Jumat, 26 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 29 & 30 – By Gola Gong

~Episode 29~

Kata-kata, sumpah.serapah
jampi-jampi, mantra-dusta
iblis-iblis, api neraka
mengantarku menjauh-Mu
membuatku bergulat berontak
Syair itu masih kuingat
Subhanallah, subhanallah!
(segalanya membeku, tidak bagiku!)

Sebuah mobil sedan berhenti di pintu lobi hotel Semenanjung. Seorang wanita cantik dengan pakaian casual; berkacamata hitam, celana warna cokelat kaki, dan kemeja putih bermerek, turun dari mobil. Dia mengitari pandang ke sekeliling hotel sambil menebar senyum pada siapa saja. Kemudian dia berjalan mengitari mobil. Dia membuka bagasinya. Dikeluarkannya traveling bag. Dia memanggil petugas hotel dan memberikan kunci mobilnya.

“Tolong parkirkan mobil saya,” pintanya dengan senyum ramah.

Petugas hotel itu mengangguk. Tamu cantik itu berjalan menuju lobi. Begitu memasuki lobi, dia berhenti sambil membuka kaca mata hitamnya. Dengan gerakan yang anggun, dia mengitari pandang, seolah-olah mengumumkan pada khalayak ramai bahwa kedatangan dirinya jangan sampai dilewatkan.

Terbukti, semua orang yang ada di lobi dalam sekejap tertuju padanya. Dia melemparkan senyum manisnya pada semua orang sambil melangkahkan kaki menuju meja resepsionis. Dua orang karyawan hotel menyambutnya.

“Assalamu’alaikum,” sapa resepsionis wanita.

“Wa’alaikum salam,” dia masih menebar pesonanya. “Masih ada kamar?” tanyanya.

Resepsionis yang lelaki sibuk mencari,cari di buku. Padahal biasanya dia tidak pernah begitu.

“Hmmm, sebentar, Bu ...,” katanya.

“Kok, Ibu?” ledeknya. “Aku masih ‘nona’, Mas!” senyumnya lagi.

“Oh, Nona, ya ...,” katanya gugup. “Maaf, maaf, Mbak ...”

Karyawan yang wanita menginjak kaki temannya dengan sebal. “Genit kamu!” katanya pelan. “Laporin sama Pak Jalal, tau rasa kamu!” ancamnya.

“Ssst ...,” bisiknya malu-malu. “Ini kan termasuk pelayanan juga,” katanya tak mau kalah.

“Gimana, ada nggak?” si tamu tersenyum.

“Ada, ada ..., Mbak ...,” karyawan lelaki menimpali.

“Yang menghadap ke pantai, ya!”

“Iya, iya!”

“Pemilik hotel ini namanya ‘Muhammad Al Jalal’, ya?”

Kedua resepsionis itu saling padang.

“Iya, bukan?”

“Iya, iya!” petugas yang lelaki merasa heran.

“Kok, Mbak tahu?”

“Tahu aja!”

“Berapa malam, Mbak?” karyawan wanita langsung memotong.

“Bisa sehari, dua hari ..., atau ...hmm ... seminggu ...,” katanya enteng saja sambil mengeluarkan kartu tanda pengenalnya.

“Cash atau pakai kartu?” karyawan perempuan membaca KTP si tamu.

“Kartu,” dia mengambil kartu kreditnya dan menyerahkannya pada karyawan wanita.

Karyawan lelaki terdiam. Dia menatap tamunya dengan perasaan kagum. Tetapi, lagi-lagi dia membuang muka, ketika kakinya diinjak teman wanitanya yang sedang sibuk memasukkan data-data si tamu ke komputer.

“Bosmu itu udah punya anak berapa?”

“Dua,” jawab karyawan lelaki.

“Bosmu suka ke sini?”

“Suka. Tapi nggak tentu.”

“Kalau malam Minggu, Pak Jalal suka menginap di sini bersama Ibu dan kedua anaknya,” si karyawan wanita memotong dengan kesal.

“Oh, ya?” dia tersenyum. “Keluarga yang bahagia!”

“Mereka memang bahagia!”

Si Tamu hanya tersenyum saja. Dia merasa lucu dengan tingkah laku kedua karyawan hotel ini. “Sudah?” tanyanya.

“Silakan, Mbak,” resepsionis wanita mempersilakan si Tamu mengikuti room boy.

“Terima kasih,” si tamu tersenyum.

Tetapi baru saja beberapa langkah, seorang petugas hotel mendekatinya. Dia memberikan kunci mobil padanya. Si Tamu membuka dompetnya dan memberikan selembar dua puluh ribuan sebagai tip.

“Terima kasih,” si petugas menerima tip itu dengan wajah berseri-seri.

Si Tamu cantik mengangguk, dan kembali mengikuti room boy ke kamarnya yang menghadap ke pantai. Lenggak-lenggoknya sangat beraturan dan enak dipandang. Semua mata memang memandangnya tanpa mau berkedip.

“Siapa sih, dia?” gumam resepsionis lelaki sambil mengecek datanya di komputer.

“Nggak tau, ah!” jawab si resepsionis wanita tidak suka. “Namanya ‘Mutiara Harum Mewangi’. Puitis sekali namanya. Sesuai dengan orangnya yang cantik!”

“Emang gue pikirin!”

“Jangan-jangan ...”

“Jangan-jangan, apa?”

“Pak Jalal kan ganteng!”

“Udah, jangan bikin gosip!”

“Kok, sirik gitu, sih?”

“Abisnya!”

“Cemburu, ya sama aku?”

“Iya!”

“Aduuuh, sayang ...Aku tuh nggak level sama dia. Kayak bumi dan Iangit. Gajiku setahun aja, enggak bakalan kuat buat beli mas kawinnya!”

“Makanya, cepet lamar aku! Bulan depan, Pak Jalal kan ngasih pinjaman lunak buat yang mau kawin!”

“Iya, ya!”

“Mau, nggak?”

“InsyaAllah….”

“Bener?”

“Insya Allah!”

“Tapi, Insya Allah-nya, Insya Allah ngeriung, kan?”

“Iya, iya!” si lelaki serius mengiyakan.

Dan si wanita tampak puas mendengarnya. Ada gurat-gurat kebahagiaan di wajahnya.

Hal itu pun terjadi pada si Tamu cantik. Saat ini dia sedang membuka pintu balkon kamarnya. Di depannya kini membentang Selat Sunda yang indah. Gunung Krakatau samar-samar tampak terhalang sapuan awan. Dia berjalan ke luar kamar. Berdiri di balkon. Kedua tangannya dibiarkannya lepas. Angin menggeraikan rambutnya yang sebahu. Senyumnya mengembang, “Kamu pasti kaget melihatku, Jalal….”

~Episode 30~

Rabbi, lidah ini kelu
bukan kuasaku, lidah ini buta
bukan inginku, lidah ini beku
bukan karenaku, hati ini membiru:
pecahkan risau ini, ya Rabbi!

Mutiara duduk di restoran. Dia menatap sekeliling. Dia sengaja mengambil tempat duduk yang strategis dan bisa memandang luas ke seluruh sudut, tanpa harus menarik perhatian orang. Di mejanya ada makan malam yang dimakannya sedikit-sedikit serta segelas air putih. Dia wanita cantik dan modern. Dia sudah hampir seminggu menginap di hotel Semenanjung. Ada sesuatu yang sedang dicari-carinya.

Tiba.tiba dia tersenyum. Dia melihat ke pintu restoran. Tampak seorang ayah sedang mengejar-ngejar bocah kecil yang melempar-lempar bola karet ke lantai. Di belakangnya seorang ibu berjilbab, menuntun gadis cilik secantik dirinya.

“Pak!” bocah kecil itu mengejar bola karetnya yang menggelinding jauh.

“Ayo, ambil!” kata si bapak.

Bocah kecil itu berlari-lari. Si bapak tersenyum melihat gaya lari anak lelakinya yang masih belum stabil. Si ibu sudah berteriak-teriak agar si bocah hati-hati larinya. Kenyataannya begitu. Si bocah terjatuh. Si ayah mengejarnya dengan penuh tawa. Tetapi si ibu begitu cemas. Dalam beberapa saat, si bocah bangkit lagi dan kembali berlari mengambil bolanya.

Kini si bocah berdiri di depan seorang wanita cantik. Tiara-Mutiara Harum Mewangi. Bola karetnya ada di genggamannya. Si bocah menatapnya dengan malu-malu. Sedangkan bapaknya berdiri mematung, tak jauh dari tempat mereka.

“Ini bolanya,” Tiara menyodorkan bola karet.

“Bola Faqih….”

“Oh, Faqih namanva, ya?”

“Iya!”

“Ini bolanya….”

Faqih mengambil bolanya.

Bapak si bocah kini sudah mendekat. Tiara tersenyum padanya. Bapak si bocah berusaha tersenyum juga. Dia menoleh, melihat ke istrinya, yang juga sedang berjalan ke arahnya.

“Halo, Jalal,” sapanya.

“Tiara!”

“Itu istrimu?”

“Iya! Sedang apa kamu di sini?”

“Seperti kebanyakan tamu hotel lainnya. Menikmati laut.”

“Sudah cukup lama, Tiara. ...”

“Ya, sudah cukup lama…”

“Pak, Pak!” Faqih menarik-narik ujung kaos bapaknya.

“Ya, Faqih?”

“Siapa, Pak?”

Jalal tersenyum. “Ini Tante Tiara. Temen sekolah Bapak.”

“Temen sekolah Bapak?”

“Ayo, cium tangan dulu sana…”

Faqih dengan bersemangat mendekati Tiara. Dia mengulurkan lengannya. Tiara juga. Setelah itu, Faqih sudah duduk di pangkuan Tiara. Dia tidak malu-malu lagi. Apalagi setelah sebatang cokelat disodorkan Tiara padanya.

“Assalamu’alaikum,” terdengar suara Jodha menyapa.

Jalal berdebar keras jantungnya.

“Wa’alaikum salam,” Tiara bangkit dan meletakkan Faqih di kursi.

“Bu, mau itu!” kali ini Nur merajuk, menunjuk cokelat di tangan adiknya.

“Oh, mau cokelat, ya?” Tiara mengambil sebatang lagi dari tasnya. Diberikannya pada Nur.

Nur gembira menerimanya. Dia langsung duduk dan membuka cokelatnya.

“Eh ..., Nur kok, belum bilang makasih?” Jodha mengingatkan.

“Makasih, Tante,” kata Nur, di mulutnya sudah penuh dengan cokelat.

Tiara tersenyum. Jodha menatapnya. Jalal kikuk sejenak. Mereka beberapa saat hanya memperhatikan Nur dan Faqih yang sibuk mengunyah cokelat.

“Baru dua, ya?” Tiara memecahkan kebisuan.

“Oh, iya Baru dua ...,” Jalal kaget.

“Dua saja,” Jodha tersenyum meralat.

“Yah, dua saja cukup. Kan sudah sepasang,” Tiara tersenyum.

Jodha menatap suaminya. Ada sesuatu tersimpan lewat bola matanya. Sesuatu yang minta dijelaskan tentang siapa wanita cantik ini.

“Jodha ...,” Jalal akhirnya menjelaskan. “Ini ‘Tiara’… hmm. ‘Mutiara’ komplitnya…..”

Tiara mengulurkan lengannya.

“Tiara. .., ini istriku,” katanya pada Tiara.

Jodha menjabat lengan Tiara dengan ramah.

“Sendiri?” tanya Jodha tersenyum. :

“Iya. Sendiri saja,” Tiara menjawab dengan ramah pula.

“Ayo, silakan duduk,” Jalal mempersilakan Tiara duduk.

Tiara duduk. Jodha juga duduk sambil menatapnya. Seolah mengingatkan Jalal bahwa mereka datang ke restoran untuk suatu urusan penting. Tetapi Jalal tampak tidak menangkap arti tatapan Jodha. Dia sedang berada dalam suatu kebingungan. Dia tidak siap dengan pertemuan ini.

“Kerja di mana?” Jodha mencoba mencairkan suasana.

“Di koran. Aku dulu satu kantor dengan Jalal. Tapi, begitu Jalal dikirim ke Maluku, saya pindah ke televisi swasta. Lebih menantang.”

“Ke sini sekadar liburan?”

“Tujuan utamanya, meliput Banten yang baru saja jadi provinsi. Terutama duet gubernur dan wakil gubernur wanitanya. Sangat menarik. Daerah yang agamis, seorang pemimpinnya wanita. Bagaimana menurut Mbak?”

Jodha tersenyum. “Apa ini wawancara?” katanya tertawa ramah.

“Yah, begitulah. Salah satu cara megumpulkan opini masyarakat. Boleh kan, Jalal?”

Jalal agak kikuk, “Terserah istriku. Sudah lama aku meninggalkan dunia jurnalistik. Jadi, aku lupa dengan teknik wawancara untuk menghimpun opini publik,” kata Jalal berdiplomasi.

“Dulu, Jalal paling jago mewawancarai masyarakat. Tekniknya bukan sedang mewawancarai. Orang-orang diajaknya ngobrol. Seperti teman saja,” Tiara memuji Jalal.

Jodha menatap Jalal dengan tajam.

Akhirnya Jalal bangkit. “Maaf, Tiara. ..Kami harus pergi,” katanya menguatkan diri.

“Oh, silakan, silakan,” Tiara juga bangkit.

“Nur… Faqih….,” Jodha memanggilnya. “Ayo, cium tangan dulu sama Tante ...”

“Tangan Nur kotor, Bu ...,” Nur memperlihatkan tangannya yang belepotan cokelat.

“Ayo, bersihkan,” Jodha menyodorkan sapu tangan.

Nur yang pintar dengan cekatan membersihkan tangannya dengan sapu tangan. Adiknya tidak mau kalah. Dia selalu mencontoh apa yang dilakukan kakaknya. Kali ini pun dia mencari-cari sapu tangan buatnya karena tangannya juga kotor. Jalallah yang memberikan sapu tangannya. Dengan lagak orang dewasa, Faqih membersihkan wajahnya yang coreng-moreng dengan cokelat.

“Ayo ...,” Jodha menuntun Nur.

“Makasih cokelatnya, Tante!” Nur melambaikan tangannya.

“Sampai jumpa! Nanti sini lagi, ya!” giliran Faqih yang pamitan.

Mutiara tersenyum dan melambaikan tangannya. Jodha mencoba menyimak tatapan sendu pada bola matanya. Dan Jalal menyimpannya dalam hati peristiwa ini. Dia berjanji, segalanya tak perlu lagi disembunyikan. Jika ada kesempatan, dia akan membicarakan dengan Jodha.

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar