Dia Maha Rahman
Dikasihi-Nya kita dalam balutan doa dan
nikmat
Diciptakan-Nya dari darah dan tiupan ruh
Anak-anak masa depan
Di mana harap tertumpah
Dia Maha Rahim
Memberi segala terbaik
pada sekitar dunia:
tetapi kita lalai mengingat ciptaan-Nya!
Di ruang
keluarga. Tampak perut Siti Jodha Nurkhasanah sudah membesar lagi. Hamil tua.
Diperkirakan minggu ini anak keduanya akan lahir. Rupanya Jalal mewujudkan
keinginannya untuk mempunyai anak kedua dalam waktu yang cepat. Umur Siti
Nurkhalishah sekarang sudah dua tahun. Waktu yang tepat untuk memberikan adik
bagi si sulung.
Jodha merasa
bahagia dengan kehamilan keduanya ini. Dia tidak menjadikan kehamilan keduanya
ini sebagai beban hidup, tetapi justru menerimanya sebagai rahmat dan amanah
baru. Dia tahu, betapa banyak para istri yang sangat mendambakan jabatan
sebagai ibu. Jabatan yang hanya diberikan secara gratis oleh Allah! Tanpa perlu
menyuap atau main sikut sini, sikut sana. Sogokannya pada Allah hanya dengan
mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya!
“Ayo, Dede
...,” Jodha mengelus-elus perutnya, “... kapan keluar,” katanya mengajak si
bayi berbicara. “Teteh sudah nggak sabar punya temen main,” dia tersenyum
sendiri melihat anak pertamanya, Siti Nurkhalishah, sedang mengacak-acak isi
amplop di lantai.
“Nur,
suratnya jangan dirobekin. Bapak belum baca suratnya. Foto-fotonya juga jangan
diguntingi... Bapak kan mau lihat juga….”
“Emang, ini
foto siapa?”
“Itu foto
Tante Namlok sama anaknya.”
“Namanya
siapa?”
“Siti
Aisyah….”
“Nama saya ‘Siti
Nurkhalishah’. Sama!” Nur gembira. Dia sudah tidak tertarik lagi dengan surat
dan foto-foto itu. Dia kini berpindah ke televisi.
Jodha
bangkit dan membereskan foto-foto yang berserakan di lantai.
Sebelum
dimasukkan ke amplop, dia melihatnya sekali lagi. Foto-foto Namlok Sarachipat
dengan suami barunya. Juga ada Siti Aisyah yang sudah sekolah setingkat dengan
sekolah dasar di sini. Umur Siti Aisyah sekarang sekitar 8 tahunan. Mereka
berfoto di depan Grand Palace, istana raja Thailand, Bhumipol Abdulyadey.
Betapa bahagianya mereka. Ternyata mereka sangat tabah dan berhasil mengatasi
ujian berat dari Allah, ketika harus kehilangan Hakim yang berpulang ke
rahmatullah!
Lalu Jodha
mengambil lagi surat dari Namlok. Bahkan Siti Aisyah pun sudah pandai menulis
surat. Mereka mengucapkan terima kasih karena selalu rutin dikirimi uang oleh Jalal.
Uang bagian dari hasil keuntungan perusahaan yang menjadi hak mereka. Namlok
mengabarkan bahwa semua uang hak anaknya ditabungkan di bank. Insya Allah, jika
Siti Aisyah besar nanti, uang itu akan banyak manfaat bagi dirinya.
Sedangkan
Siti Aisyah menulis, betapa ingin sekali berlibur ke Cilegon. Berziarah ke
makam ayahnya dan berkenalan dengan saudaranya, Siti Nurkhalishah. Tulisan
tangan dan bahasa Inggrisnya sudah cukup lancar.
Tanpa
disadari, Jodha meneteskan air mata. Tiba-tiba saja dia ingat pada Hakim, suami
dan ayah mereka, yang juga pernah singgah sesaat di kehidupannya.
“Ya Allah,
lindungilah Hakim di alam kubur. Beri dia tempat yang layak di sisi-Mu.
Ampunilah segala dosa-dosanya,” begitu Jodha berdoa untuk keselamatan mantan
suaminya.
Lalu Jodha
melipat lagi surat itu dan bersama foto-fotonya dimasukkan ke dalam amplop.
Diletakkannya surat berharga itu di meja kerja Hakim. Dia berjalan ke sofa dan
duduk lagi dengan hati-hati. Diambilnya majalah kesehatan dari bawah meja.
Sambil membaca, dia mengawasi Nur yang sedang asyik nonton film takhayul di
televisi.
“Ibu ...,
takut!” tiba-tiba Nur bangkit dari duduknya dan berlari, bersembunyi di balik
kursi. Di layar televisi, si tuyul sedang dikejar-kejar musuhnya yang bertubuh
lebih besar.
“Kenapa,
Teteh? Kok, takut? Itu, kan bohong-bohongan,” Jodha tersenyum.
“Bohong-bohongan,
Bu?”
“Iya.”
“Bapak mana,
Bu?” Nur kecil tidak tertarik lagi pada televisi. Dia mendekati ibunya dan
duduk di sebelahnya.
~Episode 22~
“Bapak masih
kerja.”
“Oh, Bapak
masih kerja,” katanya mulai tertarik pada majalah yang dibaca ibunya.
“Iya.”
“Bapak kerja
di mana?”
“Di kantor.”
“Oh, di
kantor,” kali ini dia mulai menarik-narik majalah. “Ibu sedang apa?” Siti
Nurkhalishah naik ke kursi.
“Baca
majalah.”
“Majalah
apa?”
“Ini,” Jodha
menunjukkan isi majalah. “Tuh ..., ada Dede yang sedang minum susu, kan?”
“Oh, iya
...,” Nur mengangguk-angguk. “Teteh juga minum susu!”
“Minum
susunya yang banyak. Biar sehat.”
“Teteh juga
makannya banyak!”
“Teteh, kan
sudah besar. Jadi, makannya harus banyak. Biar cepet tinggi kayak Ibu sama
Bapak.”
“Kok, Bapak
belum pulang, Bu?” Nur kecil kini berdiri di kursi.
“Bapak masih
banyak pekerjaan. Mungkin belum selesai.”
“Kapan
pulangnya?”
“Insya
Allah, setelah Ibu shalat isya. ..”
“Teteh juga
mau shalat isya!”
“Ayo, kita
shalat di mushola,” ajak Jodha.
“Nanti aja,
Bu!” Nur kecil mulai melompat-lompat di kursi.
“Teteh ...,”
panggil Jodha kepada Siti Nurkhalishah. “Ayo ..., kursi buat apa?” katanya
mengingatkan.
“Buat duduk!”
jawab Nur yang kini makin pandai bicara.
“Kalau buat
duduk, kenapa Teteh main lompat-lompatan?” Jodha tersenyum.
Anak
pertamanya sekarang minta dipanggil “teteh”, yang berarti “kakak” karena
sebentar lagi dia akan punya adik.
Nur turun
dari kursi.
“Hati-hati
turunnya, Nur….”
“Teteh!” Nur
meralat.
“Iya,
hati-hati turunnya, Teh ...,” Jodha tersenyum.
Nur sudah
turun. Dia mendekati ibunya lagi. Jodha menyambut buah hatinya dengan senyuman.
Biasanya Nur minta digendong. Tetapi kali ini dia sudah mengerti bahwa ibunya
akan kewalahan dengan perutnya. Dia hanya menempelkan telinganya di perut
ibunya yang besar.
“Dede tidur?”
tanyanya ingin tahu.
Jodha
tersenyum dan mengelus-ngelus perutnya.
“Iya,
dedenya sedang tidur.”
“Dede, nggak
bangun?”
“Bangunnya
besok. Sekarang sudah malam. Teteh juga harus tidur…”
“Teteh mau
main dulu!” katanya menuju ruang bermain, yang letaknya di sudut ruang
keluarga.
Jodha
melihat ke jam dinding. Sudah jam delapan malam! “Mainnya jangan lama-lama ya,
Teh ...,” Jodha memberi syarat.
“Iya, Bu
...,” jawab Nur sambil menarik sebuah kardus. Isinya ditumpahkan ke lantai.
Boneka, rumah-rumahan, mainan dokter-dokteran, tumpah ruah ke lantai. Dia
dengan penuh semangat dan gembira memilih-milih mainan itu dan menyusunnya di
lantai. Dia sedang membuat sebuah rumah boneka. Boneka itu ditidurkan di
ranjang. Kemudian dia mencari-cari peralatan dokternya.
Kriiing ...!
telepon berdering!
Jodha agak
susah untuk bangkit.
“Teteh saja,
Bu!” Nur berlari.
“Kriiiing…!!
“Pasti dari
Bapak!”
“Assalamu’alaikum!”
Nur memberi salam di telepon. “Ini siapa?” tanyanya. “Ini ‘Teteh Nur’,” katanya
gembira. “Oh, Nenek!” dia melihat ke ibunya. “Nenek, Bu!” Nur mengacungkan
gagang telepon ke ibunya.
Jodha kini
sudah bangkit dengan menopang tubuhnya di pegangan kursi. Dia berjalan menuju
meja telepon. “Dari Nenek, Teh?” tanyanya.
“Nih!” Nur
menyerahkan gagang telepon dan berlari lagi menuju mainannya di sudut ruangan.
“Assalamu’alaikum,
Bu ...,” Jodha memberi salam. Ada keheranan di wajahnya. Biasanya Natalia suka
berlama-lama jika sudah berbicara dengan Nur di telepon. “Ya, Bu? Apa? Bapak?”
kabar dari Natalia membuat jiwanya berguncang. “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raajiuun ...,” wajah Jodha langsung pucat.
“Ibu!” Nur
berteriak.
Tubuh Jodha
limbung.
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar