Jumat, 26 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 27 & 28 – By Gola Gong

~Episode 27~

Hingga mimpi kukejar Engkau
Mencari jawaban segala tanya
Memuaskan dahaga
Menuntaskan lapar
Mencairkan kerinduan tak terkira

Diana sekali lagi membaca surat wasiat Pak Hari Natadiningrat kepada Siti Nurkhasanah, di atas kertas bersegel! Dia merasakan gejolak hatinya menggelegak. Darahnya mendidih. Kepalanya hendak meledak. Ini tidak benar! Ini keterlaluan! Jodha mendapatkan hampir seluruh warisan Pak Hari? Mamanya dapat apa? Sungguh keterlaluan! Apalagi dirinya, yang hanya mendapatkan hibah sebuah mobil tua! Ini tidak masuk akal! Malah beberapa panti asuhan dan pesantren di Banten, Jakarta, dan Bogor mendapat durian runtuh dari hibah harta Pak Hari! Keterlaluan!

“Diana!” Natalia sangat kaget, ketika rnemergoki anaknya sedang membaca surat wasiat Pak Hari.

“Diana nggak terima, Mama! Nggak terima!” dia marah sekali.

“Apa-apaan kamu?” Natalia merebut map hijau itu. “Ini untuk Jodha! Kamu nggak berhak membacanya!”

“Surat wasiat ini nggak sah. Pasti Papa Hari lagi sekarat bikinnya!”

“Astaghfirullah, kamu ini ngomong apa?!”

“Kenapa? Diana, kan anak Mama juga!”

“Ingat, Diana! Kamu bukan anak kandung Papa Hari!”

“Papa Hari nggak adil!”

“Nggak adil, bagaimana?”

“Jodha mendapatkan lebih banyak dari Mama!”

“Lho, itu kan sudah hak Jodha ...”

“Tapi, tetap saja nggak adil!”

“Diana ..., dengan kebagian rumah ini saja, Mama sudah bersyukur. Sudah alhamdulillah….”

“Tapi, Mama…..”

“Tapi, apa? Karena kamu nggak kebagian? Kamu nggak berhak, Diana. Ingat, almarhum papamu mewariskan apa sama kamu? Harta yang melimpah. Mama dapat apa? Hanya rumah dan pensiun papamu. Apa Mama mempermasalahkan? Nggak, kan? Kenapa? Karena itu memang hak kamu sebagai seorang anak!”

Lalu Natalia menjelaskan pada Diana, bahwa pembagian warisan berdasarkan surat wasiat itu sudah diatur dalam QS An-Nisaa (4): 11-12 bahwa Jodha sebagai anak tunggal mendapatkan setengahnya, sedangkan dirinya mendapatkan seperdelapan dari harta Pak Hari, sesudah dipenuhi wasiat yang ditulisnya serta dibayar utang-utangnya. Bahkan Natalia juga mengingatkan, Diana mendapat hibah dari Pak Hari walaupun hanya sebuah mobil. Itu sudah lebih dari cukup! Sudah harus disyukuri! Diana terdiam. Kata-kata mamanya mengingatkannya pada surat wasiat dari almarhum papanya. Hampir semua harta kekayaan papanya jatuh ke tangannya. Kalau berandai-andai, dia tidak usah bekerja pun, harta warisannya tidak akan habis. Mamanya sama sekali tidak protes walaupun hanya mendapatkan pensiun almarhum ayahnya sebagai mantan pejabat Orde Baru.

“Mama tahu kamu nggak suka dengan surat wasiat ini.”

“Sudahlah, Mama. Nggak perlu kita perdebatkan lagi. Papa Hari kan sudah memutuskan begitu….”

“Kamu ikhlas?”

“Tapi, Diana tetap saja ini merasa nggak adil buat Mama,” nada suaranya sudah mulai merendah.

“Sudah, sudah,” Natalia mengusap-usap rambutnya. “Nggak akan ada selesainya kalau ngamangin saal harta.”

“Iya, sih…”

“Ayo, kita ke Cilegon sekarang. Kamu yang nyupir, ya!”

Cilegon? Sudah lama dia tidak ke sana! Sejak kecelakaan itu!

“Gimana? Mau ikut, nggak?”

“Iya, Ma!” Diana bangkit dan tanpa banyak bicara berjalan ke luar rumah.

Segala macam bayangan berkelebatan di benaknya. Jalal yang pernah mencampakkannya. Jalal yang mengakibatkan wajahnya jadi rusak. Jodha yang merebut Jalal dari tangannya. Jodha yang “merampok” Natalia darinya!

“Diana?” Natalia menegurnya.

“Ya…..”

“Kalau kamu masih capek, ya sudah ...kamu di rumah saja.”

Diana menggeleng. Dia berjalan ke garasi. Masuk ke mobil dan menyalakan mesin mobil. Natalia bergegas masuk. Dia duduk dan menatap anaknya dengan teliti. Dia tahu kalau masih ada sesuatu yang mengganjal di hati anaknya.

“Mama tahu. Ini karena kamu cemburu sama Jodha…..”

Diana merasa wajahnya memerah. Dia tidak menyangka, kalau mamanya akan bicara seperti itu. Dia memang mengakui jatuh cinta pada Jalal. Tetapi, ternyata Jalal mencampakkannya. Luka parut di wajahnya ini adalah bukti hidup yang tidak akan pernah hilang. Seluruh hidupnya hancur gara-gara luka parut sialan ini. Dia sudah berusaha untuk menghilangkannya dengan operasi plastik di Amerika. Tetapi, hanya mengurangi saja, tidak bisa total hilang. Luka parut yang melintang tipis di pipinya, tetap saja menghancurkan kariernya. Produk-produk kosmetik langsung membantalkan kontraknya! Lantas Diana memutuskan untuk kuliah dan menetap di Singapura. Ayahnya yang mantan pejabat Orde Baru mempunyai apartemen. Dia tidak peduli, apakah apartemen itu dibeli papanya dari uang korupsi atau bukan. Pokoknya, dia ingin meninggalkan Jakarta. Melupakan segala kenangan manis; gebyar lampu blitz para fotografer, tepuk tangan meriah, serta lenggak-lenggok gemulai di catwalk!

~Episode 28~

Pencarianku di ujung dunia
menemui kerak-kerak peradaban
Terasing dan kalah
Menjadi pinggiran menyedihkan
Menyisakan gurat kesombongan:
Aku manusia batu, sisa-sisa masa lalu!

Siti Jodha Nurkhasanah masih berbaring di tempat tidur ketika Natalia memberikan map berwarna hijau padanya. Faqih, bayi yang baru dilahirkannya tertidur di sebelahnya. Dia tidak bisa menghadiri pemakaman ayahnya, karena kondisinya belum pulih benar setelah melahirkan bayi keduanya.

“Apa ini?” Jodha merasa heran.

“Warisan kamu!” kata Diana ketus.

Jodha kaget mendengar nada suara Diana yang ketus.

“Bacalah,” Natalia duduk di sisi pembaringan sambil melihat si bayi.

“Alhamdulillah, laki-laki ... Sepasang sudah,” katanya bahagia sambil memangku si bayi. Lalu ditimang-timang cucu lelakinya itu. “Sayang, kamu nggak bisa ketemu kakekmu. Dia sangat menginginkan sekali punya cucu laki-laki,” katanya penuh haru.

Diana duduk di kursi dekat jendela dan memilih membaca majalah fashion yang dibawanya. Dia sengaja memperlihatkan sikap acuh tak acuh dengan kehadiran si bayi. Natalia menatapnya dengan tatapan memerintah, agar dia mengubah perilakunya. Tetapi, Diana tidak peduli. Jodha melemparkan senyum bijak pada ibunya, seolah memberitahukan bahwa kelakuan Diana tidak menjadi masalah baginya.

Jodha masih menimang-nimang map hijau itu.

“Sudah diberi nama?”

“Sudah, Bu. Namanya ‘Muhammad Al Faqih’,” katanya sambil memeriksa beberapa lembar kertas bermaterai. Dadanya berdegup keras. Surat wasiat!

“Faqih,” Natalia meletakkan si bayi di sebelah Jodha. “Sudah diberi ASI?”

“Alhamdulillah, Bu,” jawab Jodha, tetapi matanya tetap pada map hijau itu.

“Ayo, dibuka mapnya,” Natalia mengingatkan.

Saat itu Nur kecil masuk. Dia sangat gembira melihat neneknya datang.

“Nenek datang, Nenek datang!” teriaknya gembira.

“Assalamu’alaikum, Nur Sayang,” Natalia tersenyum sambil menyodorkan lengannya.

Tetapi, Nur menarik-narik selimut si bayi. “Dedenya tidur, ya?” katanya ingin tahu.

“Iya,” Natalia tersenyum.

“Ayo, cium tangan Nenek dulu, Nur,” suruh Jodha pada anak sulungnya, tetapi kedua bola matanya terbelalak ketika menyadari bahwa isi map itu adalah surat wasiat Pak Hari, yang mengatur tentang pembagian warisan. “Masya Allah!” pekiknya tidak percaya.

“Kaget, ya?” Diana mencibir. “Jadi miliuner kamu!”

“Diana!” tegur Natalia.

Jodha menatap Natalia. Dia merasa ini terlalu kebanyakan. “Apa aku nggak salah baca, Bu?” nada suaranya penuh keraguan.

“Nggak,” Natalia tersenyum sambil menimang-nimang Faqih.

“Kok, dedenya digendong Nenek?” Nur merasa tidak disayang.

Si bayi menangis, seolah mendengar nada protes dari kakaknya. “Tuh, dedenya nangis. Dedenya pingin minum susu,” Natalia meletakkan bayinya di sebelah Jodha.

“Dede minum susu!” Nur naik ke tempat tidur.

“Nur,” Natalia memanggil. “Katanya mau digendong Nenek?”

“Nggak mau! Nur pingin minum susu Ibu!”

“Nur,” Jodha menegur dengan tegas. “Ayo, turun!”

“Tuh, ada Tante Diana. Cium tangan dulu, sana ...,” Natalia berusaha memangkunya.

“Nggak mau! Tante Diana jahat!”

“Eh ..., nggak baleh bilang begitu sama Tante. Sana, minta maaf sama Tante,” Jodha menatap Nur dengan tajam.

Nur takut juga jika melihat ibunya sudah melatat. Dia menurut saja ketika neneknya memangkunya. Tetapi, dia tidak berani melihat Diana yang menatapnya dengan marah.

“Bilang apa kamu tadi?” Diana marah, “Dasar nakal!”

“Nggak mau, nggak mau! Tante Diana jahat!” Nur meronta-ronta. Dia minta diturunkan dari gendongan neneknya.

“Diana!” Natalia betul-betul marah.

“Ah!” Diana bangkit. “Selalu saja Diana yang disalahin!” gerutunya.

“Nur, kan masih kecil!”

“Mama! Sekali-kali, anak kecil juga mesti dikasih pelajaran! Ajarin dong, sopan santun!” kalimatnya ditujukan pada Jodha.

“Astaghfirullah ...,” Natalia tidak percaya dengan ucapan anaknya.

“Iya, Bu,” Jodha menengahi dengan sabar. “Nur memang tidak sopan tadi. Harusnya aku mengajari Nur sopan santun ...”

Nur masih saja menangis. Malah tambah keras.

“Iya, kan!” Diana merasa menang sendiri. “Diana tunggu di mobil, deh! “ dia ngeloyor pergi.

Natalia tidak sanggup mencegah karena dia tahu itu percuma. “Maafkan Diana, ya ...,” katanya sambil menurunkan Nur.

“Nggak apa-apa, Bu,” Jodha yang sudah menyusui Faqih tersenyum. Kini dia merangkul Nur, yang merapat ke tubuhnya karena ingin melihat Faqih.

“Dedenya lagi minum. Haus,” kata Jodha mengusap kepala Nur.

“Iya, dedenya haus,” Nur mengelus-elus kepala adiknya dengan sayang. “Nur juga haus. Minum susu dulu!”

“Sana, minta sama Bibik!”

Nur menurut. Dia beranjak pergi. “Nek, Nur mau minum susu dulu. Haus. Dede juga minum susu,” katanya pada Natalia sambil melompat-lompat.

“Dadah, Nenek!” dia melambaikan tangannya dan keluar dari kamar.

“Dadaaah,” Natalia membalas lambaian tangannya.

Jodha tersenyum melihat kelincahan si sulung. Dia kembali mengambil map hijau itu. Menyerahkannya pada Natalia. “Bu, aku merasa nggak berhak menerimanya,” katanya.

“Kenapa, Jodha? Itu harta kekayaan papamu. Kalau kamu menolak, berarti kamu menolak juga papamu sebagai ayah kandungmu.”

“Tapi, Bu ..., untuk apa harta sebanyak itu? Di sini pun aku nggak kekurangan.”

“Yang penting sekarang, terimalah warisan ini, supaya papamu senang di alam kubur sana. Dan juga supaya Mama nggak merasa bersalah. Apa kata orang nanti, kalau mereka tahu kamu nggak nerima warisan sepeser pun. Bisa jadi fitnah, kan?”

Jodha terdiam. Dia melihat Faqih yang kelihatannya masih kehausan.

“Setelah kamu terima, terserah mau kamu apakan warisan itu. Atau, kenapa kamu tidak membuat rumah sakit swasta saja sekalian?”

Jodha termenung. Lalu, “Diana, bagaimana? Dia hanya mendapatkan hibah sebuah mobil. Diana pasti marah.”

“Itu lebih dari cukup.”

Jodha menatap ibunya. “Selanjutnya, Ibu bagaimana?”

“Ibu mungkin mau ikut bersama Diana ke Singapura. Tinggal beberapa lama di sana. Menemaninya sampai lulus kuliah.”

Jodha mengangguk-angguk. Matanya berkaca-kaca.

Natalia juga.

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar