Minggu, 21 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 5 & 6– By Gola Gong


~Episode 5~

Cintaku bersemi pada-Mu
Pada sebuah nama kulabuhkan
letih dan segala sesal
Cinta ini bagaikan debu bagi-Mu
tetapi janjiku: akan kupersembahkan
debu cinta yang berserak

“Samiallahulimanhamidah rabbanalakalhamdu ... Allahu Akbar,” Jalal bersujud dengan khidmat. Seluruh hatinya merendah di hadapan Sang Khalik. Dia merasa, di selembar sajadah inilah tempat yang layak untuk berserah diri. Dia pun berharap suatu saat kelak, mendapat tempat di sisi-Nya!

Jodha mengikuti gerakan-gerakan shalat suaminya dengan hati yang khusyuk. Bersujud baginya adalah satu cara untuk memohon ampun pada Allah dengan segenap ketulusan. Dengan segenap keikhlasan.

Dua manusia yang sedang menapakkan kaki di bahtera rumah tangga itu sedang bersimpuh di depan Sang Khalik. Sajadah mereka yang panjang basah oleh air mata dan doa mereka. Para malaikat menjadi saksi, betapa dengan sepenuh hati mereka berserah diri pada Sang Pencipta! Mereka merasa dengan cara seperti ini, semakin dekat dengan Sang Khalik. Di sanalah sebetulnya mereka meminta untuk ditempatkan kelak, di sisi-Nya! Di tempat dambaan semua orang: surga! Tempat di sana ada sungai susu dan taman yang indah!

“Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...,” Jalal mengucapkan salam.

Jodha yang menjadi makmum mengikuti. Dia mengusap wajahnya. Ya, Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berkahilah rumah tangga kami ini sehingga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Ridhailah niat baik kami ini!

Setelah itu Jalal menoleh dan mengulurkan tangannya. Jodha menyalaminya sambil mencium punggung tangan suaminya. Itu pertanda rasa hormat seorang istri pada suaminya sebagai pemimpin rumah tangga. Lalu mereka berzikir dan mendoakan orangtua mereka yang berada di alam kubur.

Mereka meminta pada Allah, agar kedua orangtua juga saudara-saudara mereka yang telah berpulang, diberi ampunan dan dibebaskan dari siksa kubur. Ditempatkan di sisi-Nya! Amien ya rabbal alamien….. Setelah selesai berdoa, Jalal menggeser tempat duduknya agak mundur. Dia memiringkan badannya. Dia bersila. Kopiahnya dibuka. Sedangkan Jodha membuka mukenanya. Jalal kini menyaksikan lagi anugerah Allah Yang Mahaagung, yaitu kecantikan euro-asia yang terpancar dari wajah Jodha. Subhanallah ..., Jalal memuji Sang Khalik atas karunia yang sudah diperolehnya. Karunia yang awalnya dimiliki kakaknya, Hakim. Tiba-tiba perasaan bersalah kembali menusuki hatinya.

“Aku merasa sangat berdosa pada Hakim,” Jalal melontarkan batu yang menghimpit jiwanya.

“Kak Jalal sudah berulangkali mengatakannya,” Jodha tersenyum, mencoba menghibur suaminya.

Jalal tidak peduli. “Hakim ..., dia kakakku yang berhati mulia,” Jalal menengadah ke langit-langit kamar. Matanya berkaca-kaca. “Ya Allah ... sekarang mata hatiku mulai terbuka lebar….. Ya Rabbi. ...Betapa sulitnya posisi Hakim saat itu…..”

“Jangankan Kak Hakim. Posisiku juga sulit saat itu,” Jodha mengingatkan suaminya.

Jalal tertegun. Dia menatap Jodha. “Ya ..., kamu juga dalam posisi sulit saat itu. Bodohnya, aku baru bisa merasakannya sekarang. Andai saja waktu itu .…”

“Kamu tahu, Kak Jalal Aku sangat mencintai kamu. Tapi, sebelum meninggal ...Pak Haji menyuruhku untuk menikah dengan Kak Hakim,” Jodha melipat mukena. “Aku tidak ingin jadi anak durhaka yang tidak tahu membalas budi.”

“Ya,” Jalal menggenggam tangannya. “Tindakanmu sudah tepat.”

“Aku menganggap, pernikahanku dengan Kak Hakim adalah suatu ibadah. Suatu anugerah. Kak Hakim lelaki yang baik di mataku. Sampai sekarang pun tetap begitu. Sampai kapan pun.”

“Aku justru yang merasa bersalah dengan kepergian Bapak dan Hakim,” suara Jalal terganjal di kerongkongan. “Terlebih-lebih jika aku ingat Hakim. Hakim pergi dikarenakan kebodohanku.”

“Itu sudah suratan nasib…..”

“Andai saja aku mau bersabar, dengan memberinya kesempatan untuk bicara. Ya Allah ..., dosaku tidak terampuni,” Jalal menitikkan air mata.

“Kak Jalal,” giliran Jodha menggenggam tangan suaminya. “Kamu jangan terlalu menyalahkan diri sendiri.”

“Bagaimana tidak, Jodha?” Jalal menatapnya. “Hakim ternyata sangat melindungi kamu. Bahkan menyentuh kamu pun tidak. Dibiarkannya kamu tetap suci. Padahal kamu sudah sah sebagai istrinya,” Jalal menarik napas.

“Hakim tidak bersalah merahasiakan pernikahannya dengan Namlok Sarachipat. Dia hanya ingin menjadi anak yang baik. Seperti juga kamu.”

“Sudahlah, Kak Jalal ..., jangan tenggelam dengan kesalahan yang sudah diperbuat. Yang paling baik sekarang, adalah menata hidup kita. Membina rumah tangga kita supaya sakinah.”

“Tapi, aku sangat gegabah menilai Hakim saat itu. Aku terbawa emosi karena Hakim mengkhianati kamu. Menyakiti kamu.”

“Kak Jalal ..., jangan terlalu merasa bersalah…..”

“Ya, Allah. .., andai rotasi bumi ini bisa aku putar,” Jalal mengusap wajahnya.

“Itu menyalahi takdir, namanya…..”

“Aku manusia yang kotor,” Jalal menenggelamkan wajahnya di pelukan Jodha.

“Jangan berkecil hati, Kak Jalal ...,” Jodha mengusap-usap rambut Jalal.

“Allah Maha Pengasih. Dia mengetahui apa yang ada di hati hamba-hamba-Nya,” tambahnya menenangkan hati suaminya. Matanya berkaca-kaca.

Jalal mendekap erat wanita yang sejak dahulu dia cintai. Matanya juga berkaca-kaca. Dadanya bergejolak kencang, sekencang ombak pasang malam hari yang memukuli karang di luar sana. Setiap ingat perlakuan kasarnya yang menyebabkan kematian Hakim, bulu kuduknya berdiri. Hatinya terajam. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini! Hamba khilaf!

“Kak Jalal ..., sudah ...Kamu lelaki. Kamu pemimpin di rumah ini. Kalau kamu rapuh, kepada siapa aku meminta perlindungan?”

Jalal menyeka air matanya. Dia menatap istrinya yang sudah sering mengalami cobaan hidup yang berat. “Aku akan melindungi kamu,” katanya tegas. “Tentu atas pertolongan Allah,” tambahnya.

“Alhamdulillah ..., kalimat itulah yang aku tunggu,” Jodha mengecup kening suaminya.

Jalal bangkit. Dia duduk di tepian ranjang. “Sekarang milikku yang berharga tinggal kamu, Jodha. Orang-orang yang aku cintaii Ibu, Bapak, dan Hakim, sudah dipanggil Allah,” dia berhenti dan menatap Jodha yang masih duduk di sajadah. “Apa pun yang akan terjadi, aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk melindungi kamu….”

Jodha juga bangkit sambil menatap suaminya dengan perasaan bahagia. Jodha tahu, suaminya tidak main-main ketika mengatakan kalimat tadi. Ada nyawa dipertaruhkan di sana. Nyawa suaminya sendiri.

~Episode 6~

Jalan panjang menuju harapan
Semak berduri terkadang penghalang
Bismillah, jadikan hati bersih nan lapang
Alhamdulillah ingatkan pada Sang Penyayang

Alam Banten di ujung tahun sedang bersahabat dengan para petani. Hujan mengguyur seharian. Tak kenal waktu, terkadang pagi, malam, atau siang. Sawah-sawah menebarkan wewangian lumpur, kodok-kodok menembang lagu hujan, itik-itik bercengkerama di sawah yang tergenang menyerupai danau, kerbau-kerbau bermandi lumpur, dan para petani menebar benih padi. Mereka membungkuk seperti sedang shalat. Di sana ada keringat yang ditanam. Insya Allah, tiga atau empat bulan, Allah meridhai rezeki mereka dengan hasil panen yang bagus. Jika Allah berkehendak lain, didatangkan-Nya ujian banjir: panen raya gagal! Tetapi dengan rasa ikhlas, para petani itu terus saja menanam benih padi lagi, tak mengenal lelah dan tak mengenal putus asa. Mereka ternyata termasuk orang.orang yang memahami QS Al-Insyirah [94]: 7-8, apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka kerja keraslah kamu (dengan urusan yang lain). Dan kepada Tuhanmulah kamu berharap.

Kilat menggelegar! Langit sore yang mendung terang sekejap.

Sebuah mobil berhenti di depan pemakaman umum. Pengemudinya Jalal. Dia tampak berpikir keras sebelum keluar dari mobil. Tiba-tiba dia terperanjat karena suara petir menggelegar menampar jiwanya. Hatinya tergoncang. Dia merasa Tuhan sedang memperingatkannya bahwa pada akhirnya nanti, tempat ini akan jadi alamatnya terakhir; terbaring kaku di dalam tanah berukuran kurang lebih dua kali 1 meter! Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah…. Jalal mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Jalal melihat ke langit. Hari memang sudah sore. Langit mendung. Angin berkesiur kencang. Sang Khalik seolah mengingatkannya untuk sesegera mungkin menyelesaikan urusannya. Kalau tidak, hujan akan menjadi penghalang tujuannya. Dia mengitari pandang. Dia merasakan angin menghantam tubuhnya. Dingin di sekujur tubuhnya.

Bismillahirrahmanirrahim ..., Jalal membuka pintu mobil. Dia berjalan memasuki pintu gerbang pemakaman. Tidak ada orang. Sepi. Dia berjalan dengan hati-hati di jalan setapak yang terjepit oleh makam-makam. Jiwanya langsung terhimpit oleh perasaan ketakutan. Kedua kakinya menginjak dedaunan kering. Angin berkesiur seperti ditiupkan dengan sengaja oleh para iblis yang berkeliaran di kuburan. Para iblis yang dengan sengaja mengajak para cucu Adam untuk menjadi musyrik dan kufur di kuburan.

Jalal berhenti. Dia merasakan dadanya sesak. Dia merasakan pemakaman umum ini menyergapnya!! Dia merasakan para iblis membetotnya agar mau menjadi temannya!

Jalal melangkah lagi. Daun-daun yang warnanya kecokelatan, pertanda sudah berumur, beterbangan ke segala arah. Bahkan ada yang menampar ke wajahnya. Dalam sekejap, hawa kematian langsung menyergapnya! Menikam seperti pisau! Dia mencoba berlindung pada Allah lewat doa-doa, ketika kakinya melewati jalan setapak di antara makam-makam. Dia mencari-cari makam kakaknya yang bersanding dengan makam bapak dan ibunya.

Jalal berdiri tepekur!

Hening.

Matanya mulai digenangi air.

Ketiga makam itu adalah orang-orang yang dicintainya. Yang pertama pergi adalah ibunya. Beliau wafat setelah melahirkannya. Begitu kata bapaknya.

Sepanjang hidupnya, Jalal tidak pernah mengenal ibunya. Kemudian Allah memanggil bapaknya lewat suatu pembunuhan yang direncanakan Dicky.

Terakhir, dirinyalah yang menyebabkan kakaknya meninggal. Visum dari dokter, Hakim meninggal karena serangan jantung! Ya Rabbi, tempatkanlah mereka di sisi-Mu. Damaikanlah mereka di alam kubur. Jauhkanlah mereka dari siksa kubur. Pada saatnya nanti Israfil meniup terompet pertanda kiamat tiba, bangunkanlah mereka seperti terbangun dari mimpi yang indah!

Ya Allah Yang Maha Pengasih, kabulkanlah doaku ini!

Jalal mencabuti rumput yang meranggas di makam ibunya. Dia cabuti sambil meneteskan air mata. Dia merasa ketika mencabuti rumput itu, seperti sedang menyentuh jari-jari ibunya. Seperti sedang merasakan kasih sayang ibunya yang tak pernah dia dapatkan. Dia juga berharap, air matanya yang jatuh akan terus merembes menembus tanah dan bisa menghangatkan jasad ibunya. Kemudian dia menyirami pusara ibunya dengan air kendi.

Tampak tanah merah itu kini segar. Usai itu, dia melakukan hal yang sama pada makam bapaknya. Kemudian pada makam kakaknya.

Jalal terdiam lagi. Dia memandangi ketiga makam orang-orang yang dia cintai. Dadanya bergolak. Air matanya jebol lagi membasahi pipinya. Dia betul-betul ingin merengkuh ketiganya. Ingin mendekapnya dalam sebuah doa.

Suara daun kering terdengar gemerisik. Ada kaki yang menginjaknya.

Jalal tertegun.

“Kita pulang, Kak Jalal,” tiba-tiba Jodha sudah berdiri di belakangnya.

Jalal kaget. Dia tidak menyangka Jodha ada di sini. Dia bangkit.

“Sedang apa di sini?” selidik Jodha.

“Sedang menyesali nasib,” Jalal terisak.

“Kak Jalal!”

“Sejak malam pengantin, aku merasa dikejar perasaan bersalah. Perasaan berdosa. Aku jadi tahu, bahwa Hakim ternyata lebih baik dari yang aku kira. Dia hanya berada pada posisi yang sulit saat itu. Seharusnya, aku membantunya agar lepas dari masalah itu. Tapi, mana aku tahu? Dia tidak pernah bercerita padaku tentang Namlok Sarachipat dan Siti Aisyah.”

“Itulah sebabnya, kenapa Hakim lebih cepat dipanggil Allah. Bukankah orang baik selalu cepat pergi?”

“Berarti aku bukan orang baik.”

“Bukan begitu maksudku. Setidak-tidaknya, kamu masih diberi kesempatan oleh Allah untuk memohon ampunan. Untuk memperbaiki segala amal dan ibadah kamu. Itu artinya, kita harus bersyukur karena Allah memberimu banyak waktu untuk bertobat. Untuk memperbaiki diri.”

Jalal tertegun mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut istrinya. Dia menggenggam kedua tangan istrinya dengan rasa haru. Dadanya menggelegak dengan perasaan bahagia.

“Jodha! Betul katamu! Harusnya aku tidak menyesali nasib! Harusnya aku memikirkan perjalanan rumah tangga kita selanjutnya!” Usai berkata begitu, Jalal memeluk Jodha. “Ya, Allah! Terima kasih! Kau limpahkan aku dengan karunia-Mu! Kau beri aku mukjizat-Mu! Seorang istri yang selain cantik, juga salehah!”

Jodha menatapnya dengan bahagia.

“Tidak baik kita berlama-lama di sini!” Jalal menarik Jodha untuk pergi.

“Siapa suruh!” Jodha tersenyum.

Jalal tersenyum.

“Sudah lama aku nggak ngelihat kamu tersenyum!”

Kini Jalal tertawa.

“Apa lagi tertawa.”

“Ya! Sejak Bapak wafat, aku jadi sulit untuk bergembira! Bawaannya tegang! Apa lagi kalau ketemu Dicky! Pinginnya berantem melulu!”

“Mulai sekarang, Kak Jalal harus selalu tersenyum di depanku! Syukursyukur tertawa!”

“Insya Allah!” Jalal mengajak Jodha pergi.

Jodha hampir saja tersandung batu nisan sebuah makam.

“Naik apa kamu ke sini?”

“Becak!” Jodha merajuk kesal.

“Kasihan!” olok Jalal.

Jodha mencubit lengan Jalal.

Kemesraan dan kehangatan itu tumbuh lagi. Mereka menyusuri makammakam. Mereka meninggalkan pemakaman itu untuk menuju masa depan yang lebih baik


Tidak ada komentar:

Posting Komentar