Sabtu, 27 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 31 s/d 33 – By Gola Gong

~Episode 31~

Al Fatihah!
Lindungi aku, ya Allah
Al Fatihah!
Pada-mu kumohon pertolongan
Al Fatihah!
Tuntun jalanku, ya Rabbi!
Al Fatihah!
Jembatan itu terbentang sudah

Jalal menuju ruangan khusus di restoran sambil menuntun Faqih. Ruangan itu untuk tamu-tamu penting. Biasanya jika mereka melakukan pertemuan sambil makan siang, di sinilah tempatnya. Terlindung dari keramaian dan langsung menghadap pantai. Jodha dan Nur menyusul di belakangnya. Mereka ada janji bertemu dengan Dicky.

Semalam, Dicky menelepon Jalal. Dia meminta bertemu di sini. Katanya ada hal yang sangat penting menyangkut ayahnya. Awalnya Jalal tidak tertarik. Tetapi, ketika dengan suara memelas Dicky menceritakan bahwa ayahnya sudah di ujung maut, Jalal meminta waktu untuk membicarakannya dahulu dengan Jodha.

“Sebaiknya kita terima tawaran Dicky,” begitu Jodha menyarankan.

“Kenapa?” Jalal masih keberatan saat itu.

“Karena mungkin saja Allah memberi kesempatan pada kita untuk meminta maaf pada Tuan Marabunta.”

“Apa? Meminta maaf? Apa nggak kebalik?” Jalal tertawa sinis.

“Jangan takabur dulu. Barangkali kita juga punya kesalahan yang nggak disengaja pada Tuan Marabunta.”

“Nggak mungkin! “

“Mungkin saja! Cobalah diingat-ingat. Lagian, nggak ada salahnya kan kita saling memaafkan?”

Jalal termenung.

“Ayolah, telepon Dicky, sana. Katakan, kita bersedia bertemu besok. Di restoran hotel kita.”

Jalal menggelengkan kepalanya.

“Kasihan Dicky. Dia mengemban amanah dari ayahnya, yang entah besok atau lusa masih hidup atau nggak untuk bisa bertemu dengan kita.”

“Nggak semudah itu.”

“Juga nggak sulit kan buat kita untuk menerima tawaran dia? Kan, kita nggak rugi apa-apa?”

Begitulah Jodha. Terus membujuk suaminya agar mau melakukan sesuatu perbuatan dengan iktikad baik. Dengan tulus dan ridha Allah semata. Dengan keikhlasan bahwa segalanya adalah kehendak Sang Khalik.

“Bagaimana?”

Akhirnya Jalal mengangguk. Betapa gembiranya Jodha melihat iktikad baik suaminya. Apalagi tanpa perlu disuruh lagi, suaminya langsung menghubungi Dicky lewat telepon. Mereka siap untuk bertemu di hotel Semenanjung.

Keputusan suaminya untuk menerima tawaran Dicky bertemu di sini sangatlah tepat. Itu tampak tergambar dari wajah Dicky sekarang. Betapa gembira dan bahagia Dicky, ketika melihat Jalal dan Jodha datang memenuhi undangannya.

“Assalamu’alaikum,” Dicky yang sejak tadi menunggu mereka, bangkit dari duduknya. Makan malamnya ludes. Wajahnya tidak lagi sesombong seperti biasanya.

“Wa’alaikum salam,” Jalal pun menjawabnya dengan tulus.

Dicky mengangguk hormat pada Jodha. Mereka bersalaman. Tampak ada perubahan perilaku di antara Jalal dan Dicky. Faqih dan Nur mendekati Dicky sambil mengulurkan tangannya. Dicky pun menyambut kedua anak itu dengan ramah dan gembira.

“Aku iri sama kalian!” kata Dicky menggendong Faqih. “Punya segala-galanya. Sedangkan aku, sendirian dan kesepian!”

Jalal dan Jodha hanya mendengarkan saja.

“Namamu Faqih, ya!” Dicky masih mengangkat tubuh Faqih .

“Iya, Om! “ Faqih menjerit-jerit kesenangan.

“Ganteng kamu!” Dicky memuji tulus.

“Ganteng kayak Bapak!” Faqih tertawa.

Dicky terharu ketika meletakkan Faqih. Dia menatap Jalal dan Jodha dengan tatapan sedih dan tertekan. Jodha memilih duduk di meja satunya lagi sambil mengawasi Nur dan Faqih yang bermain kejar-kejaran.

“Bagaimana kesehatan bapakmu, Dick?” Jalal duduk.

“Itulah, kenapa aku meminta kalian datang.”

“Ada yang bisa saya bantu?”

“Papa menyuruhku menemui kalian.”

“Untuk apa? Masih tertarik ngebeli hotel Semenanjung?” ledek Jalal.

“Boro-boro mikirin bisnis,” Dicky hanya meringis.

“Sorry, bercanda!”

“Iya, aku tahu.”

“Lantas, untuk apa?”

“Entahlah……”

“Nggak kamu tanyain?”

“Sudah. Tapi Papa bilang, ini urusan Papa sama kamu.”

Jalal terdiam. Dia menoleh ke istrinya, meminta pendapatnya. Tetapi, Jodha juga tertegun.

“Kalian keberatan?” Dicky merasa tak berdaya.

Jalal masih belum menjawab. Terbayang lagi kisah panjang yang pahit, ketika ayahnya masih hidup. Bagaimana saat itu Tuan Marabunta.

“Bapakmu dirawat di Tangerang, ya?” kali ini Jodha yang bersuara.

“Iya,” Dicky berharap sekali pada Jodha. Dia langsung mengambil pulpen di sakunya dan menuliskan lantai, serta nomor kamarnya di kertas menu. “Papa di sini dirawatnya. Aku berharap kalian bisa datang. Barangkali, ini adalah permintaan Papa yang terakhir.”

Jalal mengambil kertas itu. Membacanya. Di sana tertulis sebuah rumah sakit ternama di Karawaci, Tangerang. Lalu kertas itu diserahkannya pada Jodha.

“Aku mohon, please ...datanglah…..”

“Insya Allah, “ Jalal buka mulut juga.

“Aku akan sangat berterima kasih, jika kalian mau datang.”

“Ya, insya Allah!” Jalal menegaskan.

Dicky menatap Jalal dengan makna yang sangat sukar dilukiskan!

~Episode 32~

Cahaya, cahaya, cahaya!
Benderang, berpendar-pendar
kilau, silaukan mala:
lelap kutunggu cahaya-Mu!

Hujan sambung-menyambung. Bahkan kilat menggelegar. Pertanda alam murka pada ulah manusia. Keesokan harinya, di koran-koran pasti akan tersiar kabar, di beberapa daerah di bumi kita terkena banjir. Tanah longsor, air sungai meluap, tangis histeris para korban yang kehilangan harta bendanya, kemacetan lalu lintas Semuanya hanya karena air. Kata sebagian orang, air murka karena laju jalannya terhalang sehingga dia mencari jalan yang lain. Atau air tak bisa meresap ke dalam tanah. Itu bisa diakibatkan oleh sampah yang bikin pampat selokan, tanah resapan yang mulai berkurang, pohon-pohon yang ditebangi, bukit-bukit yang digunduli…..

Tak pernah lagi manusia bersahabat dengan alam-Nya! Yang ada hanya nafsu keserakahan merajalela di bumi ini. Para iblis menjadi komando sambil tertawa-tawa membawa obor neraka. Mereka menyemburkannya kepada umat Muhammad yang tak beriman; mari kita musnahkan bumi ini! Jangan bersisa. Jerit tangis terdengar di mana-mana!

“Astaghfirullah ...!” Jalal mematikan televisi. Berita malam itu membuat jiwanya bergetar. “Betapa hancur bumi kita ini,” katanya lagi.

“Kalau nonton berita, nonton aja. Jangan dimasukin ke hati. Bisa ikut pusing nanti,” Jodha meledek sambil mengelus-elus rambut Nur yang tidur di pangkuannya.

“Iya juga, sih. Mendingan cuek aja,” Jalal mengiyakan juga. “Emang gue pikirin!” tambahnya tertawa.

“Ssst ...,” Jodha mengingatkan suaminya agar jangan berisik.

Jalal tersadar. Dia memeriksa Faqih yang tertidur di lantai berkarpet.

“Sudah pada tidur, ya?” dia juga melihat ke Nur.

Jodha mengangguk.

Jalal dengan hati-hati memangku Faqih. Begitu juga Jodha dengan Nur di pangkuannya. Tetapi, Nur ternyata bangun lagi dan menangis minta dibuatkan susu. Jodha menurunkan Nur dan menuntunnya ke dapur.

Sedangkan Jalal membawa Faqih ke kamarnya. Jalal dan Jodha sejak dini membiasakan kedua anaknya tidur di kamarnya. Awalnya Jalal menemani Faqih tidur dengan dongengan. Begitu juga Jodha dengan Nur yang paling senang cerita tentang pengemis buta, yang ternyata malaikat. Pada pengemis malaikat itu, Nur suka berandai-andai minta istana boneka dan baju seperti Cinderela. Bahkan Jodha menciptakan lagunya untuk dinyanyikan bersama-sama. Begini liriknya:

~Episode 33~

Bu, Ibu minta uang
di luar ada pengemis
pengemisnya orang buta
katanya haus dan lapar
Ini uang beri ke pengemis
nasi sayur air dan ikan
bilang sama pengemis
tiap minggu suruh ke sini

Jika Jodha bercerita tentang pengemis malaikat, Nur akan memulainya dengan menyanyi dahulu. Biasanya kalau belum tidur, Faqih juga ikut mendengarkan dan menyanyi bersama kakaknya. Keesokan harinya, kalau ada pengemis sungguhan berdiri di pintu gerbang rumah, Nur dan Faqih berebut menjadi yang pertama memberikan uang serta seliter beras. Terkadang Nur suka mendorong Faqih, supaya jangan ikut-ikutan. Atau lain hari, Faqih yang memukul Nur. Pengemis itu diam-diam suka tersenyum melihat tingkah polah kakak beradik itu. Pak Soleh dan Bik Marhamahlah yang biasanya ketiban repot, memisahkan mereka agar jangan berkelahi.

“Nanti-nanti, bawa temannya ke sini,” bisik Pak Soleh pada pengemis itu.

Setelah kejadian itu, pengemis itu datang selalu berdua. Nur dan Faqih pun bisa berlari-lari gembira membawa segelas beras dan uang recehan ke pintu gerbang. Biasanya ketika pengemis itu pergi, Faqih paling lantang berteriak, “Sampai jumpa! Nanti ke sini lagi, ya!”

Begitulah Nur dan Faqih. Mereka selalu diberi dongengan yang mengajarkan pedidikan moral sejak dini. Secara halus dan dengan cara bermain atau bernyanyi. Terlebih-lebih Nur, yang kini makin mengerti dan maunya makin banyak saja. Dia tidak akan pernah bisa tidur, sebelum ibunya mendongeng.

Seperti malam ini. Setelah Nur minum susu, dia minta dongengan pengemis malaikat itu. Jodha berbaring. Nur memeluknya. Mulailah Jodha bercerita tentang keluarga kaya, yang tidak mau berbagi rezeki pada tetangganya yang miskin. Suatu hari datanglah pengemis buta ke rumahnya. Pengemis itu diusir. Tetangganya yang miskin melihat pengemis buta itu. Diberinya minum air putih pengemis itu. Juga nasi dengan lauk ala kadarnya. Sebelum pergi, pengemis buta itu bertanya pada si miskin. “Bapak minta apa?” Si miskin itu menjawab, “Saya hanya butuh pekerjaan tetap, supaya bisa menafkahi anak dan istri saya.” Keesokannya orang kaya itu jatuh miskin, dan si miskin itu mendapatkan pekerjaan sehingga hidupnya makmur sentosa. Ternyata, pengemis buta itu malaikat.

“Cerita pengemis malaikatnya udah, ya ...,” Jodha membelai kepala Nur yang sudah mengantuk. “Sekarang Nur bobo dulu…..”

Nur tidak bereaksi.

Jalal mengintip di celah pintu kamar. Jodha bangkit secara perlahan dari tempat tidur. Diselimutinya tubuh Nur. Tetapi, baru beberapa langkah saja, Jodha terhuyung-huyung. Dia merasakan kepalanya pening dan nyeri di perutnya. Jalal segera masuk dan menahan tubuhnya.

“Jodha, kenapa kamu?” katanya pelan dengan wajah cemas.

“Nggak tahu, nih ...,” Jodha berjalan ke luar kamar. “Kok, tiba-tiba kepala saya pusing. Di perut sebelah sini nih ..., kok sakit sekali ...,” dia menunjuk ke bagian tempat hati manusia berada.

Jalal tiba-tiba saja merasa cemas!

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar