Jumat, 19 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 1 & 2 – By Gola Gong

~Episode 1~

Rahasia-Nya kucari selalu
di sela sinar matahari dan rembulan
Menghitung bintang-bintang
Menunggu ufuk timur memerah
hingga barat gelap gulita
(aku tahu, jiwaku kerdil tak sebanding)

Matahari senja di Selat Sunda menggelincir masuk ke cakrawala. Tak ada seorang pun yang menyaksikan perubahan alam itu karena langit diselimuti jubah hitam para iblis dari neraka. Angin berembus kencang. Ombak berdebur keras. Dan angin menebarkan penyakit. Semua hanya berdiam diri di rumah, di kamar-kamar hotel berbintang, atau bahkan ada yang tidak peduli sama sekali dengan pergantian waktu itu. Tak ada bedanya. Dari sore ke malam, dari terang ke gelap. Toh, nasib tidak ditentukan oleh sebuah senja! Tetapi oleh perjuangan dan doa. Itu pun jika Allah berkehendak. Kalau tidak, berarti itu takdir namanya!

Keheningan senja pun diusik oleh suara tibut para nelayan. Mereka menunjuk-nunjuk ke pantai yang berkarang. Beberapa berlari ke sana dan memeriksa seonggok benda yang baunya sangat menyengat! Benda itu tersangkut di karang!

“Oiii, ada orang matiiii! “ teriak seorang nelayan dari karang.

Para nelayan lainnya yang berada di pantai, serentak berlarian ke karang. Mereka, seperti ada yang mengomando, menutup hidung! Seolah-olah bau menyengat merebak di udara!

Mereka tersentak!

Seonggok mayat manusia yang sudah membusuk tersangkut di karang. Kaosnya sudah tercabik-cabik! Tubuhnya menggelembung seperti balon, dan wajahnya rusak! Mereka mulai bertanya-tanya, jangan-jangan mayat yang mereka temukan masih sanak saudara!

“Ada yang kenal, nggak?”

“Coba, cari dompetnya!”

Seorang nelayan dengan berani membalikkan tubuh mayat itu dengan kayu! Lalu dia mengorek-ngorek saku belakang celana si mayat, tetapi dompet yang dicari tidak ditemukan.

“Pasti anak Jakarta!”

“Iya! Minggu kemarin kan, ada yang hilang!”

“Pasti dimakan buaya putih!”

“Nyi Roro Kidul, kali!”

“Kualat!”

“Udah tahu dilarang mandi, eh ...nekat juga!”

“Anak sekarang, mana percaya sama yang begituan!”

“Dikiranya takhayul!”

“Lha, kalau udah ada yang mati begini, gimana?”

“Kalau udah ada yang mati, mereka baru percaya!”

“Bulan ini saja ada enam orang yang mati!”

“Butuh bukti apa lagi?”

“Heh, jangan ribut! Udah malam, nih! Mendingan lapor polisi!”

“lya! Jadi merinding, nih!”

“Gotong! Gotong! Ntar pasang, kebawa lagi ke laut.”

Para nelayan dengan sukarela menggotong mayat yang sudah busuk itu sambil menutup hidung mereka. Mayat itu digeletakkan di tempat yang agak tinggi di bawah pohon kelapa. Beberapa nelayan menutupnya dengan pelepah daun kering. Mereka masih merubungi mayat itu!

Dalam sekejap, temuan mayat manusia yang tersangkut di karang merobek keindahan senja! Bau menyengat kini merebak di udara; bau kematian. Para iblis yang hinggap di daun-daun kelapa di sepanjang pantai, tertawa-tawa! Mereka sangat puas karena keturunan Adam itu sudah terperangkap pada sesuatu yang musyrik! Mereka percaya bahwa mayat yang tersangkut di karang di pinggir pantai itu, disebabkan oleh penunggu Selat Sunda, yang masih ada hubungannya dengan Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan! Itulah sebabnya, kenapa ada beberapa lokasi di sepanjang pantai Selat Sunda yang dianggap keramat dan sangat tabu dipakai untuk berenang! Plang-plang bertuliskan larangan untuk berenang dipasang: DILARANG BERENANG DI SINI, BANYAK KARANG! Begitulah yang tertulis. Padahal semestinya ditulis seperti ini: AWAS, INI DAERAH ANGKER, MlLIK NYI RORO KIDUL! JANGAN NEKAT, KECUALI MAU MATI!

MaIam muIai merembet naik. Hotel-hotel berbintang yang makin memadati pantai mulai merias diri; lampu-lampunya yang genit berlompatan di antara batang-batang pohon kelapa, seolah-olah hawa kematian itu tidak menjadi penghalang buat mereka bersolek menyambut malam! Pantai jadi terang benderang bagai perawan kampung yang sudah pandai bersolek. Sangat berlawanan dengan suasana di seberangnya; lampu-lampu teplok minyak tJodha di gubuk-gubuk neIayan, potret miskin masyarakat yang terpinggirkan sejak dahulu. Padahal kita makan ikan laut dari hasil tangkapannya!

Para iblis di puncak-puncak pohon kelapa makin kesenangan. Kayu bakar neraka jahanam itu makin yakin bahwa malam ini akan makin banyak lagi keturunan Adam menjadi pengikut mereka! Para nelayan yang heboh dengan temuan mayat masih berkerumun. Beberapa orang polisi sudah sampai ke lokasi kejadian. Sangat terasa sekali angin malam dari Selat Sunda, yang menyebarkan aroma kematian berembus masuk ke jendela hotel “Semenanjung.”

Sepasang pengantin baru, yang hendak berbulan madu, sangat terganggu oleh suara ribut-ribut para nelayan di pantai. Mereka yang baru saja meletakkan tas pakaian, bergegas ke pintu baIkon. Yang lelaki membuka pintu balkon. Mereka berjalan ke luar. Angin menampar-nampar tubuh mereka. Aroma kematian tercium oleh hidung mereka.

“Ada apa, ya?” Jodha merapatkan busana muslimahnya yang tergerai oleh angin. Dia menunjuk ke orang-orang yang menyemut di pantai berkarang.

“Kayaknya ..., ada orang mati,” Jalal menduga-duga. “Di pantai karang itu, memang banyak sekali orang yang hilang. Minggu kemarin, ada dua orang turis dari Jakarta hilang saat berenang. Tempat itu memang berbahaya kalau dipakai berenang. Banyak karangnya.”

“Nggak dipasang papan larangan?”

“Sudah. Tapi, mereka pasti mengira, penunggu laut yang meminta korban seorang lelaki tampan dan masih bujangan, untuk dijadikan teman hidup Nyi Ratu Roro Kidul!”

“Astaghfirullah! Di zaman global ini masih ada yang percaya sama ceritacerita takhayul seperti itu?”

“Buat mereka, cerita ini bukan takhayul. Tapi, sesuatu yang harus mereka percayai karena sudah ada sebelum mereka ada. Dan sudah merupakan bagian dari tradisi. Turun-temurun.”

“Ya, saya tahu. Tapi, harusnya mereka berpikir bahwa mati, rezeki, dan jodoh itu rahasia Allah!” Jodha menggelengkan kepalanya.

“Hey!” Jalal mencubit pipi Jodha. “Kita ke sini mau bulan madu, bukan ngebahas soal takhayul! “

“Iya, iya! “ Pipi Jodha bersemu merah. Dia merasa seperti boneka cantik yang sedang dimanjakan pemiliknya. Dia merasa bahagia karena suaminya adalah orang yang dia cintai dan dia inginkan sejak dahulu. Berbeda dengan Hakim, yang hanya menjalankan kewajiban sebagai anak terhadap wasiat ayahnya!

“Mau punya anak berapa?” tanya Jalal. “Selusin, ya! “ Jalal makin bersemangat.

“Iya!” jerit Jodha manja.

~Episode 2~

Mari pengantinku, berjalan di sisiku
Meniti jalan setapak
Menuju cahaya surga di ujung sana
Mari pengantinku, ulurkan tangan
Terima mas kawin dariku:
Rajutan basmalah dan doa-doa

Angin malam dengan aroma kematian makin keras berembus dan membentur-bentur kaca jendela sebuah kamar di hotel Semenanjung. Menyebar hawa dingin menakutkan yang menggigit. Seolah mengiringi malam keramat bagi sepasang pengantin baru yang sedang menjalankan perintah Allah. Pengantin berbahagia itu yakin, bahwa perkawinan adalah ibadah. Saat sebagai seorang suami, memberi nafkah lahir dan batin kepada istrinya adalah kewajiban. Saat sebagai istri, melayani suami dengan keikhlasan adalah pahala imbalannya.

Para malaikat turun dari langit membawa berkah dan rahmat-Nya. Jubahjubah mereka dikembangkan dan seolah menyerupai layar raksasa yang melindungi pengantin baru itu dari aroma kematian. Para iblis tidak akan mampu menerobos ranjang putih pengantin, untuk meniupkan hal-hal laknat di hati mereka: pengantin baru di jalan Allah!

Di ranjang suci itu, Allah menebarkan wewangian bagi orang-orang yang beriman. Para malaikat menaburkan putih melati harum mewangi di seluruh ruangan. Dan seprai putih pun memberikan kabar bahwa si wanita masih suci ibarat Siti Maryam, bunda tersayang Nabi Isa. Tak ada yang bisa memungkirinya bahwa orang yang sabar dan tawakal akan mendapatkan kebahagiaan jua. Tak akan bisa dibantah bahwa Allah Maha Mendengar. Dia akan dekat, jika kita terus memanggil nama-Nya.

“Allahu Akbar!” Jalal berseru penuh haru.

Jodha tersenyum bahagia memeluk suaminya.

Jalal tidak menyangka, jika hal ini terjadi. “Jodha?” tanyanya tidak percaya.

Dia bangkit dan mundur beberapa langkah. Bahkan tubuhnya hampir saja menabrak meja. “Kamu ...?” keheranan terus menyelimuti jiwanya.

“Kak Jalal,” Jodha tersenyum menatapnya. “Kenapa? Kok, kayak ngelihat hantu saja!”

“Ini tidak mungkin, Jodha….”

“Apanya yang tidak mungkin?”

“Kamu?”

“Kak Hakim memang tidak pernah menyentuhku,” Jodha termenung.

“Apa?”

“Kak Hakim tidak mencintai aku. Dia menikahi aku karena ingin Bapak bahagia sebelum berpulang ke rahmatullah…..”

“Jadi?”

“Setiap malam aku bertanya-tanya, kenapa Kak Hakim tidak pernah mau menyentuhku, sebagaimana layaknya seorang suami pada istrinya. Itu, kan kewajibannya.”

“Hakim tidak pernah ...?”

“Iya, dia tidak pernah menyentuhku.”

“Tapi, kenapa? Pasti ada alasannya!”

“Ketika aku bertanya, Kak Hakim memintaku untuk bersabar.”

“Dan jawabannya ada di Bangkok?” Jalal menebak dengan tidak sabar.

“Ya! Jawabannya di Bangkok. Kak Hakim sengaja tidak menyentuhku karena dia sudah mempunyai istri dan seorang anak di Bangkok. Namlok Sarachipat dan Siti Aisyah.”

“Astaghfirullah! Kenapa aku begitu bodoh!”

“Kak Hakim ingin mempertemukan aku dengan mereka, supaya aku bisa mengambil keputusan sendiri bahwa sebetulnya perkawinan kami harus diakhiri sesegera mungkin.”

“Astaghfirullah! Aku yang bersalah!”

“Kamu nggak salah, Kak Jalal!”

Jalal berjalan mondar-mandir di kamar hotel. Dia berjalan sambil memukuli kepalanya dan bahkan menjambaki rambutnya sendiri.  Jodha bangkit dari tempat tidur dan berusaha menenangkan suaminya.

“Aku memang tolol! Gegabah! Dari dulu aku memang biang masalah!” begitu terus dia menyalahkan dirinya sendiri.

“Istighfar, Kak Jalal! Istighfar!” Jodha berusaha menenangkannya.

“Nggak ada gunanya! Aku layak disebut sebagai seorang pembunuh!”

“Kak Jalal! Jangan bicara seperti itu!”

“Harusnya aku memberi Kak Hakim kesempatan bicara!”

“Kamu sedang khilaf waktu itu!”

“Ini malah langsung main pukul!”

“Nggak ada gunanya menyesali perbuatan yang sudah terjadi! “

“Ini bukan hanya harus aku sesali, Jodha! Tapi, aku tak patut menjadi anak Bapak! Aku tak patut menyandang nama Muhammad Al Jalal! Aku harusnya mendekam di penjara seperti halnya Dicky! Aku sudah membunuh kakakku sendiri!”

“Kak Hakim meninggal karena serangan jantung.”

“Akulah penyebabnya! “

“Di Bangkok, Kak Hakim juga terkena serangan jantung.”

“Aku mempercepat kematiannya!”

“Cepat atau lambat, kita akan meninggal juga, Kak Jalal.”

“Tapi, aku membunuh Hakim!”

Jodha tidak menanggapi.

Jalal duduk dengan lunglai. “Semua yang aku lakukan karena aku mencintai kamu,” matanya berkaca-kaca. “Aku tidak ingin melihat kamu menderita. Aku ingin kamu bahagia bersama Kak Hakim,” dia menangis terisak-isak.

Jodha menghampiri suaminya yang rapuh bagai kayu tua termakan rayap. Dia merengkuh suaminya agar menangis di pelukannya. Sebagai seorang wanita, dia merasa suaminya seperti bayi yang butuh belaian sayang dari seorang ibu. Sejak dilahirkan, suaminya memang tidak pernah mendapatkan kasih sayang ibunya.

“Aku malu sama kamu, Jodha….”

“Malulah pada Allah…..”

“Dosaku tak terampuni,” Jalal merasa nyaman dalam pelukan istrinya.
“Allah Maha Pengampun,” Jodha membelai rambut suaminya.

“Aku nggak layak jadi suami kamu….”

“Aku mencintai kamu, Kak Jalal. Kamu juga. Itu tidak terbantahkan.”

“Ya ...,” Jalal mengangguk sambil menatap mata istrinya. “Aku mencintai kamu sejak pertama melihat kamu. Ya, aku sangat menginginkan kamu menjadi pendamping hidupku selamanya…..”

“Apakah itu tidak cukup untuk modal kita dalam mengarungi bahtera rumah tangga?”

Jalal mengusap kedua matanya yang basah. Dia tertegun dengan pertanyaan istrinya. Cinta menjadi modal? Cukupkah? Astaghfirullah! Dia langsung memeluk Jodha dengan erat. Dia berusaha mengalirkan seluruh kehangatan jiwanya pada Jodha!

“Aku mencintai kamu dengan segenap raga! Aku ingin jadi suami kamu, pelindung kamu. Insya Allah…..”

“Alhamdulillah,” Jodha tersenyum bahagia. “Sebaiknya kita shalat malam dulu,” Jodha membimbing Jalal untuk berdiri.

Jalal bangkit dan mencoba untuk menjadi seorang suami yang tabah.

Rasanya tidak masuk akal, jika Jalal lebih rapuh daripada Jodha yang pernah mendapat cobaan demikian berat. Mulai dari kenyataan hidupnya sebagai anak yang dibuang orangtuanya, sampai ke pernikahannya dengan Hakim yang ternyata semu.

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar