Minggu, 17 Mei 2015

Catatan Hati Seorang Istri Bagian 11


Karya : Asma Nadia

“Obrolan Pagi di Kereta”

“Jika cerita itu benar, bagaimanakah ekspresi Pak Dosen saat mengucapkan kalimat itu?”
Dering telepon berulang. Perhatian saya kontan terarah kepada nama yang tertera di layar ponsel. Kang Gito.
Kontak batin mungkin. Sehari sebelumnya saya sempat menelpon ke rumah beliau, namun tidak ada yang mengangkat.Dan kesibukan mempersiapkan se gala sesuatu untuk PULPEN (Pelatihan Menulis Cerpen), membuat saya luput menghubungi beliau kembali.
Dana beasiswa dari Diknas yang saya peroleh memang saya pergunakan untuk mengadakan PULPEN di 3 kota; Jakarta dan sekitarnya, Pekalongan, dan terakhir di Aceh.
Untuk keperluan itu, semua hal nyaris diurus sendiri. Mulai mempersiapkan bingkisan buku dan notes untuk seluruh peserta, sertifikat, mengcopy makalah, termasuk buku-buku doorprize. Hasilnya sekardus besar yang luar biasa berat untuk saya angkut sendiri ke Pekalongan.
Dan dering telepon di ponsel terdengar, ketika saya belum lama akhirnya berhasil beristirahat setelah beberapa menit berpikir di mana saya harus meletakkan kardus besar, yang ternyata tidak muat di deck yang ada di atas kursi penumpang kereta api ini.
Kang Gito.
Saya berhutang janji untuk menjenguknya. Telepon terakhir lelaki itu menceritakan pengapuran di tulang belakang yang harus dioperasi. Di kemudian hari saya tahu ternyata ada sel-sel kanker yang kembali muncul merongrong kesehatan beliau.
Kang Gito dan saya, sejujurnya hanya beberapa kali bertemu. Tetapi uniknya seperti teman baik yang kemudian saling 'mencemburui'. Saya sejujurnya cemburu, bahkan iri pada komitmen taubat dan hijrah beliau, mantan vokalis The Rollies, yang juga mengenal baik papa saya. Sebaliknya Kang Gito sering mengungkapkan kecemburuannya pada saya, yang menurutnya terus 'berjalan', apa pun kondisinya. Juga ruang aktivitas yang menurutnya kondusif terhadap upaya membangun keikhlasan.
Wallahu alam. Bagi saya kata ikhlas memiliki ranjau-ranjau yang membuat orang dengan mudah tergelincir dari niat semula. Ikhlas menjadi tidak ikhlas. Sesuatu yang sulit diraih tetapi sangat mudah hilang dari genggaman hati.
Dari obrolan selama nyaris dua puluh menit itu, ada satu cerita yang saya rasakan mengiris hati dan lagi-lagi membuat saya tidak bisa mengerti benak laki-laki. Saya tahu dunia tidak hitam putih. Tidak semua lelaki jahat. Seperti tidak semua perempuan baik. Tetapi seperti saya, bagaimanakah anda akan mencerna cerita ini?
“Seorang muslimah, Asma... datang ke tempat saya. Rapi dengan jilbab yang tidak ketat seperti jilbab kamu,” Kang Gito membuka ceritanya.
Muslimah tersebut sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Kedatangannya ke tempat Kang Gito untuk meminta bantuan. Entah bagaimana ceritanya si muslimah yang masih kuliah di salah satu kampus Islam terkenal di Jakarta itu, terlibat hutang dalam jumlah yang cukup besar.
Berbagai upaya dilakukan, termasuk meminta bantuan ustadz dan ustadzah terkenal, namun konon dibukakan pintu pun tidak. Saya berprasangka baik, barangkali rumah ustadz/ustadzah tersebut da lam keadaan kosong dan mereka sedang tidak berada di tempat.
Terakhir muslimah ini meminta bantuan kepada seorang dosen yang mengajar di kampusnya. Seperti ada kesejukan yang meniup saat Pak Dosen mengangguk. Alhamdulillah, akhirnya ada jalan keluar.
Akhirnya ada seseorang yang mengangkat beban yang menggayuti pundak si muslimah. Benarkah?
“Dengan satu syarat,” lelaki itu melanjut, “kamu harus tidur dengan saya.”
Si muslimah tersentak kaget.
Saya yang hanya mendengar cerita itu dari orang kedua pun tersentak. Tak percaya. Sebagai penulis yang kerap berimajinasi, seketika kepala saya membayangkan, jika cerita itu benar, bagaimanakah ekspresi Pak Dosen saat mengucapkan kalimat itu?
Apalagi dalam gamang si muslimah sempat bertanya ragu kepada dosen tersebut, “Sekali saja, ya Pak?”
Lelaki di hadapannya menggeleng, “Pokoknya sampai saya anggap lunas!”
Masya Allah. Di mana nurani? Dimana ketulusan? Di manakah moralitas ?
Saya tidak tahu apakah sang dosen sudah menikah, mempunyai anak atau masih lajang. Kisah serupa pernah saya dengar sebelumnya. Seorang teman yang bekerja di dunia film sempat menceritakan, betapa peluang terbuka lebar bagi pekerja film, terutama sutradara atau asistennya untuk 'mengerjai' calon pemain yang minta peran. Meluluskan dengan imbalan calon pemain yang biasanya gadis-gadis muda itu, bersedia tidur dengan mereka. Dan gadis-gadis yang gelap mata karena ambisi, tidak sedikit yang menerima syarat tersebut.
Tetapi untuk kasus yang satu ini? Tetap saja dengan logika mana pun saya sulit mengerti bagaimana laki-laki bisa melihat 'kesempatan' sedemikian, saat seorang perempuan datang dalam keputusasa-an dan memohon bantuan?
Terlukis di benak saya, raut memelas dan putus asa dari muslimah tersebut ketika bertanya terakhir kali kepada Kang Gito, “Apa saya harus bercerai dulu dari suami, terus menikah dengan dosen itu, Kang? Baru setelahnya kembali pada suami?”
Saudariku sayang, saya tidak mengenalmu. Tetapi semoga Allah memberi kemudahan dan kekuatan, untuk tidak pernah menuruti kehendak lelaki yang telah kehilangan mata hati.
ArgoAnggrek, 15 Maret 2007

“Cinta Tak Sempurna”

“Sungguh sia-sia menemukan alasan kenapa suaminya menceraikannya begitu saja.”
Saya tidak tahu, apa kekurangan perempuan yang berdiri di hadapan saya. Wajah dan senyumnya manis. Tutur katanya lembut dan santun, khas perempuan Jawa.Tubuhnya? Jangan tanya. Untuk perempuan yang telah melahirkan enam orang anak, sosoknya lebih dari sempurna.
Dan saya sama sekali tidak berlebihan dalam menilai. Sebab perempuan berwajah ayu itu jauh lebih ramping dan bagus tubuhnya, bahkan bila dibandingkan rata-rata gadis SMA sekarang.
Lantas apa yang salah?
Mengenalnya selama lebih dari lima tahun ternyata tidak juga memberikan jawaban bagi saya, atas sebuah pertanyaan kenapa?
Lima tahun tanpa saya mampu menemukan deretan kekurangannya. Padahal hubungan kami terbilang dekat. Usianya masih muda ketika menikah dengan seorang penceramah kondang. Lelaki yang diharapkan perempuan ini, bisa menuntunnya ke surga.
Kehidupan pernikahan bisa dibilang berjalan baik. Satu dua pertengkaran atau ketidakcocokan rasanya biasa dalam romantika pernikahan. Perempuan ini melahirkan lima orang anak, yang dididiknya dengan baik. Kelima anaknya semua penurut, prihatin, dan tidak banyak menyusahkan.
Hingga tanpa ada permasalahan yang jelas, suaminya menjatuhkan talak. Cerai. Begitu saja. Tidak ada pertengkaran hebat, tidak ada perempuan lain, setidaknya dalam pengetahuan teman saya ini. Lalu di mana yang salah?
“Saya tidak tahu,” bisiknya lirih, “sebagai istri rasanya saya tidak banyak menuntut, tidak minta dibelikan ini dan itu. Sejak dulu orang tua selalu mengajarkan saya untuk nrimo.Bersyukur dengan pemberian suami.”
Bukan karena pertemanan saya menerima bulat-bulat penjelasannya. Melainkan, memang begitu juga teman-teman lain mengenalnya. Perempuan yang lembut, apa adanya yang pandai menata rumah. Meskipun mungil, tempat tinggalnya selalu terlihat asri dan fungsional. Tidak banyak pajangan antik atau mahal yang terpampang di ruang tamu. Hanya perabot biasa yang memang diperlukan.
“Saya bukan tidak pernah bertanya kepada diri saya sendiri, Asma. Saya pikir, apa karena saya terlalu menadahkan tangan pada suami?”
Istri menadahkan tangan pada suami sendiri rasanya wajar saja. Selama tidak meminta yang aneh-aneh. Tapi dia yang saya kenal, tidak begitu.
“Bukannya mbak dari dulu sudah mengajar?” Dia mengangguk, “Sejak tahun ketiga pernikahan.”
Sungguh sia-sia menemukan alasan kenapa suaminya menceraikannya begitu saja. Kadang saya gemas dengan kepasrahannya menghadapi semua.
“Biarlah Asma. Selama Allah ridha kepada saya.”
Omongan tetangga kiri kanan sungguh tidak mengenakan. Apalagi sang suami penceramah kondang yang dianggap berilmu dan jam terbangnya sudah tinggi. Otomatis kesalahan dibebankan pada sang is tri.
“Wah, kalau didengarkan omongan orang, tidak ada habisnya. Panas kuping. Tapi mau apa?”
Membela diri, protes, meluruskan, tegakkan keadilan!
Setidaknya itulah yang akan saya lakukan, jika hal serupa terjadi pada saya. Tapi perempuan ini menggelengkan kepala.
“Saya terima saja. Mungkin ini takdir saya.”
Kepasrahan, keikhlasannya menggetarkan saya. Juga ketika kemudian sahabat saya ini menikah lagi. Membawanya ke masalah lain, kemarahan banyak pihak.
“Saya tidak tahu dia sudah menikah. Dia tidak pernah memberitahu saya.”
Protes, berontak, batalkan pernikahan!
Lagi-lagi pikiran kritis meledak di kepala saya. Sahabat saya yang ayu, sahabat saya yang memiliki tubuh bagus. Kenapa harus tersangkut menjadi istri kedua? Bukankah dia bisa memilih?
Tapi itulah hidup. Lelaki yang dipilihnya ternyata milik perempuan lain. Setelah pernikahan belasan tahun dia dan istrinya belum juga memiliki seorang anak. Tanpa sepengetahuan istrinya, lelaki itu melamar dan menikahi sahabat saya.
Saya tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika beberapa lama kemudian sahabat saya mengabarkan via SMS bahwa dia sedang hamil. Berita yang sekaligus menjadi puncak kegembiraannya.
Sebab sejak itu sang suami tak pernah lagi muncul. Istri pertamanya semakin cemburu mengetahui kehamilan madunya. Begitulah, hingga jabang bayi itu kemudian lahir, dan beranjak dua tahun, baru sekali sosok ayah mampir di matanya. Tak ada nafkah.
Tak ada kasih sayang. Tak ada pemenuhan kewajiban apapun. Dan seolah sudah demikian seharusnya, sahabat saya hanya diam. Tidak protes, tidak menuntut ini itu yang menjadi haknya. Hanya diam.
Hanya kalimat itu yang bermain di matanya, saat menatap keenam buah hatinya yang semakin besar, dan dewasa dalam kasih tanpa ayah. Ketegaran yang tidak pernah menguap oleh waktu.
“Biarlah, Asma. Selama Allah ridha kepada saya...”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar