Penulis : Nurlaila Zahra
Tiga hari kami berada di hotel. Tak
banyak waktu yang kami gunakan untuk melakukan segala aktivitas yang biasanya
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang berbulan madu pada umumnya.
Jalan-jalan bersama, melihat pemandangan suasana malam di beranda kamar hotel,
atau sekedar sarapan bersama sambil bercerita hal-hal yang indah yang Bisa
membangkitkan keromantisan dalam berumah tangga. Semua itu hanya impian belaka
bagi kehidupanku yang sekarang. Selepas shalat Subuh, Yusuf pergi keluar dan
baru akan kembali setelah waktu dhuha sudah hampir hilang. Sedangkan aku,
kuhabiskan waktuku sendirian di dalam kamar sambil membaca buku atau tilawah
qur’an sambil sedikit menghafalnya.
Tadi pagi Yusuf
tak pergi kemana-mana. Dia bilang tugasnya disekolah sudah menumpuk. Dia tak
ingin tidak masuk mengajar lebih lama lagi karena kasihan murid-muridnya. Ya,
Yusuf memang seorang guru fisika di Sekolah Menengah Pertama Labschool di
kawasan Kebayoran. Dari sekolahnya sebenarnya mengizinkan dia untuk libur
sampai lima hari, tapi dengan alasan banyak kerjaan yang tertunda kalau dia
libur sampai lima hari, akhirnya dia memutuskan untuk pulang hari ini. Akupun
menerima keputusannya dan berusaha menerima alasannya juga.
Semua barang
sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak barang yang kami bawa sebab kami datang
kesini langsung dari pesta walimatul ursy. Hari ini kami sepakat untuk pulang
kerumah orang tua Yusuf yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Setelah
dirasa cukup, kamipun pulang meninggalkan hotel. Tak banyak yang kami
perbincangkan selama dalam perjalanan pulang, bahkan seolah tak ada topik yang
enak untuk dibahas bersama. Suasana didalam taksi benar-benar hening, sunyi,
dan senyap. Sesekali supir taksi yang kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh
mengenai cerita-cerita lucu. Aku dan Yusuf hanya tersenyum kecil lalu kembali
diam. Kadang-kadang Yusuf menimpali dan menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku
jadi tak berselera.
Di sekitar
kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi berhenti. Bukan karena mogok
atau kehabisan bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami. Cukup lama
taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk kota Jakarta, tiba-tiba
saja Pak Burhan mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling
bertatap muka.
”Oh iya, kalian
ini suami istri kan?” Tanyanya sambil melihat kaca spion yang ada di atas
kepalanya. Aku dan Yusuf mengangguk.
”Kenapa memang
Pak?” Tanya Yusuf.
”Ah tidak. Saya
takut saja kalau kalian ini bukan suami istri tapi kok keluar dari hotel.
Ternyata kalian memang benar-benar suami istri. Syukurlah” Ucap Pak Burhan
sambil sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya. Suaranya
menunjukkan sekali keciri khasannya bahwa dia ini orang Batak.
”Kenapa Bapak
bertanya seperti itu?” Tanyaku tiba-tiba.
”Tidak. Tidak
kenapa-kenapa. Habis saya perhatikan dari tadi, kalian ini kok hanya
diam-diaman saja tanpa berbicara sedikitpun. Kenapa rupanya kalau saya boleh
tahu?” Tukas Pak Burhan.
Aku dan Yusuf
terdiam. Aku mengalihkan pandanganku kearahnya dan diapun begitu. Lalu kami
mengembalikan pandangan kami ke luar. Aku tak tahu jawaban apa yang harus aku
berikan untuk pertanyaan Pak Burhan yang sebenarnya bisa aku jawab dengan
jawaban, ”Kami seperti ini karena suami saya tidak mencintai saya Pak”. Tapi
aku hanya bergumam dalam hati. Pak Burhan kembali bertanya.
”Waduh!! kalian
ini kenapa malah diam lagi? Kalau memang saya tidak boleh tahu, ya tidak
apa-apa. Tapi kalau saya boleh saran, janganlah suami istri itu saling diam dan
acuh tak acuh. Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh Allah dan
sepatutnyalah kalian bersyukur akan hal itu. Kalau memang kalin punya masalah,
maka selesaikanlah secara baik-baik. Dibicarakan apa permasalahannya lalu
carilah jalan keluarnya secara bersama-sama. Dan semua itu butuh komunikasi
yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini. Macam mana pula kalian ini. Saya ini
hidup berkeluarga itu sudah hampir 36 tahun, tapi keadaan rumah tangga saya dan
istri baik-baik saja, karena kami selalu membicarakan apapun yang menurut kami
mengganjal dihati. Seperti itulah kalian berdua.” Jelas Pak Burhan panjang
lebar.
Aku yang
mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang benar apa yang di katakan Pak
Burhan. Segala sesuatunya itu memang harus dibicarakan agar tidak ada kesalah
pahaman. Tapi apa yang mau dibicarakan kalau semuanya sudah jelas kalau keadaan
seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan suamiku untuk mencintaiku. Aku
perhatikan Yusuf hanya terdiam. Mungkin diapun tengah memikirkan perkataan Pak
Burhan barusan.
”Kalau saya
boleh tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini menikah?” Tanya Pak Burhan lagi
mengejutkanku. Kuarahkan pandanganku padanya. Kali ini Yusuf menjawab,
”Baru tiga hari
Pak”
”Wah! Wah! Wah!
Baru tiga hari rupanya. Pengantin barulah kailan. Kuucapkan selamat ya?
Berarti, ke hotel kemarin itu untuk bulan madu ya? Wah! Bergembiralah kalian.
Berapa ronde sudah kalian mainkan?” Tanya Pak Burhan membuatku bingung.
”Berapa ronde
apanya Pak?” Yusuf balik bertanya.
”Ah! Masa kalian
tidak mengerti. Itu, ronde kalian bermain cinta. Masa tidak mengerti. Kaulah
anak muda. Pura-pura saja kau tidak mengerti. Tapi maklumlah aku, namanya juga
pengantin baru. Jadi masih perlu banyak belajar” Tukas Pak Burhan santai. Aku
dan Yusuf saling berpandangan sesaat lalu kembali terdiam.
Taksi sudah
mulai berjalan. Kamipun terlepas dari jebakan macet. Yusuf lebih memilih diam
tanpa mau menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku sendiri memikirkan perkataan
Pak Burhan.
”Namanya juga
pengantin baru, jadi masih perlu banyak belajar”
Ya, aku dan
Yusuf memang masih harus banyak belajar. Belajar untuk lebih sabar dalam
menghadapi kenyataan hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu
sama lain, belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan
Allah, dan belajar untuk lebih bisa menghargai dalam mencintai. Belajar,
belajar, dan belajar. Itulah yang sekarang sedang aku dan Yusuf usahakan dalam
mengisi hidup ini.
Utlubul ilma minal mahdi ilallahdi.
*
* *
Sesampainya dirumah, aku dan Yusuf
langsung disambut hangat oleh orang tua Yusuf yang kini telah menjadi mertuaku,
dan juga orang tuaku yang kini telah menjadi mertua Yusuf. Mereka begitu
bergembira melihat kedatangan kami. Aku peluki Mama dan Papa dengan penuh
kerinduan. Entah mengapa, aku benar-benar merindukan mereka. Tak lupa aku
memeluk Bu Rahayu yang tak lain adalah ibu mertuaku dan mencium tangan Pak
Sardi yang tak lain adalah ayah mertuaku. Hari itu kami habiskan dengan
memperbincangkan hal-hal kecil seputar pernikahan dan bulan madu kami selama
tiga hari di hotel.
Setelah cukup
lama di rumah mertuaku, Mama dan Papa memutuskan untuk pulang. Mulai hari ini,
aku telah resmi menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi dan Bu Rahayu. Sebelum
mereka pulang, aku memeluk mereka dengan erat sambil menangis di pelukannya.
Sungguh, aku tak bisa menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan untuk
melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya. Mereka hanya
menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa aku terima dalam hati.
”Sudahlah Din.
Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa yang suamimu bilang. Jangan sampai
mengecewakannya ya? Mama dan Papa akan sering-sering menghubungimu. Kami yakin
kamu akan bahagia hidup bersama mereka. Ya?”
Itulah perkataan
yang diucapkan Mama sebelum dia pulang bersama Papa. Aku memandangi mereka dari
kejauhan. Semakin lama mereka hilang dari pandanganku. Jauh, jauh, dan akhirnya
hanya tinggal bayangan mereka saja yang selalu aku ingat dalam pikiranku.
Aku, Yusuf, dan
orang tuanya masuk kembali ke dalam rumah. Hari sudah semakin malam. Ayah
mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu membereskan
gelas-gelas dan piring kotor untuk dicuci di dapur. Yusuf masih tenang di depan
televisi sambil menonton siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang
mengembang di wajahnya.
Aku membantu ibu
mertuaku mencuci piring. Kami banyak berbincang tentang pengalaman beliau
selama berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan itu aku banyak
menemukan pelajaran-pelajaran baru dalam berumah tangga. Bagaimana caranya
membuat suami bahagia, apa yang harus dilakukan seorang istri jika suaminya
marah, dan masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri tahukan padaku soal
kehidupan suami istri. Termasuk hal-hal intim yang menurut sebagian orang tabu
untuk dibicarakan.
Aku melihat
sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu ramah dan baik dalam bersikap.
Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya dalam
bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka dibenarkannya. Tapi jika
menurutnya salah, maka diapun tak segan-segan memberikan peringatan pada
siapapun dengan tegas dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.
Hal itu aku
ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf yang ketika kecil sering membuat
onar dengan teman bermainnya. Suatu ketika, orang tua temannya itu pernah
mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf telah memukul anaknya itu sampai berdarah.
Sebagai ibu yang adil dan bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman yang setimpal
pada Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Diam-diam aku
salut pada ibu mertuaku. Dia sosok yang sekarang ini menjadi pengganti Mama di
kehidupan baruku. Dia pula yang secara tidak langsung dapat menguatkanku dalam
menghadapi masalahku dengan Yusuf.
Tak terasa waktu
sudah beranjak malam mendekati dini hari. Aku dan ibu mertuaku memutuskan untuk
segera tidur. Di ruang tamu tidak lagi aku dapati Yusuf disana. Mungkin sudah
masuk kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum masuk kekamarnya, Bu Rahayu
memberikan senyumannya padaku. Aku membalasnya. Aku masih berdiri di depan
kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku. Kutarik nafasku dalam-dalam dan
kupejamkan mataku. Perlahan kusentuh gagang pintu kamarku dan mulai kubuka.
Tiba-tiba saja dari dalam, Yusuf membukanya dan mendapatiku tengah terkejut
menatap wajahnya.
”Kenapa berdiri
saja disitu? Ayo masuk!” Perintahnya padaku. Aku hanya mengangguk dan
mengikutinya masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya
yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah dimatikan. Cahaya yang ada
tinggal dari lampu yang ada disebelah tempat aku tidur. Aku belum mau
mematikannya. Aku membuka jilbabku dan aku duduk di depan cermin. Kusisiri
rambutku perlahan sambil memandangi Yusuf dari balik cermin. Tubuhnya
membelakangiku.
Setelah selesai
menyisir, aku melangkah ketempat tidur dan bersiap untuk tidur. Posisiku sama
seperti posisi dia membelakangiku. Kumatikan lampu yang ada disebelahku dan
kupejamkan mataku. Suasana malam ini begitu dingin. Selimut yang menutupi
tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa memberikan rasa hangat yang lebih pada hatiku
yang semakin membeku. Dalam pejam malamku, aku berdo’a,
”Ya Allah,
kuatkanlah aku untuk bisa menghadapi semua kenyataan ini. Amin”
*
* *
--NEXT-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar