Lalu bergegas aku meraihnya
saat terulur cahaya-Mu
Memaksaku tercerabut dari tanah:
Rabbi, ringankan langkahku ini!
Vonis dokter
itu seperti kilat menggelegar! Jodha terkena kanker hati! Positif! Umurnya
diperkirakan tidak akan lama lagi. Jalal tidak bisa menerima kenyataan ini.
Berbeda dengan Jodha, yang justru lebih sabar dan pasrah. Bagi sebagian dokter,
kanker hati adalah takdir dari Allah!
Kabar
mengerikan ini persis tiga minggu menjelang keberangkatannya ke tanah suci. Jalal
berlari ke pantai dan berteriak-teriak sendirian sambil menatap langit. Dia
seperti memprotes keputusan Allah bahwa dirinya tidak pernah diberi kesempatan
untuk merasakan kebahagiaan. Semua orang yang dia cintai begitu cepat dipanggil
ke sisi-Nya. Mulai dari ibunya, ayahnya, kakaknya, sampai istrinya yang sudah
masuk dalam daftar antrean. Jika sudah tiba waktunya, Allah tinggal menyuruh
Malaikat Izrail untuk mencabut nyawa istrinya!
“Sebaiknya
kita gagalkan saja rencana kita ke Makkah,” Jalal melihat Jodha makin hari
makin pucat saja. Tubuhnya makin menyusut. Padahal selera makannya cukup besar.
“Nggak, Kak,
nggak boleh kita batalkan. Ini panggilan Allah. Saya akan sehat ketika
berangkat nanti. Insya Allah,” kata Jodha yang berbaring di tempat tidur. Dia
menangis ketika menyampaikan niatnya untuk tetap berangkat ke Makkah. Tangannya
langsung menggapai tasbih di meja kecil. Lalu dia berzikir; subhanallah,
subhanallah…..
Jalal
menatap Jodha dengan sedih. Dia memijit kedua kaki istrinya dengan rasa sayang.
Kedua anaknya, Siti Nurkhalishah dan Muhammad Al Faqih, masuk ke kamar. Mereka
langsung naik ke tempat tidur dan bertingkah polah seperti seorang dokter saja.
“Ibu sakit,
ya?” tanya Nur, gadis cilik berusia empat tahun.
“Iya, Teh.
Ibu sakit,” Jodha tersenyum mengusap kepalanya.
“Minum obat
ya, Bu,” Nur menyodorkan “obat” di tangannya. Nur memang paling suka berlagak
jadi dokter seperti ibunya.
“Obat, Bu,
obat,” Faqih, bocah berusia dua tahun, tidak mau kalah dengan kakaknya. Dia
juga menyodorkan “obat”.
Tetapi Nur
mendorongnya, “Nggak boleh! Teteh aja yang periksa Ibu!” katanya cemberut.
Faqih hampir
terjatuh. Faqih menangis. Jalal menggendongnya dan menenangkannya. Jodha hanya
tersenyum.
“Sama
saudara, Teteh nggak boleh begitu ...,” Jodha menasihati.
“Faqih
nakal!” Nur cemberut. “Teteh saja jadi dokter. Faqih nggak boleh!”
Faqih
meronta-ronta di pelukan Jalal. Bapak muda itu mencoba menenangkan Faqih. Dia
membawa Faqih keluar untuk bermain robotrobotan.
“Tuh,
kasihan kan Faqihnya. Teteh jadi nggak punya temen,” Jodha mengingatkan.
Nur tampak
menyesal. “Dede!” akhirnya dia berteriak memanggil adiknya. Dia turun dari
ranjang dan berlari ke luar kamar.
Jodha hanya
tersenyum saja. Jari-jarinya tak pernah berhenti menghitung tasbih sambil
berzikir. Andai saja Nur dan Faqih tahu penyakit yang dideritanya. Ya Allah,
berilah aku kesehatan! Berilah aku kekuatan! Tunjukkanlah mukjizat-Mu! Tetapi,
jika ini cara-Mu untuk menguji aku dan Jalal, aku pasrah dan ikhlas. Begitu
terus batin Jodha memohon, di antara zikirnya.
Tidak lama,
Nur dan Faqih muncul bersamaan. Nur menggandeng Faqih. Mereka akur lagi. Jalal
berdiri sambil tersenyum di pintu kamar. Tetapi, dia menatap istrinya dengan
perasaan yang sangat sedih. Dia merasa seperti akan kehilangan istrinya.
Tanda-tanda itu selalu membayanginya terus. Terkadang dia tidak ingin
mendahului Tuhan bahwa sebetulnya rezeki, jodoh, dan mati adalah rahasia-Nya!
Tetapi, dari tutur kata istrinya, seolaholah mengingatkannya pada kematian.
Kemarin malam saja, Jodha berkalikali menyebut “andai saya pergi”, “andai saya
pergi”. Dia bergidik mendengarnya. Terbayang lagi percakapan di meja makan itu,
yang membuatnya jengkel setengah mati.
“Andai saya
pergi, kamu harus menikah dengan Mutiara,” begitu Jodha memulai makan malam.
“Kamu mau
pergi ke mana?” Jalal meletakkan sendok dan garpunya. Selera makannya langsung
musnah.
Para iblis,
yang selalu mengitari mereka, menjulurkan lidah apinya sambil terkekeh-kekeh.
Para setan neraka itu sedang menanti-nanti kehancuran rumah tangga mereka.
Tetapi, para malaikat juga tidak tinggal diam. Sinar Ilahi itu selalu meniupkan
wewangian ayat-ayat Allah, agar terlindung dari bujuk rayu sang setan!
“Penyakitku
ini aneh,” Jodha menerawang jauh. “Kadang muncul, kadang hilang. Sungguh, aku
takut kehilangan kamu, Nur, dan Faqih,” Jodha terisak.
“Istighfar, Jodha
...,” Jalal mengingatkan. “Kita semua akan mati. Itu suatu keharusan. Nggak
akan bisa kita menghindarinya.”
“Tapi, aku
ingin mati, setelah Nur dan Faqih dewasa. Setelah mereka memberikan cucu-cucu
padaku….”
Jalal
berdiri dan berjalan mendekatinya. Memijiti pundaknya. “Nanti kita cari dokter
spesialis yang hebat sepulang dari Makkah. Kalau perlu kita ke luar negeri.
Barangkali penyakitmu bisa disembuhkan.”
“Amien….”
“Kamu nggak
boleh putus asa, Jodha!”
“Aku bukan
putus asa. Aku hanya berusaha realistis. Ini kenyataan yang harus kita hadapi.
Kak Jalal akan kehilangan aku selama-lamanya. Banyak hal yang harus kita
bicarakan malam ini. Dan Kak Jalal harus mendengarkannya dengan baik,” nada Jodha
serius. “Sekarang, duduklah…..”
Jalal duduk.
Wajahnya tegang.
“Aku ingin
Kak Jalal mewujudkan keinginanku….”
“Apakah ini
semacam wasiat?” suara Jalal bergetar. Matanya mulai berkacakaca.
“Iya,” bibir
Jodha juga bergetar.
“Katakanlah,
kalau memang itu maumu…”
“Aku ingin
Kak Jalal mengembangkan klinik Asy Syifa menjadi sebuah rumah sakit. Aku ingin
nanti orang-orang yang tak mampu datang berobat dan tak usah memikirkan
biayanya….”
Jalal merasa
ada butiran hangat jatuh ke pipinya. “Insya Allah, Jodha ...,” dia betul-betul
menangis, “ ...kalau itu maumu…..”
Jodha
tersenyum bahagia walaupun terasa pedih.
“Sebaiknya
Ibu Natalia kita beri tahu sekarang,” saran Jalal.
“Tidak
perlu. Biarkan Ibu menemani Diana dengan tenang di Singapura. Hidupnya saja
lebih menderita daripada kita. Semua orang yang dicintainya pergi. Kalau Ibu
harus tahu dari awal bahwa aku ...orang yang dicintainya ...akan pergi juga….” Jodha
menerawang jauh, “….itu pasti akan membuatnya tambah menderita lagi.”
“Pak Hidayat
juga?”
“Ya, Pak
Hidayat juga. Tak perlu ada orang lain yang tahu. Biarlah ini untuk kita berdua
saja.”
Jalal makin
tersedu-sedan. Dia peduli kalau dirinya adalah lelaki, yang harus membatasi
diri dengan air mata. Tetapi, ini menyangkut dengan orang yang paling dia
cintai, istrinya! Dengan segenap raga! Dan kini dia dihadapkan pada kenyataan,
bahwa istrinya akan segera pergi mendahului dia! Menemui panggilan Sang
Pencipta!
~Episode 37~
Kupahami kini mengapa
segalanya dipasangkan
karena kelak berubah satu
kembali utuh sebagai jiwa
Yang dimiliki-Nya. kembali pada-Nya:
jadikan aku penghuni surga-Mu!
Sebuah mobil
memasuki kawasan pantai yang sepi. Pohon-pohon kelapa dan semak-semak
melindungi mereka dari pandangan orang di jalan raya Anyer-Labuan. Di pantai
sudah ada sebuah mobil yang diparkir. Pengemudinya keluar dari mobil, begitu
tahu ada mobil lain mendekati dan berhenti di sebelah mobilnya.
“Assalamu’alaikum,”
Mutiara menyapa pengendara mobil itu.
“Wa’alaikum
salam,” jawab Jodha sambil menurunkan jendela mobil.
Betapa kaget
Mutiara, ketika melihat wajah si pengendara mobil itu pucat. Berbeda ketika dia
melihatnya pertama kali malam itu di restoran.
“Kamu sakit,
ya?” tanyanya cemas.
Jodha
tersenyum saja.
“Sebaiknya
kita cari kafe atau apalah. Yang penting, kita jangan ngorol di pantai.
Anginnya sedang kencang,” Mutiara berkali-kali merapikan rambutnya yang
tergerai angin.
“Pakailah,” Jodha
menyodorkan kerudung. “Supaya rambutmu nggak acakacakan.”
Mutiara
tampak sungkan menerimanya. Dari dahulu dia paling tidak mau berkerudung,
sampir sekalipun. Apalagi berjilbab seperti wanita di depannya. Menurutnya,
kecantikan itu keindahan. Lantas, kenapa harus disembunyikan? Bukankah
keindahan itu untuk dipertontonkan? Yang penting, dia bisa menjaga batas-batas
kesopanan. Dia sadar dirinya cantik.
Sebatas itu
sajalah. Tak perlu dia menyembunyikan kecantikan wajahnya lewat kerudung atau jilbab.
Tetapi, melihat tatapan matanya, dia tak kuasa menolak. Lalu kerudung itu dia
lilitkan di kepalanya. Terasa nyaman memang. Rambutnya tidak acak-acakan lagi.
“Kamu
kelihatan makin cantik dengan kerudung itu,” dia lagi-lagi tersenyum.
“Ya,
makasih…”
“Bagaimana
kalau kita ngobrol di mobil aja?”
“Boleh,”
Mutiara memutar. Dia membuka pintu mobil dan duduk.
“Maaf ya,
aku sudah mengganggu waktu kamu…..”
“Nggak
apa-apa…”
“Aku tahu
alamatmu dari buku tamu di hotel.”
“Aku sudah
menduganya.”
Hening beberapa
saat. Semua seperti sedang mencari kata-kata yang tepat.
“Jalal tahu
kamu ke sini?”
“Nggak. Ini
antara kita berdua saja.”
“Apakah ini
ada hubungannya antara aku dan Jalal?”
“Iya. Ada.”
“Sungguh,
kami nggak ada hubungan apa-apa lagi,” Mutiara merasa bersalah. “Kemarin di
restoran itu, aku hanya ingin melakukan sesuatu yang lain saja. Pekerjaanku di
Jakarta sebagai wartawan teve, kadang membuat bosan juga.”
“Aku
percaya. Kalian sudah nggak ada hubungan lagi.”
“Lantas,
kenapa kamu menghubungiku?”
“Ini tentang
aku semata.”
Mutiara
menatap wanita pucat di sebelahnya dengan penuh tanda tanya.
“Tentang
sakit yang aku derita.”
“Kamu sakit
apa?”
“Kanker.”
“Astaga!”
“Umurku
nggak akan lama lagi.”
Mutiara
terhenyak untuk yang kedua kali.
“Maukah kamu
menjawab dengan jujur pertanyaan saya?”
“Pertanyaan
apa?”
“Siap kamu
mendengarnya sekarang?”
“Apa ini?
Jangan pake teka-tekilah!” Mutiara jadi gelisah tidak karuan.
Jodha
menoleh. Dia menatap Mutiara dengan tajam. Mencoba mencari-cari jawaban yang
sedang dicarinya. “Kamu masih mencintai Jalal?” tanyanya serius sekaligus
mengagetkan.
“Pertanyaan
apa ini?” Mutiara tertawa aneh.
“Kamu hanya
perlu menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ saja.”
“Jangan
memaksa!” dia langsung membuka pintu mobil. Keluar dan menarik kerudungnya
hingga terlepas. Kerudung itu dilemparkannya. Ada perasaan marah, jengkel, dan
aneh menyergapnya. Seorang istri dari orang yang pernah dicintainya, tiba-tiba
saja menodongnya dengan pertanyaan tadi! Hah! Gila! Tetapi, sisi lain hatinya
berbisik, kenapa kamu berhari-hari menunggu Jalal di restoran? Kenapa kamu
sampai sekarang belum juga menikah? Kenapa kamu paling suka meliput berita-berita
di Banten? Bukankah kamu masih berharap bisa bertemu dengan Jalal?
“Saya
ternyata salah duga. Maafkan saya,” tiba-tiba Jodha sudah ada di sebelahnya.
Mutiara
merasa tubuhnya bergetar. Masih cintakah dirinya pada Jalal? Pantaskah dia
merebut Jalal dari dia?
“Atau kamu
belum siap menjawabnya sekarang?” Jodha menduga-duga.
“Kenapa kamu
nggak berobat ke Amerika saja? Siapa tahu diagnosa di sini salah?” Mutiara
mengalihkan pembicaraan.
“Insya
Allah, itu akan kami coba.”
“Itu lebih
baik kan, ketimbang kita membahas pertanyaan bodoh tadi?!”
“Itu bukan
pertanyaan bodoh. Dan jawabannya pun tidak bodoh. Itu keluar dari perasaan
kita, dari hati seorang wanita,” Jodha menegaskan. “Terima kasih atas waktunya.
Assalamu’alaikum,” Jodha tersenyum dan membalik. Lalu dia berjalan ke mobil.
Mutiara
masih terpaku di tempatnya.
Jodha
menyalakan mesin mobil. Tetapi, sebelum pergi, Mutiara berlari dan mendekati
jendela mobilnya. Jodha menurunkan kaca jendela.
“Ada apa?” Jodha
tersenyum di balik wajah pucatnya.
“Apakah
masih perlu aku jawab?”
“Sekarang
tidak perlu lagi. Assalamu’alaikum,” Jodha merasa bahagia.
“Wa’alaikum
salam….”
Jodha
menjalankan mobilnya.
Mutiara
berjalan beberapa langkah melepas mobil itu. Hatinya gundah gulana. Kakinya
hampir saja menginjak kerudung pemberian Jodha. Tanpa sadar, dia memungut kerudung
itu. Melilitkannya di kepalanya. Rambutnya yang tergerai tak keruan, kini
terlindung dari godaan angin barat yang galak.
~Episode 38~
Berjalan di antara ayat-ayat-Mu
kutemukan setitik cahaya
Jalan setapak zikir dan doa
hingga pada tujuan:
tempatku di sisi-Mu!
“Allahumalabaik,
allahumalabaik ...,” puja-puji jutaan jamaah haji itu menggema di seluruh
penjuru Ka’bah. Langit Makkah biru terang. Matahari terik. Tetapi, angin
sepoi-sepoi membuat sejuk suasana Masjidil Harram.
Jutaan
jamaah haji yang sedang melakukan tawaf-mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali,
tidak merasakan bola merah raksasa itu membakar tubuh.
Mereka tetap
bersemangat dengan perasaan puji syukur menyerukan
“Bismillahi
Allahhu Akbar” setiap melewati garis cokelat pemberian Ir. Soekarno, sebagai
pertanda kita sudah genap mengelilingi Ka’bah sebanyak satu putaran.
Jodha terus
berjalan dalam lindungan tubuh Jalal. Tubuhnya dipeluk oleh Jalal dari belakang
supaya tidak tersenggol atau terdorong oleh jamaah yang lain. Jalan Jodha sudah
sempoyongan. Jalal tampak merasa cemas. Sebetulnya Jalal tidak setuju istrinya
menunaikan ibadah haji dalam kondisi sakit seperti ini. Tetapi, istrinya
bersikeras. Bagi istrinya, niat itu sudah bulat. Tak ada alasan lain yang bisa
menghalanginya untuk tidak datang ke rumah Allah ini. Bahkan kanker hati yang
kini dideriranya sekalipun! Tak kan ada! Ini termasuk jihad juga!
“Kak Jalal,”
suara Jodha pelan.
“Ya, Jodha?”
“Ayolah,
bawa aku ke Hajar Aswad,” pintanya serius.
“Insya
Allah,” Jalal membelokkan arah ke pinggir.
Tinggal satu
sudut lagi, Jalal sudah berhasil membawa istrinya ke tempat batu hitam berasal
dari surga itu. Tetapi, perjuangannya untuk sampai ke sana sangatlah berat.
Jamaah-jamaah haji lain pun tidak mau kalah. Kadangkala Jalal terdorong kembali
ke arah kanan sehingga berada di lingkaran besar. Tetapi, Jalal tidak pernah
mau menyerah. Dia terus mendekap Jodha agar bisa mendekati Hajar Aswad. Dan
entah dari mana datangnya, atau itu mungkin keajaiban: pertolongan dari Allah!
Seorang lelaki tinggi besar berdiri di belakang mereka. Orang itu pun hendak mendekati
Hajar Aswad. Dia selalu mendorong jamaah lain yang hendak mendekari Hajar
Aswad. Dia seolah-olah memberikan kesempatan pada Jalal dan Jodha untuk mencium
Hajar Aswad! Semuanya terasa jadi serba mudah bagi Jalal dan Jodha!
Jodha
mencium Hajar Aswad dengan mata berlinang. Dahulu Nabi Muhammad mencium batu
hitam ini. Jadi ini sunnah nabi. Tidak dilakukan pun tidak apa-apa. Kemudian Jalal
melakukan hal yang sama. Setelah mereka selesai, lelaki tinggi hitam itu
mengambil giliran. Jalal dan Jodha tersenyum padanya.
“Thanks for
your help,” kata Jodha.
Lelaki itu
tersenyum dan langsung mencium batu surga itu!
Begitulah
yang terjadi pada Jalal dan Jodha. Segala urusan menjadi serba mudah. Itu pun
terulang ketika mereka ingin shalat sunnah di Hijir Ismail.
Sementara
itu orang-orang harus berdesak-desakan, mereka malah diberi keleluasan. Selalu
saja ada orang yang mempersilakan mereka.
Selesai
shalat di Hijjir Ismail, mereka menuntaskan tawaf, yang tinggal dua putaran
lagi. Setelah itu mereka menuju air zamzam. Meminum airnya.
Mencoba
merasakan penderitaan bayi Isma’il yang kehausan di padang Arafah.
“Masih kuat?”
Jalal membimbingnya.
“Insya
Allah,” Jodha tersenyum.
Mereka
berjalan untuk melakukan sai, berjalan bolak-balik dari bukit Safa ke Marwa.
Ini mengingatkan kita pada perjuangan Siti Hajjar, yang saat itu sangat panik
sekali mencari air untuk bayinya, Isma’il. Selama melakukan sai, Jalal tak
henti-hentinya mengingatkan Jodha untuk istirahat dan meminum air zamzam lewat
keran. Jodha sangat kepayahan sekali. Wajahnya pucat. Jalannya limbung.
“Alhamdulillah
..., akhirnya selesai juga,” Jodha merasa lega.
“Ayo,
sekarang kita potong rambut dulu,” ajak Jalal.
Jodha
mengangguk bahagia.
Jalal
membawa Jodha ke pinggir. Secara bergantian mereka memotong rambut beberapa
helai. Tetapi, setelah Jalal memotong rambut Jodha, tiba-tiba saja Jodha jatuh
ke pelukannya. Jalal menyangga tubuh istrinya dengan cemas!
“Jodha!”
“Kak Jalal
...,” lemah sekali suara Jodha.
Jalal
membopong Jodha. Hatinya merasa galau disergap segala macam ketakutan. Di depan
matanya tiba-tiba saja muncul kedua anaknya. Mereka memanggil dan menangisi Jodha!
“Jodha, kamu
harus kuat, Jodha!” tidak terasa air mata Jalal jatuh bergulir.
“Kak Jalal
..., dengar ...,” suara Jodha mendesah.
“Ya, Jodha
...,” Jalal terus membopong Jodha ke posko kesehatan.
“Ada sesuatu
yang ingin aku katakan ...”
“Katakanlah,
Jodha “ .
“Sebelum
berangkat, aku menemui Mutiara ...”
“Kenapa kamu
sebodoh itu?”
“Itu bukan
bodoh, Kak Jalal. Itu niat baik yang keluar dari hati seorang wanita... yang
mencintai suami dan kedua anaknya…”
“Maafkan
aku, Jodha ...,” Jalal terisak penuh penyesalan.
“Jika aku
tiada, demi anak-anak ..., temuilah Mutiara….”
“Jangan
bicara yang nggak-nggak, Jodha ...”
“Jadikanlah
dia penggantiku, Jalal….”
“Jodha!”
“Dia masih
mencintai kamu….”
“Jodha!”
Tetapi Jodha
tidak bersuara lagi.
Jalal
merasakan langit Makkah runtuh menimpa tubuhnya.
~THE END~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar