“Sebentar,
sebentar!” Dicky mencegah. “Jangan pergi dulu, Jodha!”
Jodha
menatap suaminya dengan gusar.
Jalal
menatap Dicky dengan sebal. “Sebaiknya kamu pergi dari sini, Dick! Kamu tamu yang
tidak diharapkan! Mengerti?!”
“Please ...,”
Dicky memohon. “Izinkan saya bicara pada kalian. Ini tentang saya dan ayah
saya. Sungguh, saya menyesal dengan peristiwa yang menimpa Pak Haji. Saya
khilaf. Saya minta maaf dengan tulus,” suaranya serius.
Jalal
menatap Jodha. Seolah meyakinkan istrinya bahwa Dicky pandai bersilat lidah.
“Saya sudah
menebus kesalahan saya di penjara. Bahkan ayah saya sekarang dirawat di rumah
sakit, terkena stroke. Bukankah itu cukup sebagai hukuman yang ditimpakan Allah
pada saya dan ayah saya?”
“Innaa
lillaahi ...,” Jodha merasa prihatin.
Tetapi Jalal
tetap waspada.
Dicky merasa
di atas angin. Dia berjalan mendekati Jodha. “Saya mau lihat bayinya dulu!”
tanpa bisa dicegah, dia sudah di sebelah Jodha. Dia melihat bayi yang sedang
digendong Jodha sambil mencoba melucu. “Cantik! Seperti ibunya!” Dicky
tersenyum, kembali pada sifat asalnya.
“Terima
kasih,” Jodha tersenyum dan berlalu.
“Kamu belum
menerima permohonan maaf saya,” Dicky mendesak.
“Aku sudah
memaafkan kamu,” Jodha menjawab pendek dan menghilang ke dalam rumah.
“Apa lagi,
Dick?” Jalal mengusirnya.
“Wow, wow,
wow!” Dicky mengangkat kedua lengannya tinggi-tinggi. “Kamu nggak pernah
belajar dari pengalaman! Pantas saja kalau Hakim mati di tanganmu!” sindirnya.
“Heh! Jangan
ngomong sembarangan, ya!” Jalal mengancam.
Dicky
menggeleng. “Jalal, Jalal! Kamu itu masih perlu belajar banyak untuk menjadi
seorang pemimpin!” dia melecehkan. “Saya datang ke sini untuk silaturahmi.
Tapi, kamu malah memperlakukan aku seperti ini!”
“Aku nggak
butuh khotbah kamu!”
“Lihat! Kamu
sudah mempermalukan saya di depan mereka!” Dicky menunjuk ke halaman.
“Atau aku
akan mengusir kamu secara paksa!”
“Oke, oke!
Saya akan pergi!” Dicky mengalah.
Dia pergi
sambil melemparkan senyum kepada orang-orang.
Jalal
menatap kepergiannya dengan perasaan sebal.
“Kenapa kamu
bersikap kasar ?” terdengar suara Jodha penuh sesal. Dia muncul dari dalam
rumah. Si bayi sudah tidak digendongnya lagi.
“Orang kayak
Dicky nggak boleh dikasih hati! Bisa belagu dia!”
“Tapi, dia
tamu. Dia datang dengan baik-baik. Kita harus menghormati tamu.”
“Kamu sudah
menghormati dia sebagai tamu! Tapi, jangan paksa saya untuk melakukan hal yang
sama! Terlalu banyak luka yang belum tersembuhkan karena dia dan ayahnya!”
Jodha
terdiam. Luka lama. Dia sendiri pernah punya. Tetapi, semuanya dia serahkan
pada Allah. Toh, Dicky sudah menerima ganjarannya: penjara.
Hanya saja,
luka lama Jalal memang sangat berat sekali. Yaitu kehilangan orang yang
dicintainya: bapak. Sebetulnya sampai sekarang, dengan pelanpelan dan
kesabaran, Jalal terus berusaha mengumpulkan bukti-bukti baru bahwa peristiwa
tabrak lari yang menimpa ayahnya adalah hasil rekayasa Dicky dan ayahnya,
Marabunta. Tetapi, hasilnya masih tetap nihil. Jodha selalu mengingatkan agar Jalal
mengikhlaskan semuanya. Yakinlah, bahwa hukuman setimpal akan menimpa Dicky dan
ayahnya di hari pembalasan nanti!
“Bukankah
Allah Maha Pengampun?” Jodha mencoba lagi.
Jalal
menatapnya. “Kenapa kamu membela dia, orang yang sudah jelas mengakibatkan
Bapak meninggal?” suara Jalal agak meninggi.
“Ssst ...,
jangan emosi kayak gitu. Nggak enak sama yang lain.”
Jalal
tersadar. Dia berusaha bersikap biasa lagi. Dia duduk. Dia melihat ke halaman,
anak-anak yatim piatu itu sedang bergembira bernyanyi-nyanyi sambil menikmati
hidangan ala kadarnya.
“Tuan
Marabunta sekarang terkena stroke. Allah ternyata lebih awal memberinya hukuman
di sini,” Jodha mengingatkan.
Jalal
mengangguk walaupun dari tatapan matanya masih belum bisa menerima kenyataan
ini. Dari raut wajahnya juga, masih terlukis kemarahan terhadap Dicky dan
ayahnya.
“Tidak baik
hidup diliputi dendam. Yang rugi kita sendiri….”
Jalal
menatapnya.
“Kak Jalal
bisa mengikhlaskannya sekarang?”
Jalal
membuang wajahnya. Dia menatap lagi ke halaman. Dia melihat Pak Hari sedang
menari-nari dengan seorang anak.
“Aku nggak
mau, sepanjang hidup kita nanti, kamu selalu dibayangi peristiwa ini.”
Kini Jalal
menatapnya lagi.
“Kak Jalal
mau dengar omonganku?”
Jalal
mengangguk.
“Aku minta
jawabannya sekarang.”
Jalal masih
terdiam.
“Bersihkan
jiwa Kak Jalal dari dendam. Ingat, Kak Jalal sekarang sudah jadi bapak.
Tanggung jawabnya tidak hanya pada aku semata. Tapi juga pada anak-anak kita
kelak. Mereka akan meniru apa yang diperbuat bapaknya.”
Jalal
melontarkan napasnya.
“Kak Jalal
belum mau menjawab?”
“Insya
Allah, Jodha ...,” akhirnya Jalal bersuara, setelah sang iblis dan malaikat
bertempur di dadanya.
~Episode 18~
Kerikil-kerikil berserakan
Dikumpulkan dengan doa
Lalu menjadi monumen kebahagiaan
Kuat dan kokoh dalam firman-Nya:
Jadikan itu rumah-Nya!
Truk-truk
pengangkut tanah merah dan batu bata hilir mudik di perkampungan dekat stasiun.
Muatan itu ditumpahkan di sebidang tanah yang kini sedang dilanda kesibukan
luar biasa. Pembangunan klinik hampir selesai. Tampak para tukang sedang
memasang genteng di atap.
“Awas,
gentengnya! “ Pak Soleh berteriak pada para tukang yang sejak tadi bercanda
melulu.
“Tenang. Pak
Soleh!” seorang tukang tertawa.
“Tenang,
tenang gimana! Kalian ngelemparin gentengnya sembarangan!”
“Udah biasa.
Pak Soleh! Nih!” tukang itu melemparkan sebuah genteng sambil menutup matanya
ke udara.
Genteng pun
melayang ke udara! Seorang tukang yang berdiri di atap menangkapnya dengan
sigap!
“Heh! Itu
genteng mahal, tau!” Pak Soleh berteriak kaget. “Kalau sampai pecah, upah
kalian saya potong!”
Para tukang
hanya tertawa menimpali ancaman Pak Soleh. Mereka tahu. Pak Soleh hanya
bercanda. Mereka tahu. Pak Soleh itu baik hati. Mereka tahu, Pak Soleh itu
paling ringan tangan. Boro-boro motong upah tukang ..., uangnya pun terkadang
suka diberikan pada tukang yang sedang kesusahan.
“Pak Soleh!”
panggil seorang tukang yang sedang memutar-mutarkan lengannya. Di genggamannya
ada sebuah genteng. “Tangkap, ya!!”
“Heh, awas!!”
Pak Soleh kaget dan gugup.
Tetapi
genteng itu tidak tertuju kepada Pak Soleh. Genteng itu melayang ke udara!
Tukang lainnya yang duduk di atap rumah menangkap genteng itu dengan tertawa.
Pak Soleh bernapas lega sambil geleng-geleng kepala.
Begitu terus
pertunjukan itu berlangsung. Ratusan genteng dilemparkan ke udara dan
ditangkap! Kemudian genteng-genteng itu disusun dengan rapi, menutupi bangunan
yang sudah hampir jadi.
Orang-orang
kampung merasa bersyukur dengan kehadiran klinik milik Jodha ini. Jodha di mata
mereka kini menjelma menjadi anak yang sukses. Tabir yang sejak dahulu mereka
simpan erat-erat, kini tidak dipermasalahkan lagi. Bahkan menjadi berkah buat
mereka.
“Itulah
hikmahnya kehadiran Jodha di sini bagi kita,” kata Pak Soleh, pengemis berkaki
buntung mengomentari. “Dulu, kita pernah menolak kehadirannya sebagai anak
jadah. Untung Bik Eti dengan sabar dan tawakal merawatnya. Lihatlah sekarang...
Jodha menjadi wanita muslimah. Kedua orangtua kandungnya kini berkumpul lagi.
Dan lihatlah pula, sebuah klinik berobat bagi orang-orang miskin seperti kita
dibangunnya!”
Orang-orang
yang tinggal di perkampungan di sekitar stasiun kereta api mengiyakan. Baginya,
Jodha memang hikmah. Bukan saja klinik, tetapi selama Jodha tinggal bersama
almarhum Pak Haji Budiman, kampung mereka termasuk paling sering mendapat
bantuan sembako. Bahkan, Pak Hari Natadiningrat pun termasuk paling sering
mengirimkan bantuan sembako jika hari lebaran tiba. Bukan hanya pada saat
lebaran saja. Tetapi, pada saat krismon mengganas, bantuan sembako dari Pak
Hari terus mengalir. Sekarang, kebiasaan baik itu dilanjutkan oleh Jodha dan Jalal!
“Pak Soleh
inget, kan? Bagaimana Ibu meninggal?” Jodha memulai rencana pembangunan
kliniknya dengan mengingat peristiwa tragis yang menimpa Bik Eti. “Jodha nggak
sanggup membawa Ibu berobat ke dokter karena nggak punya uang. Jodha saat itu
berjanji, kelak kalau Jodha jadi dokter, tenaga dan pikiran Jodha akan Jodha
sumbangkan bagi orang-orang miskin. Termasuk membangun klinik Asy Syifa ini.”
“Namanya
klinik Asy Syifa?” Pak Soleh merasa bangga.
“Artinya itu
‘kesembuhan’, Pak Soleh,” Jodha menjelaskan. “Insya Allah, orang-orang yang
berobat ke klinik Asy Syifa akan diberi kesembuhan oleh Allah Swt. Jodha kan
hanya sebagai perantara-Nya saja.”
“Alhamdulillah,
“ Pak Soleh bersyukur karena Jodha tidak menjadi kacang yang lupa pada
kulitnya.
“Dan
pengalaman Jodha waktu kehilangan Ibu dulu karena nggak bisa membawa Ibu ke
dokter, nggak akan terulang lagi, Pak Soleh,” kata Jodha mengenang ketika
meletakkan batu pertama.
Semua impian
Jodha kini sedang mendekati kenyataan. Di tanah kosong yang dahulu hanya ada
plang bertuliskan: DI TANAH INI AKAN DIBANGUN “KLINIK ASY SYIFA” kini sudah
mulai menampakkan wujud bangunannya!
Pak Soleh
tersenyum bangga melihat kenyataan di depannya ini. Semuanya berjalan tanpa
bisa diduga. Bermula dari bayi yang dibuang di gerbong kereta, kemudian ke
almarhumah Bik Eti yang menemukan bayi malang itu. Bik Eti yang mengasuh,
merawat, membesarkan, dan mendidiknya. Terus bergulir ke Pak Haji Budiman yang
merawatnya hingga lulus SMU, lalu ke keluarga Hidayat yang berhasil
mengantarkannya menjadi seorang dokter, dan kini Pak Hari Natadiningrat
menghadiahinya sebidang tanah, yang di atasnya akan dibangun sebuah klinik yang
diperuntukkan bagi orang-orang tidak mampu seperti dirinya.
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar