Selasa, 12 Mei 2015

Catatan Hati Seorang Istri Bagian 5


Karya : Asma Nadia

Jika Saya Dan Suami Bercerai

Kami berdua tidak bisa menebak takdir di masa depan.
Apakah pernikahan kami akan langgeng hingga kematian memisahkan, atau tidak Saya tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Rumah tangga kami bukan tanpa masalah. Sebagaimana pasangan muda lain, satu dua pertengkaran lumrah rasanya. Lalu kenapa saya mendadak berpikir, what if...?
Ya, bagaimana jika saya dan suami bercerai? Ini gara gara saya tidak bisa menutup kuping terhadap berita perceraian yang kian hangat di kalangan selebritis. Meski nyaris tidak pernah menyengajakan diri menonton infotaintrnent, tapi entah bagaimana info tersebut sampai juga ke telinga. Kadang lewat headline surat kabar infotaintrnent yang seakan disodorkan ke wajah kita, setiap mobil berhenti di perempatan lampu merah atau pom bensin. Terkadang saya tidak sengaja mendengarnya dari percakapan mbak Tri yang sudah lama membantu keluarga kami di rumah, dengan Ibu mertua, atau dari siaran tivi di ruang tengah yang menembus pintu kamar saya.
Meski tidak terlibat, apalagi mengenal sosok artis yang menjadi sorotan berita, saya selalu merasa sedih setiap mendengar perceraian. Apalagi jika diikuti kemarahan.
Saya tidak mengerti. Bagaimana dua orang yang dulu amat sangat mencintai kini sanggup saling menyakiti. Bagaimana mereka bisa saling membenci dan mengibarkan bendera permusuhan? Begitu mudahkan cinta yang telah mengakar tercerabut tanpa bekas?
Yang lebih membuat saya sedih adalah jika keduanya sudah memiliki anak. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika sikap menyerang dan saling menyakiti terbaca dan sampai ke telinga anak. Ketika suami istri mulai memerinci kekurangan, berlomba mengatakan hal-hal buruk satu sama lain, bahkan membongkar aib pasangan... lantas kenangan indah apa yang akan tersisa di benak anak-anak, tentang ayah dan ibu mereka?
Soal ini terasa lebih mengganggu ketika seorang saudara kami bercerai. Saya memaklumi kemarahan si suami karena sang istri yang menelantarkan anak -anak, bahkan menginap demi lelaki lain. Kemarahan yang kemudian meluas ketika masalah ini juga diceritakan pihak suami kepada ibunya. Gelombang amarah membesar karena dengan cepat persoalan itu sampai ke pihak keluarga besar, sampai detil yang tak pantas dibicarakan.
Julukan kepada si istri yang bersalah pun diberikan.
Salah seorang kerabat bahkan sempat memanggil dengan sebutan (maaf ) 'kuntilanak' ketika anak-anak yang kehilangan sosok ibunya, bertanya tentang keberadaan ibu mereka.
“Kuntilanak itu nggak usah ditanya-tanya. Udah pergi!”
Hati saya terluka mendengar kalimat itu. Luka yang sama ketika saya menemukan seorang teman yang mencoba mewariskan kemarahan dan kekecewaannya setelah sang suami serong dengan perempuan lain.
“Pokoknya Mama nggak mau kamu terima telepon Papa. Papa sudah tidak sayang sama kita. Papa sudah punya keluarga lain. Ngerti?”
Kejadian itu tertanam di benak saya. Kemarahan memang kerap membuat kita kehilangan akal sehat.... kemampuan untuk berpikir jernih dan melakukan hal yang benar. Begitu kuatnya kejadian ini hingga suatu malam saya mengajak suami sama-sama berjanji.
“Bunda ingin ayah berjanji,” ujar saya sungguh-sungguh.
Semula suami tidak terlalu menanggapi, sampai saya melanjutkan kalimat, “Bunda ingin ayah berjanji, jika kita bercerai...”
“Ya?”
Saya menyusun kalimat. Kami tidak ada masalah, bagaimana agar saya tidak terlihat aneh sebab tiba-tiba mengangkat persoalan serius ini dalam percakapan kami.
“Bunda ingin ayah berjanji, siapa pun yang bersalah... maka hanya kita berdua yang tahu. Jika ayah yang salah, hanya bunda yang tahu. Begitu-pun sebaliknya.” Suami menoleh dan memandang lembut ke arah saya,
“Kenapa bunda tiba-tiba ngomong begitu?”
Kenapa? Kemarahan, kebencian, sikap saling tuduh dan menyerang itu mampir lagi di ingatan. Juga kejadian perselingkuhan yang berakibat perceraian yang dialami saudara kami baru-baru ini, seperti slideshow yang berulang-ulang ditayangkan.
“Sebab, ketika masalah diketahui orang lain, maka akan menyebar dan menimbulkan kemarahan yang luas. Bunda nggak ingin kalimat-kalimat jelek nantinya sampai ke telinga anak-anak.”
Suami tampak tercenung. Saya lega ketika dia akhirnya mengangguk, “Ayah janji.”
“Bunda juga janji...”
Kami berdua tidak bisa menebak takdir di masa depan. Apakah pernikahan kami akan langgeng hingga kematian memisahkan, atau tidak. Tetapi kami sama-sama mengerti:
Cinta pada pasangan bisa hilang.
Suami istri bisa berpisah dan berakhir di perceraian.
Tetapi tidak ada yang bisa memutus hubungan yang sudah terjalin di antara orang tua dan anak. Dan karenanya, tidak ada seorang pun yang berhak merusak kenangan indah yang dimiliki anak-anak tentang ayah bunda mereka.
Rumah, Agustus 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar