Sabtu, 20 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 3 & 4– By Gola Gong

~Episode 3~

Luka itu memerih kini
Mengiris sebagian hati
Meninggalkan penyesalan
di sepanjang sejarah waktu
Namun harus kukejar matahari
Menuntaskan segala rasa sakit
agar tak terpuruk kunanti

Sore yang kesekian dalam kehidupan rumah tangga Jalal dan Jodha. Jalal menggandeng Jodha menuju pantai. Mereka mencoba untuk menikmati matahari senja di Selat Sunda untuk yang kesekian kalinya. Tetapi wajah Jalal belum segembira biasanya. Di sana masih tergambar kabut duka seorang manusia yang ditinggal pergi oleh orang-orang terdekatnya. Jodha memakluminya.

“Lihatlah senja itu,” Jalal menunjuk ke barat.

“Seperti bola api raksasa,” Jodha berumpama.

“Dan lihatlah anak-anak nelayan itu,” kali ini Jalal menunjuk ke sebelah selatan pantai. Tampak anak-anak nelayan sedang bermain bola plastik dengan gembira. “Mereka sudah terbiasa dengan senja. Tak ada lagi yang istimewa bagi mereka. Tapi, lihatlah mereka ...,” kali ini Jalal menunjuk ke sebelah utara. Di sana banyak turis lokal dan mancanegara duduk-duduk menunggu senja tiba. “Bagi mereka, senja ibarat sebuah peristiwa yang harus mereka rayakan. Sebuah peristiwa besar, yang mungkin tidak akan bisa mereka nikmati lagi esoknya.”

Jodha mengangguk. “Subhanallah,” dia berdecak kagum melihat bola merah raksasa itu seperti balon raksasa mainan, yang perlahan-lahan menggelincir masuk ke batas cakrawala. Bagi Jodha, bola api raksasa itu sepertinya mudah diraih oleh anak-anak nelayan yang terbiasa menangkap ikan atau udang dengan jaringnya.

“Jangan sampai matamu berkedip, Jodha,” Jalal mengingatkan. “Peristiwa inilah yang selalu dinanti-nantikan orang,” tambahnya sambil menunjuk ke layar raksasa yang terbentang di timur.

Jodha kontan membelalakkan kedua bola matanya. Di depannya muncul perubahan warna yang sangat indah, warna senja kemerahan, berubah kuning keemasan, memantul di permukaan laut biru yang tenang, berpendar-pendar, dan berkilauan.

“Allahu Akbar!” Jalal menyerukan nama Allah. Jodha sangat gembira melihat suaminya yang mengagumi peristiwa alam ini. Sejenak mereka bisa melupakan persoalan Hakim. Senja di Selat Sunda ini membuatnya merasa bersyukur.

Berbarengan dengan menggelincimya bola api raksasa itu, terdengar suara ribut anak nelayan. Ternyata mereka juga ikut gembira melepas senja. Anakanak nelayan itu berlompatan! Bahkan mereka melambaikan tangan pada perahu-perahu ayah mereka, yang seolah-olah sedang berenang di permukaan cairan emas kolam raksasa. Mereka sadar, tangan Yang Mahakuasalah yang menorehkan lukisan indah itu.

Tetapi kegembiraan Jodha, Jalal, anak-anak nelayan, dan para turis yang hendak melepas kepergian senja, lagi-lagi dirusak oleh awan-awan hitam dari asap pabrik kimia di kawasan industri Cilegon. Tampak mereka berusaha secara ramai-ramai meniup gumpalan awan hitam pekat ibarat kepalan tangan iblis itu. Alhamdulillah, angin yang perkasa membantu mereka; meniup awan-awan laknat itu agar menjauh dan pergi! Sang Angin tidak ingin melihat keturunan Adam ini merasakan sesak napas, tenggorokan gatal, atau mata perih gara-gara polusi yang disemprotkan cerobong pabrik itu!

“Jangan kau ganggu keindahan bola api raksasa itu dengan asapmu! Jangan kau sakiti mereka!” begitu kata sang Angin pada awan hitam. “Juga, jangan kau tambah penderitaan masyarakat tak berdosa di sekeliling pantai ini!”

Awan-awan hitam yang bagai jubah maut itu berangsur-angsur pergi entah ke mana. Keindahan senja di Selat Sunda itu kembali muncul. Anak-anak nelayan bersorak menikmatinya walaupun hanya untuk sekejap. Mereka kembali bermain ombak sambil menyembur-nyemburkan air ke tubuh temannya, dan tidak memedulikan kehadiran Jodha dan Jalal, yang juga sedang menikmati lukisan dari Sang Mahaagung itu.

“Aku jadi ingat masa kecil kita,” Jalal tersenyum melihat kegembiraan anak.anak nelayan itu.

“Kak Hakim selalu menang jika balap lari di pantai,” Jodha juga tersenyum.

Jalal tertawa. “Kak Hakim curang. Dia suka nyuri start!”

“Kamu juga curang! Suka ngedorong Kak Hakim!”

“Kak Hakim ...,” tiba-tiba suara Jalal terdengar sedih.

Jodha dalam sekejap merasa menyesal sudah membicarakan Hakim!

Mereka tiba-tiba merasa, tubuh mereka seperti dipaku ke pantai! Kalau dilihat dari kejauhan, tubuh mereka membayang seperti patung pualam yang disapu warna keemasan. Para cucu Adam itu kini mengunci mulut.

Mereka hanya berdiri memandangi layar raksasa yang sedang memutar film tentang matahari terbenam! Lidah ombak yang menjilati jari-jari kaki mereka tidak mereka pedulikan. Bahkan ketika air laut menenggelamkan kaki mereka sampai sebatas mata kaki, mereka tetap tidak bergeming dari pantai.

Mereka dalam diam yang hening. Mereka bahkan tidak terusik oleh suara gaduh anak-anak nelayan, yang berteriak-teriak dan berlarian meninggalkan pantai.

“Oiii, ada mayat!” teriak mereka ketakutan.

Mayat manusia ditemukan lagi. Kali ini terdampar di pantai. Tubuhnya sudah rusak dan menggelembung. Sukar untuk dikenali. Anak-anak itu terus saja berlarian ke sana kemari, berteriak-teriak mengabarkan tentang penemuan mayat!

Tetapi, Jalal dan Jodha tetap saja asyik menikmati senja di pantai.

~Episode 4~

Lukaku sembuh jua
Kau sentuh dengan zat-Mu
Keperihan itu sirna, namun
Kau harus mengingatkanku
Kenangan pahit itu tak kan hilang

Untuk yang kesekian kalinya masyarakat di sekitar pantai digegerkan oleh penemuan mayat. Sebetulnya peristiwa ini sudah biasa bagi mereka. Di setiap weekend atau musim liburan, selalu saja ada peristiwa lara tersisa dari kegembiraan para turis lokal. Kalau tidak sanak saudaranya jatuh terpeleset di karang, atau hilang entah ke mana saat berenang di tengah laut. Tetapi, menemukan mayat tetap saja peristiwa tragis yang menyebarkan aroma kematian; membikin bulu kuduk berdiri dan takut akan mati. Bahkan juga sensasi. Itu akan tampak keesokan harinya, ketika Korankoran lokal membumbuinya dengan kisah mistik tentang wilayah kekuasaan Nyi Roro Kidul, yang terbentang mulai dari pantai selatan di ujung timur Jawa sampai ke Selat Sunda!

“Aku selalu merasa berdosa jika ingat Kak Hakim,” suara Jalal lirih.

“Sudahlah, Kak,” Jodha menatap ke layar raksasa di depannya. Di mata Jodha, langit barat yang mulai gelap itu seperti berubah jadi layar raksasa yang terang benderang oleh gemerlap bintang! Yang menyuguhkan gambargambar kehidupannya. Di sana muncul wajah dirinya selagi kecil bersama almarhum Bik Eti, yang dengan ikhlas menyusuri rel kereta api sambil menjinjing bakul nasi uduk, serta teko berisi air putih hangat. Nasi uduk Bik Eti yang murah-meriah yang selalu dinanti-nanti oleh Pak Soleh-pengemis berkaki buntung, dan kuli-kuli di stasiun kereta api Cilegon.

Kemudian muncul wajah almarhum Pak Haji Budiman beserta kedua anaknya yang masih kecil saat itu; Hakim dan Jalal. Pak Haji yang selalu tersenyum bijaksana padanya. Masih terasa kehangatan tutur katanya yang selalu menghibur, jika hatinya sedang bersedih karena diejek sebagai anak haram.

Yang selalu dipermasalahkan oleh orang-orang karena wajahnya yang indo.

“Jodha? Kamu ngelamun?” Jalal menegurnya.

“Aku ingat masa laluku,” Jodha menjawab lirih.

Jalal memahaminya. Terbukti dia kembali menatap langit barat, menikmati senja. Jalal sepertinya ingin membiarkan Jodha kembali larut dengan masa lalunya! Dan terbukti Jodha seperti melihat kembali dirinya yang.tumbuh bersama Hakim dan Jalal. Masa-masa indah ketika belajar mengaji dan sekolah….. Ketika Jodha dan Jalal masuk ke SMA, ketika Hakim dikirim Pak Haji ke Mesir….. Lalu tinggallah Jodha bersama Jalal. Setiap hari, mereka pergi sekolah bersama-sama….. Setiap hari, pulang sekolah juga bersama-sama…… Benih cinta sudah tumbuh dan mekar saat itu….

Kini terbentang peristiwa yang sangat menyakitkannya! Saat Dicky, playboy di masa sekolah dahulu yang menjebaknya! Ketika itu Dicky berhasil memperdayanya bahwa Jalal menyuruhnya pulang bersama Dicky. Kata Dicky, Jalal diamankan di Polres Serang karena kepergok mabuk di jalan raya. Lalu Tedi membiusnya di atas mobil! Di villa ayahnya, Dicky berhasil melucuti pakaiannya dan hampir saja merenggut kesuciannya!

Subhanallah ..., doanya didengar Allah! Tedi yang bersekongkol dengan Dicky, ternyata menolongnya! Tedi menebus dosanya dengan mengorbankan nyawanya sendiri! Tedi tewas di ujung belati Dicky! Pada saat yang bersamaan, Jalal datang dan menghajar Dicky! Setelah itu, Jodha pergi melupakan kisah traumatisnya ke Jakarta. Keluarga Hidayat mengasuh dan merawat, serta menyekolahkannya hingga jadi dokter. Sedangkan Dicky dipenjara!

Jalal membawa kekecewaannya dengan menjadi seorang wartawan. Dia mengelilingi Indonesia; meliput daerah-daerah kerusuhan…. Sampai berita duka itu datang! Pak Haji Budiman kecelakaan! Tepatnya korban tabrak lari!

Dicky berada di balik itu semua, tetapi aparat tidak berhasil menemukan bukti-bukti! Terlebih lagi para pengacara Tuan Marabunta, yang dengan licin memutarbalikkan fakta!

Pak Haji Budiman wafat dan meninggalkan amanah, agar Jodha menikah dengan Hakim. Dia tahu Jalal kecewa. Dia juga tahu, kalau Jalal curiga, kenapa kakaknya mengajak dirinya bulan madu di Bangkok. Ketika pulang berbulan madu dengan membawa istri dan anaknya; Namlok Sarachipat dan Siti Aisyah, Jalal langsung menghadiahi Hakim dengan bogemnya! Hakim terkapar dan pulang ke rahmatullah di rumah sakit Namlok dan Siti Aisyah meratapi kepergian Hakim, yang mereka tunggu kedatangannya setelah bertahun-tahun berpisah. Tetapi, mereka bertemu untuk kemudian berpisah kembali. Mereka akhirnya memutuskan pulang ke Bangkok dengan membawa hati yang luka.

Kini ...setelah masa idahnya habis, Jalal melamarnya. Cinta mereka yang terpendam, muncul kembali ke pemukaan. Jalal menyiram lagi cintanya yang masih bertunas dan terus tumbuh. Pada malam pertama mereka, Jalal menyatakan keheranan karena Jodha masih suci.

“Jodha, kamu?” mata Jalal berkaca-kaca.

“Kak Hakim tidak pernah menyentuhku,” Jodha menunduk saat itu.

Jalal menangisi ketololannya karena menjadi penyebab kematian Hakim.

“Aku memang bodoh! Bodoh!” tangisnya waktu itu.

Jodha hanya bisa memeluknya dan mengalirkan hawa ketenangan pada Jalal yang kini resmi menjadi suaminya. Hal yang sudah lama dia impikan.

Ombak berdebur lagi, berbarengan dengan kilat yang melecut seperti cemeti di langit.

Jodha tersadar dari lamunannya.

Jalal menyentuh tangannya. “Jodha ..., sebaiknya kita shalat magrib dulu,” Jalal mengingatkan.

Jodha tersadar dan mengangguk.

Layar raksasa di depannya langsung menggulung!

Jalal membimbing Jodha masuk ke dalam rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar