Erangan itu membuatku takut,
tetapi para malaikat dan nabi memberi
kekuatan:
tugasmu usai!
Dia menyentuh dengan penuh cinta
Aku patuh tak bertanya
Hawa dingin menyergap
Aku berteriak kedinginan
Mata Pak
Soleh berkaca-kaca ketika tertatih-tatih ke ruang kerja Jodha di samping ruang
keluarga. Dia merasakan juga hal yang sama; Jodha sudah seperti anaknya
sendiri. Itu dia rasakan sejak almarhumah Bik Eti menemukan bayi berumur satu
bulan di gerbong kereta di stasiun Cilegon.
“Pak Soleh,
mau ke mana? Nur ikut!” Nur bangkit dan mengejar Pak Soleh.
Lamunan Pak
Soleh buyar. Dia sudah sampai di pintu penghubung menuju ruang kerja Jodha. Pak
Soleh melihat Nur sedang asyik main rumah-rumahan.
“Bapak mau
ngambil tas kerja ibumu,” katanya bergegas.
“Nur ikut!”
“Nur…., main
saja sana….,” Pak Soleh menuju meja kerja Jodha. Di sana ada tas kerja Jodha.
Diambilnya tas itu.
“Nur yang
bawa, Pak!”
“Berat,
Nur….,”
“Nggak
pa-pa!” Nur merebut dan menarik tas kerja itu.
“Jangan,
Nur…”
“Nur yang
bawa!” Nur tetap memaksa.
Pak Soleh
tidak bisa mencegah lagi. “Iya, Nur boleh bawa tasnya ...,” katanya tersenyum.
“Horeee! Nur
yang bawa!” Nur dengan semangat menyeret tas yang sangat berat untuk ukuran
gadis kecil seperti dia. Tetapi, Nur pantang menyerah. Dia terus menyeret tas
kerja ibunya ke kamar.
“Nur ...,
biar Pak Soleh yang bawa ...,” kata Bik Marhamah, yang muncul dari dapur dengan
baskom berisi air panas.
“Nur juga
kuat!” jawab Nur.
Bik Marhamah
dan Pak Soleh hanya pasrah saja menatap Nur, yang kalau sudah ada maunya tidak
bisa dibantah. Akhirnya mereka membiarkan Nur membawakan tas kerja ibunya. Bik
Marhamah menyuruh Pak Soleh membawakan beberapa kain bersih yang digepit di ketiaknya.
Mereka kemudian mengikuti Nur di belakang, sambil berharap-harap cemas, jika melihat
Nur kepayahan menyeret tas kerja ibunya.
Akhirnya Nur
sampai juga di sisi tempat tidur ibunya. “Ini, Bu! Tas dokternya!” dia
meletakkan tas itu di dekat ibunya dengan bangga. “Berat, Bu! Tapi Nur kuat.
Kan sudah besar!”
Jodha
mengusap kepala Nur dengan senyuman. “Makasih ya, Nur ...Sekarang, Nur main
lagi ya... Jangan ganggu Ibu, ya….”
“Emang, Ibu
kenapa sih?” Nur meneliti tubuh ibunya.
“Dedenya kan
mau keluar ...”
“Oh ...,”
Nur mengangguk dan pergi menemui “rumah mainan”-nya di sudut ruangan. Sekali
lagi dia menoleh, ingin memastikan bahwa ibunya baik-baik saja. Setelah merasa
yakin, dia berjingkrak-jingkrak keluar kamar.
Pak Soleh
sudah berdiri di dekat Jodha. Dia bersiap-siap, jika ada sesuatu terjadi pada
diri Jodha. Bik Marhamah meletakkan air panas di baskom. Juga beberapa kain
bersih.
“Siapkan
saja semuanya ...,” perintah Jodha. “Bismillah ...,” dia memulai sesuatu
pekerjaan dengan meminta perlindungan pada Allah. Tiba-tiba saja, dia merasakan
kontraksi yang hebat. Dia merasakan nyeri yang luar biasa.
Ada dorongan
yang kuat sekali dari dalam perutnya. “Aduuuh..., kayaknya bayinya mau keluar
...,” Jodha mengeden.
“Aduuh ...,
gimana, Bu?” Bik Marhamah makin gugup.
“Bismillah,
Bik ...,” Pak Soleh menyemangatinya.
Tetapi
karena pada kelahiran pertama bayinya, Jodha mengalami chepalo previx
disproportion atau panggul sempit, setelah mengeden dengan kuat pun, bayinya
belum mau keluar.
“Biiik ...,
Pak ..., tolong tarik kepalanya, ya Pelan-pelan saja ...,” Jodha mengeden lagi.
Bik Marhamah
dan Pak Soleh saling pandang. Mereka tak bisa berbuat apa.apa. Di penglihatan
mereka, belum tampak si bayi keluar. Mereka tampak ketakutan dan hanya bisa berdoa
saja.
Jodha
tersadar akan lamunannya. Dia ingat bahwa panggulnva sempit. Dia menangis. Dia
meminta perlindungan pada Allah. Dia pasrah. Tetapi, jika boleh memilih, dia
memilih si bayi yang lahir selamat dengan taruhan nyawanya.
“Pak Soleh,
ayo telepon Den Jalal lagi,” Bik Marhamah makin cemas.
Pak Soleh
mengangguk dan berbalik hendak ke luar kamar. Tetapi saat itu muncul Jalal
tergopoh-gopoh. Di belakangnva Nur mengikuti sambil berjingkrak-jingkrak .
“Bapak
datang! Bapak datang!” teriak Nur gembira sekali.
“Jodha!” Jalal
menyerbu ke tempat tidur.
“Pak…..” Jodha
menggenggam tangan suarninva.
“Masih kuat?”
Jalal meneliti sekujur tubuh istrinya.
Jodha
menggeleng lemas. Pasrah. Wajahnya pucat.
Jalal mencoba
untuk tenang walaupun gugup. “Sabar, Jodha….. Tenang ...,” itu saja yang keluar
dari mulutnya.
“Pak ...,
Ibu sakit, ya?” Nur memepet ke tubuh bapaknya.
“Iya. Ibu
sakit.” Jalal tersenyum. “Bik, tolong Nur jagain dulu, ya?!” perintahnya.
Tetapi Nur
menolak. Dia menangis. “Nur mau lihat Dede!” tangisnva.
“Iya…..,
tetapi nanti. Dedenya kan belum keluar,” Bik Marhamah memangkunya. Dia membawa
Nur ke luar kamar.
“Pak ..., Bu
Bidannya belum datang, ya?” Jodha was-was.
“Bapak tadi
udah nelepon. Katanya Pak Soleh juga nelepon, ya?”
“Iya. Ibu
yang nyuruh,” Jodha mengiyakan.
“Tahan
sebentar, ya?” pinta Jalal.
Tiba-tiba
terdengar klakson mobil. Semua melihat ke jendela kamar dengan wajah lega dan
penuh pengharapan.
“Alhamdulillah,
Bu Bidan datang,” Pak Soleh mengucap syukur.
“Insya
Allah, semuanya akan lancar,” Jalal mengecup kening istrinya.
“Kak Jalal
...,” Jodha menangis.
“Percayakan
semuanya sama Allah.”
“Iya, Kak
...,” Jodha menangis.
Pada saat
itu Bu Bidan muncul tergopoh-gopoh. Di belakangnya, asistennya menjinjing tas.
Dengan sigap, Bu Bidan memberikan perintah ini-itu pada Jalal dan Pak Soleh.
“Semuanya
ada di mobil! Cepet, bawa ke sini!” kata Bu Bidan.
Jalal dan
Pak Soleh tidak banyak bicara. Mereka mengikuti semua instruksi Bu Bidan. Jodha
tergolek pasrah. Bu Bidan tersenyum menguatkan hatinya.
“Kasusnya
sama seperti yang pertama,” kata Bu Bidan.
“Divacum
lagi, Bu?” tanya Jodha pasrah.
“Iya.”
“Lakukan
saja, Bu.”
“Jangan
takut. Melahirkan biasa, divacum atau dicesar sama saja. Yang penting anak dan
ibunya selamat,” Bu Bidan memberikan semangat.
Jodha
menangis terharu mendengar kalimat Bu Bidan yang sejuk.
Waktu
berlalu. Dengan alat vacum dan atas kehendak Allah, terdengarlah suara tangis
bayi lelaki memecah malam.
“Alhamdulillah,”
Bu Bidan mempertunjukkan si bayi.
“Bayinya
laki-Iaki! Sepasang!” bisik Jalal di telinga Jodha.
Jodha
tergolek lemas dan bahagia. Jalal mengecup keningnya.
“Jangan ada
yang ketiga ya, Pak!” Bu Bidan memperingatkan. “Kasihan ibunya!”
Jalal
mengangguk, “Insya Allah, Bu Bidan. Dua saja sudah cukup.”
Bu Bidan dan
Jodha saling pandang. Mereka saling senyum.
“Terima
kasih, Bu,” suara Jodha tulus.
“Berterimakasihlah
pada Allah, karena dialah yang menghidupkan dan mematikan makhluknya,” Bu Bidan
tersenyum.
Bik Marhamah
dan Pak Soleh muncul di pintu kamar. Mereka mengucap syukur karena Jodha dan
bayinya diberi keselamatan oleh Allah Swt.
“Horeee! Nur
punya Dede!” tiba-tiba muncul Nur berteriak gembira.
~Episode 26~
Angin berkabar padaku
Cerita rasul dan riwayat mimpi
Ayat-ayat mengalun rindu
Bertemulah aku di muara:
saat Ia mengisi raga kosongku!
Matahari
sudah menggelincir turun dari titik kulminasi. Awan hitam menyergap bola merah
raksasa itu. Ini seperti pertanda bahwa alam pun ikut berdukacita dengan
kepergian orang yang kita cintai. Angin berembus di pemakaman umum itu.
Dedaunan merunduk. Daun yang kering lepas dari tangkainya, dan yang masih hijau
menunggu gilirannya nanti untuk kembali ke pangkuan alam.
Tanah merah
mulai dikeduk dengan sekop. Lalu dilemparkan ke dalam lubang berukuran dua
meter persegi. Segundukan demi segundukan, tubuh terbujur kaku yang dibalut
kain kafan itu mulai tertimbun tanah merah. Tak ada harta atau kekuasaan yang
bisa mencegahnya saat itu.
Natalia
menaburkan bunga di pusara suaminya. Semoga kamu medapatkan tempat di sisi
Allah! Amien ya rabbal alamien …..
Para pelayat
yang berjubel mengantar Hari Natadiningrat ke liang kubur satu per satu sudah
pulang. Tinggal Jalal, Pak Hidayat, dan istrinya yang masih setia menemani
Natalia.
“Saya
permisi pulang, Bu!” Jalal meminta izin. “Ada urusan yang harus diselesaikan.”
Natalia
mengangguk, “Terima kasih kamu mau datang,” katanya menahan keharuan.
Jalal
mencium tangan Natalia. “Assalamu’alaikum,” dia pamitan. “Mari Pak, Bu ...,”
dia juga menyalami Pak Hidayat dan istrinya.
“Wa’alaikum
salam,” mereka melepas kepergian Jalal.
Angin
berkesiur lagi. Daun-daun kering beterbangan.
“Natalia
...,” Bu Hidayat meraih pundaknya. “Ayo, kita pulang,” ajaknya. Natalia
bangkit. Dia mencoba untuk bertahan, tetapi air mataya jebol juga.
Bu Hidayat
memeluknya. Membiarkan kesedihan Natalia tumpah ruah. Di dadanya.
“Kenapa
Allah selalu mengambil orang-orang yang saya cintai, Bu?” ada nada protes di
suara Natalia.
“Itu
artinya, kamu sedang diuji.”
“Kenapa
harus saya?”
“Karena
Allah sayang sama kamu….”
“Ini tidak
adil, Bu….”
“Istighfar,
Natalia ...,” Bu Hidayat mengingatkan. “Cobalah lihat ke sekeliling kamu.
Betapa banyak orang yang tidak seberuntung kamu. Mereka hidup dililit
kemiskinan.”
“Tapi,
mereka tetap bahagia dengan sebuah keluarga. Ada ayah, ibu, dan anak-anak.
Sementara saya, Bu?” Natalia seolah menggugat keberadaannya.
“Itulah
bedanya. Kamu diberi harta melimpah, tapi tidak diberi sebuah keluarga yang
utuh. Kenapa? Jika kamu diberi kebahagiaan sebuah keluarga, kamu pasti akan
lupa pada keluarga-keluarga yang kesusahan dalam segi ekonomi. Dengan limpahan
materi, kamu bisa memiliki keluarga-keluarga baru, dengan cara membantu mereka.”
Natalia
menyeka air matanya. Dia merasa omongan Bu Hidayat benar adanya. Dia mencoba
tersenyum karena sudah menemukan jawaban yang dicarinya. “Astaghfirullah,” dia
tersenyum. “Kenapa saya tidak mensyukuri nikmat yang sudah Allah berikan?”
Pak Hidayat
dan istrinya kini tersenyum lega. Dia berhasil membawa Natalia pergi dari
pemakaman. Para iblis yang sudah bersiap-siap dengan rantai dan obor neraka,
lari terbirit-birit. Lagi-lagi mereka gagal mengajak umat Muhammad ke golongan
mereka.
Tetapi
Natalia terhenti di pintu pemakaman. Saat itu sebuah taksi berhenti.
Diana keluar
dan berlari ke arahnya. Diana yang memilih berdomisili di Singapura sambil
kuliah, tiba-tiba ada di depannya. Diana memeluknya dengan mata berkaca-kaca.
“Diana!”
Natalia mengusap-usap rambutnya.
“Hallo, Om,
Tante,” Diana menyapa Pak Hidayat dan istrinya.
Mereka
tersenyum pada Diana. “Kami duluan, ya,” mereka pamitan. “Assalamu’alaikum ...”
“Wa’alaikum
salam ...,” Natalia tersenyum melepas mereka.
Diana
berjongkok dan menaburkan bunga di pusara Pak Hari.
“Maafkan
Diana, Mama. ..nggak ikut pemakaman Papa Hari….”
“Nggak
apa-apa, Diana ...,” Natalia memegangi bahunya. “Kamu baru datang, ya?”
“Iya, Ma.
Dari bandara langsung by taksi ke sini.”
“Kamu nggak
ketemu Jalal tadi?” tanya Natalia.
“Ketemu.
Tapi, Jalal nggak mau berhenti. Jalan terus dia!” Diana agak sebal.
“Kuliah kamu
gimana?” Natalia mengalihkan topik.
“Lancar, Ma!”
“Kamu capek,
ya,” Natalia memperhatikan luka parut di wajah Diana, akibat kecelakaan mobil
di Cilegon, sudah tidak begitu kentara. “Luka parut kamu mendingan sekarang.”
“Tapi, tetap
saja Diana nggak bisa berkarir lagi,” nada suaranya kecewa. “Mereka pada nggak
mau lagi make Diana. Terutama produk kosmetik. Ini semua gara-gara Jalal!”
“Hus, nggak
boleh nyalahin orang lain! Ini namanya musibah. Allah sedang menguji kamu!”
“Menguji,
kok dengan cara seperti ini!”
“Susah kalau
bicara sama kamu!” Natalia menggandeng Diana, mengajak pergi. “Tapi, kamu masih
bisa fashion show, kan?”
“Sesekali
saja. Tapi, Diana mau fokuskan kuliah saja. Jadi designer juga nggak jelek kan,
Ma!”
“Bagus,
bagus itu ...,” Natalia mengangguk senang. “Ayo, kita pulang,” ajaknya
meninggalkan pemakaman umum.
“Mama.
..tadi Jalal datang sendirian, ya? Kok, nggak sama Jodha?” Diana mengitari
pandang.
“Jodha nggak
bisa datang. Dia baru saja melahirkan.”
“Melahirkan
lagi?”
“Iya.
Anaknya yang kedua.”
“Astaga!”
Diana tersenyum senang.
“Besok Mama
mau ke Cilegon.”
“Secepat
itu? Bukankah Mama masih berkabung?”
“Ada sesuatu
yang harus Mama sampaikan pada Jodha.”
“Sesuatu
yang penting? Apa itu?” Diana menyelidik.
Natalia
tersenyum dan mengajak Diana pulang. Diana merasa ada sesuatu yang
disembunyikan mamanya. Hatinya berontak. Mama sekarang pilih kasih. Itu sudah
dirasakannya sejak Jodha memasuki kehidupannya. Semuanya kini selalu serba Jodha.
Setiap saat, selalu saja mamanya membandingkannya dengan Jodha. Misalnya, “Diana,
shalat dulu!” Atau, “Lihat tuh, Jodha! Cantik sekali memakai jilbab!” Lain
waktu, “Kamu harus sabar seperti Jodha.” Menyebalkan. Okelah, dirinya dan Jodha
terlahir dari rahim yang sama, mamanya. Tetapi, masing-masing pasti punya cara pandang
yang berbeda dengan kehidupan. Apalagi memaksakan pakaian orang kepada dirinya!
Nanti dulu!
“Kenapa,
Diana?” Natalia menanyakannya, ketika sudah berada di dalam mobil.
Diana yang
duduk di balik kemudi diam saja. Dia merasa gerah lagi jika mengingat
perbandingan-perbandingan dirinya dengan Jodha. Itulah kenapa dia memilih
tinggal di Singapura. Tidak lain supaya dia bisa melupakan hal itu.
Hari sudah
semakin sore dan mendung makin pekat. Angin berembus keras, memecahkan gumpalan
air di dalam awan. Gerimis pun turun, seolah menangisi kepergian Pak Hari.
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar