Senin, 29 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 36 s/d 38 – By Gola Gong

~Episode 36~

Lalu bergegas aku meraihnya
saat terulur cahaya-Mu
Memaksaku tercerabut dari tanah:
Rabbi, ringankan langkahku ini!

Vonis dokter itu seperti kilat menggelegar! Jodha terkena kanker hati! Positif! Umurnya diperkirakan tidak akan lama lagi. Jalal tidak bisa menerima kenyataan ini. Berbeda dengan Jodha, yang justru lebih sabar dan pasrah. Bagi sebagian dokter, kanker hati adalah takdir dari Allah!

Kabar mengerikan ini persis tiga minggu menjelang keberangkatannya ke tanah suci. Jalal berlari ke pantai dan berteriak-teriak sendirian sambil menatap langit. Dia seperti memprotes keputusan Allah bahwa dirinya tidak pernah diberi kesempatan untuk merasakan kebahagiaan. Semua orang yang dia cintai begitu cepat dipanggil ke sisi-Nya. Mulai dari ibunya, ayahnya, kakaknya, sampai istrinya yang sudah masuk dalam daftar antrean. Jika sudah tiba waktunya, Allah tinggal menyuruh Malaikat Izrail untuk mencabut nyawa istrinya!

“Sebaiknya kita gagalkan saja rencana kita ke Makkah,” Jalal melihat Jodha makin hari makin pucat saja. Tubuhnya makin menyusut. Padahal selera makannya cukup besar.

“Nggak, Kak, nggak boleh kita batalkan. Ini panggilan Allah. Saya akan sehat ketika berangkat nanti. Insya Allah,” kata Jodha yang berbaring di tempat tidur. Dia menangis ketika menyampaikan niatnya untuk tetap berangkat ke Makkah. Tangannya langsung menggapai tasbih di meja kecil. Lalu dia berzikir; subhanallah, subhanallah…..

Jalal menatap Jodha dengan sedih. Dia memijit kedua kaki istrinya dengan rasa sayang. Kedua anaknya, Siti Nurkhalishah dan Muhammad Al Faqih, masuk ke kamar. Mereka langsung naik ke tempat tidur dan bertingkah polah seperti seorang dokter saja.

“Ibu sakit, ya?” tanya Nur, gadis cilik berusia empat tahun.

“Iya, Teh. Ibu sakit,” Jodha tersenyum mengusap kepalanya.

“Minum obat ya, Bu,” Nur menyodorkan “obat” di tangannya. Nur memang paling suka berlagak jadi dokter seperti ibunya.

“Obat, Bu, obat,” Faqih, bocah berusia dua tahun, tidak mau kalah dengan kakaknya. Dia juga menyodorkan “obat”.

Tetapi Nur mendorongnya, “Nggak boleh! Teteh aja yang periksa Ibu!” katanya cemberut.

Faqih hampir terjatuh. Faqih menangis. Jalal menggendongnya dan menenangkannya. Jodha hanya tersenyum.

“Sama saudara, Teteh nggak boleh begitu ...,” Jodha menasihati.

“Faqih nakal!” Nur cemberut. “Teteh saja jadi dokter. Faqih nggak boleh!”

Faqih meronta-ronta di pelukan Jalal. Bapak muda itu mencoba menenangkan Faqih. Dia membawa Faqih keluar untuk bermain robotrobotan.

“Tuh, kasihan kan Faqihnya. Teteh jadi nggak punya temen,” Jodha mengingatkan.

Nur tampak menyesal. “Dede!” akhirnya dia berteriak memanggil adiknya. Dia turun dari ranjang dan berlari ke luar kamar.

Jodha hanya tersenyum saja. Jari-jarinya tak pernah berhenti menghitung tasbih sambil berzikir. Andai saja Nur dan Faqih tahu penyakit yang dideritanya. Ya Allah, berilah aku kesehatan! Berilah aku kekuatan! Tunjukkanlah mukjizat-Mu! Tetapi, jika ini cara-Mu untuk menguji aku dan Jalal, aku pasrah dan ikhlas. Begitu terus batin Jodha memohon, di antara zikirnya.

Tidak lama, Nur dan Faqih muncul bersamaan. Nur menggandeng Faqih. Mereka akur lagi. Jalal berdiri sambil tersenyum di pintu kamar. Tetapi, dia menatap istrinya dengan perasaan yang sangat sedih. Dia merasa seperti akan kehilangan istrinya. Tanda-tanda itu selalu membayanginya terus. Terkadang dia tidak ingin mendahului Tuhan bahwa sebetulnya rezeki, jodoh, dan mati adalah rahasia-Nya! Tetapi, dari tutur kata istrinya, seolaholah mengingatkannya pada kematian. Kemarin malam saja, Jodha berkalikali menyebut “andai saya pergi”, “andai saya pergi”. Dia bergidik mendengarnya. Terbayang lagi percakapan di meja makan itu, yang membuatnya jengkel setengah mati.

“Andai saya pergi, kamu harus menikah dengan Mutiara,” begitu Jodha memulai makan malam.

“Kamu mau pergi ke mana?” Jalal meletakkan sendok dan garpunya. Selera makannya langsung musnah.

Para iblis, yang selalu mengitari mereka, menjulurkan lidah apinya sambil terkekeh-kekeh. Para setan neraka itu sedang menanti-nanti kehancuran rumah tangga mereka. Tetapi, para malaikat juga tidak tinggal diam. Sinar Ilahi itu selalu meniupkan wewangian ayat-ayat Allah, agar terlindung dari bujuk rayu sang setan!

“Penyakitku ini aneh,” Jodha menerawang jauh. “Kadang muncul, kadang hilang. Sungguh, aku takut kehilangan kamu, Nur, dan Faqih,” Jodha terisak.

“Istighfar, Jodha ...,” Jalal mengingatkan. “Kita semua akan mati. Itu suatu keharusan. Nggak akan bisa kita menghindarinya.”

“Tapi, aku ingin mati, setelah Nur dan Faqih dewasa. Setelah mereka memberikan cucu-cucu padaku….”

Jalal berdiri dan berjalan mendekatinya. Memijiti pundaknya. “Nanti kita cari dokter spesialis yang hebat sepulang dari Makkah. Kalau perlu kita ke luar negeri. Barangkali penyakitmu bisa disembuhkan.”

“Amien….”

“Kamu nggak boleh putus asa, Jodha!”

“Aku bukan putus asa. Aku hanya berusaha realistis. Ini kenyataan yang harus kita hadapi. Kak Jalal akan kehilangan aku selama-lamanya. Banyak hal yang harus kita bicarakan malam ini. Dan Kak Jalal harus mendengarkannya dengan baik,” nada Jodha serius. “Sekarang, duduklah…..”

Jalal duduk. Wajahnya tegang.

“Aku ingin Kak Jalal mewujudkan keinginanku….”

“Apakah ini semacam wasiat?” suara Jalal bergetar. Matanya mulai berkacakaca.

“Iya,” bibir Jodha juga bergetar.

“Katakanlah, kalau memang itu maumu…”

“Aku ingin Kak Jalal mengembangkan klinik Asy Syifa menjadi sebuah rumah sakit. Aku ingin nanti orang-orang yang tak mampu datang berobat dan tak usah memikirkan biayanya….”

Jalal merasa ada butiran hangat jatuh ke pipinya. “Insya Allah, Jodha ...,” dia betul-betul menangis, “ ...kalau itu maumu…..”

Jodha tersenyum bahagia walaupun terasa pedih.

“Sebaiknya Ibu Natalia kita beri tahu sekarang,” saran Jalal.

“Tidak perlu. Biarkan Ibu menemani Diana dengan tenang di Singapura. Hidupnya saja lebih menderita daripada kita. Semua orang yang dicintainya pergi. Kalau Ibu harus tahu dari awal bahwa aku ...orang yang dicintainya ...akan pergi juga….” Jodha menerawang jauh, “….itu pasti akan membuatnya tambah menderita lagi.”

“Pak Hidayat juga?”

“Ya, Pak Hidayat juga. Tak perlu ada orang lain yang tahu. Biarlah ini untuk kita berdua saja.”

Jalal makin tersedu-sedan. Dia peduli kalau dirinya adalah lelaki, yang harus membatasi diri dengan air mata. Tetapi, ini menyangkut dengan orang yang paling dia cintai, istrinya! Dengan segenap raga! Dan kini dia dihadapkan pada kenyataan, bahwa istrinya akan segera pergi mendahului dia! Menemui panggilan Sang Pencipta!

~Episode 37~

Kupahami kini mengapa
segalanya dipasangkan
karena kelak berubah satu
kembali utuh sebagai jiwa
Yang dimiliki-Nya. kembali pada-Nya:
jadikan aku penghuni surga-Mu!

Sebuah mobil memasuki kawasan pantai yang sepi. Pohon-pohon kelapa dan semak-semak melindungi mereka dari pandangan orang di jalan raya Anyer-Labuan. Di pantai sudah ada sebuah mobil yang diparkir. Pengemudinya keluar dari mobil, begitu tahu ada mobil lain mendekati dan berhenti di sebelah mobilnya.

“Assalamu’alaikum,” Mutiara menyapa pengendara mobil itu.

“Wa’alaikum salam,” jawab Jodha sambil menurunkan jendela mobil.

Betapa kaget Mutiara, ketika melihat wajah si pengendara mobil itu pucat. Berbeda ketika dia melihatnya pertama kali malam itu di restoran.

“Kamu sakit, ya?” tanyanya cemas.

Jodha tersenyum saja.

“Sebaiknya kita cari kafe atau apalah. Yang penting, kita jangan ngorol di pantai. Anginnya sedang kencang,” Mutiara berkali-kali merapikan rambutnya yang tergerai angin.

“Pakailah,” Jodha menyodorkan kerudung. “Supaya rambutmu nggak acakacakan.”

Mutiara tampak sungkan menerimanya. Dari dahulu dia paling tidak mau berkerudung, sampir sekalipun. Apalagi berjilbab seperti wanita di depannya. Menurutnya, kecantikan itu keindahan. Lantas, kenapa harus disembunyikan? Bukankah keindahan itu untuk dipertontonkan? Yang penting, dia bisa menjaga batas-batas kesopanan. Dia sadar dirinya cantik.

Sebatas itu sajalah. Tak perlu dia menyembunyikan kecantikan wajahnya lewat kerudung atau jilbab. Tetapi, melihat tatapan matanya, dia tak kuasa menolak. Lalu kerudung itu dia lilitkan di kepalanya. Terasa nyaman memang. Rambutnya tidak acak-acakan lagi.

“Kamu kelihatan makin cantik dengan kerudung itu,” dia lagi-lagi tersenyum.

“Ya, makasih…”

“Bagaimana kalau kita ngobrol di mobil aja?”

“Boleh,” Mutiara memutar. Dia membuka pintu mobil dan duduk.

“Maaf ya, aku sudah mengganggu waktu kamu…..”

“Nggak apa-apa…”

“Aku tahu alamatmu dari buku tamu di hotel.”

“Aku sudah menduganya.”

Hening beberapa saat. Semua seperti sedang mencari kata-kata yang tepat.

“Jalal tahu kamu ke sini?”

“Nggak. Ini antara kita berdua saja.”

“Apakah ini ada hubungannya antara aku dan Jalal?”

“Iya. Ada.”

“Sungguh, kami nggak ada hubungan apa-apa lagi,” Mutiara merasa bersalah. “Kemarin di restoran itu, aku hanya ingin melakukan sesuatu yang lain saja. Pekerjaanku di Jakarta sebagai wartawan teve, kadang membuat bosan juga.”

“Aku percaya. Kalian sudah nggak ada hubungan lagi.”

“Lantas, kenapa kamu menghubungiku?”

“Ini tentang aku semata.”

Mutiara menatap wanita pucat di sebelahnya dengan penuh tanda tanya.

“Tentang sakit yang aku derita.”

“Kamu sakit apa?”

“Kanker.”

“Astaga!”

“Umurku nggak akan lama lagi.”

Mutiara terhenyak untuk yang kedua kali.

“Maukah kamu menjawab dengan jujur pertanyaan saya?”

“Pertanyaan apa?”

“Siap kamu mendengarnya sekarang?”

“Apa ini? Jangan pake teka-tekilah!” Mutiara jadi gelisah tidak karuan.

Jodha menoleh. Dia menatap Mutiara dengan tajam. Mencoba mencari-cari jawaban yang sedang dicarinya. “Kamu masih mencintai Jalal?” tanyanya serius sekaligus mengagetkan.

“Pertanyaan apa ini?” Mutiara tertawa aneh.

“Kamu hanya perlu menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ saja.”

“Jangan memaksa!” dia langsung membuka pintu mobil. Keluar dan menarik kerudungnya hingga terlepas. Kerudung itu dilemparkannya. Ada perasaan marah, jengkel, dan aneh menyergapnya. Seorang istri dari orang yang pernah dicintainya, tiba-tiba saja menodongnya dengan pertanyaan tadi! Hah! Gila! Tetapi, sisi lain hatinya berbisik, kenapa kamu berhari-hari menunggu Jalal di restoran? Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah? Kenapa kamu paling suka meliput berita-berita di Banten? Bukankah kamu masih berharap bisa bertemu dengan Jalal?

“Saya ternyata salah duga. Maafkan saya,” tiba-tiba Jodha sudah ada di sebelahnya.

Mutiara merasa tubuhnya bergetar. Masih cintakah dirinya pada Jalal? Pantaskah dia merebut Jalal dari dia?

“Atau kamu belum siap menjawabnya sekarang?” Jodha menduga-duga.

“Kenapa kamu nggak berobat ke Amerika saja? Siapa tahu diagnosa di sini salah?” Mutiara mengalihkan pembicaraan.

“Insya Allah, itu akan kami coba.”

“Itu lebih baik kan, ketimbang kita membahas pertanyaan bodoh tadi?!”

“Itu bukan pertanyaan bodoh. Dan jawabannya pun tidak bodoh. Itu keluar dari perasaan kita, dari hati seorang wanita,” Jodha menegaskan. “Terima kasih atas waktunya. Assalamu’alaikum,” Jodha tersenyum dan membalik. Lalu dia berjalan ke mobil.

Mutiara masih terpaku di tempatnya.

Jodha menyalakan mesin mobil. Tetapi, sebelum pergi, Mutiara berlari dan mendekati jendela mobilnya. Jodha menurunkan kaca jendela.

“Ada apa?” Jodha tersenyum di balik wajah pucatnya.

“Apakah masih perlu aku jawab?”

“Sekarang tidak perlu lagi. Assalamu’alaikum,” Jodha merasa bahagia.

“Wa’alaikum salam….”

Jodha menjalankan mobilnya.

Mutiara berjalan beberapa langkah melepas mobil itu. Hatinya gundah gulana. Kakinya hampir saja menginjak kerudung pemberian Jodha. Tanpa sadar, dia memungut kerudung itu. Melilitkannya di kepalanya. Rambutnya yang tergerai tak keruan, kini terlindung dari godaan angin barat yang galak.

~Episode 38~

Berjalan di antara ayat-ayat-Mu
kutemukan setitik cahaya
Jalan setapak zikir dan doa
hingga pada tujuan:
tempatku di sisi-Mu!

“Allahumalabaik, allahumalabaik ...,” puja-puji jutaan jamaah haji itu menggema di seluruh penjuru Ka’bah. Langit Makkah biru terang. Matahari terik. Tetapi, angin sepoi-sepoi membuat sejuk suasana Masjidil Harram.

Jutaan jamaah haji yang sedang melakukan tawaf-mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali, tidak merasakan bola merah raksasa itu membakar tubuh.

Mereka tetap bersemangat dengan perasaan puji syukur menyerukan

“Bismillahi Allahhu Akbar” setiap melewati garis cokelat pemberian Ir. Soekarno, sebagai pertanda kita sudah genap mengelilingi Ka’bah sebanyak satu putaran.

Jodha terus berjalan dalam lindungan tubuh Jalal. Tubuhnya dipeluk oleh Jalal dari belakang supaya tidak tersenggol atau terdorong oleh jamaah yang lain. Jalan Jodha sudah sempoyongan. Jalal tampak merasa cemas. Sebetulnya Jalal tidak setuju istrinya menunaikan ibadah haji dalam kondisi sakit seperti ini. Tetapi, istrinya bersikeras. Bagi istrinya, niat itu sudah bulat. Tak ada alasan lain yang bisa menghalanginya untuk tidak datang ke rumah Allah ini. Bahkan kanker hati yang kini dideriranya sekalipun! Tak kan ada! Ini termasuk jihad juga!

“Kak Jalal,” suara Jodha pelan.

“Ya, Jodha?”

“Ayolah, bawa aku ke Hajar Aswad,” pintanya serius.


“Insya Allah,” Jalal membelokkan arah ke pinggir.

Tinggal satu sudut lagi, Jalal sudah berhasil membawa istrinya ke tempat batu hitam berasal dari surga itu. Tetapi, perjuangannya untuk sampai ke sana sangatlah berat. Jamaah-jamaah haji lain pun tidak mau kalah. Kadangkala Jalal terdorong kembali ke arah kanan sehingga berada di lingkaran besar. Tetapi, Jalal tidak pernah mau menyerah. Dia terus mendekap Jodha agar bisa mendekati Hajar Aswad. Dan entah dari mana datangnya, atau itu mungkin keajaiban: pertolongan dari Allah! Seorang lelaki tinggi besar berdiri di belakang mereka. Orang itu pun hendak mendekati Hajar Aswad. Dia selalu mendorong jamaah lain yang hendak mendekari Hajar Aswad. Dia seolah-olah memberikan kesempatan pada Jalal dan Jodha untuk mencium Hajar Aswad! Semuanya terasa jadi serba mudah bagi Jalal dan Jodha!

Jodha mencium Hajar Aswad dengan mata berlinang. Dahulu Nabi Muhammad mencium batu hitam ini. Jadi ini sunnah nabi. Tidak dilakukan pun tidak apa-apa. Kemudian Jalal melakukan hal yang sama. Setelah mereka selesai, lelaki tinggi hitam itu mengambil giliran. Jalal dan Jodha tersenyum padanya.

“Thanks for your help,” kata Jodha.

Lelaki itu tersenyum dan langsung mencium batu surga itu!

Begitulah yang terjadi pada Jalal dan Jodha. Segala urusan menjadi serba mudah. Itu pun terulang ketika mereka ingin shalat sunnah di Hijir Ismail.

Sementara itu orang-orang harus berdesak-desakan, mereka malah diberi keleluasan. Selalu saja ada orang yang mempersilakan mereka.

Selesai shalat di Hijjir Ismail, mereka menuntaskan tawaf, yang tinggal dua putaran lagi. Setelah itu mereka menuju air zamzam. Meminum airnya.

Mencoba merasakan penderitaan bayi Isma’il yang kehausan di padang Arafah.

“Masih kuat?” Jalal membimbingnya.

“Insya Allah,” Jodha tersenyum.

Mereka berjalan untuk melakukan sai, berjalan bolak-balik dari bukit Safa ke Marwa. Ini mengingatkan kita pada perjuangan Siti Hajjar, yang saat itu sangat panik sekali mencari air untuk bayinya, Isma’il. Selama melakukan sai, Jalal tak henti-hentinya mengingatkan Jodha untuk istirahat dan meminum air zamzam lewat keran. Jodha sangat kepayahan sekali. Wajahnya pucat. Jalannya limbung.

“Alhamdulillah ..., akhirnya selesai juga,” Jodha merasa lega.

“Ayo, sekarang kita potong rambut dulu,” ajak Jalal.

Jodha mengangguk bahagia.

Jalal membawa Jodha ke pinggir. Secara bergantian mereka memotong rambut beberapa helai. Tetapi, setelah Jalal memotong rambut Jodha, tiba-tiba saja Jodha jatuh ke pelukannya. Jalal menyangga tubuh istrinya dengan cemas!

“Jodha!”

“Kak Jalal ...,” lemah sekali suara Jodha.

Jalal membopong Jodha. Hatinya merasa galau disergap segala macam ketakutan. Di depan matanya tiba-tiba saja muncul kedua anaknya. Mereka memanggil dan menangisi Jodha!

“Jodha, kamu harus kuat, Jodha!” tidak terasa air mata Jalal jatuh bergulir.

“Kak Jalal ..., dengar ...,” suara Jodha mendesah.

“Ya, Jodha ...,” Jalal terus membopong Jodha ke posko kesehatan.

“Ada sesuatu yang ingin aku katakan ...”

“Katakanlah, Jodha “ .

“Sebelum berangkat, aku menemui Mutiara ...”

“Kenapa kamu sebodoh itu?”

“Itu bukan bodoh, Kak Jalal. Itu niat baik yang keluar dari hati seorang wanita... yang mencintai suami dan kedua anaknya…”

“Maafkan aku, Jodha ...,” Jalal terisak penuh penyesalan.

“Jika aku tiada, demi anak-anak ..., temuilah Mutiara….”

“Jangan bicara yang nggak-nggak, Jodha ...”

“Jadikanlah dia penggantiku, Jalal….”

“Jodha!”

“Dia masih mencintai kamu….”

“Jodha!”

Tetapi Jodha tidak bersuara lagi.

Jalal merasakan langit Makkah runtuh menimpa tubuhnya.

~THE END~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar