Selasa, 23 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 11 & 12 – By Gola Gong

~Episode 11~

Kujemput ridha-Mu dalam sakit ini
Setiap menahan napas
Tetes keringat yang tersisa
Mantra dan puja-puji
Memohon kekuatan ajaib
Merasuk nadi dan darah:
Kelak di sisi-Mu surga!

Pak Hari memarkir mobilnya di klinik Firdaus, sebuah rumah bersalin cukup ternama di Cilegon. Jalal bergegas turun dan berlari ke lobi. Jalal mengabarkan pada para suster jaga di front office bahwa istrinya akan melahirkan. Pada saat itu juga dari ruangan dalam, muncul seorang lelaki yang menangis histeris. Lelaki itu dipapah oleh ayahnya. Jalal tertegun memperhatikan mereka!

“Ya Allah, kenapa Kau panggil Neng Kokom!” teriaknya dalam tangis.

“Istighfar, Ujang,” kata ayahnya menyabarkan. “Kamu sedang diuji,” tambahnya lagi.

“Ujang nggak bisa hidup tanpa Neng Kokom, Pak ...,” isaknya lagi.

“Tapi, kamu bisa hidup dengan anakmu, Ujang,” ayahnya mengingatkan.

“Kamu inget, apa pesan Kokom sebelum melahirkan? Kalau kamu cinta sama Kokom, kamu harus merawat anakmu dengan baik. Menyekolahkannya sampai jadi sarjana.”

Ujang, suami malang yang baru kehilangan istrinya itu tertegun. Dia seperti termakan oleh omongan ayahnya. Lalu dia membalik dan bergegas masuk lagi ke dalam klinik. Sedangkan Jalal, yang sejak tadi tertegun, merasa ada aroma kematian menyelusup ke relung kalbunya. Peristiwa Ujang dan ayahnya tadi sangat membekas di hati Jalal. Astaghfirullah ...! Ya Allah, lindungilah istri dan anak kami! Lancarkanlah persalinannya nanti!

“Ayo, Pak! Di mana istrinya?” seorang perawat lelaki mendorong brankar, menegur Jalal.

“Istri?” Jalal terkesiap.

“Katanya istri Bapak mau melahirkan?” si Perawat mengingatkannya.

“Astaghfirullah!” Jalal tersadar. Dia segera berlari ke tempat parkir.

Perawat lelaki menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia segera mengikuti Jalal sambil mendorong brankar.

Sepanjang berlari itu, Jalal merasa seperti dikejar-kejar para setan jahanam yang menakut-nakutinya, bahwa istrinya tidak akan lama lagi hidup di dunia! Bahkan bayi yang dikandungnya pun tidak akan selamat!

Astaghfirullah! Jalal membuang jauh-jauh pikiran sesat itu! Para malaikat meniupkan kabar ke hatinya bahwa mati, rezeki, dan jodoh itu urusan Allah!

Lantas dia berzikir: subhanallah, subhanallah, subhanallah ...! Para iblis laknat akhirnya lari pontang-panting!

Di tempat parkir, Pak Hari dan Natalia sedang memapah Jodha keluar dari mobil. Jalal dan perawat itu membantu Jodha naik ke brankar. Jodha rebah di brankar. Wajah Jodha sudah pucat. Perawat itu dengan gesit mendorong brankar. Jalal dengan setia mendampingi. Dia tidak pernah melepaskan tangan Jodha dari genggamannya.

“La haulaa wala quwwata illa billaah ...,” Jodha mengerang kesakitan.

“Jodha ..., sabar, ya…. Kuatkan hati kamu,” Jalal merasa sedih.

“Sakit, Kak Jalal Di sini Di perut ...,” Jodha mencoba untuk membagikan rasa sakitnya.

“Jodha Andai saja kita bisa berbagi rasa sakit itu....”

Jodha menatap suaminya dan tersenyum bahagia.

Brankar terus didorong masuk ke ruang bersalin. Jalal memaksa untuk ikut walaupun Jodha melarangnya. Sedangkan Pak Hari dan Natalia memilih duduk di ruang tunggu.

Siang merembet naik. Jarum jam berdetak lambat. Ketegangan tergambar di ruang tunggu Klinik Bersalin “Firdaus”. Pak Hari Natadiningrat sejak tadi mondar-mandir; dari dinding yang satu ke dinding yang lain. Natalia hanya duduk sambil berzikir. Tasbih kecil bergerak-gerak di genggaman tangan kanannya. Subhanallah, subhanallah, subhanallah….

“Lama sekali,” Pak Hari menatap ke pintu ruang bersalin. Dia tak kuasa menyembunyikan kegelisahannya. “Jangan-jangan….”

“Sabar, Papa,” Natalia menenangkan. “Duduklah. Berdoalah pada Allah, agar Jodha diberikan kemudahan ketika melahirkan,” tambahnya mengingatkan.

Pak Hari merasa malu pada istrinya. Dia mengusap wajahnya. “Astaghfirullah,” katanya. Bukankah kelahiran juga urusan Allah? Batinnya berusaha tenang. Lalu dia duduk dan menyenderkan kepalanya ke dinding. Dia kini pasrah dalam doa.

Di ruang persalinan, tampak Jodha terbaring dengan lemas. Sudah sejam dia mengerang kesakitan. “Ya, Allah ...,” suaranya pasrah.

~Episode 12~

Air infus menetes satu-satu, mengaliri slang dan masuk ke tubuhnya.

“Nyebut, Jodha, nyebut ...,” Jalal menguatkan dengan menyeka keringat di kening istrinya.

“Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah ...,” suara Jodha melemah.

“Sebentar lagi kamu akan jadi ‘Ibu’ ..., Jodha,” Jalal sangat gembira.

“Dan kamu….. ‘Bapak’….,” Jodha juga gembira.

“Anak-anak kita nanti akan memanggil kita ‘Bapak’ dan ‘Ibu’, Jodha. Betapa indahnya!” Jalal penuh sukacita.

“Tapi ..., kenapa Bu Bidan lama sekali?”

“Sabar, Jodha Sebentar tagi Bu Bidan datang.” Jalal menenangkan.

“Ya Allah ...,” Jodha mengerang untuk yang kesekian kali. “La haulaa wala quwwata illa billaah….”

“Semuanya akan beres, Jodha. Insya Allah.. ..” Jalal dengan setia menemani Jodha yang tergeletak di pembaringan.

Sudah beberapa kali Jodha mengeden, si bayi belum juga keluar. Hampir sejam Jodha berada dalam penderitaan; menahan rasa sakit di perut karena si bayi medesak-desak ingin keluar. Tadi Jodha diberi induksi lewat cairan infus. Menurut asisten bidan yang menangani prapersalinan, karena ketubannya pecah, si bayi harus segera dikeluarkan. Kalau tidak, bisa berbahaya bagi si bayi. Tetapi, walaupun di dalam penderitaan, cobalah lihat wajahnya! Betapa ikhlas dan bahagia! Semua Ibu pasti begitu! Selama 9 bulan mengandung dan mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan, tetapi mereka tetap berada dalam kebahagiaan, serta keikhlasan yang sangat luar biasa! Imbalannya, Allah melimpahkan karunia seorang anak serta sebuah jabatan yang sangat tinggi: seorang ibu! Jabatan yang diperoleh tanpa unsur kolusi, korupsi, dan nepotisme! Tetapi langsung hadiah dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt.

“Aduh, sakit ...,” Jodha mengerang memegangi perutnya.

Jalal mulai menyeka keringat yang muncul di kening istrinya.

Tiba-tiba pintu kamar bersalin terbuka.

“Itu ..., Bu Bidan datang,” bisik Jalal gembira di telinga Jodha.

“Alhamdulillah ...,” wajah Jodha berseri-seri walaupun menahan sakit.

Bu Bidan langsung menyuruh asistennya untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan. Wanita setengah baya berjilbab itu menatap Jalal.

“Suaminya?” tanyanya tersenyum.

“Iya, Bu…”

“Anak pertama?” tanyanya lagi sambil memeriksa Jodha.

“Iya…”

“Nggak nunggu di luar saja?”

“Bu Bidan keberatan?”

“Nggak…”

“Aku tidak akan membiarkan istriku berjihad sendirian, Bu. Aku harus menemaninya. Memberi semangat. Aku tidak ingin kehilangan istri dan anakku,” suara Jalal serius sambil menggenggam tangan istrinya.

“Insya Allah, semuanya akan lancar,” Bu Bidan tersenyum pada Jodha.

Jodha juga tersenyum.

“Bisa kita mulai?” Bu Bidan sudah memakai sarung tangan.

Jodha menatap suaminya, seolah meminta dukungan.

“Ya, kita mulai sekarang,” Jalal mengangguk.

“Bismillahirrahmanirrahim ...,” Bu Bidan memulai pekerjaannya.

Jodha menarik napas, mengeden ...terus berulang-ulang. Bu Bidan membimbingnya dengan sabar dan telaten.

Jalal menunggui proses persalinan ini dengan cemas sambil berdoa.

“Ayo, Jodha ...ambil napas ...,” Bu Bidan memberi perintah sambil tersenyum tulus.

Jodha mengambil napas tagi. Mengumpulkannya. Menghirupunnya.

Bismillah…. Jodha mengeden lagi….. Tak kenal menyerah…. “Sudah, Bu Bidan ...?” Jodha mulai kehabisan tenaga. Butiran keringat menghiasi wajahnya.

“Sebentar lagi Ayo ...,” Bu Bidan tersenyum. “Itu ..., batok kepalanya sudah kelihatan..., Alhamdulillah, ayo ..., terus ...dorong lagi ...”

“Sudah ketihatan bayinya,” Jalal gernbira.

“Ayo, tarik napas Ya ..., dorong ...,” Bu Bidan menekan perut Jodha.

Jodha menarik napas, mengumpulkannya, dan mengeden lagi dengan sekuat tenaga. Sekarang keringat membanjiri tubuhnya. Wajahnya pucat. Bu Bidan terus memompa semangatnya. Kepala bayi itu sudah mutai keluar. Tetapi, ketika Bu Bidan hendak menariknya, kepala bayi itu masuk lagi! Jodha tergolek dengan lemas. Jalal menatap Bu Bidan dengan ketegangan yang sangat tuar biasa!

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar