Al Fatihah!
Lindungi aku, ya Allah
Al Fatihah!
Pada-mu kumohon pertolongan
Al Fatihah!
Tuntun jalanku, ya Rabbi!
Al Fatihah!
Jembatan itu terbentang sudah
Jalal menuju
ruangan khusus di restoran sambil menuntun Faqih. Ruangan itu untuk tamu-tamu
penting. Biasanya jika mereka melakukan pertemuan sambil makan siang, di
sinilah tempatnya. Terlindung dari keramaian dan langsung menghadap pantai. Jodha
dan Nur menyusul di belakangnya. Mereka ada janji bertemu dengan Dicky.
Semalam,
Dicky menelepon Jalal. Dia meminta bertemu di sini. Katanya ada hal yang sangat
penting menyangkut ayahnya. Awalnya Jalal tidak tertarik. Tetapi, ketika dengan
suara memelas Dicky menceritakan bahwa ayahnya sudah di ujung maut, Jalal
meminta waktu untuk membicarakannya dahulu dengan Jodha.
“Sebaiknya
kita terima tawaran Dicky,” begitu Jodha menyarankan.
“Kenapa?” Jalal
masih keberatan saat itu.
“Karena
mungkin saja Allah memberi kesempatan pada kita untuk meminta maaf pada Tuan
Marabunta.”
“Apa?
Meminta maaf? Apa nggak kebalik?” Jalal tertawa sinis.
“Jangan
takabur dulu. Barangkali kita juga punya kesalahan yang nggak disengaja pada
Tuan Marabunta.”
“Nggak
mungkin! “
“Mungkin
saja! Cobalah diingat-ingat. Lagian, nggak ada salahnya kan kita saling
memaafkan?”
Jalal
termenung.
“Ayolah,
telepon Dicky, sana. Katakan, kita bersedia bertemu besok. Di restoran hotel
kita.”
Jalal
menggelengkan kepalanya.
“Kasihan
Dicky. Dia mengemban amanah dari ayahnya, yang entah besok atau lusa masih
hidup atau nggak untuk bisa bertemu dengan kita.”
“Nggak
semudah itu.”
“Juga nggak
sulit kan buat kita untuk menerima tawaran dia? Kan, kita nggak rugi apa-apa?”
Begitulah Jodha.
Terus membujuk suaminya agar mau melakukan sesuatu perbuatan dengan iktikad
baik. Dengan tulus dan ridha Allah semata. Dengan keikhlasan bahwa segalanya
adalah kehendak Sang Khalik.
“Bagaimana?”
Akhirnya Jalal
mengangguk. Betapa gembiranya Jodha melihat iktikad baik suaminya. Apalagi
tanpa perlu disuruh lagi, suaminya langsung menghubungi Dicky lewat telepon.
Mereka siap untuk bertemu di hotel Semenanjung.
Keputusan
suaminya untuk menerima tawaran Dicky bertemu di sini sangatlah tepat. Itu
tampak tergambar dari wajah Dicky sekarang. Betapa gembira dan bahagia Dicky,
ketika melihat Jalal dan Jodha datang memenuhi undangannya.
“Assalamu’alaikum,”
Dicky yang sejak tadi menunggu mereka, bangkit dari duduknya. Makan malamnya
ludes. Wajahnya tidak lagi sesombong seperti biasanya.
“Wa’alaikum
salam,” Jalal pun menjawabnya dengan tulus.
Dicky
mengangguk hormat pada Jodha. Mereka bersalaman. Tampak ada perubahan perilaku
di antara Jalal dan Dicky. Faqih dan Nur mendekati Dicky sambil mengulurkan
tangannya. Dicky pun menyambut kedua anak itu dengan ramah dan gembira.
“Aku iri
sama kalian!” kata Dicky menggendong Faqih. “Punya segala-galanya. Sedangkan
aku, sendirian dan kesepian!”
Jalal dan Jodha
hanya mendengarkan saja.
“Namamu
Faqih, ya!” Dicky masih mengangkat tubuh Faqih .
“Iya, Om! “
Faqih menjerit-jerit kesenangan.
“Ganteng
kamu!” Dicky memuji tulus.
“Ganteng
kayak Bapak!” Faqih tertawa.
Dicky
terharu ketika meletakkan Faqih. Dia menatap Jalal dan Jodha dengan tatapan
sedih dan tertekan. Jodha memilih duduk di meja satunya lagi sambil mengawasi
Nur dan Faqih yang bermain kejar-kejaran.
“Bagaimana
kesehatan bapakmu, Dick?” Jalal duduk.
“Itulah,
kenapa aku meminta kalian datang.”
“Ada yang
bisa saya bantu?”
“Papa
menyuruhku menemui kalian.”
“Untuk apa?
Masih tertarik ngebeli hotel Semenanjung?” ledek Jalal.
“Boro-boro
mikirin bisnis,” Dicky hanya meringis.
“Sorry,
bercanda!”
“Iya, aku
tahu.”
“Lantas,
untuk apa?”
“Entahlah……”
“Nggak kamu
tanyain?”
“Sudah. Tapi
Papa bilang, ini urusan Papa sama kamu.”
Jalal
terdiam. Dia menoleh ke istrinya, meminta pendapatnya. Tetapi, Jodha juga
tertegun.
“Kalian
keberatan?” Dicky merasa tak berdaya.
Jalal masih
belum menjawab. Terbayang lagi kisah panjang yang pahit, ketika ayahnya masih
hidup. Bagaimana saat itu Tuan Marabunta.
“Bapakmu
dirawat di Tangerang, ya?” kali ini Jodha yang bersuara.
“Iya,” Dicky
berharap sekali pada Jodha. Dia langsung mengambil pulpen di sakunya dan
menuliskan lantai, serta nomor kamarnya di kertas menu. “Papa di sini
dirawatnya. Aku berharap kalian bisa datang. Barangkali, ini adalah permintaan
Papa yang terakhir.”
Jalal
mengambil kertas itu. Membacanya. Di sana tertulis sebuah rumah sakit ternama
di Karawaci, Tangerang. Lalu kertas itu diserahkannya pada Jodha.
“Aku mohon,
please ...datanglah…..”
“Insya
Allah, “ Jalal buka mulut juga.
“Aku akan
sangat berterima kasih, jika kalian mau datang.”
“Ya, insya
Allah!” Jalal menegaskan.
Dicky
menatap Jalal dengan makna yang sangat sukar dilukiskan!
~Episode 32~
Cahaya, cahaya, cahaya!
Benderang, berpendar-pendar
kilau, silaukan mala:
lelap kutunggu cahaya-Mu!
Hujan
sambung-menyambung. Bahkan kilat menggelegar. Pertanda alam murka pada ulah
manusia. Keesokan harinya, di koran-koran pasti akan tersiar kabar, di beberapa
daerah di bumi kita terkena banjir. Tanah longsor, air sungai meluap, tangis
histeris para korban yang kehilangan harta bendanya, kemacetan lalu lintas
Semuanya hanya karena air. Kata sebagian orang, air murka karena laju jalannya
terhalang sehingga dia mencari jalan yang lain. Atau air tak bisa meresap ke
dalam tanah. Itu bisa diakibatkan oleh sampah yang bikin pampat selokan, tanah
resapan yang mulai berkurang, pohon-pohon yang ditebangi, bukit-bukit yang
digunduli…..
Tak pernah
lagi manusia bersahabat dengan alam-Nya! Yang ada hanya nafsu keserakahan
merajalela di bumi ini. Para iblis menjadi komando sambil tertawa-tawa membawa
obor neraka. Mereka menyemburkannya kepada umat Muhammad yang tak beriman; mari
kita musnahkan bumi ini! Jangan bersisa. Jerit tangis terdengar di mana-mana!
“Astaghfirullah
...!” Jalal mematikan televisi. Berita malam itu membuat jiwanya bergetar. “Betapa
hancur bumi kita ini,” katanya lagi.
“Kalau
nonton berita, nonton aja. Jangan dimasukin ke hati. Bisa ikut pusing nanti,” Jodha
meledek sambil mengelus-elus rambut Nur yang tidur di pangkuannya.
“Iya juga,
sih. Mendingan cuek aja,” Jalal mengiyakan juga. “Emang gue pikirin!” tambahnya
tertawa.
“Ssst ...,” Jodha
mengingatkan suaminya agar jangan berisik.
Jalal
tersadar. Dia memeriksa Faqih yang tertidur di lantai berkarpet.
“Sudah pada
tidur, ya?” dia juga melihat ke Nur.
Jodha
mengangguk.
Jalal dengan
hati-hati memangku Faqih. Begitu juga Jodha dengan Nur di pangkuannya. Tetapi,
Nur ternyata bangun lagi dan menangis minta dibuatkan susu. Jodha menurunkan
Nur dan menuntunnya ke dapur.
Sedangkan Jalal
membawa Faqih ke kamarnya. Jalal dan Jodha sejak dini membiasakan kedua anaknya
tidur di kamarnya. Awalnya Jalal menemani Faqih tidur dengan dongengan. Begitu
juga Jodha dengan Nur yang paling senang cerita tentang pengemis buta, yang
ternyata malaikat. Pada pengemis malaikat itu, Nur suka berandai-andai minta
istana boneka dan baju seperti Cinderela. Bahkan Jodha menciptakan lagunya
untuk dinyanyikan bersama-sama. Begini liriknya:
~Episode 33~
Bu, Ibu minta uang
di luar ada pengemis
pengemisnya orang buta
katanya haus dan lapar
Ini uang beri ke pengemis
nasi sayur air dan ikan
bilang sama pengemis
tiap minggu suruh ke sini
Jika Jodha
bercerita tentang pengemis malaikat, Nur akan memulainya dengan menyanyi
dahulu. Biasanya kalau belum tidur, Faqih juga ikut mendengarkan dan menyanyi
bersama kakaknya. Keesokan harinya, kalau ada pengemis sungguhan berdiri di
pintu gerbang rumah, Nur dan Faqih berebut menjadi yang pertama memberikan uang
serta seliter beras. Terkadang Nur suka mendorong Faqih, supaya jangan
ikut-ikutan. Atau lain hari, Faqih yang memukul Nur. Pengemis itu diam-diam
suka tersenyum melihat tingkah polah kakak beradik itu. Pak Soleh dan Bik
Marhamahlah yang biasanya ketiban repot, memisahkan mereka agar jangan
berkelahi.
“Nanti-nanti,
bawa temannya ke sini,” bisik Pak Soleh pada pengemis itu.
Setelah
kejadian itu, pengemis itu datang selalu berdua. Nur dan Faqih pun bisa
berlari-lari gembira membawa segelas beras dan uang recehan ke pintu gerbang.
Biasanya ketika pengemis itu pergi, Faqih paling lantang berteriak, “Sampai
jumpa! Nanti ke sini lagi, ya!”
Begitulah
Nur dan Faqih. Mereka selalu diberi dongengan yang mengajarkan pedidikan moral
sejak dini. Secara halus dan dengan cara bermain atau bernyanyi. Terlebih-lebih
Nur, yang kini makin mengerti dan maunya makin banyak saja. Dia tidak akan
pernah bisa tidur, sebelum ibunya mendongeng.
Seperti
malam ini. Setelah Nur minum susu, dia minta dongengan pengemis malaikat itu. Jodha
berbaring. Nur memeluknya. Mulailah Jodha bercerita tentang keluarga kaya, yang
tidak mau berbagi rezeki pada tetangganya yang miskin. Suatu hari datanglah
pengemis buta ke rumahnya. Pengemis itu diusir. Tetangganya yang miskin melihat
pengemis buta itu. Diberinya minum air putih pengemis itu. Juga nasi dengan
lauk ala kadarnya. Sebelum pergi, pengemis buta itu bertanya pada si miskin. “Bapak
minta apa?” Si miskin itu menjawab, “Saya hanya butuh pekerjaan tetap, supaya
bisa menafkahi anak dan istri saya.” Keesokannya orang kaya itu jatuh miskin, dan
si miskin itu mendapatkan pekerjaan sehingga hidupnya makmur sentosa. Ternyata,
pengemis buta itu malaikat.
“Cerita
pengemis malaikatnya udah, ya ...,” Jodha membelai kepala Nur yang sudah
mengantuk. “Sekarang Nur bobo dulu…..”
Nur tidak
bereaksi.
Jalal
mengintip di celah pintu kamar. Jodha bangkit secara perlahan dari tempat
tidur. Diselimutinya tubuh Nur. Tetapi, baru beberapa langkah saja, Jodha
terhuyung-huyung. Dia merasakan kepalanya pening dan nyeri di perutnya. Jalal
segera masuk dan menahan tubuhnya.
“Jodha,
kenapa kamu?” katanya pelan dengan wajah cemas.
“Nggak tahu,
nih ...,” Jodha berjalan ke luar kamar. “Kok, tiba-tiba kepala saya pusing. Di
perut sebelah sini nih ..., kok sakit sekali ...,” dia menunjuk ke bagian
tempat hati manusia berada.
Jalal
tiba-tiba saja merasa cemas!
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar