Selasa, 23 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 15 & 16 – By Gola Gong

~Episode 15~

Takbir ini menyambutmu
Tasyahud ini menamaimu
Tahlil ini mengingatkanmu
Anugerah terindah dalam hidup:
Kuharap Ia selalu menyentuhmu!

Bayi merah itu bergerak-gerak. Kain yang membedongnya membuat geraknya terbatas. Jalal tampak bahagia sekali. Ketakutan akan kehilangan buah hatinya tidak terbukti. Allah ternyata mempercayainya untuk mengemban amanah ini: menjadi seorang bapak! Betapa besar rahmat dari Allah ini: seorang bayi perempuan! Oh, betapa akan bahagia hidupku nanti! Mendengar suara tawa dan tangis seorang anak! Mendengar dia memanggil: Bapak! Baginya, anak selain untuk meneruskan keturunan, juga buat penambah semangat hidup.

Jalal bersiap-siap hendak mengazani. Dia mengatur napasnya supaya tidak keras. Dia tidak ingin membangunkan anaknya yang sedang tidur pulas.

Tetapi, belum juga Jalal mengazani, saat itu Pak Hari Natadiningrat dan Natalia menyeruak masuk.

“Assalamu’alaikum!” Pak Hari tampak sangat gembira.

“Wa’alaikum salam,” Jalal menundanya.

Natalia menyerbu Jodha dan memeluknya dengan sukacita. “Jodha ..., aduh Kamu nggak apa-apa, kan?”

Jodha tersenyum.

“Mama khawatir sekali….”

“Alhamdulillah, semuanya lancar. Berkat doa Ibu sama Bapak,” Jodha bahagia sekali.

Sedangkan Pak Hari menyalami Jalal dengan perasaan yang tidak terlukiskan. “Selamat, Jalal! Kamu jadi bapak sekarang!” katanya. “Jangan lupa, kamu harus sesegera mungkin memberi kabar pada Pak Hidayat dan Ibu!”

“Iya, Pak!” Jalal mengangguk. Dia berjalan ke sudut dan menghubungi Pak Hidayat dengan handphone-nya. “Assalamu’alaikum,” sapa Jalal. “Ya. Jalal, Pak ...,” katanya tersenyum pada Jodha. “Alhamdulillah, sudah lahir, Pak. Perempuan. Sehat, sehat,” dia mengabarkan. “Amin, amin…..,” dia mengangguk-angguk. “Ya, kami tunggu, Pak….. Salam buat Ibu. Assalamu’alaikum,” dia mengakhiri percakapan.

“Kapan mereka ke sini?” tanya Pak Hari.

“Insya Allah, besok,” Jalal berjalan ke boks bayi.

“Perempuan atau laki-laki?” Natalia mengikuti Jalal menuju boks bayi.

“Perempuan, Bu,” jawab Jalal.

“Alhamdulillah, perempuan, Papa!” Natalia memandangi bayi merah itu dengan mata berkaca-kaca. “Cantik sekali!” pujinya terisak-isak. Sekelebat peristiwa ketika dia membuang bayi itu muncul. Dan dia menangis saat itu juga!

“Papa jadi kakek!” Pak Hari juga menangis.

“Mama jadi nenek! Kita sudah semakin tua, Pa!” Natalia memeluk suaminya dan tangisnya makin menjadi-jadi.

“Sudah, Mama, sudah….. Ini kan hari kebahagiaan kita semua,” Pak Hari mencoba tersenyum kepada Jalal dan Jodha. “Mamamu terlalu bahagia menyambut kedatangan cucunya,” suara Pak Hari terbata-bata. “Cucu kami yang pertama….’

Jalal hanya tersenyum dan mengangguk sambil menggenggam tangan Jodha. Mereka juga larut dalam kebahagiaan sekaligus kesedihan. Mereka bisa merasakan apa yang sedang dirasakan Pak Hari dan Natalia.

Para malaikat pun turun menyelimutkan jubah kebahagiaanya. Mereka mengubah ruang bersalin ini menjadi seperti di surga. Semua orang di dalamnya tampak berseri-seri wajahnya, penuh kebahagiaan.

“Kalian sudah memberinya nama?” Natalia mengingatkan.

Jalal meminta pendapat Jodha.

“Siapa namanya, Pak?” Jodha kini memanggil Jalal dengan sebutan “bapak”.

“Ibu saja yang memberi nama,” Jalal pun memanggil Jodha dengan “ibu”.

“Bapak saja,” Jodha tersenyum.

Jalal mengangguk. Berpikir sebentar. Lalu, “Kunamai dia ‘Siti Nurkhalishah’. Bagaimana? Ibu setuju?”

Jodha mengangguk senang. “Siti Nurkhalishah?” Jodha manggut-manggut.

“Jelek?”

“Alhamdulillah. Itu nama yang baik,” Jodha bahagia.

“Iya, itu nama yang sangat baik. Semoga Siti Nurkhalishah menjadi anak yang saleh,” Natalia mendoakan.

“Panggilannya ‘Nur’, ya?!” Pak Hari mengusulkan.

“Iya, panggilannya ‘Nur’,” Jodha tidak keberatan. “Sekarang, ayo, azani anak kita, Pak!” Jodha mengingatkan suaminya.

Jalal mengangguk. Dia mendekati si bayi yang masih tertidur. Andai saja pancaindranya sudah optimal bekerja, si bayi itu pasti akan makin bahagia karena dilahirkan di antara keluarga yang bahagia menyambut kelahirannya.

Jalal mendekatkan wajahnya ke telinga buah hatinya. “Allahu Akbar, Allahu Akbar….”

Bayi merah itu tampak tersenyum. Dia seperti sudah paham betul arti dari azan yang dikumandangkan bapaknya. Bibirnya bergerak-gerak dengan lucu. Wajahnya berseri-seri. Kelopak matanya yang terpejam berdenyut-denyut seperti mau membuka.

~Episode 16~

Ia memberi karunia sebuah hati
Kuat seperti baja
pun rapuh tertiup angin
Ia menciptakan rasa
Memberi wama pada darah
yang melaluinya:
menjelmalah di jalan-Nya!

Ekahan tiba. Anak-anak kecil yatim piatu, berbondong-bondong memasuki halaman rumah Jalal. Mereka tampak lucu-lucu dan riang gembira dengan sarung, peci, serta baju koko. Mereka antre untuk mendapat jatah sekantung plastik makan siang dan amplop berisi uang. Mereka tampak sangat gembira dan antusias menyambut peristiwa syukuran kelahiran bayi bernama Siti Nurkhalishah!

“Ayo, ayo! Antre yang baik, ya? Jangan berebut!” Pak Soleh memberi abaaba sambil merapikan barisan anak-anak dalam satu lajur.

Namanya anak-anak, selalu saja ada yang nakal. Selalu saja ada yang ingin menarik perhatian. Dan selalu saja ada tangis serta tawa ria. Begitulah mereka, anak-anak yang membuat orangtua selalu bahagia.

“Hey, kamu!” Pak Soleh menegur. “Mau hadiah, nggak?”

“Mau, Pak!” jawab si anak nakal yang sedari tadi hobinya merusak antrean.

“Kalau mau, antre yang bener!” Pak Soleh menjewer telinganya dengan gemas. Jeweran sayang seorang ayah kepada anaknya.

Jalal menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa. Bik Marhamah hanya tersenyum sambil menyiapkan bingkisan yang akan dibagi-bagikan pada anak-anak yatim piatu itu. Bingkisan berisi makan siang dengan daging kambing dan amplop berisi uang.

“Namanya siapa?” tanya Jalal sambil mengucek-ucek rambut si anak.

“Iwan, Kak,” jawabnya malu-malu.

“Sekolahnya, kelas berapa?”

“Kelas lima di ibtidaiyah, Kak ...”

“Wah, bagus, bagus!” Jalal senang.

Terus begitu, silih berganti, setiap anak mendapatkan sekantong plastik bingkisan. Jalal dengan telaten melayani anak-anak yatim piatu itu. Pak Soleh dan Bik Marhamah membantunya. Begitulah mereka mensyukuri nikmat Allah, saling berbagi kegembiraan, kebahagiaan, dan saling memberi rezeki. Peristiwa itu tentu saja dicibiri para iblis yang sejak tadi berusaha mengacaukan acara. Tetapi ternyata, pengaruh para malaikat lebih kuat!

Sementara itu di teras rumah, Jodha dirubung Pak Hari, Natalia, Pak Hidayat, serta istrinya. Si bayi sedang menyusu. Mereka tampak sangat bahagia menyambut kelahiran Siti Nurkhalishah. Bayi merah yang kepalanya sudah digunduli itu, tampak merasa nyaman dalam dekapan si ibu serta limpahan kasih sayang orang-orang terdekatnya.

Tetapi, keindahan siang itu terusik oleh kedatangan sebuah mobil mewah. Semua orang tertuju ke pintu gerbang. Jalal tampak gelisah. Jodha juga. Pak Hari dan Natalia saling pandang, mencoba untuk memahami apa yang sedang terjadi. Sedangkan Pak Hidayat dan istrinya berdoa!

Pintu mobil terbuka.

Jalal langsung bergerak dan berjalan menuju pintu gerbang. Dia melihat tatapan Jodha yang mengingatkannya untuk tidak berbuat gegabah. Tetapi, dia seperti tidak menggubris peringatan istrinya. Bahkan Pak Soleh pun tidak dipedulikannya.

“Jalal, jangan emosi,” Pak Soleh mengingatkan.

“Terusin pembagiannya, Pak!” itu saja perintah Jalal.

“Istighfar, Jalal,” saran Pak Soleh.

Jalal keburu berjalan mendekati pengemudi mobil mewah itu. Wajahnya langsung memerah diliputi amarah. Dadanya berdebum-debum, menyimpan magma yang siap diledakkan.

“Assalamu’alaikum, Jalal!” terdengar salam seseorang.

“Mau apa kamu kemari, Dick?” Jalal langsung mencegatnya.

Ternyata yang datang adalah Dicky. Di tangannya ada bunga dan kado yang besar. “Jawab dulu salamku tadi, Jalal! Sesama Muslim, sebaiknya kita saling mendoakan!” dia mengingatkan sambil tersenyum pada Jodha dan semua orang yang ada.

Jalal menarik napas dengan kesal.

Dicky berjalan menuju teras sambil berbicara, seolah-olah dia sudah menjadi orang yang paling bijaksana. “Ayolah, Jalal! Lupakan yang sudahsudah. Pengalaman selama di penjara membuatku berpikir lain tentang hidup. Percayalah. Aku sudah berubah!” katanya tersenyum pada orangorang di teras rumah.

“Berubah? Oh, ya?” Jalal mencibir.

“Ayo, jangan sinis begitu, dong! Kamu jadi ‘bapak’ sekarang. Kamu juga harus mulai berubah sikapnya, dong!” Jalal tertawa. “Iya, kan?” tanyanya pada Jodha dan semua orang.

Jodha hanya tersenyum mendengar kalimat-kalimat Dicky. Betapa berbeda sekarang walaupun masih ada kesombongan di dalamnya. Tetapi, melihat wajah suaminya masih menyimpan dendam, perasaannya tetap saja tidak nyaman.

“Terima kasih. Sekarang, langsung ke persoalan. Ada apa kamu kemari?”

Jalal sudah berdiri di depan Jodha. Dia merasa perlu untuk melindungi istrinya

“Saya ingin ikut merasakan kegembiraan kalian. Menjadi seorang ayah dan ibu. Sebuah keluarga bahagia. Dengan seorang anak. Laki-laki apa perempuan?”

“Perempuan,” ketus suara Jalal.

“Selamat, ya! “ Dicky mengulurkan lengan kanannya pada Jalal. Sementara itu, lengan kirinya sibuk memegangi kado dan bunga.

Jalal menyalami dengan kaku. Lalu Dicky menyerahkan kado dan bunga pada Jalal. Bik Marhamah mengambil alih kado dan bunga dari tangan Jalal.

“Silakan, ya! Kami mau membantu Pak Soleh dulu,” Pak Hari tersenyum pada Dicky.

“Oh, silakan, Pak! Silakan!” Dicky mengangguk.

Pak Hari mengajak Natalia, Pak Hidayat, dan istrinya untuk membantu membagi.bagikan bingkisan kepada anak.anak yatim piatu. Di dalam hati mereka, sebetulnya ada perasaan tidak nyaman. Mereka tahu sepak terjang Dicky dan ayahnya, Marabunta. Mereka juga tahu bahwa antara Jalal dan Dicky sudah seperti anjing dan kucing. Itu terjadi sejak kanak-kanak. Dan Jodha ada di tengah-tengah mereka.

“Apa lagi, Dick?” Jalal tidak basa.basi.

“Silakan duduk, Dick,” Jodha bersikap ramah sebagai tuan rumah.

“Jodha!” Jalal menegur.

“Jalal, Jalal! Ternyata kamu masih cemburu sama saya!” Dicky tertawa kecil sambil bertolak pinggang. “Lihat istrimu! Walaupun saya pernah berbuat kurang ajar sama dia, tapi dia tidak menaruh dendam. Dia menerima saya dengan penuh senyum!”

Jalal merasa darahnya bergejolak.

Jodha merasa makin tidak nyaman. Dia harus menuruti apa kata suami. “Maaf, aku ke dalam dulu, Dick,” katanya.

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar