Rabu, 24 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 17 & 18 – By Gola Gong

~Episode 17~

“Sebentar, sebentar!” Dicky mencegah. “Jangan pergi dulu, Jodha!”

Jodha menatap suaminya dengan gusar.

Jalal menatap Dicky dengan sebal. “Sebaiknya kamu pergi dari sini, Dick! Kamu tamu yang tidak diharapkan! Mengerti?!”

“Please ...,” Dicky memohon. “Izinkan saya bicara pada kalian. Ini tentang saya dan ayah saya. Sungguh, saya menyesal dengan peristiwa yang menimpa Pak Haji. Saya khilaf. Saya minta maaf dengan tulus,” suaranya serius.

Jalal menatap Jodha. Seolah meyakinkan istrinya bahwa Dicky pandai bersilat lidah.

“Saya sudah menebus kesalahan saya di penjara. Bahkan ayah saya sekarang dirawat di rumah sakit, terkena stroke. Bukankah itu cukup sebagai hukuman yang ditimpakan Allah pada saya dan ayah saya?”

“Innaa lillaahi ...,” Jodha merasa prihatin.

Tetapi Jalal tetap waspada.

Dicky merasa di atas angin. Dia berjalan mendekati Jodha. “Saya mau lihat bayinya dulu!” tanpa bisa dicegah, dia sudah di sebelah Jodha. Dia melihat bayi yang sedang digendong Jodha sambil mencoba melucu. “Cantik! Seperti ibunya!” Dicky tersenyum, kembali pada sifat asalnya.

“Terima kasih,” Jodha tersenyum dan berlalu.

“Kamu belum menerima permohonan maaf saya,” Dicky mendesak.

“Aku sudah memaafkan kamu,” Jodha menjawab pendek dan menghilang ke dalam rumah.

“Apa lagi, Dick?” Jalal mengusirnya.

“Wow, wow, wow!” Dicky mengangkat kedua lengannya tinggi-tinggi. “Kamu nggak pernah belajar dari pengalaman! Pantas saja kalau Hakim mati di tanganmu!” sindirnya.

“Heh! Jangan ngomong sembarangan, ya!” Jalal mengancam.

Dicky menggeleng. “Jalal, Jalal! Kamu itu masih perlu belajar banyak untuk menjadi seorang pemimpin!” dia melecehkan. “Saya datang ke sini untuk silaturahmi. Tapi, kamu malah memperlakukan aku seperti ini!”

“Aku nggak butuh khotbah kamu!”

“Lihat! Kamu sudah mempermalukan saya di depan mereka!” Dicky menunjuk ke halaman.

“Atau aku akan mengusir kamu secara paksa!”

“Oke, oke! Saya akan pergi!” Dicky mengalah.

Dia pergi sambil melemparkan senyum kepada orang-orang.

Jalal menatap kepergiannya dengan perasaan sebal.

“Kenapa kamu bersikap kasar ?” terdengar suara Jodha penuh sesal. Dia muncul dari dalam rumah. Si bayi sudah tidak digendongnya lagi.

“Orang kayak Dicky nggak boleh dikasih hati! Bisa belagu dia!”

“Tapi, dia tamu. Dia datang dengan baik-baik. Kita harus menghormati tamu.”

“Kamu sudah menghormati dia sebagai tamu! Tapi, jangan paksa saya untuk melakukan hal yang sama! Terlalu banyak luka yang belum tersembuhkan karena dia dan ayahnya!”

Jodha terdiam. Luka lama. Dia sendiri pernah punya. Tetapi, semuanya dia serahkan pada Allah. Toh, Dicky sudah menerima ganjarannya: penjara.

Hanya saja, luka lama Jalal memang sangat berat sekali. Yaitu kehilangan orang yang dicintainya: bapak. Sebetulnya sampai sekarang, dengan pelanpelan dan kesabaran, Jalal terus berusaha mengumpulkan bukti-bukti baru bahwa peristiwa tabrak lari yang menimpa ayahnya adalah hasil rekayasa Dicky dan ayahnya, Marabunta. Tetapi, hasilnya masih tetap nihil. Jodha selalu mengingatkan agar Jalal mengikhlaskan semuanya. Yakinlah, bahwa hukuman setimpal akan menimpa Dicky dan ayahnya di hari pembalasan nanti!

“Bukankah Allah Maha Pengampun?” Jodha mencoba lagi.

Jalal menatapnya. “Kenapa kamu membela dia, orang yang sudah jelas mengakibatkan Bapak meninggal?” suara Jalal agak meninggi.

“Ssst ..., jangan emosi kayak gitu. Nggak enak sama yang lain.”

Jalal tersadar. Dia berusaha bersikap biasa lagi. Dia duduk. Dia melihat ke halaman, anak-anak yatim piatu itu sedang bergembira bernyanyi-nyanyi sambil menikmati hidangan ala kadarnya.

“Tuan Marabunta sekarang terkena stroke. Allah ternyata lebih awal memberinya hukuman di sini,” Jodha mengingatkan.

Jalal mengangguk walaupun dari tatapan matanya masih belum bisa menerima kenyataan ini. Dari raut wajahnya juga, masih terlukis kemarahan terhadap Dicky dan ayahnya.

“Tidak baik hidup diliputi dendam. Yang rugi kita sendiri….”

Jalal menatapnya.

“Kak Jalal bisa mengikhlaskannya sekarang?”

Jalal membuang wajahnya. Dia menatap lagi ke halaman. Dia melihat Pak Hari sedang menari-nari dengan seorang anak.

“Aku nggak mau, sepanjang hidup kita nanti, kamu selalu dibayangi peristiwa ini.”

Kini Jalal menatapnya lagi.

“Kak Jalal mau dengar omonganku?”

Jalal mengangguk.

“Aku minta jawabannya sekarang.”

Jalal masih terdiam.

“Bersihkan jiwa Kak Jalal dari dendam. Ingat, Kak Jalal sekarang sudah jadi bapak. Tanggung jawabnya tidak hanya pada aku semata. Tapi juga pada anak-anak kita kelak. Mereka akan meniru apa yang diperbuat bapaknya.”

Jalal melontarkan napasnya.

“Kak Jalal belum mau menjawab?”

“Insya Allah, Jodha ...,” akhirnya Jalal bersuara, setelah sang iblis dan malaikat bertempur di dadanya.

~Episode 18~

Kerikil-kerikil berserakan
Dikumpulkan dengan doa
Lalu menjadi monumen kebahagiaan
Kuat dan kokoh dalam firman-Nya:
Jadikan itu rumah-Nya!

Truk-truk pengangkut tanah merah dan batu bata hilir mudik di perkampungan dekat stasiun. Muatan itu ditumpahkan di sebidang tanah yang kini sedang dilanda kesibukan luar biasa. Pembangunan klinik hampir selesai. Tampak para tukang sedang memasang genteng di atap.

“Awas, gentengnya! “ Pak Soleh berteriak pada para tukang yang sejak tadi bercanda melulu.

“Tenang. Pak Soleh!” seorang tukang tertawa.

“Tenang, tenang gimana! Kalian ngelemparin gentengnya sembarangan!”

“Udah biasa. Pak Soleh! Nih!” tukang itu melemparkan sebuah genteng sambil menutup matanya ke udara.

Genteng pun melayang ke udara! Seorang tukang yang berdiri di atap menangkapnya dengan sigap!

“Heh! Itu genteng mahal, tau!” Pak Soleh berteriak kaget. “Kalau sampai pecah, upah kalian saya potong!”

Para tukang hanya tertawa menimpali ancaman Pak Soleh. Mereka tahu. Pak Soleh hanya bercanda. Mereka tahu. Pak Soleh itu baik hati. Mereka tahu, Pak Soleh itu paling ringan tangan. Boro-boro motong upah tukang ..., uangnya pun terkadang suka diberikan pada tukang yang sedang kesusahan.

“Pak Soleh!” panggil seorang tukang yang sedang memutar-mutarkan lengannya. Di genggamannya ada sebuah genteng. “Tangkap, ya!!”

“Heh, awas!!” Pak Soleh kaget dan gugup.

Tetapi genteng itu tidak tertuju kepada Pak Soleh. Genteng itu melayang ke udara! Tukang lainnya yang duduk di atap rumah menangkap genteng itu dengan tertawa. Pak Soleh bernapas lega sambil geleng-geleng kepala.

Begitu terus pertunjukan itu berlangsung. Ratusan genteng dilemparkan ke udara dan ditangkap! Kemudian genteng-genteng itu disusun dengan rapi, menutupi bangunan yang sudah hampir jadi.

Orang-orang kampung merasa bersyukur dengan kehadiran klinik milik Jodha ini. Jodha di mata mereka kini menjelma menjadi anak yang sukses. Tabir yang sejak dahulu mereka simpan erat-erat, kini tidak dipermasalahkan lagi. Bahkan menjadi berkah buat mereka.

“Itulah hikmahnya kehadiran Jodha di sini bagi kita,” kata Pak Soleh, pengemis berkaki buntung mengomentari. “Dulu, kita pernah menolak kehadirannya sebagai anak jadah. Untung Bik Eti dengan sabar dan tawakal merawatnya. Lihatlah sekarang... Jodha menjadi wanita muslimah. Kedua orangtua kandungnya kini berkumpul lagi. Dan lihatlah pula, sebuah klinik berobat bagi orang-orang miskin seperti kita dibangunnya!”

Orang-orang yang tinggal di perkampungan di sekitar stasiun kereta api mengiyakan. Baginya, Jodha memang hikmah. Bukan saja klinik, tetapi selama Jodha tinggal bersama almarhum Pak Haji Budiman, kampung mereka termasuk paling sering mendapat bantuan sembako. Bahkan, Pak Hari Natadiningrat pun termasuk paling sering mengirimkan bantuan sembako jika hari lebaran tiba. Bukan hanya pada saat lebaran saja. Tetapi, pada saat krismon mengganas, bantuan sembako dari Pak Hari terus mengalir. Sekarang, kebiasaan baik itu dilanjutkan oleh Jodha dan Jalal!

“Pak Soleh inget, kan? Bagaimana Ibu meninggal?” Jodha memulai rencana pembangunan kliniknya dengan mengingat peristiwa tragis yang menimpa Bik Eti. “Jodha nggak sanggup membawa Ibu berobat ke dokter karena nggak punya uang. Jodha saat itu berjanji, kelak kalau Jodha jadi dokter, tenaga dan pikiran Jodha akan Jodha sumbangkan bagi orang-orang miskin. Termasuk membangun klinik Asy Syifa ini.”

“Namanya klinik Asy Syifa?” Pak Soleh merasa bangga.

“Artinya itu ‘kesembuhan’, Pak Soleh,” Jodha menjelaskan. “Insya Allah, orang-orang yang berobat ke klinik Asy Syifa akan diberi kesembuhan oleh Allah Swt. Jodha kan hanya sebagai perantara-Nya saja.”

“Alhamdulillah, “ Pak Soleh bersyukur karena Jodha tidak menjadi kacang yang lupa pada kulitnya.

“Dan pengalaman Jodha waktu kehilangan Ibu dulu karena nggak bisa membawa Ibu ke dokter, nggak akan terulang lagi, Pak Soleh,” kata Jodha mengenang ketika meletakkan batu pertama.

Semua impian Jodha kini sedang mendekati kenyataan. Di tanah kosong yang dahulu hanya ada plang bertuliskan: DI TANAH INI AKAN DIBANGUN “KLINIK ASY SYIFA” kini sudah mulai menampakkan wujud bangunannya!

Pak Soleh tersenyum bangga melihat kenyataan di depannya ini. Semuanya berjalan tanpa bisa diduga. Bermula dari bayi yang dibuang di gerbong kereta, kemudian ke almarhumah Bik Eti yang menemukan bayi malang itu. Bik Eti yang mengasuh, merawat, membesarkan, dan mendidiknya. Terus bergulir ke Pak Haji Budiman yang merawatnya hingga lulus SMU, lalu ke keluarga Hidayat yang berhasil mengantarkannya menjadi seorang dokter, dan kini Pak Hari Natadiningrat menghadiahinya sebidang tanah, yang di atasnya akan dibangun sebuah klinik yang diperuntukkan bagi orang-orang tidak mampu seperti dirinya.

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar