuf,
dimana lokasi kecelakaan itu. Dan polisi itu mengatakan bahwa lokasi kejadian
itu tak jauh dari Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari itu Mas Yusuf dibawa
kesini.
Aku sempat
mengaitkan kejadian itu dengan keadaan Alifa saat ini. Mungkin saja Mas Yusuf
telat pulang kerumah karena hendak menjenguk Alifa. Aku pun menyempatkan diri
menjenguk Alifa yang berada satu lantai dibawah lantai Mas Yusuf dirawat kini.
Kondisinya masih belum menunjukkan perubahan. Sampai sekarang belum ada satu
orang pun yang mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu siapa yang
sebenarnya hendak menikahi putrinya itu, mereka pasti akan terkejut. Tapi
sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak jauh berbeda dengan kondisi Alifa saat ini.
Aku kembali lagi
ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk disampingnya sambil memandangi wajahnya yang
pucat. Tanpa terasa air mataku jatuh menetes. Di sela-sela waktu itu aku
teringat, aku belum shalat Isya. Kuputuskan untuk mencari masjid terdekat.
Setelah shalat
Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid. Merenungi segala kejadian yang baru
saja aku alami. Tiba-tiba aku teringat, aku belum memberi kabar pada orang tua
dan mertuaku.
Kupencet nomor
telepon orang tuaku dan kuberitahukan keadaan Mas Yusuf saat ini. Mereka
benar-benar tidak menyangka akan hal ini dan mereka berniat menjenguk Mas Yusuf
malam ini juga. Tapi aku bilang bahwa mereka tidak usah menjenguk Mas Yusuf
sekarang karena hari juga sudah larut. Mereka memahami.
Setelah
menghubungi orang tuaku, aku langsung menghubungi mertuaku. Mereka tidak bisa
menahan tangis haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan. Sama seperti
orang tuaku, mereka ingin menjenguk Mas Yusuf sekarang tapi aku juga melarang
mereka dengan alasan hari sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras
dan ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.
Aku tidak bisa
berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa menangis saat ibu mertuaku menyuruhku untuk
tabah. Malam ini adalah malam yang sangat menyedihkan untukku.
Kuputuskan untuk
kembali ke kamar dan menemani Mas Yusuf disana. Aku ingin memberikan seluruh
kasih sayangku padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar mencintainya.
*
* *
Hari-hari aku
lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Sudah dua hari Mas Yusuf dirawat dan sampai
sekarang dia belum sadarkan diri. Dokter bilang ini disebabkan oleh reaksi obat
yang masuk kedalam tubuhnya. Mungkin beberapa jam lagi dia akan sadar kembali.
Tapi aku tidak bisa menahan rasa cemasku padanya.
Di setiap
shalatku, selalu aku menyebut namanya di akhir do’aku agar Allah berkenan
menyembuhkannya. Aku tak kuasa menahan air mataku kala aku menatap wajahnya.
Sudah dua hari
ini aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah meminta izin cuti pada pihak kantor.
Alhamdulullah mereka mengizinkan. Semalam dari pihak penerbit yang hendak
menerbitkan novelku juga kembali menghubungi karena aku lupa memberikan prakata
ucapan terima kasih pada mereka. Aku sampaikan alasanku kenapa aku sampai lupa.
Alhamdulullah juga mereka mengerti dan berencana mengundurkan proses penerbitan
novelku.
Selama aku
menemani Mas Yusuf, aku selalu menyempatkan diri menjenguk Alifa juga
dikamarnya. Masih tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku diberi tahu
oleh pihak keluarganya bahwa ada seorang laki-laki yang datang menjenguk Alifa
membawa serta kedua orang tuanya.
Laki-laki yang
datang itu hendak meminang Alifa sebagai istrinya. Dia bersedia membantu Alifa
mempertahankan hidupnya. Tapi ketika kutanya siapa laki-laki itu, pihak
keluarga Alifa tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu mereka lakukan atas
permintaan laki-laki itu. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku kembali ke
kamar. Tak terasa matahari sudah menyembunyikan dirinya di peraduannya. Tadi
siang ayah dan ibu mertuaku datang menjenguk Mas Yusuf. Selepas Ashar, mereka
pulang. Dan tinggal aku sendiri di dalam kamar menemani Mas Yusuf yang belum
juga sadar sampai detik ini.
Selama dia tak
sadarkan diri, aku yang membasuh tubuhnya dengan handuk kecil basah. Aku tak
kuasa melihat tubuhnya yang penuh luka akibat kecelakaan itu. Dokter bilang
memang tidak ada yang serius tapi aku sebagai istrinya benar-benar khawatir
akan keadaannya saat ini.
Dari luar,
terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku lansung bergegas mengambil air wudhu
dan langsung menunaikan shalat Maghrib di samping tempat tidur Mas Yusuf.
Selesai shalat,
aku bermunajat pada Tuhan semesta alam. Ku adukan semua gundah gulanaku saat
ini. Sambil ditemani air mata yang terus mengalir dari ujung mataku, aku
berdo’a untuk kesembuhan Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan atas
pernikahanku. Aku mengharapkan yang terbaik dari keputusan yang nantinya akan
Mas Yusuf berikan padaku. Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku
juga masih memikirkan siapa laki-laki yang datang dan hendak meminang Alifa
itu.
Aku sudah
merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb penggenggam hati seluruh makhluk di dunia
ini, Allah Swt. Aku benar-benar ikhlas kalau nantinya Mas Yusuf sadar dan dia
memutuskan untuk berkenan menikahi Alifa. Semuanya aku ucapkan dengan penuh
pengharapan bahwa Allah berkenen memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf,
dan Alifa.
Kusudahi doa
panjangku. Kulanjutkan dengan membaca Al Ma’tsurat dan tilawah Qur’an beberapa
lembar. Selesai itu, kulipat sajadah dan kuletakan di pinggir kursi. Dengan
masih mengenakan mukena, kuhampiri Mas Yusuf dengan mata yang sedikit memerah
akibat menangis.
Kuseret kursi
yang ada dan kududukkan tubuhku disana. Kubetulkan selimut yang menutupi
tubuhnya. Sesaat kutatap wajahnya yang begitu putih dan bersih. Perlahan
kuberanikan diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak ingin
melepasnya.
Inilah untuk
yang pertama kalinya aku menggenggam tangan suamiku setelah setahun pernikahan.
Kuciumi tangannya sambil berucap kata-kata mesra untuknya. Sekali lagi aku tak
kuasa menahan tangisku. Tangis yang begitu menyedihkan untukku. Sedih karena
Mas Yusuf belum juga sadar dan sedih karena sampai saat ini, Mas Yusuf belum
juga bisa menerimaku sebagai istrinya.
*
* *
”Saya terima
nikahnya dan kawinnya, Alifa binti Sukirman dengan mas kawin tersebut. Tunai”
Ucap Mas Yusuf dengan lantang.
Semua yang hadir
memberikan tepuk tangan yang meriah. Diantara semua tamu yang hadir, mungkin
hanya aku saja yang merasakan kepedihan dalam dada. Aku menatap Mas Yusuf dan
Alifa dengan perasaan hancur.
Setelah akad
nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi meninggalkan aku sendiri. Aku duduk
terdiam tanpa menghalangi mereka pergi. Mataku menangkap wajah Mas Yusuf tidak
memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alifa, dia amat bahagia membawa Mas Yusuf
pergi dari hadapanku.
Aku menangis
atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa pergi membawa Mas Yusuf.
Tiba-tiba, aku
terbangun dari tidurku. Astaghfirullah! Ternyata semua hanya mimpi. Aku
tertidur di tepi tempat tidur. Kuingat kembali mimpiku barusan. Mimpi tentang
pernikahan Mas Yusuf dengan Alifa. Aku masih belum memikirkan bagaimana jadinya
kalau hal itu sampai terjadi. Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu,
Mas Yusuf terlihat tidak bahagia?
Kembali
kupandangi wajah Mas Yusuf.
Kuseka air
mataku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tegar. Kuletakkan tangannya di tempat
tidur. Kembali kutatap wajahnya. Sejurus kemudian, aku mendekatkan wajahku ke
wajahnya. Dan....Subhanallah. Aku menciumnya.
Aku mencium
bibirnya. Dan ini juga untuk yang pertama kalinya aku menciumnya setelah
setahun pernikahan. Aku mencium bibirnya yang hangat. Ada perasaan bahagia,
senang, cemas, dan takut. Seketika jantungku berdegup kencang. Ingin rasanya
sekali lagi aku menciumnya tapi aku takut. Aku takut kalau dia sampai tidak
ridho dengan apa yang barusan aku lakukan padanya, Allah pasti akan murka
terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami. Bila suami tidak ridho, maka
Allah pun tidak ridho pula.
Tiba-tiba ada
perasaan berdosa yang seketika menyusup kedalam hatiku. Apakah aku berdosa bila
menciumnya tanpa seizinnya? Rabbi maafkan aku.
Perlahan
kumundurkan kakiku sambil menggeleng. ”Maafkan aku Mas, maafkan aku” Ucapku
pelan.
Aku berbalik dan
duduk di sofa yang tersedia disana. Sambil termenung, aku membuka mukenaku dan
menggantinya dengan jilbab coklat.
Dari jarak yang
tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf menggerakkan jarinya. Oh Tuhan, apa
dia sudah sadar?
Aku hampiri
dirinya sambil menggenggam tangannya.
”Mas Yusuf? Mas
sudah sadar?” Tanyaku dengan perasaan senang bercampur cemas.
Perlahan kulihat
kedua matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dan...Alhamdulillah, dia bangun.
Aku berucap syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas Yusuf. Air mata
begitu saja mengalir dari mataku. Aku melihat Mas Yusuf menggerakan bibirnya.
”D..Dinda. A,
aku ha..us” Ucap Mas Yusuf lirih sambil terbata-bata. Aku segera mengambilkan
air putih yang ada di samping tempat tidurnya dan membantunya minum melalui
sedotan.
Setelah minum,
dia menatapku dengan tatapan hampa. Tak ada senyuman atau pun ekspresi wajah
yang lain. Aku takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku sungguh takut.
Tapi sejurus kemudian, aku berpikir untuk memberi tahu dokter bahwa Mas Yusuf
sudah sadar.
Aku melangkah
keluar untuk memanggil dokter dan meninggalkan Mas Yusuf di kamar. Namun baru
beberapa langkah aku keluar kamar, tiba-tiba aku melihat semua benda yang ada
dihadapanku seolah berputar. Kurasakan mual yang teramat sangat diperutku.
Seketika kepalaku pusing dan tubuhku lemas.
Ketika
kupaksakan diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang
dan terjatuh di lantai. Kulihat semua gelap. Samar-samar kulihat ada beberapa
orang suster berlari menghampiriku. Tapi aku sudah tak kuat lagi bangun.
Kurasakan tubuhku diangkat. Makin lama aku tak tahu apa yang terjadi kemudian.
*
* *
Perlahan kubuka
mataku yang tadinya sulit untuk kubuka. Namun kupaksakan karena memang aku
ingin bangun dari tidurku. Awalnya gelap, lalu perlahan cahaya itu mulai masuk
dan menembus kornea mataku. Aku merasakan kehangatan di keningku. Sebuah
kecupan hangat tengah mendarat disana.
Yang aku dapati,
seorang laki-laki tengah mencium keningku. Samar-samar aku melihatnya. Setelah
aku perhatikan dengan seksama, aku menyadari ternyata laki-laki itu adalah
suamiku. Ya, dia adalah Mas Yusufku. Oh Tuhan, kekasihku tengah mencium
keningku. Apakah ini nyata?
Aku hanya
terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf di keningku. Lalu kemudian dia
menatap wajahku lekat-lekat.
”Kamu sudah
sadar?” Tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan.
”Ya” Suaraku
terdengar begitu lirih.
Dia tersenyum.
Kulanjutkan perkataanku.
”Kau menciumku?”
Mas Yusuf
mengangguk sambil tersenyum.
”Karena kau
adalah istriku.” Jawabnya dengan nada yang sangat menyenangkan hatiku. Tapi aku
masih belum mengerti apa maksudnya.
”Bukankah....”
”Sstt!” Mas
Yusuf segera menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Aku melihat ada yang
berbeda dari kedua matanya. Di dalamnya terpancar sesuatu yang aku tidak
mengerti apa sesuatu itu. Mas Yusuf kembali berucap,
”Sudah dua hari
kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Kamu ingat?”
Aku berusaha
mengingatnya kemudian mengangguk.
”Iya aku ingat.
Waktu itu aku ingat kamu sadar dari koma, dan aku langsung memanggil dokter
untuk segera memeriksamu. Namun kemudian, tiba-tiba saja aku merasakan mual di
perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Seketika aku merasakan tubuhku
melayang dan terjatuh di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang
terjadi. Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat Isya” Jelasku.
”Ya, kamu
pingsan karena terlalu lelah menjagaku setiap hari. Dokter dan perawatnya
segera membawamu untuk diperiksa” Ucap Mas Yusuf yang wajahnya hampir mendekati
wajahku.
”Maafkan aku
Mas...” Lirihku.
”Untuk apa?”
”Kemarin saat
kamu tidak sadarkan diri, aku...aku sempat menciummu. Aku harap kau tidak marah
padaku. Dan semoga kau ridho atas perbuatanku itu”
Mas Yusuf
terdiam menatap wajahku. Aku semakin takut. Namun tiba-tiba dia tersenyum dan
berkata dengan manis padaku.
”Kenapa aku
harus marah padamu?”
”Ja, jadi kamu nggak
marah sama aku?” Tanyaku yang kemudian disusul dengan gelengan kepala dan
senyuman Mas Yusuf. Aku tersenyum senang. Hatiku lega setelah mendapat
pengakuan darinya.
”Aku adalah
suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu merasa takut atas perbuatanmu.
Insya Allah, Allah akan meridhoinya. Justru aku yang harusnya minta maaf
padamu”
”Untuk apa?”
Tanyaku pura-pura tidak mengerti.
”Maaf jika
selama ini aku tidak sepenuhnya menjadi suami yang bertanggung jawab, jika aku
sering menyakiti hatimu sehingga sering membuatmu menangis di tengah malam”
Hah!! Aku
terkejut. Dari mana Mas Yusuf tahu kalau aku sering menangis di tengah malam?
Aku masih bingung dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus melanjutkan
kata-katanya.
”Maafkan jika
selama ini aku selalu membuat kamu terbangun sebelum fajar untuk makan sahur,
karena aku tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami untuk
memuaskanmu”
Aku semakin
terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu? Aku tidak pernah menceritakan hal itu
pada siapapun. Tapi, kenapa Mas Yusuf tahu?
”Sekali lagi
maaf, karena aku pernah berbohong padamu...”
”Berbohong apa
Mas?” Tanyaku tidak mengerti. Mas Yusuf coba menjelaskan.
“Tempo hari,
sewaktu ada munashoroh Palestine di Monas, aku bilang padamu kalau aku ada
urusan di sekolah sehingga tidak bisa pergi kesana bersamamu. Aku memang ada
urusan, namun setelah itu aku pergi kesana bersama teman-temanku. Dan aku tahu,
kau melihatku disana kan? Tapi karena kau tidak mau aku melihatmu yang
memergoki aku, makanya kamu segera mengajak temanmu untuk pergi dari sana. Iya
kan? Aku benar-benar minta maaf atas hal itu. Aku sungguh menyesal” Jelas mas
Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
Aku masih
terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dan air mataku mengalir begitu saja
bagaikan anak sungai. Aku lihat Mas Yusuf menunduk sambil menangis. Aku
menghapus air matanya dengan tanganku. Dia meraihnya dan menciumnya. Aku jadi
terharu. Lantas, segera saja aku menanyakan dari mana dia bisa tahu semua hal
itu, dan dia menjawab.
”Buku harianmu.
Aku sudah membaca semua tulisanmu yang ada disana. Juga kaset rekaman itu. Aku
sudah mendengarnya. Aku mohon segala maafmu atas kesalahanku selama ini” Pintanya
sambil terisak dan terus menciumi tanganku. Aku pun semakin sedih dan ikut
terisak juga. Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya aku
memberanikan diri untuk bertanya padanya.
”Mas, apa...apa
semua itu berarti, kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu?”
Perlahan kutatap
kedua mata Mas Yusuf. Butir-butir cinta itu masih tersisa disana. Aku
perhatikan dan dia mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan itu
berarti, cintaku terbalas. Ini untuk yang pertama kalinya aku merasakan cinta
yang sesungguhnya. Cinta seorang suami kepada istrinya. Aku merasa menjadi
wanita yang paling berbahagia. Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun tersenyum.
Bahkan lebih manis dari biasanya.
Kupandang
lekat-lekat wajah itu.
”Apa yang
akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?”
”Karena kau
adalah anugrah terindah yang pernah Allah berikan untukku. Kau jiwaku, kau
nafasku, kau nadiku, dan kau adalah hidupku. Betapa bodohnya aku yang telah
membiarkan kau menderita selama ini. Aku baru menyadari, kalau aku mencintaimu.
Aku sangat mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu dalam
hatiku. Tidak akan ada”
”Termasuk
Alifa?” Tanyaku dengan tiba-tiba.
”Ya. Termasuk
Alifa.” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Lalu apa
keputusanmu mengenai Alifa? Saat ini dia membutuhkanmu Mas...”
Mas Yusuf
terdiam sejenak.
”Sebelum aku
menjawabnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Terima kasih atas kesabaranmu
selama ini padaku. Terima kasih karena kau telah mencurahkan seluruh cintamu
padaku. Terima kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan mendo’akanku
selama aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih...”
”Sstt!” Sahutku
menyela perkataannya. Kucoba menempelkan jariku di bibirnya.
”Kau sudah
terlalu banyak mengucapkan terima kasih padaku. Hanya dengan rasa cintamu
padaku pun, itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak enak dalam hal
percintaan. Aku benar-benar mencintaimu Mas...” Ucapku pelan.
”Terima kasih
sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah...” Ucapnya senang.
Aku terdiam
mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku tak sanggup berucap satu katapun. Yang
ada malah lelehan air mata yang mengalir di wajahku lalu menyerap ke jilbab
yang aku kenakan sekarang.
Aku benar-benar
terkejut mendengarnya.
”Kamu hamil, sayang....”
Ucap Mas Yusuf lagi dengan penuh kemesraan.
Air mataku
kembali mengalir membasahi jilbabku dan kini semakin deras.
”Kau tidak
membohongiku?” Tanyaku seolah ingin penegasan.
Mas Yusuf
menggeleng.
”Aku tidak
bohong. Kau sungguh-sungguh hamil. Saat ini kau tengah mengandung anakku. Anak
kita. Buah cinta kita”
Kuberikan
senyumanku pada Mas yusuf. Aku hamil. Aku benar-benar hamil. Sebentar lagi aku
akan menjadi seorang ibu. Oh Tuhan, terima kasih. Kau telah memberikan
kebahagiaan ini padaku.
”Kemarin kamu
pingsan karena terlalu letih. Dan setelah diperiksa oleh dokter, ternyata kamu
tengah mengandung. Usia kandunganmu baru dua bulan. Kamu harus jaga kesehatan
ya?” Pinta Mas Yusuf padaku.
Aku mengangguk
dengan air mata yang terus meleleh. Mas Yusuf menghapusnya dengan sentuhan
hangatnya.
Namun tiba-tiba
aku tersadar. Kebahagiaanku belum sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada satu
yang mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian yang baru saja aku alami memang suatu
kebahagiaan yang sangat aku impikan. Kebahagiaan karena akhirnya Mas Yusuf bisa
mnerimaku dan mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil.
Tapi biar bagaimanapun,
aku harus bertanggung jawab atas permohonanku pada Mas Yusuf yang memintanya
untuk menikahi Alifa. Aku harus siap dengan segala konsekwensinya. Aku
benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf menyatakan kesediaannya untuk
menikahi Alifa.
Aku terdiam dari
tangisku dan mulai bertanya,
”Mas...”
”Hm?...”
Kuhela nafasku
sesaat.
”Mencintaimu
adalah suatu hal yang sangat membahagiaakan untukku. Apalagi ketika kau sudah
bisa menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku semakin lengkap, apalagi
sebentar lagi kita akan menjadi orang tua bagi anak kita. Tapi aku tidak mau
egois. Saat ini, aku ingin mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau
menikahi Alifa. Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah
dikandungnya, juga butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan
yang terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada Alifa”.
Kulihat Mas
Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan dia berdiri dari duduknya.
”Kau tunggulah
disini sebentar. Aku akan keluar untuk memberikan jawaban dan keputusanku
terhadap penawaranmu” Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar kamar sambil
menyisakan rasa penasaran untukku. Apa yang hendak suamiku lakukan?
Sambil menatap
langit-langit kamar rumah sakit, aku menunggu Mas Yusuf datang dengan membawa
jawaban dan keputusannya. Sungguh, saat ini aku begitu resah. Tiba-tiba Mas
Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya. Tak ada yang berubah darinya. Juga tak ada
yang dibawanya. Kuperhatikan wajahnya.
”Apa keputusanmu
Mas?” Tanyaku dengan serak menahan tangis.
Dia
menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang keluar kamar dengan wajah
berseri-seri. Aku tambah tak mengerti. Akupun ikut memandang keluar kamar.
Masih dalam
kondisi berbaring di tempat tidur, perlahan aku melihat sebuah bayangan datang
menghampiri kamarku. Bayangan siapa itu?
Tiba-tiba, aku
melihat sosok yang sangat aku kenal muncul dihadapanku dengan menggunakan kursi
roda. Dan orang yang mendorong kursi rodanya juga adalah orang yang sangat aku
kenal.
Dia Alifa dan
Randi. Alifa duduk di kursi roda berbalut ghamis coklat dan jilbab hitam, dan
yang mendorongnya adalah Randi. Orang yang kukenal sebagai sahabat Mas Yusuf.
Orang yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk segera menikahi Alifa. Orang
yang dulu sempat menegurku pada saat acara di Bumiwiyata, Depok. Kenapa mereka
datang bersamaan?
”Alifa?! Randi?!
Kalian....” Ucapku tergagap.
”Ya. Alifa sudah
menikah dengan Randi” Sahut Mas Yusuf mengejutkanku.
”Apa?”
”Ya Dinda. Aku
sudah menikah dengan Randi. Dia telah membantuku untuk tetap hidup. Dia juga
sudah membuatku menjadi seperti ini. Alhamdulillah, Randi sudah berkenan
menjadi suamiku” Ucap Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya mendekatiku.
Mas Yusuf dan
Randi pergi keluar kamar meninggalkan aku dan Alifa berdua.
Sambil
menggenggam tanganku, Alifa berkata,
”Aku tahu kamu
wanita yang sangat mulia hatinya. Aku sudah dengar semua dari Yusuf. Kamu
menyuruhnya untuk menikahiku bukan? Niat baikmu untuk menjadikanku sebagai
istri kedua Yusuf sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau aku tahu yang
hendak menikahiku adalah Yusuf, aku tidak akan menerimanya...”
”Kenapa?”
”Karena aku
tidak mau melihat kamu bersedih. Aku yakin hatimu pasti hancur ketika Yusuf
sampai menikahiku. Untung saja belum Yusuf memberikan keputusannya karena dia
mengalami kecelakaan dan koma, Randi datang dengan sebongkah rasa kasihan dan
cintanya untukku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa seperti ini.
Kepergian Mas Guntur memang menyisakan luka yang mendalam untukku. Sampai aku
harus dirawat di rumah sakit dan mengalami koma. Dokter bilang, penyakitku ini
disebabkan karena aku mengalami tekanan batin yang begitu mendalam sehingga
harus ada yang mau menikahiku dan bersedia menjadi suami keduaku. Aku juga
tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Tapi memang, setelah Randi menikahiku
dan dia mulai membisikkan kata-kata mesranya untukku, seolah ada setetes embun
pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi. Ketika Randi menyentuh
tanganku dan membelaiku, perlahan aku seperti menemukan kembali semangat
hidupku. Memang aku sempat terkejut ketika kubuka mata, yang kulihat bukanlah
Mas Guntur, tapi Randi. Sahabatku sendiri yang kini telah menjadi suamiku.
Awalnya aku sempat drop lagi tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan
akhirnya aku sudah bisa menerima semua kenyataan ini, kalau Mas Guntur sudah
tiada dan yang menggantikannya adalah Randi. Terima kasih ya? Karena biar
bagaimanapun, kau sudah berniat baik padaku dengan menyuruh Yusuf agar mau
menikahiku dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang tengah kukandung ini. Dan
selamat ya? Akhirnya kau juga akan menjadi seorang ibu”
Alifa
menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tersenyum padanya. Aku baru ingat,
ternyata laki-laki yang dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak menikahi Alifa
adalah Randi. Seseorang yang tanpa sengaja telah menyelamatkan hati dan cintaku
ternyata adalah Randi. Karena dia, akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua.
Terima kasih Randi.
”Kapan kamu
menikah dengannya?” Tanyaku.
”Kemarin. Bahkan
Yusuflah yang menjadi saksi pernikahan kami”
Diam-diam ada
perasaan syukur yang menyusup kedalam diriku.
Tak berapa lama,
Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke kamar. Aku tersenyum pada mereka dan
kuucapkan selamat pada Randi. Kami pun berbincang bersama di kamar itu. Penuh
keceriaan dan tawa yang kami ciptakan saat itu.
*
* *
--NEXT-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar