“Alhamdulillah,”
Pak Soleh mengucap syukur. “Atas kuasa-Mu jualah, klinik ini berdiri,” katanya
penuh haru.
Pak Soleh
kembali terlempar ke peristiwa puluhan tahun yang lalu. Saat itu, Jodha hanya
bisa meratapi Bik Eti yang sakit parah. Hanya karena mereka miskin saja, mereka
tidak sanggup membawa Bik Eti ke dokter. Sejak kepergian Bik Eti karena
sakitlah, Jodha bercita-cita ingin menjadi dokter.
Alhamdulillah,
diiringi dengan doa dan kerja keras, Jodha berhasil menjadi seorang dokter!
Ketika Jodha
mengemukakan keinginannya membangun klinik “Asy Syifa”, yang diperuntukkan bagi
orang tidak mampu, Pak Hari Natadiningrat sangat mendukung. Bahkan, seolah
ingin menebus dosa lamanya, Pak Hari membantu seluruh biaya pembuatan klinik “Asy
Syifa”. Mulai dari pembelian sebidang tanah di dekat perkampungan di belakang
stasiun, serta pengadaan material dan tukangnya. Pak Hidayat pun tidak
ketinggalan. Dia menjanjikan akan membelikan peralatan medis untuk persalinan.
Komplet sudah kebahagiaan Jodha karena Allah telah mempermudah impiannya.
Sedangkan
Pak Soleh dipekerjakan sebagai pengawas bangunan. Bahkan berkat Pak Soleh
pulalah, pembelian tanah untuk klinik jadi lancar. Pak Soleh yang miskin, ternyata
ada artinya juga bagi orang lain. Pak Soleh merasa hidupnya kini lebih berarti.
“Bagaimana
pembangunan kliniknya, Pak Soleh?” tiba-tiba terdengar suara Jodha.
Pak Soleh
kaget. Dia menengok. “Lho, kamu!” Ternyata Jodha sejak tadi sudah berdiri di
belakangnya. Siti Nurkhalishah, yang kini sudah berumur 1 tahun, dituntunnya.
Nur rupanya sudah memaksa ingin berjalan sendiri.
“Astaghfirullah
...,” Pak Soleh tertawa. “Jodha dari tadi di situ, ya?” tanyanya malu.
“Iya,” Jodha
tersenyum. “Jodha lihat, Pak Soleh lagi ngelamun. Kenapa, Pak? Inget sama masa
lalu, ya?”
Pak Soleh
mengangguk dan berjalan terpincang-pincang sambil tertawa.
Sekarang Pak
Soleh tidak lagi memakai kruk. Kakinya yang buntung sudah disambung memakai
kaki palsu. Jalal yang membelikannya.
“Iya, Jodha.
Bapak inget Bik Eti,” katanya sedih. Jodha tersenyum lagi. Dia mencoba untuk
tidak larut dalam kesedihan masa lalu. Jodha menatapnya dengan rasa haru. Pak
Soleh yang sudah terlalu banyak menolongnya. Pak Soleh yang tidak sekadar orang
lain bagi Jodha, tetapi lebih dari seorang sahabat. Saat ini bagi Jodha, Pak Soleh
bisa saja sebagai pengganti almarhumah Bik Eti dan almarhum Pak Haji Budiman.
Pak Soleh sebagai orangtuanya juga, selain Pak Hari Natadiningrat dan Natalia!
“Nur, Sayang
...,” kini Pak Soleh mengalihkan perhatian pada Nur kecil. “Sini, Nur, sini
...,” Pak Soleh mengulurkan lengannya. “Ayo, cium tangan dulu,” katanya.
Jodha
mengajari Nur cium tangan. Nur kecil melonjak-lonjak gembira mengulurkan
tangannya. Lalu Nur menyalami dan mencium punggung tangan Pak Soleh.
Subhanallah ..., anak sekecil N ur Isudah bisa menerima pelajaran budi pekerti;
harus menghormati orang yang lebih tua. Itu termasuk bekal kita dalam menjalani
hidup yang serba keras ini kelak. Insya Allah.
“Nur,
besarnya mau jadi apa?” Pak Soleh pun mengangkat tubuhnya tinggitinggi!
Nur
menjerit-jerit kegirangan.
“Jadi dokter
kayak Ibu, ya!”
Nur
mengangguk-angguk kesenangan.
Jodha
menyaksikannya dengan mata berkaca-kaca. Dia seperti melihat dirinya yang
dipangku Pak Soleh!
~Episode 20~
Dari tanah muncullah dahan, lalu daun,
bunga, buah, dan angin musim menjadi temannya
Seiring waktu kembali pada Sang Muasal
Daun kering berguguran ke tanah pangkuan
Berserak dan berserah diri di selembar
sajadah:
sudahkah ingat bekal pada-Nya?
Magrib baru
saja lewat. Menjelang isya.
Malam mulai
menurunkan jubah hitamnya. Langit tak berbintang. Hitam pekat. Para iblis
sedang mengepung sebuah rumah besar yang sepi. Dari rumah besar itu tak ada
suara apa-apa, selain suara batuk berkepanjangan yang terdengar. Para iblis api
neraka itu bersembunyi di batang-batang pepohonan, yang sudah puluhan tahun
tumbuh di halaman rumah. Juga hinggap di daun-daunnya sehingga bergoyang-goyang
mengisyaratkan kegelisahan. Mereka menjulurkan lidah apinya, seolah hendak
membakar para penghuni rumah besar itu. Mereka sedang menunggu sesuatu yang
akan terjadi….
Batuk dari
dalam rumah. itu terdengar lagi.
Para iblis
tertawa terbahak-bahak. Apinya menyembur dan menghanguskan dedaunan. Kemudian
mereka mengendap-endap ke jendela kamar. Mereka mengintip lewat celah-celah
gorden. Mereka menanti dengan harap-harap cemas bahwa pertunjukan akan berakhir
dengan kemenangan yang berpihak pada mereka! Tetapi, di sudut lain, para
malaikat pun turun dengan sayap putihnya. Mereka meniupkan aroma wewangian ke
dalam kamar!
Pertunjukan
di dalam kamar pun mereka tonton. Para malaikat dan para iblis tampak tegang!
“Bagaimana,
Pa?” Natalia tergopoh-gopoh muncul, membawa segelas air putih.
Pak Hari
terduduk di pinggiran tempat tidur. Lelaki tua beruban itu tidak hanya batuk.
Tetapi juga menggigil. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar kebiru-biruan.
“Mama
panggil Dokter Gunawan ke sini, ya?”
“Nggak usah.
Papa hanya batuk biasa,” Pak Hari menarik selimut.
Natalia
menyodorkan air putih.
Pak Hari
menggeleng.
Natalia
meletakkan gelas itu di meja kecil. Lalu dia duduk di tempat tidur. Menyentuh
kening suaminya. “Tapi, suhu badan Papa tinggi sekali!” nadanya sangat cemas.
“Papa justru
merasa dingin, Mama ...,” Pak Hari berbaring dan menyelimuti tubuhnya.
“Tuh, kan!
Ini demam, namanya!” Natalia membantu menyelimuti suaminya.
“Mungin Papa
kecapekan,” Pak Hari menggigil.
“Kan Mama
bilang, Papa udah nggak perlu lagi ngurusin perusahaan. Sekaranglah saatnya
buat Papa pensiun.”
Pak Hari
tidak menjawab. Dia malah makin menggigil.
“Papa!”
Natalia panik. Dia meraba lagi kening suaminya. Panasnya melebihi batas normal.
“Mama panggil Dokter Gunawan, ya?!” Natalia bangkit dan menuju meja di dekat
jendela kamar. Diraihnya telepon.
Pak Hari
makin menggigil dan panasnya makin meninggi.
Para iblis
terus menyemburkan api nerakanya! Tetapi, para malaikat meniupkan wewangian
yang sejuk sehingga suasana di dalam kamar terasa seperti di pegunungan.
Pak Hari tak
tahan lagi! Dia menggerak-gerakkan bibirnya, “Laa ilaaha illallaah
Muhammadarasulullah….”
Para iblis
merasa tubuhnya sendiri yang terbakar, ketika mendengar kalimat itu keluar dari
mulut Pak Hari. Mereka bersembunyi di batang-batang pohon dan di rerimbunan
dedaunan. Mereka menanti dengan harap-harap cemas! Para malaikat tersenyum
senang.
“Ya, Allah!”
Natalia tampak gugup. Dia tidak jadi memijit angka-angka nomor telepon Dokter
Gunawan, karena dilihatnya suaminya tidak bergerakgerak lagi! “Nyebut, Papa!
Nyebut!” Natalia histeris.
Walaupun
tubuh Pak Hari terbujur kaku, bibirnya tetap mengeluarkan suara, “Laa ilaaha
illallaah Muhammadarasulullah…..” Suaranya pelan sekali. Hampir berdesis.
“Papa ...,”
Natalia memegangi tangannya. “Papa masih mendengar suara Mama?”
Pak Hari
mengangguk dan tersenyum. “Natalia ..., tolong ...kamu ambil...map hijau... di
laci ... lemari pakaian,” suara Pak Hari terpatah-patah.
“Map hijau?
Untuk apa?” Natalia tidak mau melepaskan pegangannya.
“Ambillah…”
Natalia
merasa ada tekanan dari kalimat suaminya tadi, yang mengharuskannya mengambil
map hijau itu. Dia dengan cemas melepaskan pegangannya. Dia meletakkan tangan
suaminya di dadanya. Sambil matanya melihat ke tempat tidur, tempat Pak Hari
terbujur kaku, dia berjalan menuju lemari. Dibukanya dan dicari-carinya map
berwarna hijau di dalam laci. Begitu ditemukan, dia langsung bergegas ke tempat
tidur.
Dia
menyerahkan map hijau itu kepada suaminya. “Ini Papa, mapnya,” katanya cemas.
Kedua tangan
Pak Hari bergerak dengan lemah, mencari-cari benda yang diinginkannya. Natalia
mendekatkan map hijau itu ke tangan suaminya. Pak Hari mendekap map hijau itu
ke dadanya dengan penuh sukacita.
“Alhamdulillah,”
bibir Pak Hari bergerak pelan.
Natalia
tidak pernah tahu apa isi map itu. Dia tidak sempat menanyakannya karena
langsung berlari ke meja telepon. Tanpa melewatkan pandangan ke tubuh suaminya,
dia menelepon ke handphone Dokter Gunawan.
“Dokter
Gunawan! Ini saya, Dok! Bu Hari Natadiningrat!” katanya was-was.
“Tolong
kirim ambulan ke rumah, Dok! Segera, ya!!” perintahnya. “Bapak, Dok! Bapak
sakit!” Natalia menangis sambil meletakkan gagang telepon di tempatnya.
Natalia
bergegas lagi ke tempat tidur. Suaminya masih terbujur kaku. Kedua tangannya
mendekap map hijau ke dadanya. Matanya terpejam. Ada senyuman tersungging di
bibirnya. Betapa tenang wajah itu.
“Papa!”
panggilnya gelisah. “Papa masih mendengar suara Mama?”
Tidak ada
suara apa-apa. Para malaikat meniupkan wewangian ke dalam kamar. Sedangkan para
iblis sudah terbirit-birit ketakutan. Kayu-kayu bakar untuk api neraka itu
tidak berhasil membawa penghuni kamar menjadi bagian dari mereka, karena para
malaikat berhasil melindungi!
“Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun ...,” Natalia memeluk tubuh suaminya dengan
perasaan kehilangan yang amat sangat. Dia mencoba untuk melepaskan kepergian
suaminya dengan rasa ikhlas. Dari asal kembali ke asal.
Tiba-tiba,
sayup-sayup dari pengeras suara masjid, suara azan isya menggema….. seolah
mengantarkan ruh Pak Hari yang sedang menuju tempat di sisi-Nya!
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar