Rabu, 24 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 19 & 20 – By Gola Gong

~Episode 19~

“Alhamdulillah,” Pak Soleh mengucap syukur. “Atas kuasa-Mu jualah, klinik ini berdiri,” katanya penuh haru.

Pak Soleh kembali terlempar ke peristiwa puluhan tahun yang lalu. Saat itu, Jodha hanya bisa meratapi Bik Eti yang sakit parah. Hanya karena mereka miskin saja, mereka tidak sanggup membawa Bik Eti ke dokter. Sejak kepergian Bik Eti karena sakitlah, Jodha bercita-cita ingin menjadi dokter.

Alhamdulillah, diiringi dengan doa dan kerja keras, Jodha berhasil menjadi seorang dokter!

Ketika Jodha mengemukakan keinginannya membangun klinik “Asy Syifa”, yang diperuntukkan bagi orang tidak mampu, Pak Hari Natadiningrat sangat mendukung. Bahkan, seolah ingin menebus dosa lamanya, Pak Hari membantu seluruh biaya pembuatan klinik “Asy Syifa”. Mulai dari pembelian sebidang tanah di dekat perkampungan di belakang stasiun, serta pengadaan material dan tukangnya. Pak Hidayat pun tidak ketinggalan. Dia menjanjikan akan membelikan peralatan medis untuk persalinan. Komplet sudah kebahagiaan Jodha karena Allah telah mempermudah impiannya.

Sedangkan Pak Soleh dipekerjakan sebagai pengawas bangunan. Bahkan berkat Pak Soleh pulalah, pembelian tanah untuk klinik jadi lancar. Pak Soleh yang miskin, ternyata ada artinya juga bagi orang lain. Pak Soleh merasa hidupnya kini lebih berarti.

“Bagaimana pembangunan kliniknya, Pak Soleh?” tiba-tiba terdengar suara Jodha.

Pak Soleh kaget. Dia menengok. “Lho, kamu!” Ternyata Jodha sejak tadi sudah berdiri di belakangnya. Siti Nurkhalishah, yang kini sudah berumur 1 tahun, dituntunnya. Nur rupanya sudah memaksa ingin berjalan sendiri.

“Astaghfirullah ...,” Pak Soleh tertawa. “Jodha dari tadi di situ, ya?” tanyanya malu.

“Iya,” Jodha tersenyum. “Jodha lihat, Pak Soleh lagi ngelamun. Kenapa, Pak? Inget sama masa lalu, ya?”

Pak Soleh mengangguk dan berjalan terpincang-pincang sambil tertawa.

Sekarang Pak Soleh tidak lagi memakai kruk. Kakinya yang buntung sudah disambung memakai kaki palsu. Jalal yang membelikannya.

“Iya, Jodha. Bapak inget Bik Eti,” katanya sedih. Jodha tersenyum lagi. Dia mencoba untuk tidak larut dalam kesedihan masa lalu. Jodha menatapnya dengan rasa haru. Pak Soleh yang sudah terlalu banyak menolongnya. Pak Soleh yang tidak sekadar orang lain bagi Jodha, tetapi lebih dari seorang sahabat. Saat ini bagi Jodha, Pak Soleh bisa saja sebagai pengganti almarhumah Bik Eti dan almarhum Pak Haji Budiman. Pak Soleh sebagai orangtuanya juga, selain Pak Hari Natadiningrat dan Natalia!

“Nur, Sayang ...,” kini Pak Soleh mengalihkan perhatian pada Nur kecil. “Sini, Nur, sini ...,” Pak Soleh mengulurkan lengannya. “Ayo, cium tangan dulu,” katanya.

Jodha mengajari Nur cium tangan. Nur kecil melonjak-lonjak gembira mengulurkan tangannya. Lalu Nur menyalami dan mencium punggung tangan Pak Soleh. Subhanallah ..., anak sekecil N ur Isudah bisa menerima pelajaran budi pekerti; harus menghormati orang yang lebih tua. Itu termasuk bekal kita dalam menjalani hidup yang serba keras ini kelak. Insya Allah.

“Nur, besarnya mau jadi apa?” Pak Soleh pun mengangkat tubuhnya tinggitinggi!

Nur menjerit-jerit kegirangan.

“Jadi dokter kayak Ibu, ya!”

Nur mengangguk-angguk kesenangan.

Jodha menyaksikannya dengan mata berkaca-kaca. Dia seperti melihat dirinya yang dipangku Pak Soleh!

~Episode 20~

Dari tanah muncullah dahan, lalu daun,
bunga, buah, dan angin musim menjadi temannya
Seiring waktu kembali pada Sang Muasal
Daun kering berguguran ke tanah pangkuan
Berserak dan berserah diri di selembar sajadah:
sudahkah ingat bekal pada-Nya?

Magrib baru saja lewat. Menjelang isya.

Malam mulai menurunkan jubah hitamnya. Langit tak berbintang. Hitam pekat. Para iblis sedang mengepung sebuah rumah besar yang sepi. Dari rumah besar itu tak ada suara apa-apa, selain suara batuk berkepanjangan yang terdengar. Para iblis api neraka itu bersembunyi di batang-batang pepohonan, yang sudah puluhan tahun tumbuh di halaman rumah. Juga hinggap di daun-daunnya sehingga bergoyang-goyang mengisyaratkan kegelisahan. Mereka menjulurkan lidah apinya, seolah hendak membakar para penghuni rumah besar itu. Mereka sedang menunggu sesuatu yang akan terjadi….

Batuk dari dalam rumah. itu terdengar lagi.

Para iblis tertawa terbahak-bahak. Apinya menyembur dan menghanguskan dedaunan. Kemudian mereka mengendap-endap ke jendela kamar. Mereka mengintip lewat celah-celah gorden. Mereka menanti dengan harap-harap cemas bahwa pertunjukan akan berakhir dengan kemenangan yang berpihak pada mereka! Tetapi, di sudut lain, para malaikat pun turun dengan sayap putihnya. Mereka meniupkan aroma wewangian ke dalam kamar!

Pertunjukan di dalam kamar pun mereka tonton. Para malaikat dan para iblis tampak tegang!

“Bagaimana, Pa?” Natalia tergopoh-gopoh muncul, membawa segelas air putih.

Pak Hari terduduk di pinggiran tempat tidur. Lelaki tua beruban itu tidak hanya batuk. Tetapi juga menggigil. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar kebiru-biruan.

“Mama panggil Dokter Gunawan ke sini, ya?”

“Nggak usah. Papa hanya batuk biasa,” Pak Hari menarik selimut.

Natalia menyodorkan air putih.

Pak Hari menggeleng.

Natalia meletakkan gelas itu di meja kecil. Lalu dia duduk di tempat tidur. Menyentuh kening suaminya. “Tapi, suhu badan Papa tinggi sekali!” nadanya sangat cemas.

“Papa justru merasa dingin, Mama ...,” Pak Hari berbaring dan menyelimuti tubuhnya.

“Tuh, kan! Ini demam, namanya!” Natalia membantu menyelimuti suaminya.

“Mungin Papa kecapekan,” Pak Hari menggigil.

“Kan Mama bilang, Papa udah nggak perlu lagi ngurusin perusahaan. Sekaranglah saatnya buat Papa pensiun.”

Pak Hari tidak menjawab. Dia malah makin menggigil.

“Papa!” Natalia panik. Dia meraba lagi kening suaminya. Panasnya melebihi batas normal. “Mama panggil Dokter Gunawan, ya?!” Natalia bangkit dan menuju meja di dekat jendela kamar. Diraihnya telepon.

Pak Hari makin menggigil dan panasnya makin meninggi.

Para iblis terus menyemburkan api nerakanya! Tetapi, para malaikat meniupkan wewangian yang sejuk sehingga suasana di dalam kamar terasa seperti di pegunungan.

Pak Hari tak tahan lagi! Dia menggerak-gerakkan bibirnya, “Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah….”

Para iblis merasa tubuhnya sendiri yang terbakar, ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Pak Hari. Mereka bersembunyi di batang-batang pohon dan di rerimbunan dedaunan. Mereka menanti dengan harap-harap cemas! Para malaikat tersenyum senang.

“Ya, Allah!” Natalia tampak gugup. Dia tidak jadi memijit angka-angka nomor telepon Dokter Gunawan, karena dilihatnya suaminya tidak bergerakgerak lagi! “Nyebut, Papa! Nyebut!” Natalia histeris.

Walaupun tubuh Pak Hari terbujur kaku, bibirnya tetap mengeluarkan suara, “Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah…..” Suaranya pelan sekali. Hampir berdesis.

“Papa ...,” Natalia memegangi tangannya. “Papa masih mendengar suara Mama?”

Pak Hari mengangguk dan tersenyum. “Natalia ..., tolong ...kamu ambil...map hijau... di laci ... lemari pakaian,” suara Pak Hari terpatah-patah.

“Map hijau? Untuk apa?” Natalia tidak mau melepaskan pegangannya.

“Ambillah…”

Natalia merasa ada tekanan dari kalimat suaminya tadi, yang mengharuskannya mengambil map hijau itu. Dia dengan cemas melepaskan pegangannya. Dia meletakkan tangan suaminya di dadanya. Sambil matanya melihat ke tempat tidur, tempat Pak Hari terbujur kaku, dia berjalan menuju lemari. Dibukanya dan dicari-carinya map berwarna hijau di dalam laci. Begitu ditemukan, dia langsung bergegas ke tempat tidur.

Dia menyerahkan map hijau itu kepada suaminya. “Ini Papa, mapnya,” katanya cemas.

Kedua tangan Pak Hari bergerak dengan lemah, mencari-cari benda yang diinginkannya. Natalia mendekatkan map hijau itu ke tangan suaminya. Pak Hari mendekap map hijau itu ke dadanya dengan penuh sukacita.

“Alhamdulillah,” bibir Pak Hari bergerak pelan.

Natalia tidak pernah tahu apa isi map itu. Dia tidak sempat menanyakannya karena langsung berlari ke meja telepon. Tanpa melewatkan pandangan ke tubuh suaminya, dia menelepon ke handphone Dokter Gunawan.

“Dokter Gunawan! Ini saya, Dok! Bu Hari Natadiningrat!” katanya was-was.

“Tolong kirim ambulan ke rumah, Dok! Segera, ya!!” perintahnya. “Bapak, Dok! Bapak sakit!” Natalia menangis sambil meletakkan gagang telepon di tempatnya.

Natalia bergegas lagi ke tempat tidur. Suaminya masih terbujur kaku. Kedua tangannya mendekap map hijau ke dadanya. Matanya terpejam. Ada senyuman tersungging di bibirnya. Betapa tenang wajah itu.

“Papa!” panggilnya gelisah. “Papa masih mendengar suara Mama?”

Tidak ada suara apa-apa. Para malaikat meniupkan wewangian ke dalam kamar. Sedangkan para iblis sudah terbirit-birit ketakutan. Kayu-kayu bakar untuk api neraka itu tidak berhasil membawa penghuni kamar menjadi bagian dari mereka, karena para malaikat berhasil melindungi!

“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun ...,” Natalia memeluk tubuh suaminya dengan perasaan kehilangan yang amat sangat. Dia mencoba untuk melepaskan kepergian suaminya dengan rasa ikhlas. Dari asal kembali ke asal.

Tiba-tiba, sayup-sayup dari pengeras suara masjid, suara azan isya menggema….. seolah mengantarkan ruh Pak Hari yang sedang menuju tempat di sisi-Nya!

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar