Kamis, 07 Mei 2015

Ketika Cinta Harus Bersabar Bag. 6


Penulis : Nurlaila Zahra

Selesai akad dan walimatul ursy, Yusuf membawaku ke Hotel Maharani yang terletak di kawasan Mampang Prapatan. Masih dengan busana pengantin lengkap, aku dan Yusuf memasuki kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan harum. Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa menatapi keindahan kamar itu dengan perasaan hampa.
Aku tak tahu kenapa Yusuf membawaku ke hotel ini. Sebelum masuk ke kamar, Mama, Papa, dan orang tua Yusuf ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa cukup, merekapun pulang. Tinggal aku dan Yusuf yang kini ada di dalam kamar. Mau apa juga bingung. Aku memutuskan untuk mengganti pakaianku dengan pakaian biasa yang sudah disiapkan dikamar. Entah siapa yang menyiapkan. Aku mandi, berganti pakaian, dan mengambil air wudhu. Tak lupa aku mengajak Yusuf untuk shalat sunnah dua rakaat. Diapun menuruti.
Tak lama shalat sunnah, azan maghrib berkumandang. Segera saja Yusuf berpamitan padaku untuk melakukan shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku mengizinkannya. Tapi sebelum itu, aku memintanya untuk membacakan do’a yang pernah Rasulullah ajarkan. Diapun mau. Perlahan dia mencium keningku dan membacakan do’a yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus kemudian aku dapati mataku basah dengan air mata. Aku ucapkan terima kasih padanya. Setelah itu dia melangkah keluar dan hilang dari pandanganku.
Aku langsung menunaikan kewajiban shalat Maghribku di kamar sambil menunggu Yusuf pulang dari masjid. Aku masih merasakan kehampaan disini.
* * *
Pukul delapan malam lebih lima belas menit Yusuf tiba kembali dikamar. Aku yang selepas shalat Isya lalu tilawah sebentar, segera bergegas untuk tidur. Tak ada pembicaraan yang berarti antara aku dan Yusuf. Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambilkan segelas susu putih untuknya. Dia menerimanya dengan ekspresi biasa-biasa saja lalu mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih mengenakan jilbabku. Aku masih belum bisa tampil apa adanya di hadapannya.
Aku kembali lagi ke tempat tidur dan memiringkan tubuhku disana. Aku membelakangi Yusuf yang tengah menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga oleh diam. Sesaat lamanya kami melewati waktu dengan kondisi seperti itu. Tiba-tiba Yusuf bersuara dan memulai pembicaraan.
”Maafkan aku ya Din?” Ucapnya pelan.
Aku masih terkejut mendengar dia bersuara. Aku tak menjawabnya dan hanya diam sambil mendengarkan dia kembali bersuara.
”Aku memang seorang lelaki pengecut yang tidak mempunyai nyali untuk menghadapi semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku harus membohongi kedua orang tuaku, membohongi kedua orang tuamu, menyakiti hatimu, dan terlebih lagi, aku harus menyakiti Allah karena telah melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang tak berguna. Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami pun, seorang imam bagi dirimu, aku tidak bisa sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang pengecut”
Aku dengar suara itu dengan perasaan gamang. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perlahan aku rasakan kedua mataku basah. Segera aku membasuhnya.
”Maaf, jika karena diriku, kamu harus merelakan kebahagiaanmu tergadaikan oleh sikapku ini. Mungkin kamu tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku. Tapi aku selalu berharap, kelak kaupun bisa menemukan kebahagiaanmu itu” Ucap Yusuf lagi pelan.
”Bagaimana mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang aku cintai tidak bahagia” Ucapku menyahuti perkataan Yusuf. Aku tak mendengar dia berucap.
”Aku memang memiliki dirimu, tapi aku tidak memiliki cintamu. Aku memang bukan siapa-siapa dihatimu, tapi aku berharap....kau tidak lagi memikirkan Alifa” Sambungku sekenanya.
”Alifa?!” Tanya Yusuf kaget.
”Dari mana kau tahu tentang Alifa?”
Aku bangkit dari tidurku dan kuhadapkan wajahku padanya. Wajah yang penuh kecemburuan pada seorang wanita yang bernama Alifa.
”Kau tidak perlu tahu darimana aku tahu tentang Alifa, yang terpenting, aku hanya minta satu darimu, tolong lupakan Alifa. Biar bagaimanapun, aku istrimu yang sah. Dan seperti seorang istri pada umumnya, aku tidak terima kalau kau masih saja terus memikirkan perempuan lain. Aku bukannya egois, tapi aku hanya ingin membantumu untuk tidak menyakiti Allah lebih banyak lagi. Aku yakin kaupun mengerti akan hal ini” Jelasku sambil menatap kedua matanya yang jeli.
Kembali aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan membelakanginya. Kutarik selimut untuk menutupi tubuhku dan kumatikan lampu yang ada diatas meja kecil disamping tempat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku sebisanya. Dalam hati kecilku, aku masih berharap Yusuf mau menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang istri. Biar bagaimanapun, akupun sama seperti seorang istri pada umumnya, menginginkan kebahagiaan atas dirinya di malam pertama pernikahannya. Melakukan ibadah bersama sebagaimana sepasang suami istri pada umumnya. Memadu kasih dengan kerelaan hati dan jiwa, diiringi dengan munajat sepasang pengantin yang tengah dimabuk cinta dan berharap pahala yang banyak dari Allah swt. Dapat melahirkan generasi pilihan yang dapat menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini.
Tapi semua harapanku seolah sirna ketika Yusuf lebih memilih untuk tidur membelakangiku dan mematikan lampu yang ada disebelahnya. Keadaan kamar saat itu gelap seketika. Aku tak bisa merasakan apapun kecuali sakit yang tiba-tiba saja menyusup dalam dada. Aku ingin menjerit, aku ingin berteriak, tapi aku kembali sadar, bahwa ini hanya sebuah ujian yang Allah berikan untukku. Dan aku yakin, akan ada berlimpah-limpah hikmah yang akan aku dapat jika aku bersabar karenanya.
Rabbi, kuatkanlah aku malam ini........
* * *
Waktu seolah lamban sekali berputar. Malam ini, aku benar-benar tidak bisa tidur. Entah dengan Yusuf. Berkali-kali aku merasakan tempat tidur yang kami tiduri bergoyang karena Yusuf sering sekali membalik-balikkan tubuhnya. Sedangkan aku masih dengan posisiku yang semula. Aku merasakan pegal yang teramat sangat di bagian pinggangku karena semalaman aku tidur dengan posisi miring membelakanginya.
Kuraih ponselku yang tergeletak diatas meja kecil dekat lampu. Kunyalakan. Ternyata baru pukul setengah tiga pagi. Sudah bosan rasanya aku dengan keadaan seperti ini. Ingin berbuat sesuatu, tapi apa? Tiba-tiba aku merasakan Yusuf bangkit dari tempat tidur. Entah dia berjalan kemana. Aku enggan menolehkan kepalaku untuk melihat sedang apa dia sekarang.
Sejurus kemudian aku mendengar dia bersuara.
”Din, aku mau ke masjid. Mau shalat tahajud lalu menunggu hingga subuh datang” Ucapnya padaku. Aku dengar dia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Aku bingung harus berbuat apa. Seketika saja aku bangkit dari tidurku dan berlari mengejarnya. Aku berdiri di depan pintu untuk menghadangnya keluar. Segera saja aku kunci pintu. Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan erat.
”Kau tidak boleh kemana-mana!” Ucapku tegas. Aku menatapnya dengan tajam. Kulihat pandangannya seolah bertanya-tanya akan sikapku. Sedangkan aku masih berdiri di depan pintu sambil mengatur nafasku.
”Kenapa aku tidak boleh? Aku hanya ingin pergi ke masjid untuk shalat tahajud dan menunggu hingga subuh datang. Aku hanya ingin shalat” Ucap Yusuf seolah mempertegas pernyataannya yang pertama tadi.
”Kau tidak boleh kemana-mana sebelum kau melakukan tugasmu sebagai seorang suami!” Kataku sambil diiringi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Aku yakin tatapanku begitu meyakinkan untuknya. Dia tidak bersuara sedikitpun. Tapi raut wajahnya begitu memperlihatkan kebertanya-tanyaannya. Aku kembali berucap.
”Subuh masih dua jam lagi dan kau masih punya waktu untuk menunaikan tugasmu sebagai seorang suami yang bukan seorang pengecut!”
Matanya tidak berkedip sedikitpun dan wajahnya terlihat hampa. Bibirnya bergerak sedikit tapi tidak mengucapkan apapun. Aku terus saja menatap wajahnya. Tiba-tiba mataku basah dan sejurus kemudian aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis karena memikirkan tindakan dan perkataanku barusan padanya. Aku tersadar. Mana mungkin Yusuf mau memenuhi permintaanku sedangkan rasa cinta untukkupun dia tidak punya. Yusuf memandangiku yang sedang menangis. Tak sedikitpun dia berpikir untuk menghampiriku untuk sekedar menghapus air mataku.
Ditengah tangisku aku berucap,
”Mungkin aku egois karena tidak memimikirkn perasaanmu, dan mungkin aku egois karena seakan-akan aku memaksakan cintamu padaku. Tapi aku ingin tanya, apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika pertama kali aku tahu kalau kau tidak mencintaiku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika surat darimu yang aku kira surat cinta, ternyata adalah surat yang isinya begitu menyakitkan untukku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika kau menyebutkan ada ’nama lain’ di hatimu dan itu bukan aku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika di malam-malam menjelang hari pernikahanku, bukan kebahagiaan yang aku rasakan melainkan kesedihan demi kesedihan yang terus menyayat hatiku? Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu, ketika kau melihat air mataku jatuh di malam pertama pernikahanku? Apakah pernah kau memikirkannya??!” Tanyaku sambil terus menangis.
Aku tertunduk lemas didepan pintu kamar sambil sesenggukkan. Berkali-kali aku hapus air mataku tapi air mata itu keluar begitu saja seiring dengan hatiku yang semakin sakit akan sikap Yusuf yang biasa-biasa saja terhadapku. Sesaat lamanya aku menangis dan Yusuf juga hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berbuat apapun. Aku semakin gemas dibuatnya. Dia memang laki-laki yang pengecut. Untuk hal ini saja dia tidak bisa mengambil keputusan.
Akhirnya aku putuskan untuk membiarkannya pergi. Aku buka pintu dan kupersilahkan dia untuk pergi. Kemana saja yang dia mau tanpa harus memikirkan diriku.
”Pergilah!” Ucapku tanpa memandang wajahnya.
”Pergilah kemanapun kau suka. Pergilah ketempat yang bisa membuatmu tenang. Pergilah agar kau tidak selalu melihat diriku. Pergilah tanpa kau harus memikirkan diriku disini. Aku tidak akan memaksamu. Pergilah!!” Perintahku dengan suara agak serak.
Lagi-lagi kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku. Segera saja kuhapus. Sesaat kemudian aku mendengar dia melangkahkan kakinya mendekat kearahku. Tiba-tiba dia memelukku dengan sangat erat. Aku terkejut dibuatnya. Air mataku semakin deras membasahi pipi. Di dalam pelukannya aku berucap,
”Pergilah! Aku sudah bilang aku tidak akan memaksamu. Pergilah! Jangan biarkan hatimu tersakiti oleh perbuatan yang sebenarnya tidak ingin kau lakukan. Pergilah! Pergilah!” Ucapku sambil terus menangis. Yusuf semakin erat memelukku. Sejujurnya, aku merasakan kehangatan berada dalam pelukannya.
Tiba-tiba Yusuf menutup pintu kamar dan menguncinya. Tanpa berucap sepatah katapun dia mengajakku ke tempat tidur. Kududukkan tubuhku di pinggirannya dan diapun duduk di hadapanku. Tangannya menghapus air mataku. Dia menatapku dan berucap,
”Subuh masih dua jam lagi dan aku masih punya waktu untuk menunaikan tugasku sebagai seorang suami. Dan akan aku buktikan, bahwa aku bukan seorang pengecut”.
Aku mengerti apa yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia melepas jilbab yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan perlahan tangannya menyentuh kancing-kancing bajuku.
Dia merebahkan tubuhku. Dan dalam kegelapan malam, aku dan Yusuf melakukan ibadah itu bersama. Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan, ketenangan, meskipun aku tahu, tak ada cinta yang dia berikan untukku. Tapi sungguh, malam ini aku benar-benar menjadi seorang istri. Aku selalu berharap, Allah masih bersedia memberikan sedikit pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf malam ini.
Ya Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.
* * *
--NEXT-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar