Karya :
Asma Nadia
“Dua Pasang Suami Istri”
“Dalam keadaan cacat fisik dan kekurangan materi, apakah
yang menjadi sumber kebahagiaan keduanya?”
Dan seumur hidup saya, kemungkinan besar hanya sekali
itulah saya bersinggungan dengan keduanya. Itu pun tidak lebih dari sepuluh menit.
Tapi ikatan kuat di hati setiap pasangan suami istri itu, begitu menyentuh.
Gunung Sahari, 22 Oktober 2006
Saya bertemu dengan pasangan suami istri ini saat bersama
teman-teman Rumah Cahaya Pusat melaksanakan kegiatan tahunan kami. Setelah
selama sebulan mengumpulkan sumbangan dari teman-teman melalui milis dan biog,
tiba saatnya menyalurkan amanah yang diterima.
Persis seperti tahun sebelumnya, beberapa hari menjelang
hari raya Iedul Fitri kami menyusuri jalan-jalan Jakarta. Dari Depok, Buncit,
Saharjo, masuk ke Manggarai, terus menuju Jalan Proklamasi, mengarah ke Mangga
Dua, Tubagus Angke dan berakhir di Grogol, kemudian kembali dengan rute yang
hampir sama.
Sebenarnya paket dalam kantung plastik hitam yang kami
salurkan tidak terlalu banyak. Isinya pun sederhana saja, terdiri dari sirup,
indomie, biskuit kaleng, astor, kurma dan susu kaleng, ditambah sedikit uang
dalam amplop.
Tetapi saya dan sahabat-sahabat dari rumah cahaya berusaha
untuk memilih betul target yang menerima, agar tidak salah sasaran ke pengemis
musiman yang hijrah berbondong-bondong memenuhi ibukota setiap lebaran.
Hari telah gelap ketika saya dan teman-teman melewati pemandangan
yang tidak biasa: lelaki tua yang mengayuh sepeda bututnya pelan-pelan. Di
belakangnya duduk sang istri. Punggungnya penuh oleh buntalan barang yang dihampirkan
dengan sehelai kain batik.
Yang menarik adalah tangan si istri yang dipenuhi kantung
plastik tapi berusaha keras meraih pinggang suaminya.Meski kadang terlepas
karena mengatur keseimbangan.
Sepeda melaju tenang. Si bapak terlihat hati-hati.
Sekilas pandang, saya yang melintas, bisa melihat wajah si bapak tua yang
berkilat oleh keringat, seolah telah menempuh perjalanan jauh.
Beberapa kejap tatapan saya masih terpaku pada tangan kurus
milik ibu tua yang seperti sebelumnya berusaha meraih pinggang si bapak.
Momen sederhana yang terasa penuh makna dan menyedot
perhatian saya. Dan kenyataan pakaian keduanya yang lusuh, atau sandal jepit
sekarat yang mereka kenakan menjadi tidak penting.
Sebelah tangan kurus yang jatuh bangun berusaha bertaut
pada sosok tua si bapak. Romantis!
Ketika kami meminta mereka berhenti, raut keduanya tampak
kaget. Si bapak seketika turun. Istrinya melakukan hal yang sama, dan cepat
mengambil posisi di belakang, seolah mencari perlindungan dari soso kurus si
bapak yang kini terlihat heroik dan gagah di mata saya. Saya dan sahabat-sahabat
rumah cahaya sempat bercakap-cakap dengan pasangan suami istri ini. Dugaan
terdahulu saya benar, berduaan mereka telah menempuh perjalanan cukup jauh
untuk berdagang makanan di suatu tempat.
Ah, berapa lama mereka sudah bersama? Paling sedikit tiga
puluh tahun, pikir saya sambil mengamati sepeda tua yang catnya telah mengelupas
dan kedua bannya nyaris gundul.
Ketika salah seorang dari kami mengulurkan kantung plastik
hitam yang tidak seberapa itu, wajah dua orang tua itu langsung saja tersenyum.
Rasa syukur mereka wujudkan dengan kalimat harnda-lah dan terima kasih berulang-ulang.
Saya melihat si ibu menerima bingkisan sambil melempar
pandangan ke arah suaminya, penuh arti.
Kehidupan mereka pasti tak mudah, batin saya sambil merayapi
guratan usia di wajah keduanya.
Garis-garis yang lahir ditempa kerasnya kehidupan di
Jakarta. Tapi kemesraan sederhana namun indah yang sampai ke mata saya dan
teman-teman, terlalu rne-nyolok untuk luput dari perhatian.
Dengan pemikiran seperti itu, saya melepas mereka. Kaki
kurus si bapak kembali menggenjot sepeda, di belakangnya sang istri duduk
dengan sebelah tangan memegang erat-erat beberapa barang.
Dan barangkali seperti ribuan hari sebelumnya, sebelah tangannya
yang lain, diantara kantung plastik lain yang memenuhi tangannya, berusaha
menggapai pinggang bapak tua.
Song Gwang Sa Temple, 3 September 2006
Pertemuan dengan bapak dan ibu tua yang berboncengan sepeda,
menarik ingatan saya pada pasangan lain yang meninggalkan kesan serupa beberapa
bulan sebelumnya.
Fieldtrip terakhir bersama rombongan Writers in Residence.
Ada beberapa tempat yang telah ditentukan oleh Yea Jin, program manajer kami
selama di Korea, untuk dikunjungi: Oedo island, Bosung Tea Farm, dan dua temple
terkenal.
Tempat-tempat yang indah. Oedo Paradise Island merupakan
pulau pribadi yang seperti namanya, dibangun menyerupai bayangan surga oleh
pemiliknya. Saya yakin hanya dengan cinta dan kesungguhan pulau yang konon awalnya
tandus bisa ber ubah menjadi surga tanaman tropis, dengan lebih dari 3000 jenis
tumbuh-tumbuhan, diantaranya Canellias dan Kaktus.
Masih dengan benak menyimpan keindahan Oe do Island, saya
dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Song Gwang Sa Temple.
Saat bis akhirnya berhenti, kami semua turun dan melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki. Saya ingat hanya berjalan sendirian karena
teman-teman lain memutuskan untuk makan siang dahulu.
Tetapi langkah-langkah cepat saya segera terhenti. Ada 'sesuatu'
di hadapan yang menyita perhatian saya.Satu pemandangan yang bagi sebagian
besar pendatang mungkin bukan apa-apa, terbukti begitu banyak orang yang
melintas hanya satu dua yang berhenti dan menghampiri. Sepasang pengemis tua
yang buta, duduk di atas tikar kecil, tepat di sisi kiri jalan setapak,
beberapa meter dari gerbang.
Hati saya langsung berdesir. Ah, cinta seperti apa yang
mempertemukan mereka? Cinta seperti apa pula yang tidak kunjung memisahkan keduanya?
Imajinasi saya sebagai penulis sontak membayangkan betapa
suami istri tua itu telah melalui sebagian besar bilangan usia mereka dalam
hari-hari yang sulit. Bukan hanya bahu membahu untuk makan sehari-hari, tetapi
juga saling membantu dalam melakukan aktivitas harian yang sederhana. Kesulitan
yang semakin menjadi ketika usia bertambah tua.
Barangkali mereka tidak memiliki anak. Hingga suami menjadi
tumpuan istri, begitu pun sebaliknya. Allah, bagaimana jika salah satu sakit?
Bagaimana mereka merawat pasangan dalam keterbatasan fisik?
Ketika jalanan semakin sepi, saya melihat keduanya mengobrol.
Ada senyum yang sesekali terlihat di wajah sang istri. Senyum yang sama yang
terkadang terulas di bibir suaminya. Mungkin mereka membicarakan hal-hal yang
lucu. Mungkin juga bergembira membayangkan hasil mengemis hari itu.
Entahlah. Tapi kebersamaan keduanya sungguh di luar nalar
saya. Dalam keadaan cacat fisik dan kekurangan materi,apakah yang menjadi
sumber kebahagiaan keduanya?
Terlintas di pikiran saya tidak sedikit suami istri yang bertengkar
karena kurangnya saling pengertian, saling menyalahkan atas sikap-sikap yang
dianggap menyinggung dan tidak berkenan. Atau seperti pasangan-pasangan lain meributkan
uang belanja yang tidak cukup, sementara harga-harga sernbako semakin tinggi.
Ahh... sepasang pengemis tua yang buta itu mungkin tidak
memiliki apa-apa.Saya yakin sebagian besar di antara kita jauh lebih kaya.
Tetapi sesuatu yang teduh dan menenangkan menelusup dalam hati, ketika saya memandang
mereka lekat.
Pertemuan dengan kedua pasang suami istri ini telah membuka
mata saya terhadap bentuk cinta yang indah.Sungguh, mereka memiliki cinta yang
tidak setiap orang memiliki, bahkan oleh orang-orang yang dilimpahi keberkahan
materi sekalipun. Barangkali karena cinta seperti itu hanya diberikan Tuhan
kepada mereka yang terpilih.
“Mami”
“Memang Mami sering menangis di hadapan kami, tapi selalu
menangisi orang lain.”
Pengorbanan,
Itu yang menjadi catatan pertama, ketika mencoba melakukan kilas balik dan
belajar dari kehidupan Mami menjaga perkawinan selama nyaris empat puluh tahun.
Terlahir dengan nama Liauw Min Hoa, ibunda saya adalah putri
dari Leo Arifin, pengusaha berdarah Jawa dan Cina yang sukses membangun bisnis
transportasinya kala itu.
Menikah dengan Papa barangkali menjadi ke-putusan paling
besar dalam hidup Mami. Sebab menikah dengan lelaki berdarah Aceh itu berarti
Mami harus meninggalkan tradisi Katholiknya dan menjadi seorang muslim.
Keputusan yang menimbulkan konflik baru: menikah tanpa restu.
Saya membayangkan kisah cinta romantis ketika mengetahui
hal ini. Keberanian Papa, ketabahan dan kekuatan hati Mami. Pastilah ibunda saya
memiliki banyak pertimbangan, kenapa tidak menempuh cara seperti yang belakangan
popular di tanah air, pernikahan beda agama. Padahal sebagai gadis belia paras
Mami tergolong cantik dan menarik, keturunan keluarga terpandang di Medan pula.
Artinya tidak akan sulit bagi Mami untuk mendapatkan pendamping lain.
Dengan kata lain Mami bukan tidak memiliki bargaining position
ke Papa. Meski mungkin tidak akan mudah, sebab Papa berasal dari keluarga
muslim yang dihormati barangkali di seluruh Sumatra. Untuk satu titik temu
itulah Mami berkorban.
Dan mengikuti kehidupan gadis Liauw Min Hoa yang kemudian
berubah nama menjadi Siti Maryam itu, berarti mengikuti tahap demi tahap
kehidupan yang penuh perjuangan dan pengorbanan.Sebab Pa pa dengan profesi pemain
musik kala itu tidak bisa memberikan kehidupan mewah yang dulu menjadi ke
seharian Mami.
Hijrah ke Jakarta, pasangan itu bertekad hidup mandiri. Saya
masih ingat meski samar, betapa kami berempat (waktu itu adik saya belum
lahir); Papa, Mami, saya dan kakak sempat tinggal di wilayah kumuh di samping
rel kereta api Gunung Sahari. Sebelum berpindah-pindah dari rumah petak satu
(yang hanya memiliki satu kamar, dan kamar mandi di luar menyatu dengan rumah
induk) ke rumah petak yang lain.
Sebagai pencipta lagu dan pemain musik, Papa bukanlah sosok
yang malas. Beliau berusaha sekuatnya untuk menafkahi istri dan anak-anak.
Bermain musik hingga menjelang pagi di tempat-tempat hiburan, sementara menjual
lagu ke produser rekaman begitu sulitnya, hingga bisa dibilang keluarga kami
nyaris tidak memiliki pemasukan tetap setiap bulannya.
Saya kembali membayangkan perubahan drastis gadis bernama
Liauw Min Hoa dalam mengikuti kata hatinya.
Tetapi pernahkah saya melihat sedikit saja Mami mengeluh
kepada kami, anak-anaknya? Tidak!
Pernahkah sedikit saja terbersit perasaan menyesal telah menikah
dengan Papa? Tidak!
Pernahkah Mami termenung-menung lama bernostalgia dengan
masa lalunya sebagai gadis cantik dari keluarga amat berada? Tidak.
Di mata kami, Mami selalu terlihat bersemangat dan tidak
pernah putus asa.
Kami tiga kakak beradik tumbuh remaja dan mencatat perjuangan
Mami yang luar biasa. Sebagai ibu dari tiga orang anak, Mami mendidik kami
dengan tegas tapi juga hangat. Keluarga kami memang minim secara materi, tetapi
Mami memastikan anak-anak berpakaian pantas, memiliki peralatan sekolah juga
seluruh buku pelajaran. Tidak jarang beliau membantu mencari tambahan
penghasilan dengan menjual sprei, baju dan apa saja yang diambilnya dari seorang
teman.
Saya tidak mengatakan Mami berhasil mendidik anakanaknya hingga
jadi 'orang'. Sebab secara materi dan prestasi anak-anak Mami rasanya biasa
saja. Malah masih banyak yang belum bisa kami berikan kepada orang tua, terutama
Mami sebagai rasa hormat dan cinta kami pada perjuangan beliau.
Tetapi tidak satu dua teman lama Mami yang masih menghubunginya
hingga saat ini (Mami memang sangat menjaga silaturahirn, ini satu lagi nilai
penting yang saya catat namun belum bisa contoh dengan baik), mengomentari Mami
sebagai ibu yang beruntung karena berhasil mendidik anak-anaknya hingga semua
mapan.
Ah, inikah jawaban bagi pertanyaan saya, ketika mendengar
kisah hidup mereka yang berhasil padahal terlahir dari keluarga rniskin?Benarkah
itu berpulang pada bagaimana sosok ibu dalam keluarga membesarkan, memberi
energi positif dan menempatkan pendidikan sebagai prioritas bagi anak-anak nya,
apapun kendalanya?
Meski harus berhutang ke kanan kiri, meski harus bolak balik
ke sekolah meminta keringanan, meski harus berjuang hingga kaki menjadi kepala
dan kepala menjadi kaki?
Pendidikan anak itu nomor satu!
Situasi berbeda yang saya temui ketika menemani wartawan
dari harian Boston, mencoba menelusuri sindikat penjualan bayi. Kami
mewawancarai seorang ibu yang pada awalnya dicurigai polisi telah menjual 3
anak kandungnya.
Belakangan terkuak bahwa perempuan itu telah dibodohi hingga
mau 'menitipkan' bayinya ke seorang ibu yang kemudian menjualnya ke pasangan
asing secara ilegal.
Sebagai imbalan (yang sebetulnya nyaris tak ada) maka biaya
melahirkan ditanggung dan ada ha diah berupa beras lima kilogram, minyak tanah,
gula dan susu beberapa kaleng yang diserahkan kepada keluarga yang melahirkan.
Selama wawancara, saya perhatikan perempuan yang tampak
pucat karena baru saja melahirkan anak ke tujuhnya. Sang suami yang tidak
memiliki pekerjaan, duduk di lantai dekat istrinya. Sementara ketiga anak
mereka yang lain tampak bermain di luar.
Dari manakah sumber pendapatan keluarga?
Jawabannya tertumpu pada sosok anak lelaki mereka yang
baru berusia 12 tahun,yang telah berhenti sekolah sejak lama. Setiap hari anak
lelaki ini pergi ke pasar menjual plastik atau membantu ibu-ibu, membawakan
barang belanjaan mereka yang berat.
“Sebulan bisa dapat tiga ratus ribu, mbak.”
Hati saya miris membayangkan kehidupan bocah berusia 12
tahun yang putus sekolah, juga adik-adiknya, yang bisa jadi tumbuh besar kemudian
menapaki siklus kemiskinan yang sama, yang telah dilakoni orang tuanya tanpa
punya keterampilan untuk mengubah nasib.
Yang paling menyedihkan adalah saya tidak menemukan buku
kecuali buku tulis di rumah mereka. Saya tahu pasti karena pada kedatangan kedua
dan ketiga, saya mengikuti Jonathan, fotografer dari tabloid asing tersebut
masuk hingga ke sudut-sudut rumah.
Saya ingat Mami dan kehidupan kami yang sama miskinnya
dulu. Di luar hal-hal lain yang membedakan, saya merasa beruntung karena Papa
terus berusaha. Karena Mami tidak menyerah dan mengedepankan pendidikan.
Semua anak-anak Mami bisa membaca sebelum sekolah dasar,
meski tidak melalui pendidikan TK. Semua anak-anak Mami memiliki waktu belajar
yang cukup. Untuk itu Mami tidak pernah merepotkan anak anak dengan tugastugas dapur,
beliau mengerjakan semuanya sendiri, meski di kemudian hari ini membuat
anak-anak perempuan Mami tidak piawai untuk urusan masak-memasak.
Ahh, kembali pada ibunda yang saya cintai. Seolah ujian tidak
cukup menghampiri beliau, di usia ke tujuh saya divonis dokter menderita gegar
otak, jantung dan paru-paru hingga membutuhkan pengobatan yang intensif
bertahuntahun dengan biaya yang tidak sedikit.
Runtuhkah pertahanan Mami? Tidak!
Memang Mami sering menangis di hadapan kami, tapi selalu
menangisi orang lain. Anak cacat yang dilihatnya dalam perjalanan ke pasar. Pengemis
tua yang nyaris tak bisa lagi berjalan, ibu-ibu yang berpakaian lusuh dan tanpa
alas kaki yang mencegatnya meminta tambahan ongkos. Kami bahkan biasa melihat
Mami menangis ketika dari layar tivi yang hitam putih, terpampang peristiwa
pembongkaran pedagang kaki lima yang dikejar-kejar aparat, atau berita
kebakaran dan musibah lain di tanah air.
“Kasihan...” ucap beliau dengan isak yang keras seolah salah
satu keluarga dekat kami baru saja meninggal dunia.
Ibunda kami tak pernah kehilangan syukur, harapan juga doa.
Doa dengan caranya yang lugu, sebab Papa dengan kesibukannya
mencari nafkah tidak cukup punya waktu untuk membimbing Mami menjadi muslimah
dengan pemahaman agama yang lebih. Tetapi rasa syukur Mami rasanya melampaui
pemahamannya yang sederhana tentang Islam.
Setelah dua anaknya menikah dan mulai bisa memberi, berapa
pun pemberian kami, rasa terima kasih Mami jauh lebih besar.
“Terima kasih ya, sayang. Mami doakan semoga kamu sekeluarga
sehat dan diberikan kelapangan rejeki.”
“Terima kasih banyak, Rani... membantu sekali.”
“Terima kasih banyak Evy...”
“Eron juga
sekarang sudah bisa bantu, Mami. Alhamdulillah anak-anak Mami sayang sama Mami.”
Padahal pemberian kami tidak seberapa. Padahal Mami layak
mendapatkan lebih dari itu!
Ketika saya mendengar kisah dari teman-teman yang sudah
menikah dan kerap 'direcoki' orang tua, saya nyaris tidak menemukan itu. Mami
tidak pernah meminta kepada anak-anaknya.
Mami masih sosok perempuan yang sama yang membesarkan
kami tanpa keluh kesah. Yang amat 'tahu diri' dan berusaha keras tidak
merepotkan anak-anaknya setelah mereka menikah.
“Kalian kan punya keluarga sendiri sekarang, harus hemat-hemat,
nggak usah kasih Mami apa-apa.”
Kalaupun sangat terdesak, Mami akan memilih meminjam ke
teman-temannya ketimbang mengadu pada anak. Hal yang membuat saya kembali ingin
menangis.
“Anak-anak Mami mungkin belum kaya, tapi Mami nggak perlu
pinjam ke orang lain untuk urusan ini itu,” tegur saya suatu hari.
Sementara Mami hanya menatap sayang kepada saya dan
menjawab hati-hati, “Mami takut kamu lagi susah.”
Bukan hanya perkara uang yang membuat saya haru, tetapi
bagaimana Mami mencatat kebaikan, sedikit apapun dari anak-anaknya dengan rasa
syukur yang luar biasa.
“Rani itu anak istimewa,” cetusnya suatu hari ketika seorang
wartawan dari Bandung mewawancarai saya dan kebetulan menemukan sosok Mami.
Dan Mami pun menjelaskan panjang lebar kepada si wartawan,
betapa anaknya yang bernama Rani itu selalu prihatin sejak kecil dan tidak
pernah melawan orang tua.
“Sampai besar pun dia tidak pernah menyakiti hati saya,” lanjut
Mami lagi.
Apakah anaknya nomor dua itu tidak pernah berbuat salah?
“Bagaimana dia sempat menyakiti atau bikin dosa kepada saya
jika sehabis bertemu selalu mencium tangan dan minta maaf? Coba bayangkan,
orang gajian misalnya, kan wajar jika ada keterlambatan. Tetapi Rani jika memberikan
bulanan misalnya terlambat satu atau dua hari, pasti dia sms atau telepon,
kasih tahu dan meminta maaf. Itu sebabnya... bagi saya dia anak istimewa.”
Allah...
Saya mendengar cerita itu dari Mami di taksi, setelah saya
bertanya sebenarnya apa saja yang Mami obrolkan dengan si wartawan.
Saya geleng-geleng kepala dengan 'anak istimewa' yang Mami
bicarakan. Julukan itu sungguh tidak pantas saya sandang. Sebagai manusia
kesalahan saya bertumpuk, sebagai anak, saya masih belum bisa membalas kebaikan
orang tua.
Saya tatap Mami lekat-lekat dalam sisa perjalanan, dengan
hati mengucap doa: Semoga Allah mencatat setiap
pengorbanan, setiap rasa syukur, setiap keikhlasan Mami dan memberinya kebaikan
yang berlimpah. Allahumma Amin.
“Setelah 11 tahun”
“Tahukah cinta, betapa tampan dan berseri-serinya wajahmu
malam itu? Saat kau meminta maaf berulangulang.”
Apa yang
Disa kukatakan tentangmu?
Suamiku yang bertanggung jawab. Lelaki pengertian, yang
selalu memperlakukan istri, anak, orang tua, sanak saudara dan
tetangga-tetangganya dengan amat baik. Engkau mengajariku hidup apa adanya.
“Jangan pernah lupa mensyukuri nikmat,” nasihatmu berulang
kali.
Engkau juga yang mengajariku untuk tidak mempermasalahkan
hal-hal yang kecil.
Sebelas tahun menikah, sulit bagiku untuk mencari kekuranganmu,
sebaliknya harus kukatakan begitu banyak pelajaran yang kau ajarkan padaku,
dengan sayang... dengan cinta.
Sebelas tahun, mungkin cukup lama menurut orang, tapi masih
terlalu singkat untukkku. Dan selama sebelas tahun ini tidak sedetikpun perasaanku
terhadapmu berubah. Jika saja boleh dan tidak diledek oleh para ABG, akan kuteriakkan
perasaanku pada dunia:
Kau pujaanku, tambatan hatiku.
Panutanku, kebanggaanku,
Pahlawanku...
Kau, yang selalu mengalirkan kekuatan dalam setiap denyut
nadiku.
Kekuatan yang kini coba kutemukan, dalam kesendirian,
dengan membayangkan sosokmu.
Tahukah cinta, betapa tampan dan berseri-serinya wajahmu
malam itu? Saat kau meminta maaf berulangulang.
Awalnya kukira permintaan maaf itu karena keterlambatan
pulang. Sebab kau masuk rumah ketika jam berdentang dua kali di pagi hari.
Selepas melawat salah satu tetangga kita yang ibu nya baru saja meninggal.
“Maafkan ayah, Bu. Maafkan ayah...” Cinta, harusnya kau
tahu betapa aku selalu mempercayaimu.Sebab tidak pernah ada kesalahanmu yang
terlalu besar untuk kumaafkan. Tapi seolah tak yakin, kau masih mengulang-ulang
kalimat yang sama hingga tiga kali, Suaramu terdengar amat bersungguh-sungguh
sambil memeluk dan mencium keningku. Meski tidak mengerti kuanggukkan kepala,
dan mengingatkanmu jika belum shalat isya.
Aku masih ingat bagaimana kau langsung bangkit dan melaksanakan
shalat. Setelahnya kau kembali memeluk dan menciumku, sembari mengulang-ulang
permintaan maaf.
Ah, kesalahan apa yang harus kumaafkan, Cinta?
Tapi kubiarkan kau memelukku erat hingga beberapa lama.
Kutatap wajahmu yang tampak bercahaya. Dari lisanmu terlempar kalimat itu
sekali lagi,
“Maafkan, ayah...”
Setelah kalimat itu kau sempat menyebut asma Allah lirih,
sebelum terdiam. Hanya suara dengkuran lambatlambat yang terdengar, kemudian
kepalamu jatuh di bahuku.
Seharusnya aku mengerti. Maafkan aku yang mengira kau
hanya tertidur pulas karena kecapekan. Sempat kubiarkan kau tertidur
menelungkupiku. Tetapi karena merasa berat, aku coba rnernbangunkanmu agar
berpindah ke sisiku.
“Ayah, bangun sayang...”
Tapi hingga berulang-ulang tubuhmu tetap bergeming. Kaku
dalam pelukanku. Ketika akhirnya berhasil memindahkan tubuhmu ke samping, aku
mulai panik. Kugoyang-goyangkan badanmu, tapi tak ada reaksi. Panikku bertambah
saat kaki dan tanganmu terasa dingin, hanya badanmu yang masih hangat.
Dalam keadaan bingung dan perasaan bercampur aduk, kupanggil
kedua orangtuaku yang tidur di ruangan sebelah, kuminta mereka melihat keadaanmu.
Tangis mulai tumpah. Aku bahkan sempat menjerit histeris melihat tubuhmu yang terbaring
kaku. Meski dengan cepat aku beristighfar... berharap kau cuma pingsan, atau
sengaja bercanda dengan berpura-pura pingsan. Kuyakinkan diri bahwa sebentar
lagi kau akan bangun dan tersenyum padaku.
Orang-orang mulai datang. Sebagian memang berasal dari
rumah tetangga kita yang baru kau jenguk, mereka yang mengaji dan melawat
sampai pagi. Seperti aku, mereka coba menyadarkanmu dengan berbagai cara.
Sementara kau terbaring tak ubahnya seseorang yang tertidur pulas karena lelah,
bahkan masih terselip senyuman di wajah.
Perasaanku semakin tak menentu. Limbung. Kudengar orang-orang
bertanya jika aku ingin memanggil dokter atau membawamu ke rumah sakit. Aku
mengangguk, tak sepenuhnya mengerti, meski dalam hati aku mulai memohon: Cinta,
jangan pergi... Jangan sekarang!
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku masih berharap
kau hanya pingsan. Tetapi kenyataan berkata lain. Setelah sampai dan dilakukan
pemeriksaan yang teliti, dokter mengucapkan kata-kata yang seolah menggodam kepalaku
dengan keras. Badanku luluh lantak. Persendianku terasa copot. Jantungku bagai
berhenti berdenyut.
“Maaf, bu. Kami tidak bisa menolongnya.”
Masya Allah!
Hatiku terasa hancur berkeping-keping. Sebelas tahun perkawinan
kita Cinta, dan inilah ujian terberat untukku.
Kepergianmu...
Kupeluk kedua putri kita yang histeris melihatku menangis.
Aku sendiri berusaha keras untuk tetap berpijak pada ambang kesadaran, bahwa
kau telah dipanggil Sang Pencipta. Aku peluk kedua putri kita lebih erat.
Sungguh, jika tidak karena mereka, mungkin aku sudah putus asa, atau hilang
kewarasan.
Kepergianmu yang tiba-tiba, bagaimana bisa? Usiamu baru
40 tahun, sehat dan tidak kurang apa pun sebelumnya.
Hari itu Jumat, tepat pukul 3 pagi. Saat kau pergi meninggalkan
aku dan dua putri kita yang masih membutuhkan perhatianmu.
Cinta...
Sampai saat ini aku masih sering tidak percaya jika kau benar-benar
sudah pergi. Meninggalkan Tari gadis kita yang manis yang baru duduk di kelas 5
Sekolah Dasar, dan Hana yang baru berusia 6 tahun.
Aku tahu, untuk mereka berdua aku harus kuat dan berjuang.
Tetapi beratnya Cinta, betapa beratnya harus melakukan itu semua sendiri,
tanpamu.
Alhamdulillah semua prosesi pemakaman berjalan lancar.
Banyak sekali orang yang melayat, rnenyolatkan di masjid, hingga mengantar ke
kuburan.
Hingga detik ini aku tidak pernah berhenti mengenangmu,
Cinta. Mengenang perjalanan singkat kebahagiaan kita. Memang kehidupan kita
sederhana dan tidak melimpah dengan harta. Tetapi nyaris tak pernah terjadi
perselisihan di antara kita. Sebaliknya begitu banyak hari di mana kau dan aku
mensyukuri kebersamaan kita, juga karunia Allah berupa dua putri yang
membanggakan.
Tetapi takdir berkata lain, dan aku harus menerima. Meski
terkadang aku masih merasa hampa. Terlebih bulan-bulan pertama kepergianmu.
Begitu beratnya hingga aku tak yakin bisa melalui ujian ini. Tanpamu, setiap
hari aku berjalan bagai tak menapak, limbung dan kehilangan arah.
Aku nyaris tak bisa makan. Kalaupun akhirnya menyuapkan
nasi ke mulut, tak lebih memenuhi kebutuhan fisik semata. Setiap malam tiba,
mataku sulit dipicingkan.
Terkadang aku membayangkan sosokmu, namun dengan cepat
angan ini hempas ketika melihat ruang kosong di sisi tempat tidur yang dulu
terisi olehmu.
Allah, kusebut namanya berulang-ulang. Jika saja tak ada
iman, Cinta, aku nyaris tak kuasa melanjutkan hidup tanpamu.
(Tak sabar kutunggu pertemuan itu, semoga Aliah mempertemukan
cinta kita nanti, ketika maut menjemputku...)
Enam lembar surat curahan hati dari mbak Yayu, ibunda Hana,
teman sepermainan Adam, putra kedua saya, sampai ke tangan saya beberapa hari
setelah kepergian suaminya.
Enam lembar yang ditulis dengan sepenuh hati dan memberikan
gambaran detik-detik sakaratul maut sang suami, dan beratnya kehidupan setelah
itu. Ketika berlembar-lembar tulisan yang diketik rapi itu sampai ke tangan
saya, ide menyusun buku ini bahkan belum lagi muncul.
Saya menerima sambil mencatat dalam hati, suatu hari saya
akan menulis ulang catatan hati mbak Yayu. Pada kenyataannya saya hanya mampu
mengubah penyajian tulisan, sementara sebagian besar kata-kata mengalir persis seperti
mbak Yayu mencatatnya. Sengaja saya tidak ingin mengubah kenangan mbak Yayu
terhadap almarhum suami, saya ingin mbak Yayu melihat catatan hatinya secara
utuh.
Terima kasih saya karena mbak Yayu berkenan menuliskannya
untuk saya. Hal yang amat saya sarankan kepada perempuan-perempuan Indonesia.
Menulis agar kita memiliki sesuatu untuk dikenang. Menulis apa saja tentang hari-hari
yang kita lalui sebagai istri dan ibu.
Apakah anda akan membaginya dengan orang yang bisa anda
percaya, atau tidak... tidak jadi soal. Paling tidak dengan menuliskannya bisa
menjadi terapi tersendiri, saat hati terbebani ribuan masalah dan kesedihan.
* * *
(Yayu Purwaningsih dan Asma Nadia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar