Kata-kata, sumpah.serapah
jampi-jampi, mantra-dusta
iblis-iblis, api neraka
mengantarku menjauh-Mu
membuatku bergulat berontak
Syair itu masih kuingat
Subhanallah, subhanallah!
(segalanya membeku, tidak bagiku!)
Sebuah mobil
sedan berhenti di pintu lobi hotel Semenanjung. Seorang wanita cantik dengan
pakaian casual; berkacamata hitam, celana warna cokelat kaki, dan kemeja putih
bermerek, turun dari mobil. Dia mengitari pandang ke sekeliling hotel sambil menebar
senyum pada siapa saja. Kemudian dia berjalan mengitari mobil. Dia membuka
bagasinya. Dikeluarkannya traveling bag. Dia memanggil petugas hotel dan
memberikan kunci mobilnya.
“Tolong
parkirkan mobil saya,” pintanya dengan senyum ramah.
Petugas
hotel itu mengangguk. Tamu cantik itu berjalan menuju lobi. Begitu memasuki
lobi, dia berhenti sambil membuka kaca mata hitamnya. Dengan gerakan yang
anggun, dia mengitari pandang, seolah-olah mengumumkan pada khalayak ramai
bahwa kedatangan dirinya jangan sampai dilewatkan.
Terbukti,
semua orang yang ada di lobi dalam sekejap tertuju padanya. Dia melemparkan
senyum manisnya pada semua orang sambil melangkahkan kaki menuju meja
resepsionis. Dua orang karyawan hotel menyambutnya.
“Assalamu’alaikum,”
sapa resepsionis wanita.
“Wa’alaikum
salam,” dia masih menebar pesonanya. “Masih ada kamar?” tanyanya.
Resepsionis
yang lelaki sibuk mencari,cari di buku. Padahal biasanya dia tidak pernah
begitu.
“Hmmm,
sebentar, Bu ...,” katanya.
“Kok, Ibu?”
ledeknya. “Aku masih ‘nona’, Mas!” senyumnya lagi.
“Oh, Nona,
ya ...,” katanya gugup. “Maaf, maaf, Mbak ...”
Karyawan
yang wanita menginjak kaki temannya dengan sebal. “Genit kamu!” katanya pelan. “Laporin
sama Pak Jalal, tau rasa kamu!” ancamnya.
“Ssst ...,”
bisiknya malu-malu. “Ini kan termasuk pelayanan juga,” katanya tak mau kalah.
“Gimana, ada
nggak?” si tamu tersenyum.
“Ada, ada
..., Mbak ...,” karyawan lelaki menimpali.
“Yang
menghadap ke pantai, ya!”
“Iya, iya!”
“Pemilik
hotel ini namanya ‘Muhammad Al Jalal’, ya?”
Kedua
resepsionis itu saling padang.
“Iya, bukan?”
“Iya, iya!”
petugas yang lelaki merasa heran.
“Kok, Mbak
tahu?”
“Tahu aja!”
“Berapa
malam, Mbak?” karyawan wanita langsung memotong.
“Bisa
sehari, dua hari ..., atau ...hmm ... seminggu ...,” katanya enteng saja sambil
mengeluarkan kartu tanda pengenalnya.
“Cash atau
pakai kartu?” karyawan perempuan membaca KTP si tamu.
“Kartu,” dia
mengambil kartu kreditnya dan menyerahkannya pada karyawan wanita.
Karyawan
lelaki terdiam. Dia menatap tamunya dengan perasaan kagum. Tetapi, lagi-lagi
dia membuang muka, ketika kakinya diinjak teman wanitanya yang sedang sibuk
memasukkan data-data si tamu ke komputer.
“Bosmu itu
udah punya anak berapa?”
“Dua,” jawab
karyawan lelaki.
“Bosmu suka
ke sini?”
“Suka. Tapi
nggak tentu.”
“Kalau malam
Minggu, Pak Jalal suka menginap di sini bersama Ibu dan kedua anaknya,” si
karyawan wanita memotong dengan kesal.
“Oh, ya?”
dia tersenyum. “Keluarga yang bahagia!”
“Mereka
memang bahagia!”
Si Tamu
hanya tersenyum saja. Dia merasa lucu dengan tingkah laku kedua karyawan hotel
ini. “Sudah?” tanyanya.
“Silakan,
Mbak,” resepsionis wanita mempersilakan si Tamu mengikuti room boy.
“Terima
kasih,” si tamu tersenyum.
Tetapi baru
saja beberapa langkah, seorang petugas hotel mendekatinya. Dia memberikan kunci
mobil padanya. Si Tamu membuka dompetnya dan memberikan selembar dua puluh
ribuan sebagai tip.
“Terima
kasih,” si petugas menerima tip itu dengan wajah berseri-seri.
Si Tamu
cantik mengangguk, dan kembali mengikuti room boy ke kamarnya yang menghadap ke
pantai. Lenggak-lenggoknya sangat beraturan dan enak dipandang. Semua mata
memang memandangnya tanpa mau berkedip.
“Siapa sih,
dia?” gumam resepsionis lelaki sambil mengecek datanya di komputer.
“Nggak tau,
ah!” jawab si resepsionis wanita tidak suka. “Namanya ‘Mutiara Harum Mewangi’.
Puitis sekali namanya. Sesuai dengan orangnya yang cantik!”
“Emang gue
pikirin!”
“Jangan-jangan
...”
“Jangan-jangan,
apa?”
“Pak Jalal
kan ganteng!”
“Udah,
jangan bikin gosip!”
“Kok, sirik
gitu, sih?”
“Abisnya!”
“Cemburu, ya
sama aku?”
“Iya!”
“Aduuuh,
sayang ...Aku tuh nggak level sama dia. Kayak bumi dan Iangit. Gajiku setahun
aja, enggak bakalan kuat buat beli mas kawinnya!”
“Makanya,
cepet lamar aku! Bulan depan, Pak Jalal kan ngasih pinjaman lunak buat yang mau
kawin!”
“Iya, ya!”
“Mau, nggak?”
“InsyaAllah….”
“Bener?”
“Insya
Allah!”
“Tapi, Insya
Allah-nya, Insya Allah ngeriung, kan?”
“Iya, iya!”
si lelaki serius mengiyakan.
Dan si
wanita tampak puas mendengarnya. Ada gurat-gurat kebahagiaan di wajahnya.
Hal itu pun
terjadi pada si Tamu cantik. Saat ini dia sedang membuka pintu balkon kamarnya.
Di depannya kini membentang Selat Sunda yang indah. Gunung Krakatau samar-samar
tampak terhalang sapuan awan. Dia berjalan ke luar kamar. Berdiri di balkon.
Kedua tangannya dibiarkannya lepas. Angin menggeraikan rambutnya yang sebahu.
Senyumnya mengembang, “Kamu pasti kaget melihatku, Jalal….”
~Episode 30~
Rabbi, lidah ini kelu
bukan kuasaku, lidah ini buta
bukan inginku, lidah ini beku
bukan karenaku, hati ini membiru:
pecahkan risau ini, ya Rabbi!
Mutiara
duduk di restoran. Dia menatap sekeliling. Dia sengaja mengambil tempat duduk
yang strategis dan bisa memandang luas ke seluruh sudut, tanpa harus menarik
perhatian orang. Di mejanya ada makan malam yang dimakannya sedikit-sedikit
serta segelas air putih. Dia wanita cantik dan modern. Dia sudah hampir
seminggu menginap di hotel Semenanjung. Ada sesuatu yang sedang dicari-carinya.
Tiba.tiba
dia tersenyum. Dia melihat ke pintu restoran. Tampak seorang ayah sedang
mengejar-ngejar bocah kecil yang melempar-lempar bola karet ke lantai. Di
belakangnya seorang ibu berjilbab, menuntun gadis cilik secantik dirinya.
“Pak!” bocah
kecil itu mengejar bola karetnya yang menggelinding jauh.
“Ayo, ambil!”
kata si bapak.
Bocah kecil
itu berlari-lari. Si bapak tersenyum melihat gaya lari anak lelakinya yang
masih belum stabil. Si ibu sudah berteriak-teriak agar si bocah hati-hati
larinya. Kenyataannya begitu. Si bocah terjatuh. Si ayah mengejarnya dengan
penuh tawa. Tetapi si ibu begitu cemas. Dalam beberapa saat, si bocah bangkit
lagi dan kembali berlari mengambil bolanya.
Kini si
bocah berdiri di depan seorang wanita cantik. Tiara-Mutiara Harum Mewangi. Bola
karetnya ada di genggamannya. Si bocah menatapnya dengan malu-malu. Sedangkan
bapaknya berdiri mematung, tak jauh dari tempat mereka.
“Ini
bolanya,” Tiara menyodorkan bola karet.
“Bola
Faqih….”
“Oh, Faqih namanva,
ya?”
“Iya!”
“Ini
bolanya….”
Faqih
mengambil bolanya.
Bapak si
bocah kini sudah mendekat. Tiara tersenyum padanya. Bapak si bocah berusaha
tersenyum juga. Dia menoleh, melihat ke istrinya, yang juga sedang berjalan ke
arahnya.
“Halo, Jalal,”
sapanya.
“Tiara!”
“Itu
istrimu?”
“Iya! Sedang
apa kamu di sini?”
“Seperti
kebanyakan tamu hotel lainnya. Menikmati laut.”
“Sudah cukup
lama, Tiara. ...”
“Ya, sudah
cukup lama…”
“Pak, Pak!”
Faqih menarik-narik ujung kaos bapaknya.
“Ya, Faqih?”
“Siapa, Pak?”
Jalal
tersenyum. “Ini Tante Tiara. Temen sekolah Bapak.”
“Temen
sekolah Bapak?”
“Ayo, cium
tangan dulu sana…”
Faqih dengan
bersemangat mendekati Tiara. Dia mengulurkan lengannya. Tiara juga. Setelah
itu, Faqih sudah duduk di pangkuan Tiara. Dia tidak malu-malu lagi. Apalagi
setelah sebatang cokelat disodorkan Tiara padanya.
“Assalamu’alaikum,”
terdengar suara Jodha menyapa.
Jalal
berdebar keras jantungnya.
“Wa’alaikum
salam,” Tiara bangkit dan meletakkan Faqih di kursi.
“Bu, mau
itu!” kali ini Nur merajuk, menunjuk cokelat di tangan adiknya.
“Oh, mau
cokelat, ya?” Tiara mengambil sebatang lagi dari tasnya. Diberikannya pada Nur.
Nur gembira
menerimanya. Dia langsung duduk dan membuka cokelatnya.
“Eh ..., Nur
kok, belum bilang makasih?” Jodha mengingatkan.
“Makasih,
Tante,” kata Nur, di mulutnya sudah penuh dengan cokelat.
Tiara
tersenyum. Jodha menatapnya. Jalal kikuk sejenak. Mereka beberapa saat hanya
memperhatikan Nur dan Faqih yang sibuk mengunyah cokelat.
“Baru dua,
ya?” Tiara memecahkan kebisuan.
“Oh, iya
Baru dua ...,” Jalal kaget.
“Dua saja,” Jodha
tersenyum meralat.
“Yah, dua
saja cukup. Kan sudah sepasang,” Tiara tersenyum.
Jodha
menatap suaminya. Ada sesuatu tersimpan lewat bola matanya. Sesuatu yang minta
dijelaskan tentang siapa wanita cantik ini.
“Jodha ...,”
Jalal akhirnya menjelaskan. “Ini ‘Tiara’… hmm. ‘Mutiara’ komplitnya…..”
Tiara
mengulurkan lengannya.
“Tiara. ..,
ini istriku,” katanya pada Tiara.
Jodha
menjabat lengan Tiara dengan ramah.
“Sendiri?”
tanya Jodha tersenyum. :
“Iya.
Sendiri saja,” Tiara menjawab dengan ramah pula.
“Ayo,
silakan duduk,” Jalal mempersilakan Tiara duduk.
Tiara duduk.
Jodha juga duduk sambil menatapnya. Seolah mengingatkan Jalal bahwa mereka
datang ke restoran untuk suatu urusan penting. Tetapi Jalal tampak tidak
menangkap arti tatapan Jodha. Dia sedang berada dalam suatu kebingungan. Dia
tidak siap dengan pertemuan ini.
“Kerja di
mana?” Jodha mencoba mencairkan suasana.
“Di koran.
Aku dulu satu kantor dengan Jalal. Tapi, begitu Jalal dikirim ke Maluku, saya
pindah ke televisi swasta. Lebih menantang.”
“Ke sini
sekadar liburan?”
“Tujuan
utamanya, meliput Banten yang baru saja jadi provinsi. Terutama duet gubernur
dan wakil gubernur wanitanya. Sangat menarik. Daerah yang agamis, seorang
pemimpinnya wanita. Bagaimana menurut Mbak?”
Jodha
tersenyum. “Apa ini wawancara?” katanya tertawa ramah.
“Yah,
begitulah. Salah satu cara megumpulkan opini masyarakat. Boleh kan, Jalal?”
Jalal agak
kikuk, “Terserah istriku. Sudah lama aku meninggalkan dunia jurnalistik. Jadi,
aku lupa dengan teknik wawancara untuk menghimpun opini publik,” kata Jalal
berdiplomasi.
“Dulu, Jalal
paling jago mewawancarai masyarakat. Tekniknya bukan sedang mewawancarai.
Orang-orang diajaknya ngobrol. Seperti teman saja,” Tiara memuji Jalal.
Jodha
menatap Jalal dengan tajam.
Akhirnya Jalal
bangkit. “Maaf, Tiara. ..Kami harus pergi,” katanya menguatkan diri.
“Oh,
silakan, silakan,” Tiara juga bangkit.
“Nur… Faqih….,”
Jodha memanggilnya. “Ayo, cium tangan dulu sama Tante ...”
“Tangan Nur
kotor, Bu ...,” Nur memperlihatkan tangannya yang belepotan cokelat.
“Ayo,
bersihkan,” Jodha menyodorkan sapu tangan.
Nur yang
pintar dengan cekatan membersihkan tangannya dengan sapu tangan. Adiknya tidak
mau kalah. Dia selalu mencontoh apa yang dilakukan kakaknya. Kali ini pun dia
mencari-cari sapu tangan buatnya karena tangannya juga kotor. Jalallah yang
memberikan sapu tangannya. Dengan lagak orang dewasa, Faqih membersihkan
wajahnya yang coreng-moreng dengan cokelat.
“Ayo ...,” Jodha
menuntun Nur.
“Makasih
cokelatnya, Tante!” Nur melambaikan tangannya.
“Sampai
jumpa! Nanti sini lagi, ya!” giliran Faqih yang pamitan.
Mutiara
tersenyum dan melambaikan tangannya. Jodha mencoba menyimak tatapan sendu pada
bola matanya. Dan Jalal menyimpannya dalam hati peristiwa ini. Dia berjanji,
segalanya tak perlu lagi disembunyikan. Jika ada kesempatan, dia akan
membicarakan dengan Jodha.
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar