Kamis, 25 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 23 & 24 – By Gola Gong

~Episode 23~

Suara-suara itu membangunkanku
Tidur yang melelahkan
Pun bagimu
Bersusah-susah menjagaku
Di tengah cemas bila tak ada detak
Dan aku bergegas mendatangi suara
Cahaya benderang:
Rabbi, tak Kau ceritakan cahaya itu!
Jodha melihat ke Nurkhalishah yang sedang berlari ke arahnya. “Awas jatuh, Teh ...,” katanya mengawasi dengan cemas. Nur memang sedang nakalnakalnya.

Anak seumur dia kalau berlari tidak ingat celaka. Apa saja dianggapnya tidak ada. Pernah Nur jatuh terpeleset, menginjak susu yang ditumpahkannya sendiri. Untung kepalanya jatuh tepat di atas karpet. Kalau tidak, entahlah apa yang terjadi. Di kliniknya, Jodha sering menerima pasien anak kecil yang jatuh karena terpeleset. Biasanya bagian belakang kepala mereka yang membentur ke lantai. Ada yang diiringi dengan muntahmuntah, atau hanya pusing biasa. Begitulah memang risiko punya anak kecil di rumah. Allah selalu mengujinya dengan hal-hal kecil.

Tetapi Jalal sering mengingatkannya bahwa anak kecil itu tidak boleh dilarang. Nanti tidak akan jadi anak yang terampil. Malah jadi anak yang penakut. Yang harus dilakukan adalah, selalu mengawasi atau menemani si anak bermain. Bukan malah melarang. Kalau versi Pak Soleh lain lagi. Dia percaya bahwa di sekeliling anak kecil itu banyak malaikat yang menjaga. Jika si anak dalam bahaya, atas perintah Allah, malaikatlah yang melindungi si anak. Subhanallah! Jodha hanya bisa mengucap syukur dengan cerita Pak Soleh ini. Semoga para malaikat menjaga Nur!

“Ibu, sakit?” Nur memeriksa perut ibunya.

“Iya, Ibu sakit,” Jodha mencoba menahan nyeri di perutnya. “Teteh ..., panggil Pak Soleh, ya ...”

“Pak Soleh?”

“Iya. Cepet ...,” kata Jodha sambil menarik kursi. Dia duduk dengan hati-hati. Telepon masih dipegangnya.

Nur kecil berlari ke depan rumah.

“Bibik! Bik Inaaah!” Jodha berteriak-teriak memanggil pembantu rumah.

Pembantu rumah segera muncul dengan tergopoh-gopoh. Dia kaget melihat majikannya yang mengerang kesakitan. “Ibu! “ teriaknya.

“Bik, sini Bik,” kata Jodha. “Bantuin saya jalan ke kamar,” pintanya.

Bik Marhamah segera menahan tubuh Jodha dengan bahunya. Dia melingkarkan tangannya ke pinggang Jodha. “Aduh, Ibu ...kenapa jadi begini?” Bik Marhamah cemas dan menangis.

“Ayo, Bik ..., hati-hati jalannya, Bik,” kata Jodha berjalan tertatih-tatih menuju kamar.

Sementara itu, Siti Nurkhalishah sudah berada di teras. “Pak Soleh! “ dia berteriak sekencang-kencangnya. Dia hampir saja menabrak kursi.Untung dia sangat cekatan. Dia terus berlari ke halaman samping, mencari-cari Pak Soleh. “Pak Soleh!” Nur berteriak lagi.

Pak Soleh, yang kini tinggal di paviliun, muncul tergopoh-gopoh. Kaki palsunya tidak sempat dipakai. Dia hanya bertumpu pada sebuah kruk. Dia masih membetulkan lilitan sarungnya, ketika Nur kecil sudah sampai dengan napas terengah-engah.

“Teteh ..., kenapa? Kok, belum tidur?” Pak Soleh meneliti sekeliling rumah. Dia khawatir ada orang jahat masuk ke halaman rumah.

“Pak Soleh dipanggil Ibu,” Nur menunjuk ke dalam rumahnya.

“Ibumu, kenapa?” Pak Soleh bergegas menuju ke dalam rumah.

“Ibu sakit?” Pak Soleh makin mempercepat langkahnya yang dibantu dengan kruk.

Nur menelitinya dengan heran. “Kok, kaki Pak Soleh satu?” tanyanya penasaran.

“Iya! Pak Soleh tadi nggak sempat make kaki palsu!”

“Kaki palsu?”

“Iya! Kan, Bapak Teteh yang ngebeliin?”

“Oh!”

Pak Soleh sudah sampai di teras. Nur mengejarnya.

“Mana Ibumu?”

“Di sana! Lagi nelepon!”

Pak Soleh bergegas ke dalam rumah. “Astaghfirullah!” dia kaget melihat Jodha sedang dipapah Bik Marhamah ke dalam kamar. Di lantai ada cairan ketuban campur darah. “Jodha! Kamu nggak apa-apa?”

~Episode 24~

“Pak Soleh ...,” Jodha mencoba tersenyum. “Cepet, telepon Bu Bidan! Suruh dia ke sini! Jalal juga! Kayaknya si bayi sudah nggak tahan pingin keluar!” kata Jodha menyuruh.

“Bayinya mau keluar?” Pak Soleh panik.

“Iya,” Jodha merasakan kontraksi lagi.

Pak Soleh kelihatan bingung. Sebetulnya dia ingin membantu Bik Marhamah memapah Jodha ke dalam kamar. Tetapi dia sendiri sangat repot berjalan tanpa kaki palsu.

“Pak Soleh, cepet ...,” Jodha mengingatkan.

Akhirnya Pak Soleh bergegas ke meja telepon, mengikuti perintah Jodha.

Sedangkan Nur menangis menyaksikan peristiwa aneh itu. “Ibuuu!” tangisnya makin keras.

“Ssst ..., Nur ..., jangan nangis,” Jodha mencoba tersenyum.

“Ibu berdarah, ya?” Nur takut melihat ketuban dan darah berceceran di lantai.

Jodha mengangguk. Bik Marhamah mendudukkannya di tepi ranjang. Jodha mengatur posisinya. Dia menyuruh Bik Marhamah menumpuk bantal di kepalanya. Lalu Jodha berbaring. Bik Marhamah membantu mengangkat kedua kakinya ke ranjang. Kini Jodha sudah berbaring di tempat tidur. Nur mendekati ibunya. Anak kecil itu tidak mau jauh-jauh dari ibunya. Tangisnya sudah mereda.

“Bik ..., cepet ..., sediain air panas, ya Ambil juga kain-kain yang bersih….”

“Iya, Bu,” Bik Marhamah bergegas berlari ke dapur.

“Ibu sakit, ya?” Nur terisak-isak sedih.

“Dedenya mau keluar, Teh,” Jodha mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang.

“Dedenya mau keluar, Bu?” Nur penasaran.

“Iya. Dedenya pingin ketemu sama Teteh yang cantik,” Jodha tersenyum untuk mengatasi rasa sakit di perutnya.

“Kok, Ibu berdarah?” Nur keheranan.

“Teteh ...,” Jodha mengelus-elus rambut Nur. “Sebentar lagi ‘dede’ mau keluar dari perut Ibu. Teteh jangan nakal, ya? Nanti Bu Bidan ke sini…”

“Bu bidan?”

“Bu dokter ...,” Jodha mengikuti kemauan anaknya.

“Oh, Bu dokter!” Nur mmgangguk-angguk. Lalu Nur berandai-andai, “Ibu dokter. Teteh juga dokter!”

“Iya, Teteh juga dokter.”

Siti Nurkhalishah tampak senang disebut dokter.

“Sekarang, Teteh main lagi, sana ...,” suruh Jodha.

“Iya, Bu,” katanya menurut. Dia berjingkrak-jingkrak gembira keluar dari kamar. Jodha tersenyum bahagia. Dia memejamkan matanya, mencoba menikmati rasa sakit yang luar biasa di perutnya. Dia hanya bisa pasrah pada Allah. Dia yakin bahwa Allah akan melindungi dirinya dan bayinya.

“Bagaimana, Jodha?” tiba-tibaPak Soleh muncul. Dia menarik kursi dan duduk di depannya. “Masih bisa tahan?”

Jodha mengangguk. “Jalal, bagaimana?” tanyanya berharap.

“Kebetulan Jalal mau pulang ketika Bapak telepon. Sekarang dia sedang dalam perjalanan ...”

“Bu Bidan?”

“Bu Bidan juga langsung ke sini ...”

“Alhamdulillah ...,” Jodha merasa lega. “Pak Soleh ...,” tiba-tiba matanya berkaca-kaca.

“Kenapa, Jodha? Sakit, ya perutnya?” Pak Soleh merasa sedih.

“Bukan itu, Pak ...,” Jodha terisak-isak. “Tadi, Ibu Natalia menelepon.”

Pak Soleh dengan setia mendengarkan.

“Katanya Pak Hari meninggal dunia….”

“Innaa lillaahi ...,” Pak Soleh kaget.

Jodha tersedu-sedan, antara sedih dan menahan nyeri di perutnya. Dalam hatinya dia berbisik, seharusnya Pak Hari menungguinya lagi saat ini. Dia sangat berharap sekali mendapatkan cucu lelaki. Insya Allah, dari hasil USG, bayinya adalah lelaki.

“Semoga Pak Hari diterima di sisi-Nya ...,” Pak Soleh mendoakan.

“Amien ya rabbal alamien ...,” Jodha menerawang. “Waktu begitu cepat berlalu ya, Pak ...,” Jodha menyeka air matanya. “Ada yang datang, ada yang pergi ...,” sejenak dia melupakan nyeri di perutnya.

Pak Soleh mengangguk.

“Sudahlah, Pak ...,” Jodha kini tersenyum. “Sekarang, tolong ambilkan tas kerja saya...”

“Baik, Jodha ...,” Pak Soleh menyeret langkahnya, keluar dari kamar.

Jodha tergolek sendirian di kamar. Dia menatap langkah kaki Pak Soleh dengan penuh harapan. Di dalam diri lelaki tua berkaki satu itu, ada semacam tempat berlabuh bagi hatinya jika sedang gundah gulana. Itu dirasakannya sejak dia masih kecil, saat Bik Eti masih hidup. Saat dia tinggal di stasiun kereta api.

~NEXT~

1 komentar: