Kujemput ridha-Mu dalam sakit ini
Setiap menahan napas
Tetes keringat yang tersisa
Mantra dan puja-puji
Memohon kekuatan ajaib
Merasuk nadi dan darah:
Kelak di sisi-Mu surga!
Pak Hari memarkir
mobilnya di klinik Firdaus, sebuah rumah bersalin cukup ternama di Cilegon. Jalal
bergegas turun dan berlari ke lobi. Jalal mengabarkan pada para suster jaga di
front office bahwa istrinya akan melahirkan. Pada saat itu juga dari ruangan
dalam, muncul seorang lelaki yang menangis histeris. Lelaki itu dipapah oleh
ayahnya. Jalal tertegun memperhatikan mereka!
“Ya Allah,
kenapa Kau panggil Neng Kokom!” teriaknya dalam tangis.
“Istighfar,
Ujang,” kata ayahnya menyabarkan. “Kamu sedang diuji,” tambahnya lagi.
“Ujang nggak
bisa hidup tanpa Neng Kokom, Pak ...,” isaknya lagi.
“Tapi, kamu
bisa hidup dengan anakmu, Ujang,” ayahnya mengingatkan.
“Kamu inget,
apa pesan Kokom sebelum melahirkan? Kalau kamu cinta sama Kokom, kamu harus
merawat anakmu dengan baik. Menyekolahkannya sampai jadi sarjana.”
Ujang, suami
malang yang baru kehilangan istrinya itu tertegun. Dia seperti termakan oleh
omongan ayahnya. Lalu dia membalik dan bergegas masuk lagi ke dalam klinik.
Sedangkan Jalal, yang sejak tadi tertegun, merasa ada aroma kematian menyelusup
ke relung kalbunya. Peristiwa Ujang dan ayahnya tadi sangat membekas di hati Jalal.
Astaghfirullah ...! Ya Allah, lindungilah istri dan anak kami! Lancarkanlah
persalinannya nanti!
“Ayo, Pak!
Di mana istrinya?” seorang perawat lelaki mendorong brankar, menegur Jalal.
“Istri?” Jalal
terkesiap.
“Katanya
istri Bapak mau melahirkan?” si Perawat mengingatkannya.
“Astaghfirullah!”
Jalal tersadar. Dia segera berlari ke tempat parkir.
Perawat
lelaki menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia segera mengikuti Jalal sambil
mendorong brankar.
Sepanjang
berlari itu, Jalal merasa seperti dikejar-kejar para setan jahanam yang
menakut-nakutinya, bahwa istrinya tidak akan lama lagi hidup di dunia! Bahkan
bayi yang dikandungnya pun tidak akan selamat!
Astaghfirullah!
Jalal membuang jauh-jauh pikiran sesat itu! Para malaikat meniupkan kabar ke
hatinya bahwa mati, rezeki, dan jodoh itu urusan Allah!
Lantas dia
berzikir: subhanallah, subhanallah, subhanallah ...! Para iblis laknat akhirnya
lari pontang-panting!
Di tempat
parkir, Pak Hari dan Natalia sedang memapah Jodha keluar dari mobil. Jalal dan
perawat itu membantu Jodha naik ke brankar. Jodha rebah di brankar. Wajah Jodha
sudah pucat. Perawat itu dengan gesit mendorong brankar. Jalal dengan setia
mendampingi. Dia tidak pernah melepaskan tangan Jodha dari genggamannya.
“La haulaa
wala quwwata illa billaah ...,” Jodha mengerang kesakitan.
“Jodha ...,
sabar, ya…. Kuatkan hati kamu,” Jalal merasa sedih.
“Sakit, Kak Jalal
Di sini Di perut ...,” Jodha mencoba untuk membagikan rasa sakitnya.
“Jodha Andai
saja kita bisa berbagi rasa sakit itu....”
Jodha
menatap suaminya dan tersenyum bahagia.
Brankar
terus didorong masuk ke ruang bersalin. Jalal memaksa untuk ikut walaupun Jodha
melarangnya. Sedangkan Pak Hari dan Natalia memilih duduk di ruang tunggu.
Siang
merembet naik. Jarum jam berdetak lambat. Ketegangan tergambar di ruang tunggu
Klinik Bersalin “Firdaus”. Pak Hari Natadiningrat sejak tadi mondar-mandir;
dari dinding yang satu ke dinding yang lain. Natalia hanya duduk sambil
berzikir. Tasbih kecil bergerak-gerak di genggaman tangan kanannya.
Subhanallah, subhanallah, subhanallah….
“Lama
sekali,” Pak Hari menatap ke pintu ruang bersalin. Dia tak kuasa menyembunyikan
kegelisahannya. “Jangan-jangan….”
“Sabar,
Papa,” Natalia menenangkan. “Duduklah. Berdoalah pada Allah, agar Jodha
diberikan kemudahan ketika melahirkan,” tambahnya mengingatkan.
Pak Hari
merasa malu pada istrinya. Dia mengusap wajahnya. “Astaghfirullah,” katanya.
Bukankah kelahiran juga urusan Allah? Batinnya berusaha tenang. Lalu dia duduk
dan menyenderkan kepalanya ke dinding. Dia kini pasrah dalam doa.
Di ruang
persalinan, tampak Jodha terbaring dengan lemas. Sudah sejam dia mengerang
kesakitan. “Ya, Allah ...,” suaranya pasrah.
~Episode 12~
Air infus
menetes satu-satu, mengaliri slang dan masuk ke tubuhnya.
“Nyebut, Jodha,
nyebut ...,” Jalal menguatkan dengan menyeka keringat di kening istrinya.
“Laa ilaaha
illallaah Muhammadarasulullah ...,” suara Jodha melemah.
“Sebentar
lagi kamu akan jadi ‘Ibu’ ..., Jodha,” Jalal sangat gembira.
“Dan kamu…..
‘Bapak’….,” Jodha juga gembira.
“Anak-anak
kita nanti akan memanggil kita ‘Bapak’ dan ‘Ibu’, Jodha. Betapa indahnya!” Jalal
penuh sukacita.
“Tapi ...,
kenapa Bu Bidan lama sekali?”
“Sabar, Jodha
Sebentar tagi Bu Bidan datang.” Jalal menenangkan.
“Ya Allah
...,” Jodha mengerang untuk yang kesekian kali. “La haulaa wala quwwata illa
billaah….”
“Semuanya
akan beres, Jodha. Insya Allah.. ..” Jalal dengan setia menemani Jodha yang
tergeletak di pembaringan.
Sudah
beberapa kali Jodha mengeden, si bayi belum juga keluar. Hampir sejam Jodha
berada dalam penderitaan; menahan rasa sakit di perut karena si bayi
medesak-desak ingin keluar. Tadi Jodha diberi induksi lewat cairan infus.
Menurut asisten bidan yang menangani prapersalinan, karena ketubannya pecah, si
bayi harus segera dikeluarkan. Kalau tidak, bisa berbahaya bagi si bayi.
Tetapi, walaupun di dalam penderitaan, cobalah lihat wajahnya! Betapa ikhlas
dan bahagia! Semua Ibu pasti begitu! Selama 9 bulan mengandung dan
mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan, tetapi mereka tetap berada dalam
kebahagiaan, serta keikhlasan yang sangat luar biasa! Imbalannya, Allah
melimpahkan karunia seorang anak serta sebuah jabatan yang sangat tinggi:
seorang ibu! Jabatan yang diperoleh tanpa unsur kolusi, korupsi, dan nepotisme!
Tetapi langsung hadiah dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt.
“Aduh, sakit
...,” Jodha mengerang memegangi perutnya.
Jalal mulai
menyeka keringat yang muncul di kening istrinya.
Tiba-tiba
pintu kamar bersalin terbuka.
“Itu ..., Bu
Bidan datang,” bisik Jalal gembira di telinga Jodha.
“Alhamdulillah
...,” wajah Jodha berseri-seri walaupun menahan sakit.
Bu Bidan
langsung menyuruh asistennya untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan.
Wanita setengah baya berjilbab itu menatap Jalal.
“Suaminya?”
tanyanya tersenyum.
“Iya, Bu…”
“Anak
pertama?” tanyanya lagi sambil memeriksa Jodha.
“Iya…”
“Nggak
nunggu di luar saja?”
“Bu Bidan
keberatan?”
“Nggak…”
“Aku tidak
akan membiarkan istriku berjihad sendirian, Bu. Aku harus menemaninya. Memberi
semangat. Aku tidak ingin kehilangan istri dan anakku,” suara Jalal serius
sambil menggenggam tangan istrinya.
“Insya
Allah, semuanya akan lancar,” Bu Bidan tersenyum pada Jodha.
Jodha juga
tersenyum.
“Bisa kita
mulai?” Bu Bidan sudah memakai sarung tangan.
Jodha
menatap suaminya, seolah meminta dukungan.
“Ya, kita
mulai sekarang,” Jalal mengangguk.
“Bismillahirrahmanirrahim
...,” Bu Bidan memulai pekerjaannya.
Jodha
menarik napas, mengeden ...terus berulang-ulang. Bu Bidan membimbingnya dengan
sabar dan telaten.
Jalal
menunggui proses persalinan ini dengan cemas sambil berdoa.
“Ayo, Jodha
...ambil napas ...,” Bu Bidan memberi perintah sambil tersenyum tulus.
Jodha
mengambil napas tagi. Mengumpulkannya. Menghirupunnya.
Bismillah…. Jodha
mengeden lagi….. Tak kenal menyerah…. “Sudah, Bu Bidan ...?” Jodha mulai
kehabisan tenaga. Butiran keringat menghiasi wajahnya.
“Sebentar
lagi Ayo ...,” Bu Bidan tersenyum. “Itu ..., batok kepalanya sudah kelihatan...,
Alhamdulillah, ayo ..., terus ...dorong lagi ...”
“Sudah
ketihatan bayinya,” Jalal gernbira.
“Ayo, tarik
napas Ya ..., dorong ...,” Bu Bidan menekan perut Jodha.
Jodha
menarik napas, mengumpulkannya, dan mengeden lagi dengan sekuat tenaga.
Sekarang keringat membanjiri tubuhnya. Wajahnya pucat. Bu Bidan terus memompa
semangatnya. Kepala bayi itu sudah mutai keluar. Tetapi, ketika Bu Bidan hendak
menariknya, kepala bayi itu masuk lagi! Jodha tergolek dengan lemas. Jalal
menatap Bu Bidan dengan ketegangan yang sangat tuar biasa!
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar