Karya :
Asma Nadia
Jika Saya Dan Suami Bercerai
Kami berdua tidak bisa menebak takdir di masa depan.
Apakah pernikahan kami akan langgeng hingga kematian memisahkan,
atau tidak Saya tidak
pernah memikirkan itu sebelumnya. Rumah tangga kami bukan tanpa masalah.
Sebagaimana pasangan muda lain, satu dua pertengkaran lumrah rasanya. Lalu kenapa
saya mendadak berpikir, what if...?
Ya, bagaimana jika saya dan suami bercerai? Ini gara gara
saya tidak bisa menutup kuping terhadap berita perceraian yang kian hangat di
kalangan selebritis. Meski nyaris tidak pernah menyengajakan diri menonton infotaintrnent,
tapi entah bagaimana info tersebut sampai juga ke telinga. Kadang lewat
headline surat kabar infotaintrnent yang seakan disodorkan ke wajah kita,
setiap mobil berhenti di perempatan lampu merah atau pom bensin. Terkadang saya
tidak sengaja mendengarnya dari percakapan mbak Tri yang sudah lama membantu
keluarga kami di rumah, dengan Ibu mertua, atau dari siaran tivi di ruang tengah
yang menembus pintu kamar saya.
Meski tidak terlibat, apalagi mengenal sosok artis yang menjadi
sorotan berita, saya selalu merasa sedih setiap mendengar perceraian. Apalagi
jika diikuti kemarahan.
Saya tidak mengerti. Bagaimana dua orang yang dulu amat
sangat mencintai kini sanggup saling menyakiti. Bagaimana mereka bisa saling
membenci dan mengibarkan bendera permusuhan? Begitu mudahkan cinta yang telah mengakar
tercerabut tanpa bekas?
Yang lebih membuat saya sedih adalah jika keduanya sudah
memiliki anak. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika sikap menyerang dan
saling menyakiti terbaca dan sampai ke telinga anak. Ketika suami istri mulai memerinci
kekurangan, berlomba mengatakan hal-hal buruk satu sama lain, bahkan membongkar
aib pasangan... lantas kenangan indah apa yang akan tersisa di benak anak-anak,
tentang ayah dan ibu mereka?
Soal ini terasa lebih mengganggu ketika seorang saudara kami
bercerai. Saya memaklumi kemarahan si suami karena sang istri yang
menelantarkan anak -anak, bahkan menginap demi lelaki lain. Kemarahan yang
kemudian meluas ketika masalah ini juga diceritakan pihak suami kepada ibunya.
Gelombang amarah membesar karena dengan cepat persoalan itu sampai ke pihak
keluarga besar, sampai detil yang tak pantas dibicarakan.
Julukan kepada si istri yang bersalah pun diberikan.
Salah seorang kerabat bahkan sempat memanggil dengan sebutan
(maaf ) 'kuntilanak' ketika anak-anak yang kehilangan sosok ibunya, bertanya
tentang keberadaan ibu mereka.
“Kuntilanak itu nggak usah ditanya-tanya. Udah pergi!”
Hati saya terluka mendengar kalimat itu. Luka yang sama
ketika saya menemukan seorang teman yang mencoba mewariskan kemarahan dan
kekecewaannya setelah sang suami serong dengan perempuan lain.
“Pokoknya Mama nggak mau kamu terima telepon Papa. Papa
sudah tidak sayang sama kita. Papa sudah punya keluarga lain. Ngerti?”
Kejadian itu tertanam di benak saya. Kemarahan memang
kerap membuat kita kehilangan akal sehat.... kemampuan untuk berpikir jernih
dan melakukan hal yang benar. Begitu kuatnya kejadian ini hingga suatu malam
saya mengajak suami sama-sama berjanji.
“Bunda ingin ayah berjanji,” ujar saya sungguh-sungguh.
Semula suami tidak terlalu menanggapi, sampai saya
melanjutkan kalimat, “Bunda ingin ayah berjanji, jika kita bercerai...”
“Ya?”
Saya menyusun kalimat. Kami tidak ada masalah, bagaimana
agar saya tidak terlihat aneh sebab tiba-tiba mengangkat persoalan serius ini
dalam percakapan kami.
“Bunda ingin ayah berjanji, siapa pun yang bersalah... maka
hanya kita berdua yang tahu. Jika ayah yang salah, hanya bunda yang tahu.
Begitu-pun sebaliknya.” Suami menoleh dan memandang lembut ke arah saya,
“Kenapa bunda tiba-tiba ngomong begitu?”
Kenapa? Kemarahan, kebencian, sikap saling tuduh dan menyerang
itu mampir lagi di ingatan. Juga kejadian perselingkuhan yang berakibat
perceraian yang dialami saudara kami baru-baru ini, seperti slideshow yang berulang-ulang
ditayangkan.
“Sebab, ketika masalah diketahui orang lain, maka akan menyebar
dan menimbulkan kemarahan yang luas. Bunda nggak ingin kalimat-kalimat jelek
nantinya sampai ke telinga anak-anak.”
Suami tampak tercenung. Saya lega ketika dia akhirnya
mengangguk, “Ayah janji.”
“Bunda juga janji...”
Kami berdua tidak bisa menebak takdir di masa depan. Apakah
pernikahan kami akan langgeng hingga kematian memisahkan, atau tidak. Tetapi
kami sama-sama mengerti:
Cinta pada pasangan bisa hilang.
Suami istri bisa berpisah dan berakhir di perceraian.
Tetapi tidak ada yang bisa memutus hubungan yang sudah
terjalin di antara orang tua dan anak. Dan karenanya, tidak ada seorang pun
yang berhak merusak kenangan indah yang dimiliki anak-anak tentang ayah bunda
mereka.
Rumah, Agustus 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar