Penulis : Nurlaila Zahra
Ya
Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah? atau mungkin seorang alim
yang menjelma seperti Malaikat? Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung
berdetak kencang tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih
nan berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku. Sampai sekarang, sosok
‘malaikat’ itu masih melekat dalam benakku.
Sore tadi, Mama
mengajakku kerumah salah seorang sahabatnya yang tengah sakit. Awalnya aku
menolak karena memang editan tulisanku belum selesai aku revisi kembali. Besok
lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk dipelajari dan untuk
selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah buku novel yang siap untuk dibaca.
Aku seorang penulis
novel yang memang belum terlalu termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy,
Azimah Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak nama-nama penulis lainnya
yang menjadi penulis idolaku sekaligus menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua
novelku sudah beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan
yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu
laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga
yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang
mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah
semua jadwalku duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut
mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah
beralasan,”Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan, bagaimana?”.
Hfh…tak tega rasanya kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan.
Semoga saja tidak.
Aku berangkat bersama
mama tepat setelah shalat Ashar kami tunaikan. Aku tidak pernah tahu teman mama
yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu. Teman mama semasa kuliah
dulu. Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak tentang sahabatnya itu yang
katanya lumayan cantik dan mempunyai seorang suami yang juga tampan dan seorang
anak laki-laki yang menurut mama sangat cocok untuk dijadikan seorang menantu.
”Bu Rahayu itu punya
seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu
cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”
Hfh…aku hanya menghela
nafas mendengar celotehan mama yang menurutku hanya sebuah pengharapan seorang
ibu yang menginginkan anak perempuannya segera menikah.
Menikah. Semua gadis
yang sudah cukup umur juga pasti berharap ingin segera mempunyai pendamping
hidup yang sesuai dengan kriterianya. Ya…minimal seseorang yang baik, sholeh,
bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan diri apa adanya. Tapi kalau
memang belum jodoh mau diapakan lagi? Aku hanya berharap seorang yang soleh
yang bersedia menjadi suamiku.
Tepat disebuah rumah bernuansa minimalis kami turun dari
mobil yang aku kendarai sendiri. Diluar sudah ada seorang perempuan paruh baya
yang membukakan pintu rumah untuk kami. Ibu itu lalu menyuruh kami masuk karena
dia sudah tahu bahwa kami akan datang untuk menjenguk Ibu Rahayu. Sekantong
buah-buahan aku serahkan padanya. Diapun segera mengantar kami memasuki kamar
Bu Rahayu.
Di dalam aku melihat
seorang ibu yang sudah sedikit tua dengan wajah pucat pasinya berbaring diatas
tempat tidur berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya ia tutup dengan
sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera menyambut kami
ketika ia lihat wajah kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu segera
berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa tahun tidak
bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa menatap mereka
dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang terasing
didalam kamar itu.
Tiba-tiba Bu Rahayu
menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar dari
lamunanku.
”Ini pasti Dinda ya?”
Tanya Bu Rahayu.
”I..iya bu..” Jawabku
tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku kembali tersenyum
padanya.
”Sudah besar ya?
Berapa usia kamu sekarang?” Tanya Bu Rahayu lagi yang membuat aku ragu-ragu
untuk menjawabnya.
”Ehm...27 tahun bu”
Sahutku tanpa semangat yang membara. Entah mengapa setiap kali ada seseorang
yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa mempunyai semangat.
Mungkin karena sampai sekarang aku belum juga menikah.
”Tahu darimana Lis
kalau aku sakit?” Tanya Bu Rahayu pada Mama. Aku menarik kursi yang disediakan
oleh ibu tua tadi sambil mendengar jawaban Mama.
”Dari Rudi. Kebetulan
kemarin aku bertemu dia di pasar. Dan dia bilang katanya kamu sakit. Memang
kamu sakit apa sih Yu?” Mama balik bertanya.
”Tahulah Lis. Aku juga
bingung sendiri dengan sakitku” Jawab Bu Rahayu dengan mata berkaca-kaca.
Sesaat kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya. Diapun mulai
bercerita.
”Beberapa hari yang
lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk dijadikan istri oleh
anakku....”
”Oh iya, mana anakmu
itu? Kok tidak kelihatan? Siapa namanya?” Cerocos Mama memotong pembicaraan Bu
Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab dengan nada datar. Aku
memperhatikannya dengan seksama.
”Anakku itu bernama
Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa sih Lis?”
”Oh iya! Maaf..maaf,
namanya juga orang tua. Lanjutkan Yu!” Kata Mama seraya menyuruh Bu Rahayu
untuk melanjutkan ceritanya.
”Aku sempat melihat
gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya baik, ahklaknya pun bagus. Dia
berjilbab, sama seperti Dinda” Lanjut Bu Rahayu sambil melirik kearahku ketika
dia menyebutkan namaku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan mendengar cerita Bu
Rahayu.
”Setelah aku tawarkan
pada si Yusuf, lha kok dia malah menolak. Katanya, kurang cocok dengan
seleranya. Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima kalinya dia
menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf itu tidak beda jauh
dengan usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau
bukan istri. Aku sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah
itulah penyebab sakitku saat ini” Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya. Sesekali
kulihat dia membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.
”Sekarang dia kemana
bu?” Tanyaku tiba-tiba saja. Aku juga kaget. Kenapa aku menanyakan hal itu? Aku
sendiri tidak tahu alasannya.
”Sekarang dia sedang
menebus obat ibu di apotik. Perginya sih dari tadi, mungkin sebentar lagi juga
pulang” Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti semula. Mama dan
Bu Rahayu kembali larut dalam perbincangan masa lalunya, sedangkan aku hanya
dapat mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang baru bagiku.
Beberapa saat lamanya
waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara seorang laki-laki
mengucapkan salam dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama, dan Bu Rahayu
pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah suara itu. Perlahan-lahan pintu
itu terbuka dan...Subhanallah! Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan
celana bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Aku berdiri dari
dudukku tanpa melepaskan pandanganku dari laki-laki itu. Sesaat lamanya aku
menatap dia yang sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian mengatupkan kedua
tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh keindahan zahirnya. Aku tersadar
tatkala dia mengucapkan salam padaku dan mengatupkan kedua tangannya juga
padaku.
”Assalamu’alaikum”
Ucapnya lembut sambil menunduk.
”Wa..wa’alaikummussalam”
Sahutku dengan sedikit tergagap. Aku segera menundukkan pandanganku dari
wajahnya dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah mengapa saat ini jantungku
berdebar-debar.
Kudengar Bu Rahayu
memperkenalkan laki-laki itu sebagai anaknya yang bernama Yusuf Abdul Fattah
dan dia juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya dan juga
memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat aku mencuri pandang padanya.
Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali kutarik nafasku dalam-dalam.
Tak berapa lama,
laki-laki yang kukenal bernama Yusuf itu meminta diri untuk keluar dari kamar.
Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat mendengar
suaranya yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya dengan
pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan mereka
dengan masalah Yusuf.
Aku berusaha
mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku
setelah aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.
”Bu Rahayu itu punya
seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu
cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”.
Apa mungkin bisa ya?
Pikirku sudah mulai ngaco kemana-mana.
Sepanjang perjalanan
pulang aku tak bisa memfokuskan fikiranku. Sesampainya dirumah aku sudah tak
memikirkan editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku sekarang
adalah, apakah sosok ”malaikat” itu yang menjadi harapan Mama? Oh....Rabbi,
selamatkan aku dari penyakit hati ini. Teriakku dalam hati.
Adzan Maghrib sudah
berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
BR nich. . Religi pula!!! D tngg klnjtannya
BalasHapusIya, Mbak Sinta.. Insha Allah lanjutannya segera, akan saya usahakan....
HapusYah, itung-itung untuk pencerahan...
Semoga bermanfaat...
ditunggu mbak, novel edisi lainnya tentang cinta islami.
BalasHapusSelalu suka setip bagian di cerita ini..kereeeennn bgt.uda baca berkali kali tetep aja gk ada bosen2nya..
BalasHapus