Luka itu memerih kini
Mengiris sebagian hati
Meninggalkan penyesalan
di sepanjang sejarah waktu
Namun harus kukejar matahari
Menuntaskan segala rasa sakit
agar tak terpuruk kunanti
Sore yang
kesekian dalam kehidupan rumah tangga Jalal dan Jodha. Jalal menggandeng Jodha
menuju pantai. Mereka mencoba untuk menikmati matahari senja di Selat Sunda
untuk yang kesekian kalinya. Tetapi wajah Jalal belum segembira biasanya. Di
sana masih tergambar kabut duka seorang manusia yang ditinggal pergi oleh
orang-orang terdekatnya. Jodha memakluminya.
“Lihatlah
senja itu,” Jalal menunjuk ke barat.
“Seperti
bola api raksasa,” Jodha berumpama.
“Dan
lihatlah anak-anak nelayan itu,” kali ini Jalal menunjuk ke sebelah selatan pantai.
Tampak anak-anak nelayan sedang bermain bola plastik dengan gembira. “Mereka
sudah terbiasa dengan senja. Tak ada lagi yang istimewa bagi mereka. Tapi,
lihatlah mereka ...,” kali ini Jalal menunjuk ke sebelah utara. Di sana banyak
turis lokal dan mancanegara duduk-duduk menunggu senja tiba. “Bagi mereka,
senja ibarat sebuah peristiwa yang harus mereka rayakan. Sebuah peristiwa
besar, yang mungkin tidak akan bisa mereka nikmati lagi esoknya.”
Jodha
mengangguk. “Subhanallah,” dia berdecak kagum melihat bola merah raksasa itu
seperti balon raksasa mainan, yang perlahan-lahan menggelincir masuk ke batas
cakrawala. Bagi Jodha, bola api raksasa itu sepertinya mudah diraih oleh
anak-anak nelayan yang terbiasa menangkap ikan atau udang dengan jaringnya.
“Jangan
sampai matamu berkedip, Jodha,” Jalal mengingatkan. “Peristiwa inilah yang
selalu dinanti-nantikan orang,” tambahnya sambil menunjuk ke layar raksasa yang
terbentang di timur.
Jodha kontan
membelalakkan kedua bola matanya. Di depannya muncul perubahan warna yang
sangat indah, warna senja kemerahan, berubah kuning keemasan, memantul di permukaan
laut biru yang tenang, berpendar-pendar, dan berkilauan.
“Allahu
Akbar!” Jalal menyerukan nama Allah. Jodha sangat gembira melihat suaminya yang
mengagumi peristiwa alam ini. Sejenak mereka bisa melupakan persoalan Hakim.
Senja di Selat Sunda ini membuatnya merasa bersyukur.
Berbarengan
dengan menggelincimya bola api raksasa itu, terdengar suara ribut anak nelayan.
Ternyata mereka juga ikut gembira melepas senja. Anakanak nelayan itu
berlompatan! Bahkan mereka melambaikan tangan pada perahu-perahu ayah mereka,
yang seolah-olah sedang berenang di permukaan cairan emas kolam raksasa. Mereka
sadar, tangan Yang Mahakuasalah yang menorehkan lukisan indah itu.
Tetapi
kegembiraan Jodha, Jalal, anak-anak nelayan, dan para turis yang hendak melepas
kepergian senja, lagi-lagi dirusak oleh awan-awan hitam dari asap pabrik kimia
di kawasan industri Cilegon. Tampak mereka berusaha secara ramai-ramai meniup
gumpalan awan hitam pekat ibarat kepalan tangan iblis itu. Alhamdulillah, angin
yang perkasa membantu mereka; meniup awan-awan laknat itu agar menjauh dan
pergi! Sang Angin tidak ingin melihat keturunan Adam ini merasakan sesak napas,
tenggorokan gatal, atau mata perih gara-gara polusi yang disemprotkan cerobong
pabrik itu!
“Jangan kau
ganggu keindahan bola api raksasa itu dengan asapmu! Jangan kau sakiti mereka!”
begitu kata sang Angin pada awan hitam. “Juga, jangan kau tambah penderitaan
masyarakat tak berdosa di sekeliling pantai ini!”
Awan-awan
hitam yang bagai jubah maut itu berangsur-angsur pergi entah ke mana. Keindahan
senja di Selat Sunda itu kembali muncul. Anak-anak nelayan bersorak
menikmatinya walaupun hanya untuk sekejap. Mereka kembali bermain ombak sambil
menyembur-nyemburkan air ke tubuh temannya, dan tidak memedulikan kehadiran Jodha
dan Jalal, yang juga sedang menikmati lukisan dari Sang Mahaagung itu.
“Aku jadi
ingat masa kecil kita,” Jalal tersenyum melihat kegembiraan anak.anak nelayan
itu.
“Kak Hakim
selalu menang jika balap lari di pantai,” Jodha juga tersenyum.
Jalal
tertawa. “Kak Hakim curang. Dia suka nyuri start!”
“Kamu juga
curang! Suka ngedorong Kak Hakim!”
“Kak Hakim
...,” tiba-tiba suara Jalal terdengar sedih.
Jodha dalam
sekejap merasa menyesal sudah membicarakan Hakim!
Mereka
tiba-tiba merasa, tubuh mereka seperti dipaku ke pantai! Kalau dilihat dari
kejauhan, tubuh mereka membayang seperti patung pualam yang disapu warna
keemasan. Para cucu Adam itu kini mengunci mulut.
Mereka hanya
berdiri memandangi layar raksasa yang sedang memutar film tentang matahari
terbenam! Lidah ombak yang menjilati jari-jari kaki mereka tidak mereka
pedulikan. Bahkan ketika air laut menenggelamkan kaki mereka sampai sebatas
mata kaki, mereka tetap tidak bergeming dari pantai.
Mereka dalam
diam yang hening. Mereka bahkan tidak terusik oleh suara gaduh anak-anak
nelayan, yang berteriak-teriak dan berlarian meninggalkan pantai.
“Oiii, ada mayat!”
teriak mereka ketakutan.
Mayat
manusia ditemukan lagi. Kali ini terdampar di pantai. Tubuhnya sudah rusak dan
menggelembung. Sukar untuk dikenali. Anak-anak itu terus saja berlarian ke sana
kemari, berteriak-teriak mengabarkan tentang penemuan mayat!
Tetapi, Jalal
dan Jodha tetap saja asyik menikmati senja di pantai.
~Episode 4~
Lukaku sembuh jua
Kau sentuh dengan zat-Mu
Keperihan itu sirna, namun
Kau harus mengingatkanku
Kenangan pahit itu tak kan hilang
Untuk yang
kesekian kalinya masyarakat di sekitar pantai digegerkan oleh penemuan mayat.
Sebetulnya peristiwa ini sudah biasa bagi mereka. Di setiap weekend atau musim
liburan, selalu saja ada peristiwa lara tersisa dari kegembiraan para turis
lokal. Kalau tidak sanak saudaranya jatuh terpeleset di karang, atau hilang
entah ke mana saat berenang di tengah laut. Tetapi, menemukan mayat tetap saja
peristiwa tragis yang menyebarkan aroma kematian; membikin bulu kuduk berdiri
dan takut akan mati. Bahkan juga sensasi. Itu akan tampak keesokan harinya,
ketika Korankoran lokal membumbuinya dengan kisah mistik tentang wilayah
kekuasaan Nyi Roro Kidul, yang terbentang mulai dari pantai selatan di ujung
timur Jawa sampai ke Selat Sunda!
“Aku selalu
merasa berdosa jika ingat Kak Hakim,” suara Jalal lirih.
“Sudahlah,
Kak,” Jodha menatap ke layar raksasa di depannya. Di mata Jodha, langit barat
yang mulai gelap itu seperti berubah jadi layar raksasa yang terang benderang
oleh gemerlap bintang! Yang menyuguhkan gambargambar kehidupannya. Di sana
muncul wajah dirinya selagi kecil bersama almarhum Bik Eti, yang dengan ikhlas
menyusuri rel kereta api sambil menjinjing bakul nasi uduk, serta teko berisi
air putih hangat. Nasi uduk Bik Eti yang murah-meriah yang selalu dinanti-nanti
oleh Pak Soleh-pengemis berkaki buntung, dan kuli-kuli di stasiun kereta api
Cilegon.
Kemudian
muncul wajah almarhum Pak Haji Budiman beserta kedua anaknya yang masih kecil
saat itu; Hakim dan Jalal. Pak Haji yang selalu tersenyum bijaksana padanya.
Masih terasa kehangatan tutur katanya yang selalu menghibur, jika hatinya
sedang bersedih karena diejek sebagai anak haram.
Yang selalu
dipermasalahkan oleh orang-orang karena wajahnya yang indo.
“Jodha? Kamu
ngelamun?” Jalal menegurnya.
“Aku ingat
masa laluku,” Jodha menjawab lirih.
Jalal
memahaminya. Terbukti dia kembali menatap langit barat, menikmati senja. Jalal
sepertinya ingin membiarkan Jodha kembali larut dengan masa lalunya! Dan
terbukti Jodha seperti melihat kembali dirinya yang.tumbuh bersama Hakim dan Jalal.
Masa-masa indah ketika belajar mengaji dan sekolah….. Ketika Jodha dan Jalal
masuk ke SMA, ketika Hakim dikirim Pak Haji ke Mesir….. Lalu tinggallah Jodha
bersama Jalal. Setiap hari, mereka pergi sekolah bersama-sama….. Setiap hari,
pulang sekolah juga bersama-sama…… Benih cinta sudah tumbuh dan mekar saat
itu….
Kini
terbentang peristiwa yang sangat menyakitkannya! Saat Dicky, playboy di masa
sekolah dahulu yang menjebaknya! Ketika itu Dicky berhasil memperdayanya bahwa Jalal
menyuruhnya pulang bersama Dicky. Kata Dicky, Jalal diamankan di Polres Serang
karena kepergok mabuk di jalan raya. Lalu Tedi membiusnya di atas mobil! Di
villa ayahnya, Dicky berhasil melucuti pakaiannya dan hampir saja merenggut
kesuciannya!
Subhanallah
..., doanya didengar Allah! Tedi yang bersekongkol dengan Dicky, ternyata
menolongnya! Tedi menebus dosanya dengan mengorbankan nyawanya sendiri! Tedi
tewas di ujung belati Dicky! Pada saat yang bersamaan, Jalal datang dan
menghajar Dicky! Setelah itu, Jodha pergi melupakan kisah traumatisnya ke
Jakarta. Keluarga Hidayat mengasuh dan merawat, serta menyekolahkannya hingga
jadi dokter. Sedangkan Dicky dipenjara!
Jalal
membawa kekecewaannya dengan menjadi seorang wartawan. Dia mengelilingi
Indonesia; meliput daerah-daerah kerusuhan…. Sampai berita duka itu datang! Pak
Haji Budiman kecelakaan! Tepatnya korban tabrak lari!
Dicky berada
di balik itu semua, tetapi aparat tidak berhasil menemukan bukti-bukti!
Terlebih lagi para pengacara Tuan Marabunta, yang dengan licin memutarbalikkan
fakta!
Pak Haji
Budiman wafat dan meninggalkan amanah, agar Jodha menikah dengan Hakim. Dia
tahu Jalal kecewa. Dia juga tahu, kalau Jalal curiga, kenapa kakaknya mengajak
dirinya bulan madu di Bangkok. Ketika pulang berbulan madu dengan membawa istri
dan anaknya; Namlok Sarachipat dan Siti Aisyah, Jalal langsung menghadiahi
Hakim dengan bogemnya! Hakim terkapar dan pulang ke rahmatullah di rumah sakit
Namlok dan Siti Aisyah meratapi kepergian Hakim, yang mereka tunggu
kedatangannya setelah bertahun-tahun berpisah. Tetapi, mereka bertemu untuk
kemudian berpisah kembali. Mereka akhirnya memutuskan pulang ke Bangkok dengan
membawa hati yang luka.
Kini
...setelah masa idahnya habis, Jalal melamarnya. Cinta mereka yang terpendam,
muncul kembali ke pemukaan. Jalal menyiram lagi cintanya yang masih bertunas
dan terus tumbuh. Pada malam pertama mereka, Jalal menyatakan keheranan karena Jodha
masih suci.
“Jodha,
kamu?” mata Jalal berkaca-kaca.
“Kak Hakim
tidak pernah menyentuhku,” Jodha menunduk saat itu.
Jalal
menangisi ketololannya karena menjadi penyebab kematian Hakim.
“Aku memang
bodoh! Bodoh!” tangisnya waktu itu.
Jodha hanya
bisa memeluknya dan mengalirkan hawa ketenangan pada Jalal yang kini resmi
menjadi suaminya. Hal yang sudah lama dia impikan.
Ombak
berdebur lagi, berbarengan dengan kilat yang melecut seperti cemeti di langit.
Jodha
tersadar dari lamunannya.
Jalal
menyentuh tangannya. “Jodha ..., sebaiknya kita shalat magrib dulu,” Jalal
mengingatkan.
Jodha
tersadar dan mengangguk.
Layar raksasa
di depannya langsung menggulung!
Jalal
membimbing Jodha masuk ke dalam rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar