Hingga mimpi kukejar Engkau
Mencari jawaban segala tanya
Memuaskan dahaga
Menuntaskan lapar
Mencairkan kerinduan tak terkira
Diana sekali
lagi membaca surat wasiat Pak Hari Natadiningrat kepada Siti Nurkhasanah, di
atas kertas bersegel! Dia merasakan gejolak hatinya menggelegak. Darahnya
mendidih. Kepalanya hendak meledak. Ini tidak benar! Ini keterlaluan! Jodha
mendapatkan hampir seluruh warisan Pak Hari? Mamanya dapat apa? Sungguh
keterlaluan! Apalagi dirinya, yang hanya mendapatkan hibah sebuah mobil tua!
Ini tidak masuk akal! Malah beberapa panti asuhan dan pesantren di Banten,
Jakarta, dan Bogor mendapat durian runtuh dari hibah harta Pak Hari!
Keterlaluan!
“Diana!”
Natalia sangat kaget, ketika rnemergoki anaknya sedang membaca surat wasiat Pak
Hari.
“Diana nggak
terima, Mama! Nggak terima!” dia marah sekali.
“Apa-apaan
kamu?” Natalia merebut map hijau itu. “Ini untuk Jodha! Kamu nggak berhak
membacanya!”
“Surat wasiat
ini nggak sah. Pasti Papa Hari lagi sekarat bikinnya!”
“Astaghfirullah,
kamu ini ngomong apa?!”
“Kenapa?
Diana, kan anak Mama juga!”
“Ingat,
Diana! Kamu bukan anak kandung Papa Hari!”
“Papa Hari
nggak adil!”
“Nggak adil,
bagaimana?”
“Jodha
mendapatkan lebih banyak dari Mama!”
“Lho, itu
kan sudah hak Jodha ...”
“Tapi, tetap
saja nggak adil!”
“Diana ...,
dengan kebagian rumah ini saja, Mama sudah bersyukur. Sudah alhamdulillah….”
“Tapi,
Mama…..”
“Tapi, apa?
Karena kamu nggak kebagian? Kamu nggak berhak, Diana. Ingat, almarhum papamu
mewariskan apa sama kamu? Harta yang melimpah. Mama dapat apa? Hanya rumah dan
pensiun papamu. Apa Mama mempermasalahkan? Nggak, kan? Kenapa? Karena itu
memang hak kamu sebagai seorang anak!”
Lalu Natalia
menjelaskan pada Diana, bahwa pembagian warisan berdasarkan surat wasiat itu
sudah diatur dalam QS An-Nisaa (4): 11-12 bahwa Jodha sebagai anak tunggal
mendapatkan setengahnya, sedangkan dirinya mendapatkan seperdelapan dari harta
Pak Hari, sesudah dipenuhi wasiat yang ditulisnya serta dibayar utang-utangnya.
Bahkan Natalia juga mengingatkan, Diana mendapat hibah dari Pak Hari walaupun
hanya sebuah mobil. Itu sudah lebih dari cukup! Sudah harus disyukuri! Diana
terdiam. Kata-kata mamanya mengingatkannya pada surat wasiat dari almarhum
papanya. Hampir semua harta kekayaan papanya jatuh ke tangannya. Kalau
berandai-andai, dia tidak usah bekerja pun, harta warisannya tidak akan habis.
Mamanya sama sekali tidak protes walaupun hanya mendapatkan pensiun almarhum ayahnya
sebagai mantan pejabat Orde Baru.
“Mama tahu
kamu nggak suka dengan surat wasiat ini.”
“Sudahlah,
Mama. Nggak perlu kita perdebatkan lagi. Papa Hari kan sudah memutuskan
begitu….”
“Kamu
ikhlas?”
“Tapi, Diana
tetap saja ini merasa nggak adil buat Mama,” nada suaranya sudah mulai
merendah.
“Sudah,
sudah,” Natalia mengusap-usap rambutnya. “Nggak akan ada selesainya kalau
ngamangin saal harta.”
“Iya, sih…”
“Ayo, kita
ke Cilegon sekarang. Kamu yang nyupir, ya!”
Cilegon?
Sudah lama dia tidak ke sana! Sejak kecelakaan itu!
“Gimana? Mau
ikut, nggak?”
“Iya, Ma!”
Diana bangkit dan tanpa banyak bicara berjalan ke luar rumah.
Segala macam
bayangan berkelebatan di benaknya. Jalal yang pernah mencampakkannya. Jalal
yang mengakibatkan wajahnya jadi rusak. Jodha yang merebut Jalal dari
tangannya. Jodha yang “merampok” Natalia darinya!
“Diana?”
Natalia menegurnya.
“Ya…..”
“Kalau kamu
masih capek, ya sudah ...kamu di rumah saja.”
Diana
menggeleng. Dia berjalan ke garasi. Masuk ke mobil dan menyalakan mesin mobil.
Natalia bergegas masuk. Dia duduk dan menatap anaknya dengan teliti. Dia tahu
kalau masih ada sesuatu yang mengganjal di hati anaknya.
“Mama tahu.
Ini karena kamu cemburu sama Jodha…..”
Diana merasa
wajahnya memerah. Dia tidak menyangka, kalau mamanya akan bicara seperti itu.
Dia memang mengakui jatuh cinta pada Jalal. Tetapi, ternyata Jalal
mencampakkannya. Luka parut di wajahnya ini adalah bukti hidup yang tidak akan
pernah hilang. Seluruh hidupnya hancur gara-gara luka parut sialan ini. Dia
sudah berusaha untuk menghilangkannya dengan operasi plastik di Amerika.
Tetapi, hanya mengurangi saja, tidak bisa total hilang. Luka parut yang
melintang tipis di pipinya, tetap saja menghancurkan kariernya. Produk-produk
kosmetik langsung membantalkan kontraknya! Lantas Diana memutuskan untuk kuliah
dan menetap di Singapura. Ayahnya yang mantan pejabat Orde Baru mempunyai
apartemen. Dia tidak peduli, apakah apartemen itu dibeli papanya dari uang
korupsi atau bukan. Pokoknya, dia ingin meninggalkan Jakarta. Melupakan segala
kenangan manis; gebyar lampu blitz para fotografer, tepuk tangan meriah, serta lenggak-lenggok
gemulai di catwalk!
~Episode 28~
Pencarianku di ujung dunia
menemui kerak-kerak peradaban
Terasing dan kalah
Menjadi pinggiran menyedihkan
Menyisakan gurat kesombongan:
Aku manusia batu, sisa-sisa masa lalu!
Siti Jodha
Nurkhasanah masih berbaring di tempat tidur ketika Natalia memberikan map
berwarna hijau padanya. Faqih, bayi yang baru dilahirkannya tertidur di
sebelahnya. Dia tidak bisa menghadiri pemakaman ayahnya, karena kondisinya
belum pulih benar setelah melahirkan bayi keduanya.
“Apa ini?” Jodha
merasa heran.
“Warisan
kamu!” kata Diana ketus.
Jodha kaget
mendengar nada suara Diana yang ketus.
“Bacalah,”
Natalia duduk di sisi pembaringan sambil melihat si bayi.
“Alhamdulillah,
laki-laki ... Sepasang sudah,” katanya bahagia sambil memangku si bayi. Lalu
ditimang-timang cucu lelakinya itu. “Sayang, kamu nggak bisa ketemu kakekmu.
Dia sangat menginginkan sekali punya cucu laki-laki,” katanya penuh haru.
Diana duduk
di kursi dekat jendela dan memilih membaca majalah fashion yang dibawanya. Dia
sengaja memperlihatkan sikap acuh tak acuh dengan kehadiran si bayi. Natalia
menatapnya dengan tatapan memerintah, agar dia mengubah perilakunya. Tetapi,
Diana tidak peduli. Jodha melemparkan senyum bijak pada ibunya, seolah
memberitahukan bahwa kelakuan Diana tidak menjadi masalah baginya.
Jodha masih
menimang-nimang map hijau itu.
“Sudah
diberi nama?”
“Sudah, Bu.
Namanya ‘Muhammad Al Faqih’,” katanya sambil memeriksa beberapa lembar kertas
bermaterai. Dadanya berdegup keras. Surat wasiat!
“Faqih,”
Natalia meletakkan si bayi di sebelah Jodha. “Sudah diberi ASI?”
“Alhamdulillah,
Bu,” jawab Jodha, tetapi matanya tetap pada map hijau itu.
“Ayo, dibuka
mapnya,” Natalia mengingatkan.
Saat itu Nur
kecil masuk. Dia sangat gembira melihat neneknya datang.
“Nenek
datang, Nenek datang!” teriaknya gembira.
“Assalamu’alaikum,
Nur Sayang,” Natalia tersenyum sambil menyodorkan lengannya.
Tetapi, Nur
menarik-narik selimut si bayi. “Dedenya tidur, ya?” katanya ingin tahu.
“Iya,”
Natalia tersenyum.
“Ayo, cium
tangan Nenek dulu, Nur,” suruh Jodha pada anak sulungnya, tetapi kedua bola
matanya terbelalak ketika menyadari bahwa isi map itu adalah surat wasiat Pak
Hari, yang mengatur tentang pembagian warisan. “Masya Allah!” pekiknya tidak
percaya.
“Kaget, ya?”
Diana mencibir. “Jadi miliuner kamu!”
“Diana!”
tegur Natalia.
Jodha
menatap Natalia. Dia merasa ini terlalu kebanyakan. “Apa aku nggak salah baca,
Bu?” nada suaranya penuh keraguan.
“Nggak,”
Natalia tersenyum sambil menimang-nimang Faqih.
“Kok,
dedenya digendong Nenek?” Nur merasa tidak disayang.
Si bayi
menangis, seolah mendengar nada protes dari kakaknya. “Tuh, dedenya nangis.
Dedenya pingin minum susu,” Natalia meletakkan bayinya di sebelah Jodha.
“Dede minum
susu!” Nur naik ke tempat tidur.
“Nur,”
Natalia memanggil. “Katanya mau digendong Nenek?”
“Nggak mau!
Nur pingin minum susu Ibu!”
“Nur,” Jodha
menegur dengan tegas. “Ayo, turun!”
“Tuh, ada
Tante Diana. Cium tangan dulu, sana ...,” Natalia berusaha memangkunya.
“Nggak mau!
Tante Diana jahat!”
“Eh ...,
nggak baleh bilang begitu sama Tante. Sana, minta maaf sama Tante,” Jodha
menatap Nur dengan tajam.
Nur takut
juga jika melihat ibunya sudah melatat. Dia menurut saja ketika neneknya
memangkunya. Tetapi, dia tidak berani melihat Diana yang menatapnya dengan
marah.
“Bilang apa
kamu tadi?” Diana marah, “Dasar nakal!”
“Nggak mau,
nggak mau! Tante Diana jahat!” Nur meronta-ronta. Dia minta diturunkan dari
gendongan neneknya.
“Diana!”
Natalia betul-betul marah.
“Ah!” Diana
bangkit. “Selalu saja Diana yang disalahin!” gerutunya.
“Nur, kan
masih kecil!”
“Mama!
Sekali-kali, anak kecil juga mesti dikasih pelajaran! Ajarin dong, sopan
santun!” kalimatnya ditujukan pada Jodha.
“Astaghfirullah
...,” Natalia tidak percaya dengan ucapan anaknya.
“Iya, Bu,” Jodha
menengahi dengan sabar. “Nur memang tidak sopan tadi. Harusnya aku mengajari
Nur sopan santun ...”
Nur masih
saja menangis. Malah tambah keras.
“Iya, kan!”
Diana merasa menang sendiri. “Diana tunggu di mobil, deh! “ dia ngeloyor pergi.
Natalia
tidak sanggup mencegah karena dia tahu itu percuma. “Maafkan Diana, ya ...,”
katanya sambil menurunkan Nur.
“Nggak
apa-apa, Bu,” Jodha yang sudah menyusui Faqih tersenyum. Kini dia merangkul
Nur, yang merapat ke tubuhnya karena ingin melihat Faqih.
“Dedenya
lagi minum. Haus,” kata Jodha mengusap kepala Nur.
“Iya,
dedenya haus,” Nur mengelus-elus kepala adiknya dengan sayang. “Nur juga haus.
Minum susu dulu!”
“Sana, minta
sama Bibik!”
Nur menurut.
Dia beranjak pergi. “Nek, Nur mau minum susu dulu. Haus. Dede juga minum susu,”
katanya pada Natalia sambil melompat-lompat.
“Dadah,
Nenek!” dia melambaikan tangannya dan keluar dari kamar.
“Dadaaah,”
Natalia membalas lambaian tangannya.
Jodha
tersenyum melihat kelincahan si sulung. Dia kembali mengambil map hijau itu.
Menyerahkannya pada Natalia. “Bu, aku merasa nggak berhak menerimanya,”
katanya.
“Kenapa, Jodha?
Itu harta kekayaan papamu. Kalau kamu menolak, berarti kamu menolak juga papamu
sebagai ayah kandungmu.”
“Tapi, Bu
..., untuk apa harta sebanyak itu? Di sini pun aku nggak kekurangan.”
“Yang
penting sekarang, terimalah warisan ini, supaya papamu senang di alam kubur
sana. Dan juga supaya Mama nggak merasa bersalah. Apa kata orang nanti, kalau
mereka tahu kamu nggak nerima warisan sepeser pun. Bisa jadi fitnah, kan?”
Jodha
terdiam. Dia melihat Faqih yang kelihatannya masih kehausan.
“Setelah
kamu terima, terserah mau kamu apakan warisan itu. Atau, kenapa kamu tidak
membuat rumah sakit swasta saja sekalian?”
Jodha
termenung. Lalu, “Diana, bagaimana? Dia hanya mendapatkan hibah sebuah mobil.
Diana pasti marah.”
“Itu lebih
dari cukup.”
Jodha
menatap ibunya. “Selanjutnya, Ibu bagaimana?”
“Ibu mungkin
mau ikut bersama Diana ke Singapura. Tinggal beberapa lama di sana. Menemaninya
sampai lulus kuliah.”
Jodha
mengangguk-angguk. Matanya berkaca-kaca.
Natalia
juga.
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar