Karya :
Asma Nadia
“Lagi, Pertanyaan Untuk Lelaki”
Bagaimana lelaki bisa begitu mudah meniduri perempuan yang
tidak dikenalnya?
Pertanyaan
ini meloncat-loncat di benak saya, ketika suatu malam bersama seorang teman
mengunjungi sebuah lokalisasi pelacuran di bilangan Tanah Abang.
Negosiasi yang tidak mudah antara si teman dengan 'Papi'
yang mengelola pelacuran tersebut. Permohonan saya untuk bisa melihat komplek
pelacuran dari dekat rupanya diterima dengan curiga oleh Papi.
“Dia polisi, ya?”
Teman saya menggeleng dan mencoba meyakinkan bahwa saya
hanya seorang penulis yang ingin observasi dari dekat, terkait buku yang sedang
saya tulis.
“Wartawan?” kejar salah seorang dari sekian banyak penguasa
di komplek pelacuran murahan itu lagi.
Teman saya kembali menggeleng. “Cuma penulis.”
Meski begitu tetap saja si 'Papi' tampak ragu sebelum akhirnya
memberikan izin. Meski sudah di-bolehkan, laki-laki itu kembali khawatir ketika
mengetahui bahwa saya berjilbab.
“Wah, apa kata para pelanggan sini?” cetus si Papi cemas,
“Apa nggak bisa dia nyamar kali ini dan buka jilbab dulu?”
Teman saya mencoba meyakinkan, bahwa saya tidak akan
menimbulkan masalah bagi bisnisnya di malam saya datang nanti.
Akhirnya dengan berat hati laki-laki gemuk itu pun mengizinkan.
Jadilah saya melakukan 'perjalanan' malam. Dan karena ini
hal baru, saya benar-benar terbilang norak. Teman yang menyertai beberapa kali
harus mengingatkan agar saya tidak memandang lekat, atau memelototi
'pasangan-pasangan' yang mojok di sisi-sisi yang temaram.
Ada yang mengobrol berdekatan sambil berdiri. Ada yang
pangku-pangkuan. Ada tangan-tangan yang 'gerilya' ditingkahi tawa geli di
tengah suara musik yang hingar bingar.
Tempat lokalisasi yang melewati rel kereta api, bermula dari
sebuah gang kecil yang kumuh dan berakhir di sebuah jalan raya yang dipenuhi
oleh gudang-gudang penyimpanan barang ekspedisi.
Kawasan ini relatif tidak jauh berbeda di siang hari. Namun
ketika malam merangkak, kursi-kursi panjang diletakkan melintangi jalur kereta
api, setelah kereta api terakhir berlalu. Di atasnya terdapat banyak sekali
botol minuman keras dan gelas-gelas berukuran tinggi. Lapak-lapak judi koprok dan
berbagai jenis rolet dengan hadiah uang atau beberapa bungkus rokok, dalam
hitungan menit sudah terhampar serta dikerumuni 'penggemarnya'.
Dengan cepat beberapa lelaki sudah asyik ngobrol dengan
perempuan-perempuan yang rata-rata muda usia dan meramaikan kursi kayu panjang
yang disediakan. Sepanjang itu pula perempuan-perempuan muda berdiri, tersenyum,
tertawa dan berusaha menggaet perhatian. Daya tarik mereka segera mendatangkan
hasil. Kaum lelaki berbagai usia, bermacam suku dalam sekejap mengerubung seperti
laron yang terpikat lampu neon.
Mereka yang ingin tempat nongkrong lebih tertutup bisa masuk
ke dalam kedai-kedai minum dan memulai kencan di sana sebelum kemudian berlanjut
ke kamar-kamar sempit berukuran 1,5 x 2 meter, setelah harga disepakati.
Uniknya lagi, keramaian di lokalisasi itu tidak berhenti,
meski bulan Ramadhan datang.
“Tapi biasanya hanya malam, mbak... siangnya kan puasa.”
Tutur seorang pelacur yang saya ajak bicara.
Selama obrolan, saya menekan kuat-kuat perasaan mual yang
tiba-tiba melanda. Membayangkan begitu banyak lelaki yang menjadi pelanggan.
Apa yang mereka lakukan di sana sungguh membuat saya ingin muntah. Mual dan
ketidakmengertian yang panjang.
Bagaimana lelaki bisa mudah berhubungan intim dengan perempuan
yang tidak dia kenal? Saya tahu, kalimat itu bisa saja dibalikkan, “Apa bedanya
dengan para pelacur yang melakukan itu dengan lelaki asing?” Saya juga tahu,
tidak bisa membela diri dengan: Mereka terpaksa melakukannya, dengan alasan
yang kuat. Mereka ...bekerja.
Maafkan saya yang tanpa bermaksud menyoal perbedaan perempuan
dan laki-laki, tetap saja melemparkan keheranan ini. Bagaimana lelaki bisa
tergoda ke arah sana begitu mudah?
Dalam situasi normal, saya kira akan sulit bagi perempuan
untuk membangunkan hasrat mereka hingga mampu melakukan hubungan fisik seperti
itu dengan lawan jenis, tanpa cinta.
Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa dengan cinta hal
itu menjadi benar untuk dilakukan. Tidak. Hubungan yang halal tidak cukup hanya
dilandasi cinta, melainkan juga harus berada dalam atap pernikahan. Saya hanya mempertanyakan
pembelaan para lelaki yang ketahuan tidur dengan perempuan lain, seperti ini:
- Ini hanya sebuah kekeliruan kecil yang manusiawi...
- Terjadi begitu saja, tanpa saya sadari!
- Hubungan itu hanya sekali dan tidak berarti apa-apa,
sayang!
- Cobalah mengerti. Ini cuma seks, bukan cinta!
Bahkan seorang teman menceritakan komentar suaminya,
ketika mereka berandai-andai jika suami tidur dengan perempuan lain, “Apa
salahnya? Jika suami diibaratkan teko... isinya boleh saja tumpah ke mana-mana,
yang penting kan tekonya balik ke rumah!”
Laki-laki.
Tetap saja saya tidak mengerti.
31 Desember 2003
Saat Cinta Berpaling Darimu
“Suami adalah tipe lelaki serius, pendiam dan sangat dewasa.
Lalu bagaimana ada kontak bernama “ Spongebob “ di listnya?”
Saya tidak ingin cemburu
Selama
menikah, saya pikir tidak ada kamus cemburu dalam rumah tangga kami. Seperti
keluarga lain yang berusaha menerapkan kehidupan religius da lam keseharian,
kami percaya prinsip saling jujur dan percaya merupakan hal yang harus ada.
Apakah suami saya tidak tampan?
Tentu saja bukan karena itu. Meskipun saya memilihnya bukan
karena wajah atau penampilan luar, saya mengakui betapa menariknya suami. Ini
terbukti dari banyak gadis di kampusnya dulu yang jatuh hati, bahkan
terang-terangan mengatakan itu ketika walirnahan. Di hadapan kami, dua orang
gadis mengatakan sempat naksir kepada suami saya, semasa di kampus.
Saya yang mendengarkan kalimat yang disampaikan serius
meski dengan nada bergurau itu hanya tersenyum. Usia saya masih terbilang muda,
hanya dua puluh dua tahun, tetapi tidak sedikitpun rasa cemburu menyelinap.
Apakah saya terlalu percaya diri? Saya kira tidak. Sebaliknya
saya cukup tahu diri dengan wajah yang paspasan.
Entahlah, tapi saya yakin suami mencintai saya apa adanya.
Dan caranya mengungkapkan itu selama ini jelas memiliki andil besar dalam
ketenangan saya.
Sebelum menikah saya tidak pernah berpacaran, memang
sempat dekat dengan satu dua lawan jenis, tapi hubungan kami lebih seperti
sahabat ketimbang pacar.
Sekalipun ketika itu saya belum berjilbab, tetapi
kesadaran menjaga diri saya memang cukup tinggi. Saya tidak mau berduaan di
tempat sepi, bahkan ketika dibonceng motor pun, tangan saya bertahan hanya
memegang bawah jok motor, dan tidak pernah melingkar manis di pinggang teman
pria.
Otomatis ketika menikah, maka suami menjadi lelaki pertama
di luar keluarga yang memiliki kontak fisik. Dan saya percaya, hal inilah yang
dengan cepat membangun cinta yang sebelumnya tidak ada di antara saya dan
suami.
Maklum kami menikah tidak melalui proses pacaran. Apalagi
suami benar-benar memperlakukan saya seperti ratu. Tidak jarang dia memberi
surprise dengan menyiapkan sarapan pagi ketika dia bangun lebih awal, dan kejutan-kejutan
manis lainnya.
Dia adalah sosok suami dan ayah yang baik. Tipe family man
yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah selepas pulang kerja dan tidak
pernah keluyuran.
Begitulah, hingga anak keempat lahir, tidak ada cemburu diantara
kami. Rumah tangga tetap ten-tram. Demi komitmen kepada keluarga, sejak anak
pertama lahir, saya memutuskan bekerja di rumah. Perkerjaan saya sebagai illustrator
buku anak cukup memungkinkan untuk itu.
Semua terasa sempurna. Saya kira itu jugalah yang ada di
gambaran orang luar tentang keluarga kami. Bahkan kerap saya atau suami menjadi
tempat curhat keluarga lain.
Beberapa istri yang dihantui oleh kecemburuan karena suami
mereka yang sewaktu menikah cukup baik keislamannya, tetapi sekarang mulai
tampak 'genit' selalu saya nasehati untuk tetap berpikir positif dan tidak
berburuk sangka terhadap suami. “Barangkali pekerjaan suamimu menuntut itu.”
“Lingkungan pergaulannya memang kalangan Professional,
saya kira dia hanya berusaha tampil lebih luwes di kalangan umum.”
Saran lain yang kerap lahir dari lisan saya, “Nikmati
saja...kan bagus suami merawat diri. Istri-istri lain banyak lho yang ngeluh
karena suami mereka sama sekali tidak memedulikan penampilan ketika keluar
rumah.”
Dan saya bahagia jika para istri yang cemburu dan khawatir
suami mereka diam-diam sudah menikah lagi, kemudian bisa mengusap air mata dan
pulang dengan lebih tenang.
Karir yang melesat
Seiring waktu, karir suami melesat jauh lebih baik dari yang
bisa kami harapkan. Ketika menikah, penghasilan suami hanya dua atau tiga ratus
ribu rupiah perbulan, dari pekerjaannya di bidang edu-taintment. Tetapi
sekarang meningkat berpuluh lipat, seiring bertambahnya anak kami.
Beberapa teman sesama muslimah sempat menggoda penampilan
suami yang menurut mereka makin modis. Ada juga yang membisiki saya dengan
kalimat serius, “Hati-hati puber kedua suami lho, dik...”
Seperti biasa saya hanya tertawa. Tentu saja mata saya tidak
luput terhadap perubahan penampilan suami. Tetapi kepercayaan terhadap lelaki itu
tidak pernah berkurang sedikit pun. Sebab kecuali penampilan, tidak ada yang berubah.
Perhatiannya terhadap saya dan anak-anak tidak berubah. Kejut an-kejutan
manisnya masih ada. Kami masih sering jalan dan makan malam berdua seperti layaknya
pengantin baru.
Bicara soal ibadah?
Alhamdulillah suami masih menjaga ibadahnya seperti ketika
dia masih aktifis rohis di kampus. Shalatnya masih tepat waktu. Tidak hanya
itu, kebiasaan shalat malamnya tidak hilang. Pun puasa Senin Kamis. Jadi apa
yang harus saya khawatirkan? Setiap hari lelaki itu tetap pulang tepat waktu.
Memang ada beberapa kali dalam sebulan, agenda keluar kota, biasanya ke Bogor,
tetapi semua murni terkait pekerjaan.
Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk cemburu hanya karena
dia sekarang lebih rapi, memilih baju dan sepatu yang bermerek, atau rutin
menyemprot parfum sebelum keluar rumah.
Saya tidak ingin hati mengambil alih logika. Apalagi sejauh
ini perasaan saya masih tentram dan sama sekali tidak ada kecurigaan apa-apa.
Sekalipun suami memegang dua handphone kemana-ma na, saya merasa tidak perlu mencurigai
apalagi terdorong untuk mengecek siapa saja yang diteleponnya seharian itu,
atau mencuri-curi membaca deretan SMS yang diterimanya.
Hanya istri-istri yang tidak percaya pada kekuatan hubungan
dengan pasangannyalah yang melakukan hal demikian, pikir saya.
Berita suami si A selingkuh. Atau suami si B dan C berpoligami,tidak
juga membuat saya menjadi istri yang paranoid. Cemburu bagi saya hanya
menyesakkan hati.
Sementara dengan hati suram, bagaimana saya bisa maksimal
merawat anak-anak dan suami? Belum lagi mengerjakan order-order ilustrasi yang
sering datang tibatiba?
Bisa-bisa gara-gara istri yang cemburuan suami menjadi pusing
dan jenuh berada di rumah. Dan saya menjaga betul, agar suami senantiasa nyaman
dan merasa teduh sepulang dari kantor.
Perempuan misterius
Alhamdulillah logika saya sejauh ini selalu menang.
Konon diantara muslimah semasa di kampus, saya termasuk
yang porsi logikanya sering disamakan dengan lelaki. Ketika muslimah lain
menangis, ngarnbek dan marah-marah, saya masih bisa berpikir rasional dan
melihat masalah dengan jernih. Suami tahu itu dan kerap memberi pujian.
Suatu hari ponsel suami yang CDMA tertinggal. Kebetulan
saya baru saja ganti handset karena handphone hilang sehari sebelumnya. Karena
memerlukan beberapa kontak, tanpa ragu saya pun meraih handphone suami. Sebab
biasanya suami juga menyimpan beberapa nomor kontak saya.
Awalnya saya tidak terusik untuk membuka inbox SMS suami.
Hanya menelusuri deret huruf kontak yang saya perlukan. Hingga kemudian saya
menatap satu nama yang menurut saya ganjil berada di sana.
Suami adalah tipe lelaki serius, pendiam dan sangat dewasa.
Lalu bagaimana ada kontak bernama “Spongebob” di listnya?
Ada sesuatu yang tiba-tiba berdetak di hati, namun saya lawan
sebisanya. Pastilah ini hanya gurauan. Bisa jadi ketika saya buka, nomor
tersebut merupakan nomor handphone adik perempuan, sepupu atau keponakan atau bisa
jadi teman kantor. Saya bayangkan suami akan terpingkal-pingkal ketika saya
ceritakan hal ini.
Saya ingat sempat termenung beberapa lama sebelum membuka
kotak SMS. Bagi saya HP dan agenda adalah hal yang private dan saya sangat
menghormati privacy suami.
Tapi entah ada apa hari itu, firasat seorang istrikah
yang akhirnya membuat saya bereaksi berbeda?
Untuk pertama kalinya logika saya kalah. Saya akhirnya tergoda
untuk menggerakkan jari memencet keyphone untuk membuka baris SMS yang masuk.
Debaran di hati saya bertambah kencang ketika saya menemukan empat SMS dari si
'Sponge bob'.
Saya membaca basmallah dan berdoa sebelum akhirnya memutuskan
membaca SMS misterius tersebut. SMS pertama dan kedua hanyalah kalimat resmi
tentang janji temu.
Tetapi menginjak SMS ketiga, saya kaget menemukan kalimat-kalimat
mesra di dalamnya. Tetapi bukankah siapa saja bisa berkata mesra? Bukankah yang
lebih penting adalah bagaimana sikap suami terhadap yang bersangkutan dan bukan
sebaliknya?
Nalar saya bicara. Saya tutup kotak pesan masuk, dan mencoba
menelusuri box sent item. Kepala saya mulai berdenyut. Jari-jari saya gemetar
saat menemukan empat SMS dari suami sebagai balasan terhadap SMS si 'Spongebob'
SMS pertama biasa saja. Tetapi SMS kedua?
Hari ini menemani anak-anak karate. Sayang sedang apa?
Jangan terlambat makan, ya?
Saya periksa tanggal SMS tersebut dikirimkan. Ahad lalu,
hari yang sama ketika suami menemani ketiga anak kami latihan karate. Sementara
saya seharian di rumah menemani si bungsu yang sedang sakit.
Ketika membaca SMS-SMS balasan berikutnya, perasaan saya
semakin diremas-remas. Kedua kaki saya seakan lumpuh dan tidak bertenaga. Sementara
kepala sontak berdenyut-denyut. Ahh, bagaimana mungkin?
Suami saya lelaki yang taat beribadah. Al Ma' tsuratnya tak
pernah tertinggal setiap shalat subuh. Dia mungkin lelaki terakhir yang akan
saya curigai untuk berselingkuh.
Mungkinkah semua ini hanya guyonan?
Tidak, dia tipe pemikir dan amat menjaga pergaulan dengan
lawan jenis. Saya tidak bisa menemukan alasan suami memanggil perempuan lain
dengan sebutan 'sayang'!
Kemesraan di dalam SMS-SMS berikutnya yang dikirim suami,
semakin mengukuhkan jalinan cinta keduanya.
Betapa pun saya berusaha berprasangka baik, sia-sia bagi saya
menemukan sudut pandang yang mungkin bisa membantah kecemasan saya.
Sesorean itu saya perpanjang shalat ashar dan menenangkan
diri dalam tilawah. Saya menangis. Lima belas tahun pernikahan, belum pernah
sekalipun suami membuat saya menangis. Tapi hari itu saya benar-benar terisak.
Ketika suami pulang, saya mencoba menahan diri dan melayaninya
seperti biasa. Tetapi tangis yang saya tahan akhirnya tumpah juga ketika kami
sudah berada di tempat tidur dan siap beristirahat. Dengan lembut seperti biasa
suami menanyakan apa yang membuat saya begitu sedih.
Saya tidak menjawab. Saya raih handphone, membuka sent
item dan saya sodorkan SMS yang diketik suami untuk si 'Spongebob'.
Sikap saya berubah dingin. Saya perhatikan raut wajah suami
berubah, tidak lama kemudian dia te risak-isak dan merengkuh saya.
“Aa minta maaf. Aa khilaf...” Ada air mata yang kini juga
jatuh di pipi suami. Dia pandangi saya, dia usap-usap wajah saya seraya mengulang-ulang
permintaan maafnya.
“Tapi belum jauh, dik. Tidak ada yang terjadi.”
Berawal di dunia maya, kedekatan mereka terjalin.
“Usianya tiga puluh tahun, belum menikah... dia tinggal di
Bogor.”
Gadis itu sering curhat kepada suami soal apa saja.
“Sudah berapa lama, Aa?” Suami saya diam. Matanya tampak
ragu. “Saya ingin Aa jujur...Tidak apa.”
Lelaki itu terdiam, menghela napas. “Tiga tahun, dik.”
Saya tercenung mendengar pengakuannya. Tiga tahun...begitu
lama. Bagaimana mata saya bisa dibutakan selama itu? Di sisi saya, suami
terisak.
Pembaca, setelah dialog malam itu, sulit bagi saya membangun
kepercayaan kepada suami. Saya terus menerus memikirkan angka 3 tahun itu,
imajinasi saya berputar-putar. Tiga tahun waktu yang lama, apa saja yang sudah
terjadi di antara mereka? Hancur hati saya membayangkannya.
Sementara ini saya mengungsi di rumah Ibu. Sudah enam
bulan sejak pengkhianatan mereka saya ketahui (keduanya belum menikah). Saya
hanya berharap waktu bisa memberi saya kejernihan hati, untuk melakukan hal yang
benar.
(Berdasarkan kisah Mbak Safitri)
Saat Cinta Berpaling Darimu
“Dia tak mengira kalau kecantikan lugu itu akan memorak-morandakan
rumah tangga mereka.”
Apakah dia
merasa putus asa ketika mengetahui bahwa gaji suaminya yang masih kuliah itu
hanya 200 ribu sebulan?
Apakah dia putus asa ketika mereka harus ber pindahpindah
kontrakan dari satu rumah mungil ke rumah mungil yang lain?
Apakah perempuan itu mengeluh, ketika berbu lan-bulan hanya
makan tempe dan sayur, yang ma sing-masing dibeli seribu rupiah di warung,
ketika sang suami tak bekerja cukup lama?
Jawabannya tidak.
Perempuan berwajah manis,yang saya kenal itu sebaliknya
selalu terlihat cerah, seolah permasalahan ekonomi yang menerpa keluarga kecil
mereka, tak berarti apa-apa. Pun ketika kesulitan hidup terus berlanjut.
Menjelang kelahiran anak pertama mereka, suami masih belum memiliki pekerjaan
yang mapan. Tapi perempuan itu tidak putus asa.Sedikitpun tidak menyesal telah
menikah dengan lelaki pilihannya. Lelaki yang dia cintai karena kecerdasan dan
kegigihannya. Lelaki yang amat dia hormati, yang dia tahu selalu berupaya
sungguh-sungguh untuk membahagiakan, keluarga mereka.
Dan kenyataan bahwa mereka tinggal di rumah kontrakan
yang nyaris mau runtuh, dengan kamar mandi jelek, dan serangga di mana-mana
yang kerap menimbulkan ruam merah pada kulitnya yang putih, tidak membuatnya mengeluh.
Tidak juga ketika satu-satu perhiasan dari orang tuanya, ludes terjual untuk
keperluan rumah tangga.
Lalu anak pertama lahir. Gagah, dengan alis tebal nyaris bertaut.
Dia dan suami menerima kehadiran pangeran kecil itu dengan hati berbunga. Meski
mereka harus berhutang ke sana ke mari agar biaya kelahiran bisa dilunasi.
Sekali lagi, perempuan itu tidak pernah mengeluh. Hidup baginya adalah rentetan
ucapan syukur kepada yang kuasa, dari waktu ke waktu. Ketika anak kedua mereka
lahir, roda ekonomi keluarga telah jauh lebih baik. Laki-laki yang dicintainya mendapatkan
pekerjaan yang mapan. Mereka tak lagi bingung memikirkan kebutuhan sehari-hari,
makan, maupun susu buat anak-anak.
Perempuan yang saya kenal sejak lama itu, membantu suaminya
dengan bekerja paruh waktu bagi sebuah taman bermain anak-anak yang cukup
prestise. Seiring kehidupan yang mulai membaik, perempuan itu tak lagi
mengerjakan semua sendiri. Apalagi setelah anak ketiga mereka lahir.
Sang suami memintanya lebih konsen kepada pekerjaan paruh
waktu yang digeluti istrinya. Tahun ke lima pernikahan mereka mulai menyewa
baby sitter, ketika itu si bungsu belum lagi berusia sepuluh bulan.
Lalu datanglah anugerah bagi sang istri. Lembaga tempat dia
bekerja paruh waktu, menawarkan program training ke luar negeri. Awalnya sang
istri ragu, sebab dia khawatir meninggalkan anak-anak selama beberapa pekan.
Tetapi lelaki yang dicintainya memberikan support dan mendorongnya untuk pergi,
“Ini pengalaman bagus buat Mama,” kata lelaki itu.
Dan ketika dia ingin membantah, lelaki itu menggelengkan
kepalanya, “Perempuan lain ingin mendapatkan pengalaman berharga seperti ini.
Mama harus pergi. Gak apa. Ada mbak yang menjaga anak-anak.”
Dengan setengah hati perempuan berwajah manis itu meninggalkan
keluarganya. Masa-masa berjauhan dilaluinya dengan rindu yang menyiksa, dan
perasan berat karena selalu terbayang anak-anak.
Naluri keibuannya rupanya tidak bisa dibohongi. Meskipun
sang suami selalu berkata semua baik-baik saja, perempuan itu merasakan ada
sesuatu yang terjadi. Dan perasaannya benar.
Anak ketiga mereka dirawat di rumah sakit karena demam
berdarah! Suami yang takut membuatnya panik, baru menjelaskan ketika istrinya
pulang ke tanah air.
“Maafkan Papa, takut Mama bingung.”
Perempuan itu menangis. Syukurlah kondisi putri mereka
membaik. Tapi ada hal lain yang terjadi. Hal yang tak pernah diduganya, hal
yang membuat jantungnya luruh.
Suaminya jatuh cinta.
Perempuan itu sungguh tak percaya, ketika mendengarkan ibu
mertuanya menangis tersedu-sedu menjelaskan apa yang terjadi.
Dunia bahagia yang selama ini dibangunnya seakan runtuh.
Apalagi ketika mengetahu gadis cantik yang membuat suaminya jatuh hati, adalah
baby sitter yang mereka sewa.
Kami hanya berpegangan tangan. Tak lebih. Elak suaminya.
Tapi hati perempuan itu telanjur hancur. Harapan-harapan yang
dibangunnya seakan menguap. Suaminya berpaling. Lelaki yang telah membuatnya merasa
seperti seorang putri, jatuh cinta lagi.
Allah... apa maksudMu dengan ini semua? Batin sang istri
yang terkoyak.
Dengan hati hempas, dia memanggil baby sitter mereka. Baru
kali ini si perempuan memandang lekat-lekat gadis berusia sembilan belas tahun
itu. Meskipun dari desa, wajahnya memang cantik dan ayu. Kulitnya bersih, rambutnya
yang panjang tampak begitu mengilat. Dulu dia tak mengira kalau kecantikan lugu
itu akan memorak-morandakan rumah tangga mereka.
Perempuan itu duduk berhadapan dengan baby sitter yang tertunduk
salah tingkah.
“Sudah sejauh apa?'
Baby sitter itu mengelak. Tak mau berbicara lebih jauh.
“Apakah kamu menyukai Bapak?”
Baby sitter itu diam. Ragu. Lalu kepalanya pelan menggeleng.
“Saya tak keberatan jika Bapak menyukaimu, dan kamu menyukai
Bapak,”
Saya kaget. Saya berada di sana, menemani perempuan yang
telah lama menjadi sahabat saya. Tetap saja kalimat terakhirnya mengejutkan.
Si baby sitter cantik menggeleng. Lagi-lagi salah
tingkah.
Saat itu suami si perempuan sedang berada di kantor, sehingga
mereka leluasa berbicara. Tidak jauh dari mereka, mertua sahabat saya tampak
menangis sesenggukan. Sebaliknya wajah sahabat saya tampak sangat tegar.
Ketegaran itu baru runtuh ketika kami hanya berdua. Sahabat
saya menangis. Betul-betul menangis.
“Saya sedih,” bisiknya, “salahkah?”
Saya menggeleng. Kesedihan adalah teman manusia. Tak apa.
“Ibu tadi cerita, bahkan ketika Andin sakit, papanya memilih
menemani perempuan itu berobat, meski hanya flu biasa, dan meninggalkan Andin
diperiksa hanya ditemani ibu.”
Ah, lelaki. Begitu mudahkah larut dalam pesona?
Saya kehilangan kata-kata. Percuma mengibur, apalagi berlagak
mengerti perasaannya. Saya tak ingin berbasa-basi yang tidak perlu.
Kehidupan berlanjut. Suami perempuan itu mengakui kesalahannya,
dan berjanji tidak akan mengulangi. Lelaki itu memohon-mohon agar sang istri
mau memaafkannya.
“Bisakah?” tanya saya suatu hari. Ketika itu tahun-tahun sudah
berlalu begitu banyak.
“Saya tidak tahu,” jawab sahabat saya.
Selalu dan selalu, matanya yang cerah meredup setiap teringat
kisah itu. Barangkali memang ada beberapa luka yang tak bisa sembuh, bahkan
oleh waktu.
Enam bulan setelah kejadian itu, sahabat saya bercerita perasaannya
setiap kali suaminya mendekati.
“Saya merasa jijik,” ujarnya dengan wajah bersalah.
“Tak apa, semua perlu waktu. Lagi pula yang terjadi tidak
sejauh itu. Jangan menyiksa pikiran.”
“Tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Saya diam. Perempuan manis itu benar. Hanya suaminya dan
si baby sitter yang tahu segala. Mereka terkadang pergi ke luar rumah berdua.
Dulu terasa biasa saja, toh mereka hanya ke warung, atau apotik. Entahlah.
Ketika saya meminta izin menuliskan cerita ini, sahabat saya
mengiyakan, meski dia masih belum lagi sembuh dari kesedihan. Memang tidak ada
perceraian. Sang suami tampak bersungguh-sungguh menjaga keutuhan keluarga mereka.
Apalagi ada anak-anak diantara keduanya.
“Dia bapak yang baik!” papar sahabat saya suatu hari.
Kehidupan memang terus berjalan. Satu peristiwa, satu
hati yang berdarah. Satu hati yang belum juga sembuh.
“Kami masih tidak bisa bersama,” jelasnya. Saya mengerti.
Peristiwa itu seolah membekukan semua kehangatan dan keceriaannya sebagai
seorang istri. Sang suami tak memaksa. Menjalani saja kehidupan apa adanya.
Anak-anak lebih penting.
Entah sampai kapan mereka bisa bertahan, saya tidak tahu.
Tak juga mau menduga-duga. Saya senang akhirnya sahabat saya bisa mendapatkan kepercayaan
diri yang sempat hancur ketika menyadari sosok perempuan yang telah merebut
hati suaminya, tak hanya lebih cantik tapi juga jauh lebih muda. Perlahan dia mencoba
melupakan yang terjadi. Padahal dunia sempat terasa berhenti baginya.
“Sampai saya sadar, Asma. Di luar sana, banyak pengalaman
yang jauh lebih buruk, menimpa istri-istri lain. Apa yang terjadi pada saya,
barangkali tak seujung kuku yang dialami perempuan-perempuan lain.”
Hubungan normal layaknya suami istri memang sudah patah,
akan sulit merekatkannya kembali. Tapi saya mengagumi semangatnya
mempertahankan pernikahan, dan tetap menjalaninya penuh syukur. Perempuan itu bahkan
pasrah jika karena ketidak-mampuannya sekarang, dikarenakan ulah sang suami,
mungkin justru mengakibatkan sang suami menikah di belakangnya.
“Dulu hal itu perkara besar buat saya, tapi sekarang...”
sahabat saya itu tertawa.
Sebenarnya banyak yang ingin saya tanyakan padanya. Apakah
dia bahagia? Apakah suaminya bahagia? Kenapa tidak bercerai dan sama-sama
memulai yang baru Sebagian orang mungkin akan berpikir begitu. Hidup terlalu
singkat untuk larut dalam ketidakbahagiaan.
Betapapun saya menghormati komitmen keduanya. Juga perkataannya
yang akan selalu saya ingat, “Ada hati-hati kecil yang harus dijaga, Asma.
Setiap mengingat mereka, maka luka-luka lain menjadi kalah penting. Kebahagiaan
saya sempat runtuh, tapi kebahagiaan ketiga anak saya, tidak. Dan saya harus
bisa menjaganya. Sekuat saya.”
Cerita perselingkuhan lg?
BalasHapusSeakan tak ada habisnya.
Tp itu jg pernah q alami...