~Episode 5~
Cintaku bersemi pada-Mu
Pada sebuah nama kulabuhkan
letih dan segala sesal
Cinta ini bagaikan debu bagi-Mu
tetapi janjiku: akan kupersembahkan
debu cinta yang berserak
“Samiallahulimanhamidah
rabbanalakalhamdu ... Allahu Akbar,” Jalal bersujud dengan khidmat. Seluruh
hatinya merendah di hadapan Sang Khalik. Dia merasa, di selembar sajadah inilah
tempat yang layak untuk berserah diri. Dia pun berharap suatu saat kelak,
mendapat tempat di sisi-Nya!
Jodha
mengikuti gerakan-gerakan shalat suaminya dengan hati yang khusyuk. Bersujud
baginya adalah satu cara untuk memohon ampun pada Allah dengan segenap
ketulusan. Dengan segenap keikhlasan.
Dua manusia
yang sedang menapakkan kaki di bahtera rumah tangga itu sedang bersimpuh di
depan Sang Khalik. Sajadah mereka yang panjang basah oleh air mata dan doa
mereka. Para malaikat menjadi saksi, betapa dengan sepenuh hati mereka berserah
diri pada Sang Pencipta! Mereka merasa dengan cara seperti ini, semakin dekat
dengan Sang Khalik. Di sanalah sebetulnya mereka meminta untuk ditempatkan
kelak, di sisi-Nya! Di tempat dambaan semua orang: surga! Tempat di sana ada
sungai susu dan taman yang indah!
“Assalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh...,” Jalal mengucapkan salam.
Jodha yang
menjadi makmum mengikuti. Dia mengusap wajahnya. Ya, Allah Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang, berkahilah rumah tangga kami ini sehingga menjadi keluarga
yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Ridhailah niat baik kami ini!
Setelah itu Jalal
menoleh dan mengulurkan tangannya. Jodha menyalaminya sambil mencium punggung
tangan suaminya. Itu pertanda rasa hormat seorang istri pada suaminya sebagai
pemimpin rumah tangga. Lalu mereka berzikir dan mendoakan orangtua mereka yang
berada di alam kubur.
Mereka
meminta pada Allah, agar kedua orangtua juga saudara-saudara mereka yang telah
berpulang, diberi ampunan dan dibebaskan dari siksa kubur. Ditempatkan di
sisi-Nya! Amien ya rabbal alamien….. Setelah selesai berdoa, Jalal menggeser
tempat duduknya agak mundur. Dia memiringkan badannya. Dia bersila. Kopiahnya
dibuka. Sedangkan Jodha membuka mukenanya. Jalal kini menyaksikan lagi anugerah
Allah Yang Mahaagung, yaitu kecantikan euro-asia yang terpancar dari wajah Jodha.
Subhanallah ..., Jalal memuji Sang Khalik atas karunia yang sudah diperolehnya.
Karunia yang awalnya dimiliki kakaknya, Hakim. Tiba-tiba perasaan bersalah
kembali menusuki hatinya.
“Aku merasa
sangat berdosa pada Hakim,” Jalal melontarkan batu yang menghimpit jiwanya.
“Kak Jalal
sudah berulangkali mengatakannya,” Jodha tersenyum, mencoba menghibur suaminya.
Jalal tidak
peduli. “Hakim ..., dia kakakku yang berhati mulia,” Jalal menengadah ke
langit-langit kamar. Matanya berkaca-kaca. “Ya Allah ... sekarang mata hatiku
mulai terbuka lebar….. Ya Rabbi. ...Betapa sulitnya posisi Hakim saat itu…..”
“Jangankan
Kak Hakim. Posisiku juga sulit saat itu,” Jodha mengingatkan suaminya.
Jalal
tertegun. Dia menatap Jodha. “Ya ..., kamu juga dalam posisi sulit saat itu.
Bodohnya, aku baru bisa merasakannya sekarang. Andai saja waktu itu .…”
“Kamu tahu,
Kak Jalal Aku sangat mencintai kamu. Tapi, sebelum meninggal ...Pak Haji
menyuruhku untuk menikah dengan Kak Hakim,” Jodha melipat mukena. “Aku tidak
ingin jadi anak durhaka yang tidak tahu membalas budi.”
“Ya,” Jalal
menggenggam tangannya. “Tindakanmu sudah tepat.”
“Aku
menganggap, pernikahanku dengan Kak Hakim adalah suatu ibadah. Suatu anugerah.
Kak Hakim lelaki yang baik di mataku. Sampai sekarang pun tetap begitu. Sampai
kapan pun.”
“Aku justru
yang merasa bersalah dengan kepergian Bapak dan Hakim,” suara Jalal terganjal
di kerongkongan. “Terlebih-lebih jika aku ingat Hakim. Hakim pergi dikarenakan
kebodohanku.”
“Itu sudah
suratan nasib…..”
“Andai saja aku
mau bersabar, dengan memberinya kesempatan untuk bicara. Ya Allah ..., dosaku
tidak terampuni,” Jalal menitikkan air mata.
“Kak Jalal,”
giliran Jodha menggenggam tangan suaminya. “Kamu jangan terlalu menyalahkan
diri sendiri.”
“Bagaimana
tidak, Jodha?” Jalal menatapnya. “Hakim ternyata sangat melindungi kamu. Bahkan
menyentuh kamu pun tidak. Dibiarkannya kamu tetap suci. Padahal kamu sudah sah
sebagai istrinya,” Jalal menarik napas.
“Hakim tidak
bersalah merahasiakan pernikahannya dengan Namlok Sarachipat. Dia hanya ingin
menjadi anak yang baik. Seperti juga kamu.”
“Sudahlah,
Kak Jalal ..., jangan tenggelam dengan kesalahan yang sudah diperbuat. Yang
paling baik sekarang, adalah menata hidup kita. Membina rumah tangga kita
supaya sakinah.”
“Tapi, aku
sangat gegabah menilai Hakim saat itu. Aku terbawa emosi karena Hakim
mengkhianati kamu. Menyakiti kamu.”
“Kak Jalal
..., jangan terlalu merasa bersalah…..”
“Ya, Allah.
.., andai rotasi bumi ini bisa aku putar,” Jalal mengusap wajahnya.
“Itu menyalahi
takdir, namanya…..”
“Aku manusia
yang kotor,” Jalal menenggelamkan wajahnya di pelukan Jodha.
“Jangan
berkecil hati, Kak Jalal ...,” Jodha mengusap-usap rambut Jalal.
“Allah Maha
Pengasih. Dia mengetahui apa yang ada di hati hamba-hamba-Nya,” tambahnya
menenangkan hati suaminya. Matanya berkaca-kaca.
Jalal
mendekap erat wanita yang sejak dahulu dia cintai. Matanya juga berkaca-kaca.
Dadanya bergejolak kencang, sekencang ombak pasang malam hari yang memukuli
karang di luar sana. Setiap ingat perlakuan kasarnya yang menyebabkan kematian
Hakim, bulu kuduknya berdiri. Hatinya terajam. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu
ini! Hamba khilaf!
“Kak Jalal
..., sudah ...Kamu lelaki. Kamu pemimpin di rumah ini. Kalau kamu rapuh, kepada
siapa aku meminta perlindungan?”
Jalal
menyeka air matanya. Dia menatap istrinya yang sudah sering mengalami cobaan
hidup yang berat. “Aku akan melindungi kamu,” katanya tegas. “Tentu atas
pertolongan Allah,” tambahnya.
“Alhamdulillah
..., kalimat itulah yang aku tunggu,” Jodha mengecup kening suaminya.
Jalal
bangkit. Dia duduk di tepian ranjang. “Sekarang milikku yang berharga tinggal
kamu, Jodha. Orang-orang yang aku cintaii Ibu, Bapak, dan Hakim, sudah
dipanggil Allah,” dia berhenti dan menatap Jodha yang masih duduk di sajadah. “Apa
pun yang akan terjadi, aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk melindungi kamu….”
Jodha juga
bangkit sambil menatap suaminya dengan perasaan bahagia. Jodha tahu, suaminya
tidak main-main ketika mengatakan kalimat tadi. Ada nyawa dipertaruhkan di
sana. Nyawa suaminya sendiri.
~Episode 6~
Jalan panjang menuju harapan
Semak berduri terkadang penghalang
Bismillah, jadikan hati bersih nan lapang
Alhamdulillah ingatkan pada Sang Penyayang
Alam Banten
di ujung tahun sedang bersahabat dengan para petani. Hujan mengguyur seharian.
Tak kenal waktu, terkadang pagi, malam, atau siang. Sawah-sawah menebarkan
wewangian lumpur, kodok-kodok menembang lagu hujan, itik-itik bercengkerama di
sawah yang tergenang menyerupai danau, kerbau-kerbau bermandi lumpur, dan para
petani menebar benih padi. Mereka membungkuk seperti sedang shalat. Di sana ada
keringat yang ditanam. Insya Allah, tiga atau empat bulan, Allah meridhai
rezeki mereka dengan hasil panen yang bagus. Jika Allah berkehendak lain, didatangkan-Nya
ujian banjir: panen raya gagal! Tetapi dengan rasa ikhlas, para petani itu
terus saja menanam benih padi lagi, tak mengenal lelah dan tak mengenal putus
asa. Mereka ternyata termasuk orang.orang yang memahami QS Al-Insyirah [94]:
7-8, apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka kerja keraslah kamu
(dengan urusan yang lain). Dan kepada Tuhanmulah kamu berharap.
Kilat
menggelegar! Langit sore yang mendung terang sekejap.
Sebuah mobil
berhenti di depan pemakaman umum. Pengemudinya Jalal. Dia tampak berpikir keras
sebelum keluar dari mobil. Tiba-tiba dia terperanjat karena suara petir
menggelegar menampar jiwanya. Hatinya tergoncang. Dia merasa Tuhan sedang
memperingatkannya bahwa pada akhirnya nanti, tempat ini akan jadi alamatnya
terakhir; terbaring kaku di dalam tanah berukuran kurang lebih dua kali 1
meter! Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah…. Jalal mengusap wajahnya
dengan kedua telapak tangannya.
Jalal
melihat ke langit. Hari memang sudah sore. Langit mendung. Angin berkesiur
kencang. Sang Khalik seolah mengingatkannya untuk sesegera mungkin
menyelesaikan urusannya. Kalau tidak, hujan akan menjadi penghalang tujuannya.
Dia mengitari pandang. Dia merasakan angin menghantam tubuhnya. Dingin di
sekujur tubuhnya.
Bismillahirrahmanirrahim
..., Jalal membuka pintu mobil. Dia berjalan memasuki pintu gerbang pemakaman.
Tidak ada orang. Sepi. Dia berjalan dengan hati-hati di jalan setapak yang
terjepit oleh makam-makam. Jiwanya langsung terhimpit oleh perasaan ketakutan.
Kedua kakinya menginjak dedaunan kering. Angin berkesiur seperti ditiupkan
dengan sengaja oleh para iblis yang berkeliaran di kuburan. Para iblis yang
dengan sengaja mengajak para cucu Adam untuk menjadi musyrik dan kufur di kuburan.
Jalal
berhenti. Dia merasakan dadanya sesak. Dia merasakan pemakaman umum ini
menyergapnya!! Dia merasakan para iblis membetotnya agar mau menjadi temannya!
Jalal
melangkah lagi. Daun-daun yang warnanya kecokelatan, pertanda sudah berumur,
beterbangan ke segala arah. Bahkan ada yang menampar ke wajahnya. Dalam
sekejap, hawa kematian langsung menyergapnya! Menikam seperti pisau! Dia
mencoba berlindung pada Allah lewat doa-doa, ketika kakinya melewati jalan
setapak di antara makam-makam. Dia mencari-cari makam kakaknya yang bersanding
dengan makam bapak dan ibunya.
Jalal
berdiri tepekur!
Hening.
Matanya
mulai digenangi air.
Ketiga makam
itu adalah orang-orang yang dicintainya. Yang pertama pergi adalah ibunya.
Beliau wafat setelah melahirkannya. Begitu kata bapaknya.
Sepanjang
hidupnya, Jalal tidak pernah mengenal ibunya. Kemudian Allah memanggil bapaknya
lewat suatu pembunuhan yang direncanakan Dicky.
Terakhir,
dirinyalah yang menyebabkan kakaknya meninggal. Visum dari dokter, Hakim
meninggal karena serangan jantung! Ya Rabbi, tempatkanlah mereka di sisi-Mu.
Damaikanlah mereka di alam kubur. Jauhkanlah mereka dari siksa kubur. Pada
saatnya nanti Israfil meniup terompet pertanda kiamat tiba, bangunkanlah mereka
seperti terbangun dari mimpi yang indah!
Ya Allah
Yang Maha Pengasih, kabulkanlah doaku ini!
Jalal
mencabuti rumput yang meranggas di makam ibunya. Dia cabuti sambil meneteskan
air mata. Dia merasa ketika mencabuti rumput itu, seperti sedang menyentuh
jari-jari ibunya. Seperti sedang merasakan kasih sayang ibunya yang tak pernah
dia dapatkan. Dia juga berharap, air matanya yang jatuh akan terus merembes
menembus tanah dan bisa menghangatkan jasad ibunya. Kemudian dia menyirami
pusara ibunya dengan air kendi.
Tampak tanah
merah itu kini segar. Usai itu, dia melakukan hal yang sama pada makam
bapaknya. Kemudian pada makam kakaknya.
Jalal
terdiam lagi. Dia memandangi ketiga makam orang-orang yang dia cintai. Dadanya
bergolak. Air matanya jebol lagi membasahi pipinya. Dia betul-betul ingin
merengkuh ketiganya. Ingin mendekapnya dalam sebuah doa.
Suara daun
kering terdengar gemerisik. Ada kaki yang menginjaknya.
Jalal
tertegun.
“Kita
pulang, Kak Jalal,” tiba-tiba Jodha sudah berdiri di belakangnya.
Jalal kaget.
Dia tidak menyangka Jodha ada di sini. Dia bangkit.
“Sedang apa
di sini?” selidik Jodha.
“Sedang
menyesali nasib,” Jalal terisak.
“Kak Jalal!”
“Sejak malam
pengantin, aku merasa dikejar perasaan bersalah. Perasaan berdosa. Aku jadi
tahu, bahwa Hakim ternyata lebih baik dari yang aku kira. Dia hanya berada pada
posisi yang sulit saat itu. Seharusnya, aku membantunya agar lepas dari masalah
itu. Tapi, mana aku tahu? Dia tidak pernah bercerita padaku tentang Namlok
Sarachipat dan Siti Aisyah.”
“Itulah
sebabnya, kenapa Hakim lebih cepat dipanggil Allah. Bukankah orang baik selalu
cepat pergi?”
“Berarti aku
bukan orang baik.”
“Bukan
begitu maksudku. Setidak-tidaknya, kamu masih diberi kesempatan oleh Allah
untuk memohon ampunan. Untuk memperbaiki segala amal dan ibadah kamu. Itu
artinya, kita harus bersyukur karena Allah memberimu banyak waktu untuk
bertobat. Untuk memperbaiki diri.”
Jalal
tertegun mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut istrinya. Dia
menggenggam kedua tangan istrinya dengan rasa haru. Dadanya menggelegak dengan
perasaan bahagia.
“Jodha!
Betul katamu! Harusnya aku tidak menyesali nasib! Harusnya aku memikirkan
perjalanan rumah tangga kita selanjutnya!” Usai berkata begitu, Jalal memeluk Jodha.
“Ya, Allah! Terima kasih! Kau limpahkan aku dengan karunia-Mu! Kau beri aku
mukjizat-Mu! Seorang istri yang selain cantik, juga salehah!”
Jodha
menatapnya dengan bahagia.
“Tidak baik
kita berlama-lama di sini!” Jalal menarik Jodha untuk pergi.
“Siapa
suruh!” Jodha tersenyum.
Jalal
tersenyum.
“Sudah lama
aku nggak ngelihat kamu tersenyum!”
Kini Jalal
tertawa.
“Apa lagi
tertawa.”
“Ya! Sejak
Bapak wafat, aku jadi sulit untuk bergembira! Bawaannya tegang! Apa lagi kalau
ketemu Dicky! Pinginnya berantem melulu!”
“Mulai
sekarang, Kak Jalal harus selalu tersenyum di depanku! Syukursyukur tertawa!”
“Insya
Allah!” Jalal mengajak Jodha pergi.
Jodha hampir
saja tersandung batu nisan sebuah makam.
“Naik apa
kamu ke sini?”
“Becak!” Jodha
merajuk kesal.
“Kasihan!”
olok Jalal.
Jodha
mencubit lengan Jalal.
Kemesraan
dan kehangatan itu tumbuh lagi. Mereka menyusuri makammakam. Mereka
meninggalkan pemakaman itu untuk menuju masa depan yang lebih baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar