Penulis : Nurlaila Zahra
Selesai akad dan
walimatul ursy, Yusuf membawaku ke Hotel Maharani yang terletak di kawasan
Mampang Prapatan. Masih dengan busana pengantin lengkap, aku dan Yusuf memasuki
kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan harum.
Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa menatapi
keindahan kamar itu dengan perasaan hampa.
Aku tak tahu
kenapa Yusuf membawaku ke hotel ini. Sebelum masuk ke kamar, Mama, Papa, dan
orang tua Yusuf ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa cukup, merekapun pulang.
Tinggal aku dan Yusuf yang kini ada di dalam kamar. Mau apa juga bingung. Aku
memutuskan untuk mengganti pakaianku dengan pakaian biasa yang sudah disiapkan
dikamar. Entah siapa yang menyiapkan. Aku mandi, berganti pakaian, dan mengambil
air wudhu. Tak lupa aku mengajak Yusuf untuk shalat sunnah dua rakaat. Diapun
menuruti.
Tak lama shalat
sunnah, azan maghrib berkumandang. Segera saja Yusuf berpamitan padaku untuk
melakukan shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku mengizinkannya. Tapi
sebelum itu, aku memintanya untuk membacakan do’a yang pernah Rasulullah
ajarkan. Diapun mau. Perlahan dia mencium keningku dan membacakan do’a yang
pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus kemudian aku dapati
mataku basah dengan air mata. Aku ucapkan terima kasih padanya. Setelah itu dia
melangkah keluar dan hilang dari pandanganku.
Aku langsung
menunaikan kewajiban shalat Maghribku di kamar sambil menunggu Yusuf pulang
dari masjid. Aku masih merasakan kehampaan disini.
*
* *
Pukul delapan
malam lebih lima belas menit Yusuf tiba kembali dikamar. Aku yang selepas
shalat Isya lalu tilawah sebentar, segera bergegas untuk tidur. Tak ada
pembicaraan yang berarti antara aku dan Yusuf. Aku bangkit dari tempat tidur
dan mengambilkan segelas susu putih untuknya. Dia menerimanya dengan ekspresi
biasa-biasa saja lalu mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih
mengenakan jilbabku. Aku masih belum bisa tampil apa adanya di hadapannya.
Aku kembali lagi
ke tempat tidur dan memiringkan tubuhku disana. Aku membelakangi Yusuf yang
tengah menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga oleh diam. Sesaat
lamanya kami melewati waktu dengan kondisi seperti itu. Tiba-tiba Yusuf
bersuara dan memulai pembicaraan.
”Maafkan aku ya
Din?” Ucapnya pelan.
Aku masih
terkejut mendengar dia bersuara. Aku tak menjawabnya dan hanya diam sambil
mendengarkan dia kembali bersuara.
”Aku memang
seorang lelaki pengecut yang tidak mempunyai nyali untuk menghadapi semua
kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku harus membohongi kedua orang tuaku,
membohongi kedua orang tuamu, menyakiti hatimu, dan terlebih lagi, aku harus
menyakiti Allah karena telah melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang
tak berguna. Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami pun, seorang imam
bagi dirimu, aku tidak bisa sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang pengecut”
Aku dengar suara
itu dengan perasaan gamang. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perlahan aku rasakan
kedua mataku basah. Segera aku membasuhnya.
”Maaf, jika
karena diriku, kamu harus merelakan kebahagiaanmu tergadaikan oleh sikapku ini.
Mungkin kamu tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku. Tapi aku selalu
berharap, kelak kaupun bisa menemukan kebahagiaanmu itu” Ucap Yusuf lagi pelan.
”Bagaimana
mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang aku cintai tidak bahagia” Ucapku
menyahuti perkataan Yusuf. Aku tak mendengar dia berucap.
”Aku memang
memiliki dirimu, tapi aku tidak memiliki cintamu. Aku memang bukan siapa-siapa dihatimu,
tapi aku berharap....kau tidak lagi memikirkan Alifa” Sambungku sekenanya.
”Alifa?!” Tanya
Yusuf kaget.
”Dari mana kau
tahu tentang Alifa?”
Aku bangkit dari
tidurku dan kuhadapkan wajahku padanya. Wajah yang penuh kecemburuan pada
seorang wanita yang bernama Alifa.
”Kau tidak perlu
tahu darimana aku tahu tentang Alifa, yang terpenting, aku hanya minta satu
darimu, tolong lupakan Alifa. Biar bagaimanapun, aku istrimu yang sah. Dan
seperti seorang istri pada umumnya, aku tidak terima kalau kau masih saja terus
memikirkan perempuan lain. Aku bukannya egois, tapi aku hanya ingin membantumu
untuk tidak menyakiti Allah lebih banyak lagi. Aku yakin kaupun mengerti akan
hal ini” Jelasku sambil menatap kedua matanya yang jeli.
Kembali aku
rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan membelakanginya. Kutarik selimut untuk
menutupi tubuhku dan kumatikan lampu yang ada diatas meja kecil disamping
tempat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku sebisanya. Dalam hati kecilku, aku
masih berharap Yusuf mau menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang istri.
Biar bagaimanapun, akupun sama seperti seorang istri pada umumnya, menginginkan
kebahagiaan atas dirinya di malam pertama pernikahannya. Melakukan ibadah
bersama sebagaimana sepasang suami istri pada umumnya. Memadu kasih dengan
kerelaan hati dan jiwa, diiringi dengan munajat sepasang pengantin yang tengah
dimabuk cinta dan berharap pahala yang banyak dari Allah swt. Dapat melahirkan
generasi pilihan yang dapat menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini.
Tapi semua harapanku
seolah sirna ketika Yusuf lebih memilih untuk tidur membelakangiku dan
mematikan lampu yang ada disebelahnya. Keadaan kamar saat itu gelap seketika.
Aku tak bisa merasakan apapun kecuali sakit yang tiba-tiba saja menyusup dalam
dada. Aku ingin menjerit, aku ingin berteriak, tapi aku kembali sadar, bahwa
ini hanya sebuah ujian yang Allah berikan untukku. Dan aku yakin, akan ada
berlimpah-limpah hikmah yang akan aku dapat jika aku bersabar karenanya.
Rabbi,
kuatkanlah aku malam ini........
*
* *
Waktu seolah lamban sekali berputar.
Malam ini, aku benar-benar tidak bisa tidur. Entah dengan Yusuf. Berkali-kali
aku merasakan tempat tidur yang kami tiduri bergoyang karena Yusuf sering
sekali membalik-balikkan tubuhnya. Sedangkan aku masih dengan posisiku yang
semula. Aku merasakan pegal yang teramat sangat di bagian pinggangku karena
semalaman aku tidur dengan posisi miring membelakanginya.
Kuraih ponselku
yang tergeletak diatas meja kecil dekat lampu. Kunyalakan. Ternyata baru pukul
setengah tiga pagi. Sudah bosan rasanya aku dengan keadaan seperti ini. Ingin
berbuat sesuatu, tapi apa? Tiba-tiba aku merasakan Yusuf bangkit dari tempat
tidur. Entah dia berjalan kemana. Aku enggan menolehkan kepalaku untuk melihat
sedang apa dia sekarang.
Sejurus kemudian
aku mendengar dia bersuara.
”Din, aku mau ke
masjid. Mau shalat tahajud lalu menunggu hingga subuh datang” Ucapnya padaku.
Aku dengar dia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Aku bingung harus
berbuat apa. Seketika saja aku bangkit dari tidurku dan berlari mengejarnya.
Aku berdiri di depan pintu untuk menghadangnya keluar. Segera saja aku kunci
pintu. Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan erat.
”Kau tidak boleh
kemana-mana!” Ucapku tegas. Aku menatapnya dengan tajam. Kulihat pandangannya
seolah bertanya-tanya akan sikapku. Sedangkan aku masih berdiri di depan pintu
sambil mengatur nafasku.
”Kenapa aku
tidak boleh? Aku hanya ingin pergi ke masjid untuk shalat tahajud dan menunggu
hingga subuh datang. Aku hanya ingin shalat” Ucap Yusuf seolah mempertegas
pernyataannya yang pertama tadi.
”Kau tidak boleh
kemana-mana sebelum kau melakukan tugasmu sebagai seorang suami!” Kataku sambil
diiringi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Aku yakin tatapanku begitu
meyakinkan untuknya. Dia tidak bersuara sedikitpun. Tapi raut wajahnya begitu
memperlihatkan kebertanya-tanyaannya. Aku kembali berucap.
”Subuh masih dua
jam lagi dan kau masih punya waktu untuk menunaikan tugasmu sebagai seorang
suami yang bukan seorang pengecut!”
Matanya tidak
berkedip sedikitpun dan wajahnya terlihat hampa. Bibirnya bergerak sedikit tapi
tidak mengucapkan apapun. Aku terus saja menatap wajahnya. Tiba-tiba mataku
basah dan sejurus kemudian aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis karena
memikirkan tindakan dan perkataanku barusan padanya. Aku tersadar. Mana mungkin
Yusuf mau memenuhi permintaanku sedangkan rasa cinta untukkupun dia tidak
punya. Yusuf memandangiku yang sedang menangis. Tak sedikitpun dia berpikir
untuk menghampiriku untuk sekedar menghapus air mataku.
Ditengah
tangisku aku berucap,
”Mungkin aku
egois karena tidak memimikirkn perasaanmu, dan mungkin aku egois karena
seakan-akan aku memaksakan cintamu padaku. Tapi aku ingin tanya, apakah pernah
kau memikirkan perasaanku ketika pertama kali aku tahu kalau kau tidak
mencintaiku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika surat darimu yang
aku kira surat cinta, ternyata adalah surat yang isinya begitu menyakitkan
untukku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika kau menyebutkan ada
’nama lain’ di hatimu dan itu bukan aku? Apakah pernah kau memikirkan
perasaanku ketika di malam-malam menjelang hari pernikahanku, bukan kebahagiaan
yang aku rasakan melainkan kesedihan demi kesedihan yang terus menyayat hatiku?
Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu, ketika kau melihat air mataku jatuh di
malam pertama pernikahanku? Apakah pernah kau memikirkannya??!” Tanyaku sambil
terus menangis.
Aku tertunduk
lemas didepan pintu kamar sambil sesenggukkan. Berkali-kali aku hapus air
mataku tapi air mata itu keluar begitu saja seiring dengan hatiku yang semakin
sakit akan sikap Yusuf yang biasa-biasa saja terhadapku. Sesaat lamanya aku
menangis dan Yusuf juga hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berbuat apapun.
Aku semakin gemas dibuatnya. Dia memang laki-laki yang pengecut. Untuk hal ini
saja dia tidak bisa mengambil keputusan.
Akhirnya aku
putuskan untuk membiarkannya pergi. Aku buka pintu dan kupersilahkan dia untuk
pergi. Kemana saja yang dia mau tanpa harus memikirkan diriku.
”Pergilah!”
Ucapku tanpa memandang wajahnya.
”Pergilah
kemanapun kau suka. Pergilah ketempat yang bisa membuatmu tenang. Pergilah agar
kau tidak selalu melihat diriku. Pergilah tanpa kau harus memikirkan diriku
disini. Aku tidak akan memaksamu. Pergilah!!” Perintahku dengan suara agak
serak.
Lagi-lagi
kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku. Segera saja kuhapus. Sesaat
kemudian aku mendengar dia melangkahkan kakinya mendekat kearahku. Tiba-tiba
dia memelukku dengan sangat erat. Aku terkejut dibuatnya. Air mataku semakin
deras membasahi pipi. Di dalam pelukannya aku berucap,
”Pergilah! Aku
sudah bilang aku tidak akan memaksamu. Pergilah! Jangan biarkan hatimu
tersakiti oleh perbuatan yang sebenarnya tidak ingin kau lakukan. Pergilah!
Pergilah!” Ucapku sambil terus menangis. Yusuf semakin erat memelukku.
Sejujurnya, aku merasakan kehangatan berada dalam pelukannya.
Tiba-tiba Yusuf
menutup pintu kamar dan menguncinya. Tanpa berucap sepatah katapun dia
mengajakku ke tempat tidur. Kududukkan tubuhku di pinggirannya dan diapun duduk
di hadapanku. Tangannya menghapus air mataku. Dia menatapku dan berucap,
”Subuh masih dua
jam lagi dan aku masih punya waktu untuk menunaikan tugasku sebagai seorang
suami. Dan akan aku buktikan, bahwa aku bukan seorang pengecut”.
Aku mengerti apa
yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia melepas
jilbab yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan perlahan tangannya
menyentuh kancing-kancing bajuku.
Dia merebahkan
tubuhku. Dan dalam kegelapan malam, aku dan Yusuf melakukan ibadah itu bersama.
Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan, ketenangan, meskipun aku tahu, tak ada
cinta yang dia berikan untukku. Tapi sungguh, malam ini aku benar-benar menjadi
seorang istri. Aku selalu berharap, Allah masih bersedia memberikan sedikit
pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf malam ini.
Ya Allah,
berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.
* * *
--NEXT-->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar