Dua hari setelah hari itu, sepulang
dari kantor aku memutuskan untuk menjenguk Alifa di Rumah Sakit Pasar Rebo.
Keadaan Alifa belum sempat aku beri tahukan pada Mas Yusuf. Setelah turun dari
angkot berwarna merah, aku langsung masuk kedalam rumah sakit. Menaiki lift dan
menuju lantai lima ruang melati.
Di kamar 603 aku
dapati seorang ibu paruh baya tengah duduk di sebelah seorang perempuan
berwajah manis yang sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu adalah ibundanya.
Sambil tertunduk dia membaca surat Yasin dengan suara pelan. Aku memasuki kamar
itu sambil mengucapkan salam dengan pelan. Ibu paruh baya itu mengangkat
kepalanya kemudian berdiri menghampiriku.
Kucium tangannya
sambil berkata.
”Ibu, saya
Dinda, sahabatnya Alifa”
”Oh..iya, iya.
Terima kasih sudah mau datang menjenguk Alifa” Sahut ibu paruh baya itu dengan
suara agak sedikit serak. Di matanya terdapat butiran-butiran kecil air mata.
Mungkin dia habis menangis. Entahlah.
Sejurus kemudian
aku mengalihkan pandanganku pada Alifa. Gadis cantik nan ayu itu kini terbaring
lemah tak berdaya di kasur rumah sakit. Wajah terlihat pucat dan tubuhnya
tampak begitu kurus yang di tutupi dengan selimut tebal. Jilbabnya kini agak
sedikit pendek dari biasanya. Namun dia tetap terlihat cantik bagi siapa saja
yang memandangnya.
Setelah menatap
Alifa yang hanya bisa memejamkan matanya, aku mulai bertanya pada ibu paruh
baya yang tak lain adalah ibunda Alifa. Dia bernama Bu Ratih.
”Sejak kapan
Alifa masuk rumah sakit Bu?” Tanyaku sambil terus berdiri di samping Alifa.
”Sejak
keadaannya semakin parah Nak. Ya...sekitar dua minggu yang lalu. Awal masuk
kesini sih masih bisa makan, minum, shalat, bicara juga masih bisa
sedikit-sedikit. Tapi makin kesini, kondisinya semakin....” Bu Ratih memutuskan
kata-katanya. Air mata yang berusaha ditahannya kini tak dapat lagi terbendung.
Aku langsung mengeluarkan tisu dan kuberikan padanya sambil mengelus-elus
bahunya.
”Sabar ya Bu?”
Ucapku padanya.
Bu Ratih hanya
mengangguk sambil menghapus air matanya. Tanpa terasa kedua mataku basah.
Sejurus kemudian timbul perasaan yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam sukmaku.
Aku begitu sedih melihat Alifa terbaring koma.
Sesaat lamanya
aku berada disana, tiba-tiba ada seorang dokter cantik yang datang untuk
memeriksakan keadaan Alifa. Dia bernama dokter Melisa. Dokter itu bersama dua
orang perawatnya. Yang satu mengenakan kerudung dan yang satu lagi tidak.
Suster yang mengenakan kerudung memeriksa denyut nadi Alifa lalu menuliskan
sesuatu pada kertas yang dibawanya. Sedangkan suster yang satu lagi hanya
berdiri sambil membawa beberapa obat-obatan di meja dorongnya.
Dokter Melisa
memeriksa mata Alifa dengan senter kecil. Dan sesekali dia mengecek selang
infus yang yang menghubungkan cairan infus ke tubuh Alifa. Cairannya sudah
hampir habis dan dia menyuruh suster yang tidak mengenakan kerudung untuk
mengganti cairan infus yang sudah habis dengan cairan infus yang baru.
Setelah
memeriksa keadaan Alifa, dokter Melisa berbincang sedikit dengan Bu Ratih.
”Bagaimana dok
keadaanya? Apa ada kemajuan?” Tanya Bu Ratih penuh harap.
Dokter cantik itu
menggeleng.
”Belum ada
perubahan apa-apa. Bahkan keadaannya semakin menurun kalau tidak secepatnya
dilakukan tindakan” Jawab dokter itu tenang.
”Tindakan apa
dok?” Tanyaku menimpali.
”Tindakan untuk
mencarikan seseorang yang mau berpura-pura menjadi suaminya. Saat ini dia
memerlukan belaian lembut dan kasih sayang dari seorang suami. Maklumlah, Ibu
Alifa ini baru seminggu menikah bukan? Masa-masa itu adalah masa-masa dimana
pasangan pengantin baru sedang mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stres kemudian
sakit seperti ini. Selain kondisi fisiknya yang lemah, batinnya juga sangat
terguncang tatkala dia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya yang baru
seminggu dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang sangat tragis” Jelas
dokter Melisa sangat detail. Aku mendengarkannya dengan seksama.
”Lalu bagaimana
dengan kandungannya dok?” Tanya Bu Ratih yang tiba-tiba saja mengejutkanku.
”Kandungan?
Jadi... saat ini Alifa sedang hamil?”
”Iya” Sahut
dokter melisa.
”Usia
kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah janin yang ada dalam kandungannya
tidak mengalami penurunan. Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak
bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus
ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan
menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya
yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari
seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya” Jelas
Dokter Melisa kembali.
Aku hanya
terdiam tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu Ratih mengucapkan terima kasih
tatkala dokter Melisa dan dua perawatnya pergi meninggalkan kami. Aku teringat
ucapan dokter Melisa barusan,
”Tapi kalau dibiarkan
terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa
bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada
seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya
menggantikan suami pertamanya yang meninggal”
Aku juga
teringat perkataan dokter Melisa yang terus terngiang dalam ingatanku.
”Sehingga Ibu Alifa bisa
merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia
dapatkan sejak pertama pernikahannya”
Alifa memang
seharusnya mendapatkan kasih sayang itu, tapi Allah telah mengambil suaminya
dari sisinya. Sedangkan aku? Nasibku sungguh kontras sekali dengan kehidupan
Alifa. Sudah hampir setahun aku menikah namun sampai detik ini aku belum juga mendapatkan
kasih sayang itu. Kasih sayang yang memang seharusnya aku dapatkan dari seorang
suami.
Bu Ratih
mengejutkanku dengan tegurannya.
”Nak Dinda”
”Eh...Ya Bu?”
Sahutku.
”Kenapa
melamun?”
Aku menggeleng.
”Tidak Bu.
Ehm..kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Bu? Saya do’akan semoga Alifa bisa
secepatnya melalui ujian ini dan semoga Alifa bisa lekas sembuh”
”Terima kasih ya
Nak?’ Ucap Bu Ratih.
Aku mengangguk
sambil tersenyum padanya.
Sebelum pulang
aku sempatkan menyentuh tangan Alifa yang kurus dan pucat itu. Dalam hati aku
berucap padanya,
”Aku akan membantumu, Alifa. Insya
Allah”
Setelah berucap
sedikit pada Alifa, aku segera pulang dengan terlebih dahulu berpamitan pada Bu
Ratih.
“Yang tabah ya
Bu? Saya yakin, Allah pasti akan memberikan jalan keluar atas semua ujian ini.
Dan saya pun akan membantu Alifa sebisa saya mampu. Insya Allah.
Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumusslam.
Terima kasih ya Nak Dinda?”
Aku tersenyum
padanya kemudian keluar menuju lift. Setelah keluar dari rumah sakit, di dalam
angkot merah yang aku tumpangi, tiba-tiba aku mempunyai sebuah rencana yang
mungkin bisa membuat Alifa tersadar dari komanya. Sebuah rencana yang akan aku
jalankan untuk membantu Alifa dan bayi yang tengah dikandungnya.
*
* *
Setelah sampai
dirumah, tak kutemukan Mas Yusuf di setiap sudut rumah. Mungkin dia masih
mengajar di sekolah. Aku beristirahat sejenak kemudian mandi dan shalat
maghrib. Selesai itu aku sedikit tilawah sebentar sebelum tiba-tiba saja rasa
cemas itu menyusup ke dalam dada. Kemana Mas Yusuf sampai petang begini belum
pulang? Tak biasanya dia pulang mengajar sampai malam seperti ini. Tak memberi
kabar atau pun sms.
Kusudahi
tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih ponselku yang tergeletak diatas
tempat tidur lalu kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada sambung dari ponselnya.
Kemana dia? Sekali lagi aku hubungi dia dan yang menjawab hanya suara operator
telepon seluler.
”Maaf,
nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi atau
tinggalkan pesan setelah nada berikut....”
Aku coba
berkali-kali tetap tidak bisa. Kuputuskan untuk mengiriminya sms. Semoga saja
ketika ponselnya sudah aktif, dia segera membaca pesanku dan langsung
membalasnya. Sungguh, malam ini aku tak bisa tidur dengan tenang.
Awalnya aku
ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf pada mertuaku, tapi kuurungkan. Aku tak
ingin mereka cemas lalu memikirkan hal ini. Aku juga tidak mempunyai nomor
telepon teman-temannya kecuali Mas Bambang.
Ya, aku akan
coba menghubungi Mas Bambang dan kutanyakan keberadaan Mas Yusuf padanya.
”Halo...” Ucap
Mas Bambang dari sebrang sana.
Aku menjawabnya
dan segera saja aku bertanya padanya perihal Mas Yusuf. Tapi lagi-lagi aku
harus memendam harapku. Mas Bambang sendiri tidak tahu dimana Mas Yusuf
sekarang. Yang dia tahu sepulang dari mengajar pukul dua siang, dan Mas Yusuf
langsung pulang dengan tergesa-gesa.
Setelah
mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang, aku segera menutup teleponnya. Yang
menjadi pikiranku, mengapa Mas Yusuf pulang dengan tergesa-gesa? Apakah
jangan-jangan, dia sudah mengetahui kondisi Alifa sekarang dan dia pergi
menjengknya?
Ah! Aku tak mau
memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja yang menunjukkan segalanya. Dan saat
ini, sebaiknya aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang sudah
seharian beraktivitas.
*
* *
Pukul
satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang teramat sangat ketika aku merasakan
sadar dari tidurku. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju ke dapur. Setelah
minum untuk menghilangkan dahagaku, aku kembali ke kamar. Duduk di tepi tempat
tidur sambil termenung sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam
ini. Aku takut terjadi apa-apa padanya.
Sambil menatap
photo pernikahanku yang dipajang di meja kecil disamping tempat tidurku,
tiba-tiba aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis. Aku ingin shalat
tahajud.
Setelah
mengambil air wudhu aku langsung melaksanakan shalat tahajud dan bermunajat
padaNya untuk keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu aku lanjutkan
dengan tilawah Al-Qur’an beberapa lembar. Setelah itu aku menutupnya dengan
shalat witir tiga rakaat.
Kulepas mukenaku
dan ku ganti dengan jilbab hitam. Aku berdiri di depan jendela kamarku sambil
membuka sedikit gorden yang menutupinya. Di luar gelap. Jalanan hanya di
terangi dengan beberapa lampu neon yang tersambung oleh rumah warga.
Ku putar kembali
ingatanku satu tahun yang lalu. Ingatanku ketika keluarga Mas Yusuf datang
kerumah untuk melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira surat cinta
ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan berbagai sikap-sikap Mas Yusuf yang
sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku
sebagai seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan
akhirnya aku menangis.
Aku melangkah ke
meja kerjaku. Sambil mendudukan tubuhku di kursinya, kuambil kembali buku
harianku. Tiba-tiba aku melihat sebuah tape recorder yang sudah sejak lama
kutaruh di laci. Didalamnya terdapat sebuah kaset kosong yang aku ingat, kaset
itu pernah aku gunakan untuk mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan
majalah di tempatku bekerja.
Kuurungkan
niatku untuk menulis di buku harian dan aku putuskan untuk merekam suaraku di
tape recorder itu. Akan kukeluarkan seluruh perasaanku selama ini tentang
hatiku, tentang Mas Yusuf, dan tentang Alifa.
Tape recorder
aku nyalakan dan aku mulai bercerita.
“Tuhanku,
Hanya
Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku. Hanya Engkau sajalah yang menjaga
hati dan perasaanku sehingga aku bisa kuat dan tegar sampai saat ini.
Tuhanku,
Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan
dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah aku hidup sebagai seorang
istri. Hidup tanpa kasih sayang dan perhatian dari seorang suami yang aku
kasihi. Hidup penuh kegamangan dan kepasrahan dalam menanti cintanya untukku.
Rabbi,
Sungguh aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat menyayanginya.
Tapi kenapa sampai saat ini tak sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku?
Apakah ada yang kurang dalam pengabdianku padanya selama ini? Apakah ada yang
tak diinginkannya dariku sebagai seorang istri?
Sudah cukup sabar rasanya aku menahan semua ini. Menahan rasa cinta yang
tak kunjung terbalas olehnya. Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau
membukakan pintu hatinya untukku?
Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan air
mataku untuknya yang sekarang entah berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan
untuk tetap mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi. Tapi tak
sedikit pun aku berniat menghilangkan dia dari ingatanku. Biarlah aku
menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan untuk tetap bertahan.
Ya Allah,
Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama ini padaku. Tapi aku
mohon, janganlah Engkau mencatat segala perbuatannya itu sebagai sebuah
kezhaliman. Sungguh, aku sudah memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan
ini. Aku hanya ingin Kau menempatkan dia di tempat yang layak di sisiMu. Aku
mohon.
Ya Allah,
Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang
hadir pada diriku yang tidak ia sukai. Aku mohon, bantulah aku memperbaiki
semuanya. Bantulah aku membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat sangat
menyakitkan untukku.
Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi cinta pada
yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada hambaMu yang lain, yang namanya
sudah sejak lama bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah hatiku ketika
aku harus menyaksikan waktu membawa suamiku pergi pada bunga yang lain.
Kuatkanlah imanku ketika aku harus berbagi suami pada yang lain, pada Alifa.
Aku hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku tahu, Alifa
membutuhkan seorang suami dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang
ayah. Jika sosok itu adalah suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku
bersedia.”
Seusai merekam
suaraku dalam tape recorder sambil terisak, kusimpan kaset rekaman dan tape
recordernya di dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan aku kembali tidur
dengan perasaan yang masih gundah memikirkan Mas Yusuf.
*
* *
Pagi hari ketika
jam sudah menunjukkan pukul 06.00, pintu rumah ada yang membuka. Aku yang baru
saja keluar dari kamar mandi langsung melangkah ke ruang tamu.
”Dari mana Mas?”
Tanyaku pada seseorang yang ternyata adalah Mas Yusuf.
Dia hanya diam
sambil membuka kaos kakinya di kursi. Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah
berjalan ke kamar. Aku mengikutinya.
”Mas, kamu dari
mana aku tanya?”
”Sudahlah!” Bentak
Mas Yusuf mengejutkanku. ”Kamu selalu mau tahu saja urusanku”
Aku benar-benar
kaget mendengar bentakan Mas Yusuf yang bagai anak panah menikam jantungku. Aku
masih terdiam sementara Mas Yusuf kembali bersuara.
”Yang pasti aku
tidak berselingkuh karena hal itu tidak mungkin aku lakukan”
”Ya aku tahu hal
itu” Sahutku berusaha untuk tenang. ”Lagipula tak pernah sedikit pun aku
berpikir kalau kamu selingkuh. Kita sama-sama orang yang beriman.Aku hanya
ingin tahu dari mana saja kamu semalam sampai tidak pulang? Tidak kasih kabar
atau pun sms. Aku telepon hand phone mu tidak aktif. Akhirnya aku kirim sms.
Apa telah kau baca?”
Lagi-lagi dia
hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.
”Lalu kenapa
tidak kau balas untuk memberitahukan dimana kamu berada? Sungguh aku khawatir
dengan keadaanmu. Ingat Mas, walau pun kamu tidak mencintaiku, tapi biar gimana
pun aku ini istri kamu. Jadi wajar jika kamu tidak pulang semalaman tanpa
kabar, akan ada seorang wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata dan itu
adalah aku. Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan kenapa tidak membalas sms
ku?”
Mas Yusuf
terdiam sesaat lalu menjawab dengan ragu-ragu.
”Aku...aku habis
dari rumah Bule Rinta...”
”Bule Rinta?!”
Putusku dengan penuh tanya.
”Ada apa dengan
Bule Rinta?”
”Kemarin,
dirumahnya ada acara....selametan anaknya yang mau di khitan..” Jawab Mas Yusuf
tenang.
”Selametan?
Dirumah Bule Rinta ada selametan?”
Mas Yusuf
mengangguk pelan sambil mengganti pakaiannya.
”Kenapa kamu
tidak memberi tahu aku kalau dirumah Bule Rinta ada selametan? Kalau aku tahu
kan aku bisa datang. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku Mas? Kenapa kamu pergi
sendiri?”
”Ya...ya, karena
acara kemarin baru hanya selametan. Nanti kalau acara khitanannya akan
dilaksanakan baru aku kasih tahu” Jawab Mas Yusuf seolah tak bersalah.
”Kamu terlalu
Mas” Ucapku sambil menahan tangisku di tenggorokan. ”Kamu anggap apa aku? Apa
kata keluarga kamu ketika mereka melihat kamu datang sendiri? Apa kamu juga
ingin membuat mereka jadi membenci aku? Ingat Mas, mereka tahunya kita saling
mencintai. Dan kamu juga harus ingat, aku ini istri kamu. Wanita yang sudah sah
kamu nikahi setahun yang lalu. Aku harap kamu tidak melupakan hal itu.
Tolonglah Mas. Untuk urusan keluargamu janganlah tertutup padaku. Setahun Mas, sudah
setahun kita menikah. Tapi sejujurnya, aku tidak pernah merasakan bahagianya
menjadi seorang istri. Katakan padaku Mas, apakah ini kesalahanku jika kau
tidak mencintaiku? Apakah ini kesalahanku jika kau menikahiku? Dimana letak
kesalahanku sehingga kau tega menghukumku seberat ini? Dimana Mas?”
Tak terasa air
mataku jatuh menetes. Aku tak kuat lagi menahan air mata ini. Aku menunduk
sementara Mas Yusuf hanya diam di tempatnya berdiri kini.
”Mungkin sudah
saatnya aku mengatakan hal ini” Ucapku dengan penuh ketegasan. Ku seka air
mataku. Mas Yusuf terlihat penasaran.
”Di dalam biduk
rumah tangga kita memang tidak pernah ada cinta yang menghiasi. Tapi aku
berharap tidak pernah ada pula kata perceraian di antara kita. Karena Allah
sangat membenci hal itu. Tapi kalau hal ini dibiarkan, aku tahu hatimu akan
sakit selamanya. Jadi aku mempunyai saran untukmu agar kau bisa hidup bahagia
tanpa harus menceraikan aku karena aku tidak ingin kau menceraikanku.....”
”Apa maksudmu?”
Tanya Mas Yusuf penasaran.
Aku terdiam
sejenak sambil menghela nafasku. Kutatap kedua matanya.
”Nikahi
Alifa......”
”Apa?! Apa
maksud perkataanmu?” Tanya Mas Yusuf menghampiriku.
“Nikahi Alifa
karena kini dia sudah menjadi seorang janda...” Ucapku menegaskan.
”Janda?! Alifa
sudah menjadi janda?”
”Ya. Sudah tiga
bulan Alifa menjadi seorang janda. Seminggu setelah pernikahannya suaminya
meninggal akibat kecelakaan kereta api. Sekarang kondisi Alifa menurun dan kini
dia dirawat dirumah sakit”
”Menurun?”
”Ya. Kondisi itu
disebabkan karena dia tidak bisa menahan stres dan tekanan batin atas kepergian
suaminya. Dan satu-satunya jalan agar dapat menolong Alifa dari koma, adalah
mencarikan seorang suami untuknya yang dapat menggantikan kasih sayang suaminya
yang seharusnya ia dapatkan sejak pertama ia menikah”
”A, aku tidak
mengerti apa yang kamu katakan...”
”Alifa butuh
kamu untuk dapat mengembalikan semangat hidupnya. Dan bayi yang ada dalam
kandungannya butuh seorang ayah. Waktunya tidak banyak lagi. Kalau terlambat,
maka dokter pun tidak bisa menjamin kalau Alifa bisa selamat dan bayi dalam
kandungannya juga akan bertahan lama”
Mas Yusuf
terlihat cemas sekali. Mungkin dia tidak mengira kalau Alifa akan bernasib
seperti ini. Dia tak bisa berkata apa-apa.
”Aku mohon Mas.
Terimalah tawaranku ini. Jika kau melakukan hal ini, maka akan banyak jiwa yang
kamu tolong. Kau menolong Alifa dari status jandanya, kau menolong bayi yang
ada dalam kandungannya dari status yatim, kau menolong hatimu dari kekosongan
cinta akan seorang istri, dan kau pun menolongku untuk membahagiakan suamiku,
kamu. Aku mohon” Ucapku dengan penuh harap padanya.
Mas Yusuf
melangkahkan kakinya keluar kamar. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Dia
duduk di ruang tamu sambil termenung. Raut wajahnya tampak cemas dan bingung.
Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya.
”Tapi tidak
semudah itu untuk berpoligami. Lagi pula tidak pernah terpikir sedikit pun
dalam benakku kalau aku ingin menikah lagi. Hanya kamu istriku dan satu-satunya
istriku...”
”Istri yang
tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri? Istri yang tidak pernah merasa
bahwa dirinya itu seorang istri?”
Mas Yusuf
terdiam menatapku. Kulangkahkan kakiku menghampirinya.
”Aku hanya ingin
kamu bahagia. Kamu memang tidak bisa menemukan kebahagiaan itu denganku, tapi
kamu masih punya kesempatan untuk bisa hidup bahagia dengan Alifa. Selain itu
kamu juga bisa memberikan kebahagiaan pada Alifa dan bayi yang dikandungnya.
Kamu mengerti kan Mas?”
Aku rasakan
mataku basah. Setetes bening tiba-tiba saja mengaliri pipiku.
”Aku harap kamu
bisa mempertimbangkan saranku. Ini demi kebaikan kita semua. Aku yakin jika
orang tua kita mengetahui hal ini, mereka pasti akan mengerti. Sepulang kerja
nanti, aku tunggu jawabanmu”
Setelah itu aku
masuk ke dalam kamar sambil mengunci pintunya. Aku tak kuat menahan sesak ini.
Di balik pintu aku menangis. Aku begitu sedih. Semua perasaan bercampur menjadi
satu.
”Rabbi....kuatkan
aku.......”
* * *
Pengen namgis. . .
BalasHapus