Rahasia-Nya kucari selalu
di sela sinar matahari dan rembulan
Menghitung bintang-bintang
Menunggu ufuk timur memerah
hingga barat gelap gulita
(aku tahu, jiwaku kerdil tak sebanding)
Matahari
senja di Selat Sunda menggelincir masuk ke cakrawala. Tak ada seorang pun yang
menyaksikan perubahan alam itu karena langit diselimuti jubah hitam para iblis
dari neraka. Angin berembus kencang. Ombak berdebur keras. Dan angin menebarkan
penyakit. Semua hanya berdiam diri di rumah, di kamar-kamar hotel berbintang,
atau bahkan ada yang tidak peduli sama sekali dengan pergantian waktu itu. Tak
ada bedanya. Dari sore ke malam, dari terang ke gelap. Toh, nasib tidak
ditentukan oleh sebuah senja! Tetapi oleh perjuangan dan doa. Itu pun jika
Allah berkehendak. Kalau tidak, berarti itu takdir namanya!
Keheningan
senja pun diusik oleh suara tibut para nelayan. Mereka menunjuk-nunjuk ke
pantai yang berkarang. Beberapa berlari ke sana dan memeriksa seonggok benda yang
baunya sangat menyengat! Benda itu tersangkut di karang!
“Oiii, ada
orang matiiii! “ teriak seorang nelayan dari karang.
Para nelayan
lainnya yang berada di pantai, serentak berlarian ke karang. Mereka, seperti
ada yang mengomando, menutup hidung! Seolah-olah bau menyengat merebak di
udara!
Mereka
tersentak!
Seonggok
mayat manusia yang sudah membusuk tersangkut di karang. Kaosnya sudah
tercabik-cabik! Tubuhnya menggelembung seperti balon, dan wajahnya rusak!
Mereka mulai bertanya-tanya, jangan-jangan mayat yang mereka temukan masih
sanak saudara!
“Ada yang
kenal, nggak?”
“Coba, cari
dompetnya!”
Seorang
nelayan dengan berani membalikkan tubuh mayat itu dengan kayu! Lalu dia
mengorek-ngorek saku belakang celana si mayat, tetapi dompet yang dicari tidak
ditemukan.
“Pasti anak
Jakarta!”
“Iya! Minggu
kemarin kan, ada yang hilang!”
“Pasti
dimakan buaya putih!”
“Nyi Roro
Kidul, kali!”
“Kualat!”
“Udah tahu
dilarang mandi, eh ...nekat juga!”
“Anak
sekarang, mana percaya sama yang begituan!”
“Dikiranya
takhayul!”
“Lha, kalau
udah ada yang mati begini, gimana?”
“Kalau udah
ada yang mati, mereka baru percaya!”
“Bulan ini
saja ada enam orang yang mati!”
“Butuh bukti
apa lagi?”
“Heh, jangan
ribut! Udah malam, nih! Mendingan lapor polisi!”
“lya! Jadi
merinding, nih!”
“Gotong!
Gotong! Ntar pasang, kebawa lagi ke laut.”
Para nelayan
dengan sukarela menggotong mayat yang sudah busuk itu sambil menutup hidung
mereka. Mayat itu digeletakkan di tempat yang agak tinggi di bawah pohon
kelapa. Beberapa nelayan menutupnya dengan pelepah daun kering. Mereka masih
merubungi mayat itu!
Dalam
sekejap, temuan mayat manusia yang tersangkut di karang merobek keindahan
senja! Bau menyengat kini merebak di udara; bau kematian. Para iblis yang
hinggap di daun-daun kelapa di sepanjang pantai, tertawa-tawa! Mereka sangat
puas karena keturunan Adam itu sudah terperangkap pada sesuatu yang musyrik!
Mereka percaya bahwa mayat yang tersangkut di karang di pinggir pantai itu,
disebabkan oleh penunggu Selat Sunda, yang masih ada hubungannya dengan Nyi
Roro Kidul, penguasa laut selatan! Itulah sebabnya, kenapa ada beberapa lokasi
di sepanjang pantai Selat Sunda yang dianggap keramat dan sangat tabu dipakai
untuk berenang! Plang-plang bertuliskan larangan untuk berenang dipasang:
DILARANG BERENANG DI SINI, BANYAK KARANG! Begitulah yang tertulis. Padahal
semestinya ditulis seperti ini: AWAS, INI DAERAH ANGKER, MlLIK NYI RORO KIDUL!
JANGAN NEKAT, KECUALI MAU MATI!
MaIam muIai
merembet naik. Hotel-hotel berbintang yang makin memadati pantai mulai merias
diri; lampu-lampunya yang genit berlompatan di antara batang-batang pohon
kelapa, seolah-olah hawa kematian itu tidak menjadi penghalang buat mereka
bersolek menyambut malam! Pantai jadi terang benderang bagai perawan kampung
yang sudah pandai bersolek. Sangat berlawanan dengan suasana di seberangnya;
lampu-lampu teplok minyak tJodha di gubuk-gubuk neIayan, potret miskin
masyarakat yang terpinggirkan sejak dahulu. Padahal kita makan ikan laut dari
hasil tangkapannya!
Para iblis
di puncak-puncak pohon kelapa makin kesenangan. Kayu bakar neraka jahanam itu
makin yakin bahwa malam ini akan makin banyak lagi keturunan Adam menjadi
pengikut mereka! Para nelayan yang heboh dengan temuan mayat masih berkerumun.
Beberapa orang polisi sudah sampai ke lokasi kejadian. Sangat terasa sekali
angin malam dari Selat Sunda, yang menyebarkan aroma kematian berembus masuk ke
jendela hotel “Semenanjung.”
Sepasang
pengantin baru, yang hendak berbulan madu, sangat terganggu oleh suara
ribut-ribut para nelayan di pantai. Mereka yang baru saja meletakkan tas
pakaian, bergegas ke pintu baIkon. Yang lelaki membuka pintu balkon. Mereka
berjalan ke luar. Angin menampar-nampar tubuh mereka. Aroma kematian tercium
oleh hidung mereka.
“Ada apa,
ya?” Jodha merapatkan busana muslimahnya yang tergerai oleh angin. Dia menunjuk
ke orang-orang yang menyemut di pantai berkarang.
“Kayaknya
..., ada orang mati,” Jalal menduga-duga. “Di pantai karang itu, memang banyak
sekali orang yang hilang. Minggu kemarin, ada dua orang turis dari Jakarta
hilang saat berenang. Tempat itu memang berbahaya kalau dipakai berenang.
Banyak karangnya.”
“Nggak
dipasang papan larangan?”
“Sudah.
Tapi, mereka pasti mengira, penunggu laut yang meminta korban seorang lelaki
tampan dan masih bujangan, untuk dijadikan teman hidup Nyi Ratu Roro Kidul!”
“Astaghfirullah!
Di zaman global ini masih ada yang percaya sama ceritacerita takhayul seperti
itu?”
“Buat
mereka, cerita ini bukan takhayul. Tapi, sesuatu yang harus mereka percayai
karena sudah ada sebelum mereka ada. Dan sudah merupakan bagian dari tradisi.
Turun-temurun.”
“Ya, saya
tahu. Tapi, harusnya mereka berpikir bahwa mati, rezeki, dan jodoh itu rahasia
Allah!” Jodha menggelengkan kepalanya.
“Hey!” Jalal
mencubit pipi Jodha. “Kita ke sini mau bulan madu, bukan ngebahas soal
takhayul! “
“Iya, iya! “
Pipi Jodha bersemu merah. Dia merasa seperti boneka cantik yang sedang
dimanjakan pemiliknya. Dia merasa bahagia karena suaminya adalah orang yang dia
cintai dan dia inginkan sejak dahulu. Berbeda dengan Hakim, yang hanya
menjalankan kewajiban sebagai anak terhadap wasiat ayahnya!
“Mau punya
anak berapa?” tanya Jalal. “Selusin, ya! “ Jalal makin bersemangat.
“Iya!” jerit
Jodha manja.
~Episode 2~
Mari pengantinku, berjalan di sisiku
Meniti jalan setapak
Menuju cahaya surga di ujung sana
Mari pengantinku, ulurkan tangan
Terima mas kawin dariku:
Rajutan basmalah dan doa-doa
Angin malam
dengan aroma kematian makin keras berembus dan membentur-bentur kaca jendela
sebuah kamar di hotel Semenanjung. Menyebar hawa dingin menakutkan yang
menggigit. Seolah mengiringi malam keramat bagi sepasang pengantin baru yang
sedang menjalankan perintah Allah. Pengantin berbahagia itu yakin, bahwa
perkawinan adalah ibadah. Saat sebagai seorang suami, memberi nafkah lahir dan
batin kepada istrinya adalah kewajiban. Saat sebagai istri, melayani suami
dengan keikhlasan adalah pahala imbalannya.
Para
malaikat turun dari langit membawa berkah dan rahmat-Nya. Jubahjubah mereka
dikembangkan dan seolah menyerupai layar raksasa yang melindungi pengantin baru
itu dari aroma kematian. Para iblis tidak akan mampu menerobos ranjang putih
pengantin, untuk meniupkan hal-hal laknat di hati mereka: pengantin baru di
jalan Allah!
Di ranjang
suci itu, Allah menebarkan wewangian bagi orang-orang yang beriman. Para
malaikat menaburkan putih melati harum mewangi di seluruh ruangan. Dan seprai
putih pun memberikan kabar bahwa si wanita masih suci ibarat Siti Maryam, bunda
tersayang Nabi Isa. Tak ada yang bisa memungkirinya bahwa orang yang sabar dan
tawakal akan mendapatkan kebahagiaan jua. Tak akan bisa dibantah bahwa Allah
Maha Mendengar. Dia akan dekat, jika kita terus memanggil nama-Nya.
“Allahu
Akbar!” Jalal berseru penuh haru.
Jodha
tersenyum bahagia memeluk suaminya.
Jalal tidak
menyangka, jika hal ini terjadi. “Jodha?” tanyanya tidak percaya.
Dia bangkit
dan mundur beberapa langkah. Bahkan tubuhnya hampir saja menabrak meja. “Kamu
...?” keheranan terus menyelimuti jiwanya.
“Kak Jalal,”
Jodha tersenyum menatapnya. “Kenapa? Kok, kayak ngelihat hantu saja!”
“Ini tidak
mungkin, Jodha….”
“Apanya yang
tidak mungkin?”
“Kamu?”
“Kak Hakim
memang tidak pernah menyentuhku,” Jodha termenung.
“Apa?”
“Kak Hakim
tidak mencintai aku. Dia menikahi aku karena ingin Bapak bahagia sebelum
berpulang ke rahmatullah…..”
“Jadi?”
“Setiap
malam aku bertanya-tanya, kenapa Kak Hakim tidak pernah mau menyentuhku,
sebagaimana layaknya seorang suami pada istrinya. Itu, kan kewajibannya.”
“Hakim tidak
pernah ...?”
“Iya, dia
tidak pernah menyentuhku.”
“Tapi,
kenapa? Pasti ada alasannya!”
“Ketika aku
bertanya, Kak Hakim memintaku untuk bersabar.”
“Dan
jawabannya ada di Bangkok?” Jalal menebak dengan tidak sabar.
“Ya!
Jawabannya di Bangkok. Kak Hakim sengaja tidak menyentuhku karena dia sudah
mempunyai istri dan seorang anak di Bangkok. Namlok Sarachipat dan Siti Aisyah.”
“Astaghfirullah!
Kenapa aku begitu bodoh!”
“Kak Hakim
ingin mempertemukan aku dengan mereka, supaya aku bisa mengambil keputusan
sendiri bahwa sebetulnya perkawinan kami harus diakhiri sesegera mungkin.”
“Astaghfirullah!
Aku yang bersalah!”
“Kamu nggak
salah, Kak Jalal!”
Jalal
berjalan mondar-mandir di kamar hotel. Dia berjalan sambil memukuli kepalanya
dan bahkan menjambaki rambutnya sendiri.
Jodha bangkit dari tempat tidur dan berusaha menenangkan suaminya.
“Aku memang
tolol! Gegabah! Dari dulu aku memang biang masalah!” begitu terus dia
menyalahkan dirinya sendiri.
“Istighfar,
Kak Jalal! Istighfar!” Jodha berusaha menenangkannya.
“Nggak ada
gunanya! Aku layak disebut sebagai seorang pembunuh!”
“Kak Jalal!
Jangan bicara seperti itu!”
“Harusnya
aku memberi Kak Hakim kesempatan bicara!”
“Kamu sedang
khilaf waktu itu!”
“Ini malah
langsung main pukul!”
“Nggak ada
gunanya menyesali perbuatan yang sudah terjadi! “
“Ini bukan
hanya harus aku sesali, Jodha! Tapi, aku tak patut menjadi anak Bapak! Aku tak
patut menyandang nama Muhammad Al Jalal! Aku harusnya mendekam di penjara
seperti halnya Dicky! Aku sudah membunuh kakakku sendiri!”
“Kak Hakim
meninggal karena serangan jantung.”
“Akulah
penyebabnya! “
“Di Bangkok,
Kak Hakim juga terkena serangan jantung.”
“Aku
mempercepat kematiannya!”
“Cepat atau
lambat, kita akan meninggal juga, Kak Jalal.”
“Tapi, aku
membunuh Hakim!”
Jodha tidak
menanggapi.
Jalal duduk
dengan lunglai. “Semua yang aku lakukan karena aku mencintai kamu,” matanya
berkaca-kaca. “Aku tidak ingin melihat kamu menderita. Aku ingin kamu bahagia
bersama Kak Hakim,” dia menangis terisak-isak.
Jodha
menghampiri suaminya yang rapuh bagai kayu tua termakan rayap. Dia merengkuh
suaminya agar menangis di pelukannya. Sebagai seorang wanita, dia merasa
suaminya seperti bayi yang butuh belaian sayang dari seorang ibu. Sejak
dilahirkan, suaminya memang tidak pernah mendapatkan kasih sayang ibunya.
“Aku malu
sama kamu, Jodha….”
“Malulah
pada Allah…..”
“Dosaku tak
terampuni,” Jalal merasa nyaman dalam pelukan istrinya.
“Allah Maha
Pengampun,” Jodha membelai rambut suaminya.
“Aku nggak
layak jadi suami kamu….”
“Aku
mencintai kamu, Kak Jalal. Kamu juga. Itu tidak terbantahkan.”
“Ya ...,” Jalal
mengangguk sambil menatap mata istrinya. “Aku mencintai kamu sejak pertama
melihat kamu. Ya, aku sangat menginginkan kamu menjadi pendamping hidupku
selamanya…..”
“Apakah itu
tidak cukup untuk modal kita dalam mengarungi bahtera rumah tangga?”
Jalal
mengusap kedua matanya yang basah. Dia tertegun dengan pertanyaan istrinya.
Cinta menjadi modal? Cukupkah? Astaghfirullah! Dia langsung memeluk Jodha
dengan erat. Dia berusaha mengalirkan seluruh kehangatan jiwanya pada Jodha!
“Aku
mencintai kamu dengan segenap raga! Aku ingin jadi suami kamu, pelindung kamu.
Insya Allah…..”
“Alhamdulillah,”
Jodha tersenyum bahagia. “Sebaiknya kita shalat malam dulu,” Jodha membimbing Jalal
untuk berdiri.
Jalal
bangkit dan mencoba untuk menjadi seorang suami yang tabah.
Rasanya
tidak masuk akal, jika Jalal lebih rapuh daripada Jodha yang pernah mendapat
cobaan demikian berat. Mulai dari kenyataan hidupnya sebagai anak yang dibuang
orangtuanya, sampai ke pernikahannya dengan Hakim yang ternyata semu.
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar