Selasa, 23 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 13 & 14 – By Gola Gong

~Episode 13~

Tempatku di Sisi-Mu
Lautan waktu harus dilewati
Betapapun pedihnya
Betapa besar tenaga terkuras
Tak ada kesempatan untuk kembali
dan menghindari amanah-Nya
Harus terus berjalan
Atau kehilangan ruang dan waktu

Bu Bidan mendekati asistennya. Dia menyuruh asistennya menyiapkan peralatan untuk alat bantu persalinan. Sedangkan Jodha masih tergolek tanpa daya sambil menahan rasa sakit di perutnya. Hatinya antara bahagia dan cemas. Bahagia, karena sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu, hal yang sangat diidam-idamkan oleh seluruh wanita di muka bumi. Seorang ibu, berarti komplet sudah hidupnya! Mempunyai seorang suami yang sangat mencintainya. Juga seorang anak, pertanda sebagai seorang istri sudah memberikan kebahagiaan pada suami tercinta! Cemas? Sudah pasti! Dia merasa cemas, takut terjadi hal buruk pada dirinya atau bayinya. Dia tidak pernah tahu apa yang direncanakan Allah pada hamba-Nya. Bisa saja setelah melahirkan, adalah saat terakhirnya melihat suaminya! Audzubillahhimindzalik…..

“Jodha…..,” Jalal menggenggam erat-erat lengan Jodha. “Kamu nggak apaapa, kan?” tanyanya cemas.

Jodha mencoba tersenyum. Kecemasannya kini hilang begitu melihat suaminya yang sangat ikhlas menemaninya. Ada semangat baru masuk ke peredaran darahnya. Dia tahu, suaminya berdoa untuk keselamatannya. Dia juga yakin, Pak Hari dan Natalia mendoakannya. Bik Marhamah dan Pak Soleh juga!

Seorang pelayan masuk sambil membawa segelas teh manis panas. Bu Bidan mengambil gelas itu dan menyodorkannya pada Jodha. Ada sedotan plastik di gelas itu. Jalal mengambil alih gelas itu.

“Ayo, Jodha ..., minum dulu ...,” Jalal mengatur letak sedotannya.

Dengan susah payah, Jodha mengangkat kepalanya. Jalal membantu menopang kepala Jodha dengan tangannya. Dengan begini, Jodha bisa nyaman menyedot minuman hangat itu. Jalal menatapnya dengan perasaan campur aduk; bahagia dan cemas!

“Yang banyak minumnya,” kata Bu Bidan. “Supaya tenaganya kembali.”

Jodha mengikuti saran Bu Bidan. Dia menyedot teh manis itu sebanyak.banyaknya. Ada semacam tenaga baru masuk ke tubuhnya: teh manis dan spirit dari suaminya yang tetap setia mendampinginya. Rasanya jika maut menjemputnya saat ini, asal buah hatinya selamat lahir ke dunia, dia akan ikhlas.

“Dimulai lagi, ya ...,”.Bu Bidan sudah bersiap-siap.

Jalal meletakkan gelas minuman yang tinggal setengahnya lagi.

Jodha mengangguk dan merasakan tenaganya sudah pulih lagi.

“Kenapa bayinya sulit keluar, Bu Bidan?” Jalal cemas.

“Panggul Jodha sempit, sehingga si bayi yang badannya besar susah keluar,” Bu Bidan menjelaskan sambil terus memompa semangat pada Jodha untuk terus mengeden. “Ayo, Jodha! Ayo! Nah, itu batok kepalanya kelihatan lagi! “ seru Bu Bidan.

Jodha terus mengedan. “La haulaa wala quwwata illa billaah ...,” Jodha menyerukan doa di antara napasnya yang sesak. Dia terus berulang-ulang melafalkan doa tersebut; tiada daya upaya selain kekuatan Allah. Wajahnya pucat berkeringat. Tetapi, si bayi hanya muncul batok kepalanya saja dan setelah itu hilang lagi.

Jalal hanya bisa memandangi perjuangan mereka berdua dengan doa.

Istrinya dan Bu Bidan, sama-sama sedang memperjuangkan suatu kehidupan: kelahiran si bayi ke dunia. Semuanya dia pasrahkan pada yang di atas.

Allahlah yang berkehendak atas semua hamba-Nya!

Bu Bidan memijiti perut Jodha dengan halus. “Biasa, anak pertama,” katanya menghibur. “Ingat ya ...mengedennya bukan seperti mau buang air besar. Tapi, di perut. Rasakan yang di perut ini. Dan keluarkan ..., ya?” katanya lagi pada Jodha.

Jodha mengangguk pasrah.

“Siap?”

Jodha mengangguk lemah.

“Kalau tidak keluar juga, Bu?” Jalal cemas.

“Kalau terpaksa, ada dua cara untuk mengeluarkan si bayi, yaitu dengan vacum atau cesar! “

“Subhanallah!” Jodha menjerit kesakitan. “Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah……”

Jalal merasa tangan istrinya menggenggam tangannya dengan kuat. Keringat membanjiri wajah istrinya. Jalal mengelapnya dengan sapu tangan. Ada rasa ketakutan muncul tiba-tiba pada dirinya. Dia jadi teringat almarhum ibunya saat melahirkannya dahulu. Kata almarhum ayahnya, ibunya mengalami pendarahan hebat setelah melahirkannya. Ibunya meninggal setelah melahirkan dia. Betapa pedih hatinya jika mengingat hal itu.

~Episode 14~

 “Lakukan saja, Bu! Jangan tunda lagi!” Jalal pasrah.

Bu Bidan mengangguk. Dia menyuruh asistennya untuk mempersiapkan alat vacum. Sementara itu, Jalal menyodorkan gelas minuman dan menyuruh Jodha untuk meminumnya agar tenaganya terkumpul lagi.

Jodha mengeden lagi. Jalal menggenggam tangannya. Bu Bidan dengan sigap memasang alat vacum di batok kepala si bayi. Jalal tampak tegang.

Ya Allah, lindungilah istri dan anakku! Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Bu Bidan menarik alat itu dengan sangat hati-hati. Batok kepala itu pelan-pelan mulai menemukan wujudnya; sebuah wajah perempuan dengan rambut, mata, telinga, hidung, dan bibir. Betapa cantik! Allahu Akbar!

Setelah itu Bu Bidan tidak memakai alat vacuum lagi. Dia memegangi leher si bayi dan menariknya pelan-pelan. Si bayi seperti sudah menemukan jalan kehidupan, dia keluar dengan mudahnya; tangan, tubuh, dan kaki! Betapa sempurna dan agung Sang Pencipta makhluk bernama manusia ini! Masya Allah!

Bu Bidan memukul pantat si bayi.

Lalu terdengarlah suara tangis bayi memecah dunia!

“Alhamdulillah…..,” Jodha menarik napas lega. “Allahu Akbar, anak kita perempuan….” katanya menatap suaminya dengan perasaan bahagia yang menggunung.

Jalal mengecup kening istrinya. “Alhamdulillah…. Kita harus bersyukur menerima amanah dari Allah ini.”

Jodha mengangguk. “Coba lihat bayinya. Bu Bidan,” pintanya.

Bu Bidan menggendong si bayi dan memperlihatkannya pada Jodha. “Cantik kayak ibunya,” kata Bu Bidan tertawa.

“Iya, cantik seperti kamu.” Jalal tersenyum memuji.

Bu Bidan menimang-nimang si bayi dan menimbangnya.

“Berapa tinggi-beratnya, Bu?” Jodha penasaran.

“Tingginya 50 cm dan beratnya 3 kilo 7 ons,” Bu Bidan memberi kabar gembira. “Besar sekali,” dia menimang-nimang lagi. Lalu bayi itu diserahkan pada asistennya untuk dimandikan.

Asisten wanita itu memandikan si bayi.

“Selamat, ya ...,” Bu Bidan menyalami Jodha dan Jalal. “Kalian sudah jadi Ibu dan Bapak.”

“Terima kasih atas pertolongan Ibu,” Jodha merasa terharu.

“Berterimakasihlah pada Allah,” Bu Bidan mengingatkan.

Jodha dan Jalal mengangguk.

“Sebaiknya kelahiran kedua jaraknya jangan terlalu dekat,” saran Bu Bidan Jodha menatap Jalal, seolah meminta jawaban.

“Insya Allah, Bu ...,” Jalal tersenyum penuh arti.

“Saya harus menemui pasien yang lain. Assalamu’alaikum,” Bu Bidan pamitan.

“Wa’alaikum salam ...,” Jodha dan Jalal tersenyum bahagia.

Bu Bidan membuka pintu ruang bersalin dan pergi.

“Kayaknya, kamu mau langsung punya anak lagi, ya?” Jodha menyelidik.

Jalal tertawa. “Nggak apa-apa, kan?” dia balik nanya.

“Nggak apa-apa, gimana?” Jodha merajuk.

“Paling baik kan, anak pertama dengan yang kedua ...jangan terlalu jauh jaraknya. Biar mereka ada temen. Gedenya bareng kan enak. Kita juga ngurusnya sekalian. Capeknya sekaligus gitu.”

“Tapi dua saja, ya?!”

“Tigalah!”

“Ya, sudah! Kamu saja yang ngelahirin bayi ketiga!”

Jalal tertawa. “Nantilah kita bicarain lagi. Sekarang, aku ...eh ...Bapak ...,” katanya masih tertawa, “mau ngazanin dulu,” katanya seraya mendekati asisten Bu Bidan yang sedang membedong si bayi.

Asisten Bu Bidan meletakkan bayi merah itu di tempat yang sudah diberi lampu penerang, supaya suhu badannya hangat. “Silakan, Pak,” kata asisten Bu Bidan. Lalu dia keluar dari kamar persalinan.

“Terima kasih,” Jalal tersenyum bahagia dan penuh haru, ketika melihat buah hatinya tergeletak di boks bayi. Wajahnya yang bulat cantik, alis matanya dan rambutnya yang tebal, serta bibirnya yang bergerak-gerak mencari mata air kehidupan; air susu ibu. Sebentar lagi kamu akan mendapatkan air paling hebat, anakku! Air ciptaan Allah, yang di dalamnya tidak ada zat pengawet!

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar