Penulis :
Nurlaila Zahra
Ponselku
berdering ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya aku
kurang menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi
ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone ’Merah Saga’nya Shoutul
Harokah, nasyid kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku
tiba-tiba teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah menanti jawaban
telepon dariku.
”Assalamu’alaikum.
Ada apa Mas?” Tanyaku segera tanpa basa-basi.
”Wa’alaikumussalam.
Nanti sore ada acara di Bumiwiyata Depok. Kita ketemu disana jam 5 ya? Malamnya
kita menginap di rumah Ibu” Jawabnya singkat dengan cepat. Ibu yang dimaksud
adalah ibunya. Aku baru menyadari, dia tak sedikitpun menyebut namaku.
”Acara apa
memangnya Mas?”
”Acara bedah
buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang tamunya ada Shoutul Harokah dan
Izzatul Islam. Sekalian aku mau cari-cari buku disana” Sahutnya datar.
”Oh. Ya sudah
kalau begitu, kita ketemu disana jam 5 ya?”
”Ya.
Assalamu’alaikum” Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun langsung menutup
teleponnya tanpa mendengar dulu jawaban salamku.
”Wa’alaikumussalam”
Aku terdiam
sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang baru saja aku alami tadi. Mas Yusuf
meneleponku. Dia mengajakku pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk yang
pertama kalinya selama lima bulan aku menikah dengan Mas Yusuf, dia mengajakku
pergi bersama. Suatu hal yang sebenarnya sudah lama sekali aku impi-impikan.
Pergi ke sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa menggandengku dan
menuntunku. Seperti apa yang sering aku lihat. Tapi apakah nanti dia mau
menggandeng dan menuntunku seperti apa yang aku impi-impikan selama ini?
Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya.
Kuselesaikan
kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku berdering lagi. Kali ini satu
pesan diterima. Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku tersenyum kecil
sambil membaca isi pesannya.
Tunggu sj di dpn pintu msk dan
jgn kmn2 smp aku dtg.
Aku membalasnya.
Baiklah. Aku janji tak akan
kmn2 smp kau dtg.
Aku bahagia
sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah awal untuk memperbaiki hubungnku dengan
Mas Yusuf.
Waktu berlalu
begitu cepat. Pekerjaanku sudah selesai. Selepas shalat Ashar aku langsung
bergegas pergi menuju Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok lumayan
jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar agar Mas Yusuf tak
terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot jurusan
Pasar Minggu. Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung lagi
dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat satu kursi pertama di
dekat pintu. Di daerah Poltangan, banyak penumpang yang turun, namun tak
sedikit pula orang yang berebut untuk naik.
Disaat yang
bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua yang naik dengan membawa beberapa
kantong plastik yang aku perkirakan isinya sangat banyak karena cara ibu tua
itu membawanya sangat berat. Dia memutarkan pandangannya kesemua tempat duduk
yang ada. Penuh. Semua kursi terisi. Ada satu yang kosong di dekat supir. Ibu
itu hendak menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke dalam Bus dan
mendudukkan dirinya disana terlebih dahulu.
Ibu itu sudah di
dera keletihan yang teramat sangat. Peluh di wajahnya menggambarkan sekali
kalau dia benar-benar letih dan memerlukan tempat duduk untuk mengistirahatkan
tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan pandanganku ke semua penjuru Bus. Tak
ada yang mau peduli pada ibu itu. Ada seorang perempuan muda yang asik
menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki yang usianya aku
perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan koran yang tengah dibacanya
sambil sesekali melirikkan kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura
kembali membaca.
Tanpa pikir
panjang lagi, aku langsung bangkit dari dudukku dan kupersilahkan ibu itu untuk
duduk di kursi yang tadi aku tempati. Aku menemukan kebahagiaan yang tiada
terkira terpancar di wajahnya.
”Terima kasih ya
Nak?” Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di pangkuannya. Aku
mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di jalan raya. Terus
berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku berpikir tentang semua
orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat seorang ibu yang
sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu ada
yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya, sementara banyak dari
mereka yang masih sangat muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil
memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari
mereka yang merasa kasihan melihat ibu itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit
dan memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa banyak
pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja mereka mau sedikit saja
berbagi pada orang lain yang membutuhkan.
Tiba-tiba aku
teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang pernah murabbiku sampaikan, tentang
’amal kebaikan’ di halaqah pekan kemarin.
”Dari
Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda, Barang siapa yang melepaskan
seorang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari
kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang sedang
mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat.
Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di
dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama hamba
tersebut menolong saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk
memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.
Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab
Allah, dan mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka
ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di
sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang
berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak
akan dapat menyempurnakannya”
Aku ingin sekali
mencium bau surga itu. Aku ingin sekali melihat indahnya surga yang Allah
janjikan itu. Aku ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang tengah terduduk itu
tidak menginginkan surga itu? Aku yakin mereka pasti menginginkannya. Tapi aku
lebih yakin lagi, meskipun mereka mengetahui berapa besar balasan yang akan
Allah berikan, mereka akan memilih untuk tetap duduk daripada harus
berpanas-panasan sambil berdiri sementara mereka sudah mendapatkan tempat duduk
yang enak.
Menurutku,
mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu
lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah pahala.
Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini sudah tersetting
di pikiran mereka masing-masing. Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua
tadi pasti juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu karena
mereka juga sama-sama lelah. Tapi menurutku, kadar kelelahan mereka berbeda.
Mereka bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia
pingsan kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo’a agar mereka
semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan tidak
terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang kadang-kadang mobil yang aku
tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil yang aku
tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin
menyalahkan siapapun atas kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang
banyak orang yang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu
sendiri.
Ada yang
menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah kemacetan,
atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang Bisa
bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu hanya pendapat
dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana
pun kita berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan menyelesaikan
masalah. Malah justru Bisa membuat masalah baru pada diri kita yang menggerutu
tanpa tujuan yang jelas kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar
dan bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua keuntungan. Keuntungan
yang pertama, kita Bisa memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan
yang kedua, kita akan awet muda jika kita selalu berpikiran positif pada segala
hal, termasuk kemacetan.
Yang pasti,
sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo’a kelak kota Jakarta
ini bisa mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan
kepentingan rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil dan
bijak.
Bumiwiyata sudah
di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku menyeberang jalan
dan sampai di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang berjilbab lebar
dan ikhwan dengan celananya yang semata kaki dan dagunya yang berjenggot tipis.
Aku teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu masuk
sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak yang
datang namun tak sedikit pula yang keluar. Aku memandangi mereka dengan biasa
saja. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku sudah
mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di menit ke 25. Tak ada
jawaban.
”Telepon yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat di hubungi.
Cobalah beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”
Itulah jawaban
yang aku dengar berkali-kali dari operator telepon. Ada apa dengan Mas Yusuf?
Aku benar-benar gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku kenal
sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil
tersenyum.
”Assalamu’alaikum”
Ucapnya dengan lembut.
”Wa’alaikumussalam”
Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
”Afwan kamu
Dinda kan, istrinya Yusuf?”
”Iya. Kamu pasti
Alifa” Jawabku menimpalinya.
”Iya aku Alifa.
Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?”
”Bagaimana
mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke
pernikahanku”.
”Oh, syukurlah
kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku”
”Tenang saja.
Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya,
kamu ikut acara ini?”
”Iya. Kamu
sendirian? Yusufnya mana?”
”Mungkin
sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini”
”Oh begitu”
Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
”Oh iya hampir
lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
”Ini” Ucapnya
sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku
menerimanya.
”Ini undangan
pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu kubuka
undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur
Maulana.
”Selamat ya?”
Ucapku padanya. Dia mengangguk.
”Kalau begitu
aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari pernikahanku
nanti” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
”Insya Allah
nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat
lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf belum juga
datang. Kemana dia?
Tak lama
berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book fair.
Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat
ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
”Assalamu’alaikum.
Yusufnya kemana ukhti?” Tanyanya padaku.
Aku menggeleng,
”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.
”Oh...Bukannya
bareng?”
Aku menggeleng
lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah
datang.
”Tadi sih ana
ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi
sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini” Jelasnya.
”Memang Mas
Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.
”Tadi pagi
kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya
abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas
Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu
juga sih”
Aku terdiam
sejenak.
“Randi!! Ayo!”
Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu
bernama Randi.
”Afwan. Ana
duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi
memanggilnya.
”Wa’alaikumussalam”
Sahutku.
Pikiranku
semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku
sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku
bimbang?
Sesaat lamanya
aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah
membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka
untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku
menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja
aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah
berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin
deras.
Langit sudah
semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku
melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan shalat
Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
Setelah shalat
Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan
sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi jilbabku.
Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi
kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya,
Mas, bkn mksudku ingin
mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk
kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/
plg skrg.
Kukirim segera. Alhamdulillah
pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Tak
lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf. ternyata. Isinya,
Aku segera kesana. Kau jgn
kmn2. Kali ini aku janji. Afwan
Tiba-tiba air
mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan
pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf,
tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku
yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak
mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat jam
aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku
saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.
”Maaf ya, maaf
banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi
kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak
mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengajak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak
marah kan?” Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.
Aku
memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus
menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia
tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, ”Iya”
”Maksudnya?”
Tanyanya tidak mengerti.
”Coba kamu
pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa
maksud dari jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia terdiam.
Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku
teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera
mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
”Nih” Ucapku
sambil menyodorkan undangannya.
”Apa ini?”
Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
”Undangan
pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap
datar.
”Mungkin inilah
yang terbaik”
Aku hanya diam.
Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil
naik aku berkata,
”Sebaiknya kita
tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang
basah. Lebih baik besok saja kita kesananya”
”Baiklah”
Sahutnya.
Motor yang kami
tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan
kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga yang
tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah Allah
janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat
menentukan. Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya
dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam diamku.
* * *
Hari pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas
Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah kemarin aku menyerahkan revisi novelku
yang ketiga pada pihak penerbit, aku langsung membeli kado pernikahan untuk
Alifa.
Mas Yusuf
terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih
menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di
depan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan
beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis
nama kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita
berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman penuh
kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar tidak
bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia
sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari
pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.
Tapi Alifa tidak
sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu hancur melihat
dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang
yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada
kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir,
’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur
itu’.
Astaghfirullah!!
Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki
halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan
undangan wanita di pisah oleh hijab.
Aku bersalaman
dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan kalimat yang sama
seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
”Barakallah ya
Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”
”Syukran ya?”
Ucapnya.
Aku mengangguk
dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah
katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi, Alifa
meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf
berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan
sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah berfoto,
aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas
Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami,
Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan
bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.
Sebelum pulang,
sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang
terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku
pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing.
Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.
*
* *
--NEXT-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar