Suara-suara itu membangunkanku
Tidur yang melelahkan
Pun bagimu
Bersusah-susah menjagaku
Di tengah cemas bila tak ada detak
Dan aku bergegas mendatangi suara
Cahaya benderang:
Rabbi, tak Kau ceritakan cahaya itu!
Jodha
melihat ke Nurkhalishah yang sedang berlari ke arahnya. “Awas jatuh, Teh ...,”
katanya mengawasi dengan cemas. Nur memang sedang nakalnakalnya.
Anak seumur
dia kalau berlari tidak ingat celaka. Apa saja dianggapnya tidak ada. Pernah
Nur jatuh terpeleset, menginjak susu yang ditumpahkannya sendiri. Untung
kepalanya jatuh tepat di atas karpet. Kalau tidak, entahlah apa yang terjadi.
Di kliniknya, Jodha sering menerima pasien anak kecil yang jatuh karena
terpeleset. Biasanya bagian belakang kepala mereka yang membentur ke lantai.
Ada yang diiringi dengan muntahmuntah, atau hanya pusing biasa. Begitulah
memang risiko punya anak kecil di rumah. Allah selalu mengujinya dengan hal-hal
kecil.
Tetapi Jalal
sering mengingatkannya bahwa anak kecil itu tidak boleh dilarang. Nanti tidak
akan jadi anak yang terampil. Malah jadi anak yang penakut. Yang harus
dilakukan adalah, selalu mengawasi atau menemani si anak bermain. Bukan malah
melarang. Kalau versi Pak Soleh lain lagi. Dia percaya bahwa di sekeliling anak
kecil itu banyak malaikat yang menjaga. Jika si anak dalam bahaya, atas
perintah Allah, malaikatlah yang melindungi si anak. Subhanallah! Jodha hanya
bisa mengucap syukur dengan cerita Pak Soleh ini. Semoga para malaikat menjaga
Nur!
“Ibu, sakit?”
Nur memeriksa perut ibunya.
“Iya, Ibu
sakit,” Jodha mencoba menahan nyeri di perutnya. “Teteh ..., panggil Pak Soleh,
ya ...”
“Pak Soleh?”
“Iya. Cepet
...,” kata Jodha sambil menarik kursi. Dia duduk dengan hati-hati. Telepon
masih dipegangnya.
Nur kecil
berlari ke depan rumah.
“Bibik! Bik
Inaaah!” Jodha berteriak-teriak memanggil pembantu rumah.
Pembantu
rumah segera muncul dengan tergopoh-gopoh. Dia kaget melihat majikannya yang
mengerang kesakitan. “Ibu! “ teriaknya.
“Bik, sini Bik,”
kata Jodha. “Bantuin saya jalan ke kamar,” pintanya.
Bik Marhamah
segera menahan tubuh Jodha dengan bahunya. Dia melingkarkan tangannya ke
pinggang Jodha. “Aduh, Ibu ...kenapa jadi begini?” Bik Marhamah cemas dan
menangis.
“Ayo, Bik
..., hati-hati jalannya, Bik,” kata Jodha berjalan tertatih-tatih menuju kamar.
Sementara
itu, Siti Nurkhalishah sudah berada di teras. “Pak Soleh! “ dia berteriak
sekencang-kencangnya. Dia hampir saja menabrak kursi.Untung dia sangat cekatan.
Dia terus berlari ke halaman samping, mencari-cari Pak Soleh. “Pak Soleh!” Nur
berteriak lagi.
Pak Soleh,
yang kini tinggal di paviliun, muncul tergopoh-gopoh. Kaki palsunya tidak
sempat dipakai. Dia hanya bertumpu pada sebuah kruk. Dia masih membetulkan
lilitan sarungnya, ketika Nur kecil sudah sampai dengan napas terengah-engah.
“Teteh ...,
kenapa? Kok, belum tidur?” Pak Soleh meneliti sekeliling rumah. Dia khawatir
ada orang jahat masuk ke halaman rumah.
“Pak Soleh
dipanggil Ibu,” Nur menunjuk ke dalam rumahnya.
“Ibumu,
kenapa?” Pak Soleh bergegas menuju ke dalam rumah.
“Ibu sakit?”
Pak Soleh makin mempercepat langkahnya yang dibantu dengan kruk.
Nur
menelitinya dengan heran. “Kok, kaki Pak Soleh satu?” tanyanya penasaran.
“Iya! Pak
Soleh tadi nggak sempat make kaki palsu!”
“Kaki palsu?”
“Iya! Kan,
Bapak Teteh yang ngebeliin?”
“Oh!”
Pak Soleh
sudah sampai di teras. Nur mengejarnya.
“Mana Ibumu?”
“Di sana!
Lagi nelepon!”
Pak Soleh
bergegas ke dalam rumah. “Astaghfirullah!” dia kaget melihat Jodha sedang
dipapah Bik Marhamah ke dalam kamar. Di lantai ada cairan ketuban campur darah.
“Jodha! Kamu nggak apa-apa?”
~Episode 24~
“Pak Soleh
...,” Jodha mencoba tersenyum. “Cepet, telepon Bu Bidan! Suruh dia ke sini! Jalal
juga! Kayaknya si bayi sudah nggak tahan pingin keluar!” kata Jodha menyuruh.
“Bayinya mau
keluar?” Pak Soleh panik.
“Iya,” Jodha
merasakan kontraksi lagi.
Pak Soleh
kelihatan bingung. Sebetulnya dia ingin membantu Bik Marhamah memapah Jodha ke
dalam kamar. Tetapi dia sendiri sangat repot berjalan tanpa kaki palsu.
“Pak Soleh,
cepet ...,” Jodha mengingatkan.
Akhirnya Pak
Soleh bergegas ke meja telepon, mengikuti perintah Jodha.
Sedangkan
Nur menangis menyaksikan peristiwa aneh itu. “Ibuuu!” tangisnya makin keras.
“Ssst ...,
Nur ..., jangan nangis,” Jodha mencoba tersenyum.
“Ibu
berdarah, ya?” Nur takut melihat ketuban dan darah berceceran di lantai.
Jodha
mengangguk. Bik Marhamah mendudukkannya di tepi ranjang. Jodha mengatur
posisinya. Dia menyuruh Bik Marhamah menumpuk bantal di kepalanya. Lalu Jodha
berbaring. Bik Marhamah membantu mengangkat kedua kakinya ke ranjang. Kini Jodha
sudah berbaring di tempat tidur. Nur mendekati ibunya. Anak kecil itu tidak mau
jauh-jauh dari ibunya. Tangisnya sudah mereda.
“Bik ...,
cepet ..., sediain air panas, ya Ambil juga kain-kain yang bersih….”
“Iya, Bu,”
Bik Marhamah bergegas berlari ke dapur.
“Ibu sakit,
ya?” Nur terisak-isak sedih.
“Dedenya mau
keluar, Teh,” Jodha mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang.
“Dedenya mau
keluar, Bu?” Nur penasaran.
“Iya.
Dedenya pingin ketemu sama Teteh yang cantik,” Jodha tersenyum untuk mengatasi
rasa sakit di perutnya.
“Kok, Ibu
berdarah?” Nur keheranan.
“Teteh ...,”
Jodha mengelus-elus rambut Nur. “Sebentar lagi ‘dede’ mau keluar dari perut
Ibu. Teteh jangan nakal, ya? Nanti Bu Bidan ke sini…”
“Bu bidan?”
“Bu dokter
...,” Jodha mengikuti kemauan anaknya.
“Oh, Bu
dokter!” Nur mmgangguk-angguk. Lalu Nur berandai-andai, “Ibu dokter. Teteh juga
dokter!”
“Iya, Teteh
juga dokter.”
Siti
Nurkhalishah tampak senang disebut dokter.
“Sekarang,
Teteh main lagi, sana ...,” suruh Jodha.
“Iya, Bu,”
katanya menurut. Dia berjingkrak-jingkrak gembira keluar dari kamar. Jodha
tersenyum bahagia. Dia memejamkan matanya, mencoba menikmati rasa sakit yang
luar biasa di perutnya. Dia hanya bisa pasrah pada Allah. Dia yakin bahwa Allah
akan melindungi dirinya dan bayinya.
“Bagaimana, Jodha?”
tiba-tibaPak Soleh muncul. Dia menarik kursi dan duduk di depannya. “Masih bisa
tahan?”
Jodha
mengangguk. “Jalal, bagaimana?” tanyanya berharap.
“Kebetulan Jalal
mau pulang ketika Bapak telepon. Sekarang dia sedang dalam perjalanan ...”
“Bu Bidan?”
“Bu Bidan
juga langsung ke sini ...”
“Alhamdulillah
...,” Jodha merasa lega. “Pak Soleh ...,” tiba-tiba matanya berkaca-kaca.
“Kenapa, Jodha?
Sakit, ya perutnya?” Pak Soleh merasa sedih.
“Bukan itu,
Pak ...,” Jodha terisak-isak. “Tadi, Ibu Natalia menelepon.”
Pak Soleh
dengan setia mendengarkan.
“Katanya Pak
Hari meninggal dunia….”
“Innaa
lillaahi ...,” Pak Soleh kaget.
Jodha
tersedu-sedan, antara sedih dan menahan nyeri di perutnya. Dalam hatinya dia
berbisik, seharusnya Pak Hari menungguinya lagi saat ini. Dia sangat berharap
sekali mendapatkan cucu lelaki. Insya Allah, dari hasil USG, bayinya adalah
lelaki.
“Semoga Pak
Hari diterima di sisi-Nya ...,” Pak Soleh mendoakan.
“Amien ya
rabbal alamien ...,” Jodha menerawang. “Waktu begitu cepat berlalu ya, Pak ...,”
Jodha menyeka air matanya. “Ada yang datang, ada yang pergi ...,” sejenak dia
melupakan nyeri di perutnya.
Pak Soleh
mengangguk.
“Sudahlah,
Pak ...,” Jodha kini tersenyum. “Sekarang, tolong ambilkan tas kerja saya...”
“Baik, Jodha
...,” Pak Soleh menyeret langkahnya, keluar dari kamar.
Jodha
tergolek sendirian di kamar. Dia menatap langkah kaki Pak Soleh dengan penuh
harapan. Di dalam diri lelaki tua berkaki satu itu, ada semacam tempat berlabuh
bagi hatinya jika sedang gundah gulana. Itu dirasakannya sejak dia masih kecil,
saat Bik Eti masih hidup. Saat dia tinggal di stasiun kereta api.
~NEXT~
Lanjut ya mbak
BalasHapus