Takbir ini menyambutmu
Tasyahud ini menamaimu
Tahlil ini mengingatkanmu
Anugerah terindah dalam hidup:
Kuharap Ia selalu menyentuhmu!
Bayi merah
itu bergerak-gerak. Kain yang membedongnya membuat geraknya terbatas. Jalal
tampak bahagia sekali. Ketakutan akan kehilangan buah hatinya tidak terbukti.
Allah ternyata mempercayainya untuk mengemban amanah ini: menjadi seorang
bapak! Betapa besar rahmat dari Allah ini: seorang bayi perempuan! Oh, betapa
akan bahagia hidupku nanti! Mendengar suara tawa dan tangis seorang anak!
Mendengar dia memanggil: Bapak! Baginya, anak selain untuk meneruskan
keturunan, juga buat penambah semangat hidup.
Jalal
bersiap-siap hendak mengazani. Dia mengatur napasnya supaya tidak keras. Dia
tidak ingin membangunkan anaknya yang sedang tidur pulas.
Tetapi,
belum juga Jalal mengazani, saat itu Pak Hari Natadiningrat dan Natalia
menyeruak masuk.
“Assalamu’alaikum!”
Pak Hari tampak sangat gembira.
“Wa’alaikum
salam,” Jalal menundanya.
Natalia
menyerbu Jodha dan memeluknya dengan sukacita. “Jodha ..., aduh Kamu nggak
apa-apa, kan?”
Jodha
tersenyum.
“Mama
khawatir sekali….”
“Alhamdulillah,
semuanya lancar. Berkat doa Ibu sama Bapak,” Jodha bahagia sekali.
Sedangkan
Pak Hari menyalami Jalal dengan perasaan yang tidak terlukiskan. “Selamat, Jalal!
Kamu jadi bapak sekarang!” katanya. “Jangan lupa, kamu harus sesegera mungkin
memberi kabar pada Pak Hidayat dan Ibu!”
“Iya, Pak!” Jalal
mengangguk. Dia berjalan ke sudut dan menghubungi Pak Hidayat dengan
handphone-nya. “Assalamu’alaikum,” sapa Jalal. “Ya. Jalal, Pak ...,” katanya
tersenyum pada Jodha. “Alhamdulillah, sudah lahir, Pak. Perempuan. Sehat,
sehat,” dia mengabarkan. “Amin, amin…..,” dia mengangguk-angguk. “Ya, kami
tunggu, Pak….. Salam buat Ibu. Assalamu’alaikum,” dia mengakhiri percakapan.
“Kapan
mereka ke sini?” tanya Pak Hari.
“Insya
Allah, besok,” Jalal berjalan ke boks bayi.
“Perempuan
atau laki-laki?” Natalia mengikuti Jalal menuju boks bayi.
“Perempuan,
Bu,” jawab Jalal.
“Alhamdulillah,
perempuan, Papa!” Natalia memandangi bayi merah itu dengan mata berkaca-kaca. “Cantik
sekali!” pujinya terisak-isak. Sekelebat peristiwa ketika dia membuang bayi itu
muncul. Dan dia menangis saat itu juga!
“Papa jadi
kakek!” Pak Hari juga menangis.
“Mama jadi
nenek! Kita sudah semakin tua, Pa!” Natalia memeluk suaminya dan tangisnya
makin menjadi-jadi.
“Sudah,
Mama, sudah….. Ini kan hari kebahagiaan kita semua,” Pak Hari mencoba tersenyum
kepada Jalal dan Jodha. “Mamamu terlalu bahagia menyambut kedatangan cucunya,”
suara Pak Hari terbata-bata. “Cucu kami yang pertama….’
Jalal hanya
tersenyum dan mengangguk sambil menggenggam tangan Jodha. Mereka juga larut
dalam kebahagiaan sekaligus kesedihan. Mereka bisa merasakan apa yang sedang
dirasakan Pak Hari dan Natalia.
Para
malaikat pun turun menyelimutkan jubah kebahagiaanya. Mereka mengubah ruang
bersalin ini menjadi seperti di surga. Semua orang di dalamnya tampak
berseri-seri wajahnya, penuh kebahagiaan.
“Kalian
sudah memberinya nama?” Natalia mengingatkan.
Jalal
meminta pendapat Jodha.
“Siapa
namanya, Pak?” Jodha kini memanggil Jalal dengan sebutan “bapak”.
“Ibu saja
yang memberi nama,” Jalal pun memanggil Jodha dengan “ibu”.
“Bapak saja,”
Jodha tersenyum.
Jalal
mengangguk. Berpikir sebentar. Lalu, “Kunamai dia ‘Siti Nurkhalishah’. Bagaimana?
Ibu setuju?”
Jodha
mengangguk senang. “Siti Nurkhalishah?” Jodha manggut-manggut.
“Jelek?”
“Alhamdulillah.
Itu nama yang baik,” Jodha bahagia.
“Iya, itu
nama yang sangat baik. Semoga Siti Nurkhalishah menjadi anak yang saleh,”
Natalia mendoakan.
“Panggilannya
‘Nur’, ya?!” Pak Hari mengusulkan.
“Iya,
panggilannya ‘Nur’,” Jodha tidak keberatan. “Sekarang, ayo, azani anak kita,
Pak!” Jodha mengingatkan suaminya.
Jalal
mengangguk. Dia mendekati si bayi yang masih tertidur. Andai saja pancaindranya
sudah optimal bekerja, si bayi itu pasti akan makin bahagia karena dilahirkan
di antara keluarga yang bahagia menyambut kelahirannya.
Jalal
mendekatkan wajahnya ke telinga buah hatinya. “Allahu Akbar, Allahu Akbar….”
Bayi merah
itu tampak tersenyum. Dia seperti sudah paham betul arti dari azan yang
dikumandangkan bapaknya. Bibirnya bergerak-gerak dengan lucu. Wajahnya
berseri-seri. Kelopak matanya yang terpejam berdenyut-denyut seperti mau
membuka.
~Episode 16~
Ia memberi karunia sebuah hati
Kuat seperti baja
pun rapuh tertiup angin
Ia menciptakan rasa
Memberi wama pada darah
yang melaluinya:
menjelmalah di jalan-Nya!
Ekahan tiba.
Anak-anak kecil yatim piatu, berbondong-bondong memasuki halaman rumah Jalal.
Mereka tampak lucu-lucu dan riang gembira dengan sarung, peci, serta baju koko.
Mereka antre untuk mendapat jatah sekantung plastik makan siang dan amplop
berisi uang. Mereka tampak sangat gembira dan antusias menyambut peristiwa
syukuran kelahiran bayi bernama Siti Nurkhalishah!
“Ayo, ayo!
Antre yang baik, ya? Jangan berebut!” Pak Soleh memberi abaaba sambil merapikan
barisan anak-anak dalam satu lajur.
Namanya
anak-anak, selalu saja ada yang nakal. Selalu saja ada yang ingin menarik
perhatian. Dan selalu saja ada tangis serta tawa ria. Begitulah mereka,
anak-anak yang membuat orangtua selalu bahagia.
“Hey, kamu!”
Pak Soleh menegur. “Mau hadiah, nggak?”
“Mau, Pak!”
jawab si anak nakal yang sedari tadi hobinya merusak antrean.
“Kalau mau,
antre yang bener!” Pak Soleh menjewer telinganya dengan gemas. Jeweran sayang
seorang ayah kepada anaknya.
Jalal
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa. Bik Marhamah hanya tersenyum
sambil menyiapkan bingkisan yang akan dibagi-bagikan pada anak-anak yatim piatu
itu. Bingkisan berisi makan siang dengan daging kambing dan amplop berisi uang.
“Namanya siapa?”
tanya Jalal sambil mengucek-ucek rambut si anak.
“Iwan, Kak,”
jawabnya malu-malu.
“Sekolahnya,
kelas berapa?”
“Kelas lima
di ibtidaiyah, Kak ...”
“Wah, bagus,
bagus!” Jalal senang.
Terus
begitu, silih berganti, setiap anak mendapatkan sekantong plastik bingkisan. Jalal
dengan telaten melayani anak-anak yatim piatu itu. Pak Soleh dan Bik Marhamah
membantunya. Begitulah mereka mensyukuri nikmat Allah, saling berbagi
kegembiraan, kebahagiaan, dan saling memberi rezeki. Peristiwa itu tentu saja
dicibiri para iblis yang sejak tadi berusaha mengacaukan acara. Tetapi
ternyata, pengaruh para malaikat lebih kuat!
Sementara
itu di teras rumah, Jodha dirubung Pak Hari, Natalia, Pak Hidayat, serta
istrinya. Si bayi sedang menyusu. Mereka tampak sangat bahagia menyambut
kelahiran Siti Nurkhalishah. Bayi merah yang kepalanya sudah digunduli itu,
tampak merasa nyaman dalam dekapan si ibu serta limpahan kasih sayang
orang-orang terdekatnya.
Tetapi,
keindahan siang itu terusik oleh kedatangan sebuah mobil mewah. Semua orang
tertuju ke pintu gerbang. Jalal tampak gelisah. Jodha juga. Pak Hari dan
Natalia saling pandang, mencoba untuk memahami apa yang sedang terjadi.
Sedangkan Pak Hidayat dan istrinya berdoa!
Pintu mobil
terbuka.
Jalal
langsung bergerak dan berjalan menuju pintu gerbang. Dia melihat tatapan Jodha
yang mengingatkannya untuk tidak berbuat gegabah. Tetapi, dia seperti tidak
menggubris peringatan istrinya. Bahkan Pak Soleh pun tidak dipedulikannya.
“Jalal,
jangan emosi,” Pak Soleh mengingatkan.
“Terusin
pembagiannya, Pak!” itu saja perintah Jalal.
“Istighfar, Jalal,”
saran Pak Soleh.
Jalal keburu
berjalan mendekati pengemudi mobil mewah itu. Wajahnya langsung memerah
diliputi amarah. Dadanya berdebum-debum, menyimpan magma yang siap diledakkan.
“Assalamu’alaikum,
Jalal!” terdengar salam seseorang.
“Mau apa
kamu kemari, Dick?” Jalal langsung mencegatnya.
Ternyata
yang datang adalah Dicky. Di tangannya ada bunga dan kado yang besar. “Jawab
dulu salamku tadi, Jalal! Sesama Muslim, sebaiknya kita saling mendoakan!” dia
mengingatkan sambil tersenyum pada Jodha dan semua orang yang ada.
Jalal
menarik napas dengan kesal.
Dicky
berjalan menuju teras sambil berbicara, seolah-olah dia sudah menjadi orang
yang paling bijaksana. “Ayolah, Jalal! Lupakan yang sudahsudah. Pengalaman
selama di penjara membuatku berpikir lain tentang hidup. Percayalah. Aku sudah
berubah!” katanya tersenyum pada orangorang di teras rumah.
“Berubah?
Oh, ya?” Jalal mencibir.
“Ayo, jangan
sinis begitu, dong! Kamu jadi ‘bapak’ sekarang. Kamu juga harus mulai berubah
sikapnya, dong!” Jalal tertawa. “Iya, kan?” tanyanya pada Jodha dan semua
orang.
Jodha hanya
tersenyum mendengar kalimat-kalimat Dicky. Betapa berbeda sekarang walaupun
masih ada kesombongan di dalamnya. Tetapi, melihat wajah suaminya masih
menyimpan dendam, perasaannya tetap saja tidak nyaman.
“Terima
kasih. Sekarang, langsung ke persoalan. Ada apa kamu kemari?”
Jalal sudah
berdiri di depan Jodha. Dia merasa perlu untuk melindungi istrinya
“Saya ingin
ikut merasakan kegembiraan kalian. Menjadi seorang ayah dan ibu. Sebuah
keluarga bahagia. Dengan seorang anak. Laki-laki apa perempuan?”
“Perempuan,”
ketus suara Jalal.
“Selamat,
ya! “ Dicky mengulurkan lengan kanannya pada Jalal. Sementara itu, lengan
kirinya sibuk memegangi kado dan bunga.
Jalal
menyalami dengan kaku. Lalu Dicky menyerahkan kado dan bunga pada Jalal. Bik
Marhamah mengambil alih kado dan bunga dari tangan Jalal.
“Silakan,
ya! Kami mau membantu Pak Soleh dulu,” Pak Hari tersenyum pada Dicky.
“Oh,
silakan, Pak! Silakan!” Dicky mengangguk.
Pak Hari
mengajak Natalia, Pak Hidayat, dan istrinya untuk membantu membagi.bagikan
bingkisan kepada anak.anak yatim piatu. Di dalam hati mereka, sebetulnya ada
perasaan tidak nyaman. Mereka tahu sepak terjang Dicky dan ayahnya, Marabunta.
Mereka juga tahu bahwa antara Jalal dan Dicky sudah seperti anjing dan kucing.
Itu terjadi sejak kanak-kanak. Dan Jodha ada di tengah-tengah mereka.
“Apa lagi,
Dick?” Jalal tidak basa.basi.
“Silakan
duduk, Dick,” Jodha bersikap ramah sebagai tuan rumah.
“Jodha!” Jalal
menegur.
“Jalal, Jalal!
Ternyata kamu masih cemburu sama saya!” Dicky tertawa kecil sambil bertolak
pinggang. “Lihat istrimu! Walaupun saya pernah berbuat kurang ajar sama dia,
tapi dia tidak menaruh dendam. Dia menerima saya dengan penuh senyum!”
Jalal merasa
darahnya bergejolak.
Jodha merasa
makin tidak nyaman. Dia harus menuruti apa kata suami. “Maaf, aku ke dalam
dulu, Dick,” katanya.
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar