Berawal dari keringat dan biji-bijian
ditanamlah impian dan harapan
Air hujan dan doa menyuburkan
Gembiralah dengan panen kasih sayang:
atas kuasa-Nya, manusia pun begitu!
Siti Jodha
Nurkhasanah menyiapkan sarapan dengan teliti. Dia menata letak piring, sendok,
garpu pada tempatnya. Bik Marhamah membantu menyusun tempat nasi, lauk-pauk,
minuman, dan tempat cuci tangan. Jodha tampak tersenyum puas.
Bik Marhamah
celingak-celinguk. “Pada ke mana, Neng? Kok, Den Jalal, Bapak, sama Ibu belum
muncul?”
“Mereka
masih pada di kamar, Bik. Tolong, panggil mereka ...”
Bik Marhamah
mengangguk dan pergi. Sedangkan Jodha berjalan menuju televisi yang sejak subuh
tadi terus menyala.
“Assalamu'alaikum,”
tiba-tiba Jalal muncul, masih mengenakan sarung, baju koko, dan peci.
“Wa'alaikum
salam,” Jodha kaget sambil mencium tangan suaminya. “Dari mana saja, Kak?”
tanyanya.
“Tadi ...,
abis shalat subuh di masjid Agung, mampir dulu ke pesantren,” Jalal mengecup
keningnya.
Lalu Jodha
mematikan televisi.
“Kok,
dimatiin televisinya? Kan, lagi rame berita Afghanistan?”
“Mau lihat
orang-orang mati kena born Amerika? Ntar sarapannya nggak ada selera lagi,” Jodha
kembali ke meja makan, menyiapkan sarapan buat suaminya.
“Iya, ya.
Muak juga melihat kesombongan Amerika!” Jalal menganggukangguk dan duduk.
Piringnya sudah diisi nasi goreng dengan lauk telor dadar. “Bapak sama ibu,
mana?” dia mencari-cari.
“Assalamu'alaikum,”
Pak Hari muncul bersama Natalia.
“Wa' alaikum
salam!” Jalal dan Jodha serentak menjawab.
Pak Hari dan
Natalia menarik kursi dan duduk. Mereka saling senyum dan tampak bahagia sekali
menatap Jalal dan Jodha. Dari raut wajah mereka, tampak sekali sangat
mendambakan momongan cucu!
Jodha
menyinduk nasi goreng untuk mereka. Sarapan yang hangat. Jalal makan dengan
lahap. Jodha tersenyum bahagia. Seorang istri akan bahagia jika masakannya
disantap dengan penuh semangat oleh sang suami. Itu.pertanda bahwa dia tidak
sia-sia mengabdikan dirinya menjadi seorang istri. Kedua orangtuanya juga
sangat menikmati sarapan semeja dengan anak dan menantu. Mereka ikut bahagia.
Mereka berharap, semoga memulai hari baru sebagai suami-istri dengan berkumpul
di meja makan sambil sarapan, itu adalah awal yang baik. Di sana ada basmalah
dan hamdalah; mensyukuri segala rezeki yang diberikan oleh Allah Swt.
“Bagaimana
panen rayanya?” Pak Hari menyela.
“Bagus, Pak!
“ Jalal optimis. Dia pulang dari Rangkasbitung tengah malam tadi.
“Kamu kirim
ke mana nanti berasnya?”
“Untuk
sementara akan saya salurkan di pasar lokal dulu, Pak.”
“Kenapa?”
“Kalau mesti
ke Jakarta, risikonya besar.”
“Bisnis, kan
memang penuh risiko.”
“Mata
rantainya itu yang belum saya pahami betul. Tau sendiri, Pak. Selalu ada
siluman-siluman di sepanjang jalan tol dan di pasar induk. Kasihan para supirnya
nanti. Penghasilan mereka yang nggak seberapa harus berkurang. Aku memang belum
mampu membayar banyak para supir. Insya Allah, kalau bisnis pertanian ini maju,
distribusinya akan diperluas sampai ke Jabotabek.”
Pak Hari
mengangguk.angguk. “Nanti kamu akan menguasainya. Kalau perlu, turun langsung.
Awalnya, jangan mempercayakan masalahnya pada orang lain. Pelajari dulu.
Setelah kamu kuasai, baru kamu serahkan pada orang kepercayaan kamu. Saat itu,
kamu tinggal mengaturnya di belakang meja,” Pak Hari membagi pengalamannya.
Jalal
menyimak dengan serius. Jodha dan Natalia memperhatikan dan mendengarkan
percakapan mereka dalam kapasitas sebagai seorang istri.
Mereka
menyelingnya dengan mengangkut piring-piring bekas sarapan ke dapur.
“Tuan
Marabunta, bagaimana? Apa dia dan anaknya masuk juga ke sini?”
“Nggak, Pak.
Sudah lama mereka nggak ketahuan kabarnya.”
“Bagus,
bagus!” Pak Hari tersenyum puas.
“Sekarang
soal klinik itu,” Natalia mengingatkan.
“Ya, soal
klinik itu!” Pak Hari menimpali.
“Klinik?” Jalal
kaget.
“Semalam,
Bapak sama Ibu menanyakan hal itu. Kami membicarakannya, tapi kami belum
memutuskannya karena menunggu Kak Jalal,” Jodha menjelaskan.
“Coba kamu
cek dulu, apakah betul tanah itu mau dijual?” kata Pak Hari. “Tanah yang mana?”
Jalal masih bingung.
“Kak Jalal?”
Jodha menatap suaminya.
Jalal kaget.
“Ya?” tanyanya.
“Soal tanah
kosong dekat stasiun itu,” Jodha mengingatkan.
~Episode 10~
“Oh, tanah
itu!” Jalal kini tersenyum. “Maaf, aku belum mengerti tadi. Pikiranku masih ke
bisnis pertanian saja!” tambahnya tertawa.
“Bagaimana?”
kini giliran Natalia.
“Bagaimana?”
Jalal masih belum mengikuti pembicaraan.
“Kak Jalal,”
Jodha tersenyum. “Rencana pembangunan klinik Asy Syifa itu.”
“Oh, klinik
Asy Syifa!” Jalal mulai paham. “Ya, ya, ya!” dia mulai serius.
“Kamu sudah
bertemu dengan pemiliknya?” Pak Hari bertanya.
“Belum, Pak.
Baru tangan kedua. Tapi, pada dasarnya mereka tidak keberatan kalau di atas tanah
itu akan dibangun klinik. Harganya masih bisa dibicarakan. Insya Allah, minggu
depan aku akan bertemu dengan pemilik tanah itu.”
“Bagus,
bagus. Tapi, lebih cepat, lebih baik,” Pak Hari tersenyum. “Lihat itu istrimu.
Dia sudah tidak sabar ingin segera melihat klinik Asy Syifa. Iya kan, Jodha?”
tanya Pak Hari. “Nanti kalau perlu, Jodha melahirkan di sana!” katanya bercanda.
Jodha hanya
tersenyum menatap suaminya sambil mengelus perutnya.
“Bagaimana
bayinya? Udah pingin keluar?” Jalal menempelkan telinganya di perut Jodha.
“Yah,
mulas-mulasnya sih, udah kerasa.”
“Kamu jangan
kerja yang berat-berat dulu, ya…..”
Jodha
mengangguk.
Natalia dan
Pak Hari saling pandang, penuh rasa haru dan bahagia. Ada perasaan nyeri di
hati mereka, jika teringat dengan perlakuan mereka pada Jodha!
“Kak Jalal,”
kata Jodha, “kalau sibuk, urusan tanah kan bisa diserahkan sama Pak Soleh.”
“Pak Soleh?”
Jalal mengangguk-angguk.
“Betul juga.
Mungkin Pak Soleh bisa mengatasi masalah tanah ini. Mungkin dia bisa menemui
langsung pemiliknya. Kenalannya di stasiun kan banyak. Gimana?” Natalia
nimbrung.
Jalal masih
mengangguk-angguk.
“Kak Jalal?”
Jodha meminta kepastian.
Jalal
menatap Jodha. “Ya, mungkin Pak Soleh bisa lebih cepet ngurusin masalah tanah
ini. Aku bawaannya emosi melulu. Maafkan aku, Jodha.”
“Ya nggak
apa-apa! Ya, kan Pak?” Jodha tertawa.
“Sama saja.
Yang penting, rencana pembangunan klinik Asy Syifa lancar!”
Pak Hari
juga tertawa.
“Allahu
Akbar!” tiba-tiba Jodha menjerit kesakitan. “Laa ilaaha illallaah Muhammadarasulullah…..”
“Jodha!” Jalal
panik.
“Astaghfirullah!”
Jodha melihat ke lantai. Ada tumpahan air. Ternyata ketubannya pecah. “Ya,
Allah!” Wajah Jodha pucat. Tubuhnya limbung.
“Cepat bawa
ke rumah sakit, Jalal!”
Jalal
menahan tubuh Jodha yang hendak jatuh.
“Papa!”
Nataha menyuruh suammya, “Cepet, nyalain mobilnya!”
Pak Hari
bergegas pergi. Dada lelaki tua itu membuncah, antara cemas dan bahagia. Sebentar
lagi dia akan memiliki seorang cucu dari anak kandungnya sendiri! Dari anak
yang dahulu pernah dibuangnya ketika bayi di stasiun Cilegon. Ya Allah, terima
kasih! Kau limpahkan padaku karunia-Mu yang tidak terkira ini! Seorang cucu!
Lindungilah mereka! Janganlah Kau beri aku cobaan lagi, ketika Kau merenggut
istri dan kedua anakku. Hatinya gelisah! Tiba-tiba berkelebatan gambar-gambar
masa lalunya, istri dan kedua anaknya yang tewas pada kecelakaan pesawat
terbang di Medan!
Sementara
itu Jalal dan Natalia memapah Jodha untuk berjalan. Mereka membawanya keluar.
Bik Marhamah yang muncul dari dapur dengan minuman jadi panik. Dia
berteriak-teriak menyebut nama Allah agar Jodha diberi keselamatan.
Sebentar
lagi akan terjadi proses regenerasi! Seorang bayi lahir ke bumi dengan tubuh
telanjang ibarat kertas putih tak bernoda! Selanjutnya, Allah menyerahkannya
pada kedua orangtua serta dirinya sendiri, dengan apa nanti kertas putih itu
akan ditulisi. Dengan ibadah ataukah dengan kemaksiatan?! Allah pun menyerahkan
tugas pada kedua malaikat-Nya; Rakib dan Atib untuk selalu mencatat dalam
rapor-Nya, apakah kelak imbalan yang pantas itu surga ataukah neraka?!
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar