Genggam hati ini, ya Rabbi
Ringankan beban ini
biar kulapang menemui-Mu
Menyambut sekuntum senyum
Mengakhiri waktu:
beri aku tempat di sisi-Mu!
Jalal
membimbing Jodha masuk ke dalam kamar. Jodha duduk di kursi rias. Dia mencoba
mengumpulkan tenaganya. Jalal menatapnya. Tiba-tiba dia merasa bersalah.
Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan Mutiara.
“Badan ini
rasanya lemes sekali ...,” nada Jodha sangat cemas.
“Besok kita
periksa ke dokter spesialis.”
“Iya…”
“Maafkan
saya, Jodha ...,” Jalal duduk di sisi tempat tidur.
“Maaf? Soal
apa?” Jodha menatapnya.
“Mutiara…...”
“Mutiara?
Kenapa dia? Kamu nggak salah apa-apa, kok,” Jodha membuka jilbabnya. Dia duduk
sambil bercermin, membersihkan riasan di wajahnya.
“Itu, kan
masa lalu kamu.”
“Aku pikir,
nggak ada gunanya menceritakan masa laluku sama kamu.”
“Iya, nggak
ada gunanya.”
“Dunia
ternyata kecil. Dia muncul begitu saja seperti angin.”
“Ya, dia
muncul begitu saja.”
“Aku heran,
kenapa dia ke sini….”
“Kelihatannya
dia belum menikah.”
“Aku nggak
tahu.”
“Atau ...,
dia menunggu Kak Jalal.”
“Aku tidak
pernah menjanjikan apa-apa sama dia.”
“Kelihatannya
dia masih mencintai Kak Jalal.”
“Aku tidak
bisa mencegah seseorang untuk mencintai aku atau tidak, Jodha. Iya, kan?”
“Kenapa Kak Jalal
nggak pernah cerita tentang Mutiara sama aku?” Jodha menatapnya lagi. Tetapi,
wajahnya tetap dengan senyuman.
“Karena kamu
tidak pernah menanyakannya. Menanyakan tujuh tahun saat kita berpisah. Saat aku
menjadi wartawan di Jakarta.”
“Ya, aku
tidak pernah menanyakan masa lalu sama kamu. Karena itu nggak akan ada gunanya.”
“Seharusnya
aku yang bercerita. Toh, itu tidak akan mengubah apa-apa.”
“Kak Jalal
takut aku cemburu, barangkali?”
“Mungkin
saja.”
“Sekarang,
bagaimana?”
“Bagaimana,
apanya?”
“Dia masih
sendiri, Kak Jalal.”
“Itu tidak
ada hubungannya denganku!”
Jodha
bangkit dan berjalan ke tempat tidur. Tetapi, tiba-tiba dia membungkuk, menahan
nyeri di hatinya. Jalal buru-buru bangkit dan memapah istrinya ke tempat tidur.
Membaringkannya.
“Sebaiknya
besok kita periksa sekalian nengok Tuan Marabunta.”
Jodha
menggeleng, “Nggak, nggak apa-apa. Kok….”
“Nggak
apa-apa. gimana?” Jalal menyelimuti tubuh istrinya dengan cemas. “Bulan depan
kita mau naik haji. Kamu harus sehat!” Lalu dia menyentuh kening istrinya. “Astaghfirullah!
Suhu badan kamu panas sekali!”
Akhirnya Jodha
mengangguk. “Iya. Besok periksa ke dokter.” katanya pasrah.
Jalal tampak
masih cemas. Dia memegangi tangan istrinya. “Iya, kamu panas. Kenapa. kamu?”
“Mungkin mau
flu.”
“Sebaiknya
kamu minum obat penurun panas!”
Jalal hendak
ke luar kamar.
“Kak Jalal.
Aku ini dokter. Nggak apa-apa. Jangan panik.”
Jalal
berhenti. Dia menatap Jodha.
“Sini,
jangan ke mana-mana,” panggilnya.
Jalal
kembali ke tempat tidur. Dia berbaring di sisi Jodha.
“Kembali ke
soal Mutiara,” Jodha memeluk suaminya dengan penuh kasih sayang.
“Kenapa
dengan Mutiara?” Jalal merasa kurang nyaman.
“Aku wanita.
Ada sesuatu yang dia tunggu dari Kak Jalal. Penjelasan.”
“Penjelasan
apa?” Jalal merasa heran dengan perangai istrinya kali ini.
“Pergilah.
Temui dia. Katakan pada dia beberapa kalimat saja.”
“Kalimat
apa?” Jalal bangkit dan duduk. Dia menatap Jodha.
Jodha
ter.senyum. Dia masih berbaring. Matanya menerawang. ke langitlangit kamar. “Yah
..., katakan apa sajalah. Misalnya, tentang kita. Tentang anak-anak kita.”
“Aku nggak
mengerti. Apa mau kamu?”
“Aku percaya
sama Kak Jalal. Aku tahu, Kak Jalal tidak akan mengkhianati aku.”
“Aku
mencintai kamu. Sejak dulu. Dia hanya mampir dalam kehidupanku sesaat.”
“Ingat-ingatlah,
barangkali Kak Jalal pernah menjanjikan sesuatu pada dia.”
Jalal
terdiam. Dia menunduk. Wajahnya tersembunyi oleh rambutnya yang sudah panjang
lagi. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Kak Jalal
...Aku tidak apa-apa, kok.”
“Kamu
menyuruhku menemui dia?”
“Kenapa?
Salah?”
“Itu bisa
mengundang fitnah.”
“Kalau
pertemuannya di dalam kamar hotel atau di suatu tempat rahasia, mungkin iya.”
“Aku
betul-betul nggak mengerti. Apa yang harus aku katakan?”
“Katakan
padanya bahwa Kak Jalal sudah mempunyai istri dan dua orang anak.”
“Dia sudah
melihatnya tadi.”
“Dia ingin
mendengarnya langsung dari mulut Kak Jalal.”
“Kenapa kamu
jadi begini?”
“Firasat
seorang wanita.”
“Firasat?
Apa yang kamu rasakan?” Jalal menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Bahwa dia
masih menunggu Kak Jalal.”
“Apa?” Jalal
tidak percaya mendengar omongan istrinya. “Itu nggak mungkin! Kamu terlalu
berlebihan. Siapa tahu dia sudah bersuami dan punya anak seperti kita!”
“Aku tidak
melihat ada cincin kawin di tangannya.”
“Bisa saja
lupa dia pakai!”
“Sekali
lagi, firasat perempuan.”
Jalal termenung
lagi.
“Kamu
betul-betul berlebihan. Sekarang kita tidur, ya. Besok pagi kita harus ke
Karawaci. Menengok Tuan Marabunta. Juga memeriksakan penyakit kamu.”
Jodha
terdiam.
“Jodha!”
“Hmmm….”
“Apa rencana
kita naik haji dibatalkan saja?”
“Jangan!”
“Makanya,
besok kamu harus periksa.”
“Iya, iya…”
Jalal
memejamkan matanya. Tetapi, pikirannya melayang-layang entah ke mana; ke Jodha,
ke Mutiara, ke Nur, Faqih, Tuan Marabunta yang tergolek di rumah sakit, ke
Dicky yang menderita….. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang aneh di kamarnya.
Dia merasakan Jodha jadi berbeda. Ya, Allah? Pertanda apakah ini?
Jalal pun
bangkit dengan hati-hati. Dia menuju kamar mandi. Mengambil wudhu. Dia shalat
malam. Dia percaya apa yang dikatakan dalam QS Al Baqarah (2) : 186, bahwa
Allah itu selalu dekat dengan hamba-Nya, jika dirinya berdoa, maka Allah akan
mengabulkan doanya.
~Episode 35~
Tanah merah tanah basah
Tanah dingin tanah terakhir
Tempat bertemu Munkar-Nakir
Segala pertanyaan itu
menghujam deras:
beri aku tempat-Mu!
Jalal
mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Jodha duduk membisu di sebelahnya.
Mereka sedang menuju sebuah rumah sakit ternama di kawasan Karawaci. Mereka
hendak menengok Tuan Marabunta yang sudah tergolek sakit selama 6 bulan! Mereka
tidak bersuara. Pikiran mereka melayang.layang entah ke mana. Mungkin saja ke
Mutiara. Atau mungkin ke masa lalu mereka dengan Dicky dan ayahnya, yang penuh
dengan pertentangan!
Tetapi,
ketika melewati jembatan Ciujung, mereka melihat antrean mobil tersendat-sendat
dari jalan arah Jakarta. Ternyata di sana ada sebuah mobil Kijang yang ringsek!
Tidak jauh dari mobil naas itu, sebuah truk gandeng melintang. Bagian depannya
juga penyok.
“Innaa
lillaahi ...,” Jodha yang duduk di sebelahnya bergidik.
Ada tiga
mayat tergeletak di pinggir jalan. Tubuh mereka hanya ditutupi koran. Darah
berceceran di sekitar mobil Kijang.
“Masya
Allah!” Jalal seperti melihat bayang-bayang kematian di depannya.
Pernahkah
membayangkan, jika pada suatu hari pamitan dengan doa dan senyuman pada
anak-istri, tetapi di tengah perjalanan karena kecerobohan orang lain, harus
mengalami nasib naas? Sudah bukan rahasia umum lagi, jika para supir truk atau
bus, suka ugal-ugalan mengendarai mobilnya.
Pernah suatu
kali Jalal naik bus Merak-Rambutan. Astaghfirullah! Supir bus itu menjadikan
jalan tol seperti sirkuit saja. Dia dengan santainya zig-zag dalam kecepatan
tinggi. Tak pernah dia memedulikan keselamatan mobilmobil lain di belakang atau
di sampingnya. Jika ada mobil lain menghalangi laju di depannya, tidak
segan-segan dia menyerudukkan busnya hingga berjarak hanya sejengkal saja
sambil memencet klakson berkali-kali! Seolaholah berteriak: minggir, minggir!
Bayangkan: sejengkal! Bagaimana coba, kalau pengemudi mobil di depannya itu
kaget dan mengerem? Tubrukan pasti tak akan terhindarkan!
“Hati-hati,
jangan ngebut,” Jodha juga cemas. Wajahnya pucat.
“Kamu betul
nggak apa-apa?” Jalal mengambil jalur lambat.
“Terus
sajalah,” Jodha memejamkan matanya.
Tubuhnya
serasa disergap sesuatu yang merontokkan seluruh sendi-sendi tubuhnya.
Jalal
menatap istrinya lagi. Dia merasa takut. Tiga mayat yang tergeletak tadi masih
membekas di hatinya. Sebenamya Allahlah yang berwenang menghidupkan dan
mematikan hamba-hamba-Nya! Tak akan ada yang mampu menolaknya jika sudah
berurusan dengan ajal. Tak perlu pangkat yang tinggi, atau hanya sekadar hamba
sahaya. Semua akan mati dan sama di sisi-Nya! Tetapi, jika dia harus kehilangan
istrinya sekarang, dia tidak akan mampu mengatasinya! Atau jika dia yang dipilih
untuk mati terlebih dahulu, dia juga tidak mau. Ya Allah, panjangkanlah umur
kami! Berilah kami kesempatan untuk melihat Nur dan Faqih dewasa, sampai kami menimang
anak-anak dari mereka!
Bayang-bayang
kematian itu terlihat juga oleh Jalal pada Tuan Marabunta. Pengusaha kaya raya
yang flamboyan sekaligus rakus, serta selalu menghalalkan segala cara dalam
mencapai tujuannya, kini tergolek tak berdaya. Segala macam kekuasaannya, harta
yang melimpah, tukang pukulnya yang menyeramkan, pengaruhnya yang luar biasa,
menjadi tak berarti lagi di depan Allah! Dengan kuasa-Nya, dia kini hanya
seonggok daging tak berdaya.
Jalal
berdiri mematung melihatnya. Lututnya gemetar. Hatinya seperti diiris-iris.
Begitu juga Jodha, merasakan hal yang sama. Betapa trenyuh hatinya melihat
orang yang dahulu sangat berkuasa, kini ibarat kayu tua yang rapuh dimakan
rayap. Bagi Jodha dan Jalal, peristiwa ini bisa menjadi cermin agar tidak
takabur pada sesama hamba-Nya. Tidak sombong. Tidak menghamba pada status dan
kekayaan. Tidak menganggap orang lain itu lebih rendah daripada kita. Dalam
keseharian pun banyak peristiwa seperti ini terjadi. Pada orang-orang yang di
zaman Orde Baru begitu sangat berkuasa, kini menukik menjadi orang paling hina.
Diseret-seret dari satu persidangan ke persidangan yang lain dan berakhir di
penjara!
“Terima
kasih, kalian mau datang,” kata Dicky gembira. Dia mendekati tempat tidur,
tempat ayahnya terbaring. Dia mendekatkan bibirnya di telinga ayahnya. “Papa….,”
katanya. “Jalal sama Jodha sudah datang. Mereka ada di sini….”
Tangan Tuan
Marabunta yang kini kurus dan pucat, menggapai-gapai. Kepalanya bergerak ke
samping. Bola matanya yang kosong, kini mulai ada gerakan-gerakan pertanda
hidup.
“Mendekatlah,”
pinta Dicky pada Jalal dan Jodha. Tatapan matanya sayu karena kurang tidur.
Jalal
menggandeng Jodha. Mereka mendekat. Dicky meraih tangan ayahnya. “Peganglah,”
dia meminta dengan sangat.
Jalal dan Jodha
saling pandang. Jodha mengangguk. Lalu mereka menyatukan tangan dan menggenggam
tangan Tuan Marabunta. Tiba-tiba tangan Tuan Marabunta balas menggenggam dengan
kuat. Jalal dan Jodha sangat kaget. Dicky juga!
“Papa ...,”
Dicky berharap dengan cemas. “Ayo, katakanlah. Mumpung mereka ada di sini ...,”
katanya sambil melihat ke Jalal.
Jalal
berjongkok. Jodha juga. Mereka serempak mendekatkan kepala mereka ke bibir Tuan
Marabunta.
“Assalamu’alaikum,
Tuan Marabunta,” kata Jodha lembut.
Semua
menanti reaksinya. Tanpa diduga, mulutnya bergerak-gerak. Semua saling pandang
dengan harap-harap cemas.
“Wa’alaikum
salam,” terdengar suara Tuan Marabunta terpatah-patah. Parau tersekat di
tenggorokan.
“Apa kabar,
Tuan?” Jalal menyapa.
Mulut itu
hanya menyunggingkan senyum bahagia.
“Kedatangan
kalian membawa berkah. Sudah lama saya tidak mendengar suara Papa,” Dicky
sangat sukacita sekali.
“Maafkan
saya,” tiba-tiba mulut Tuan Marabunta bergerak-gerak lagi.
Kalimat tadi
keluar dengan pelan, tetapi sangat jelas terdengar.
“Kami
sekeluarga sudah memaafkan Tuan. Begitu juga kami, meminta maaf jika ada
kesalahan,” Jalal menggenggam erat tangannya.
“Sebagai
hamba-hamba Allah, kita harus saling memaafkan,” Jodha tersenyum bahagia.
“Bapakmu
..., kamu ..., semuanya ...,” Tuan Marabunta terbatuk. Dadanya berguncang. Dia menarik
napas. Terasa berat sekali. Tetapi bibirnya terbuka lagi, “Kalian ..., tidak
pernah membuat kesalahan ...padaku ...juga pada Dicky. Kamilah... yang banyak
melakukan kesalahan. Kami banyak dosa pada kalian,” begitu panjang
kalimat-kalimatnya.
Dicky tidak
menyangka ayahnya bisa mengatakan kalimat seperti itu. Dia sangat antusias
mengikutinya. Wajahnya antara tegang dan penuh sukacita. Dia tak bersuara
apa-apa. Dia hanya menyaksikan peristiwa bersejarah ini dengan saksama.
Jalal dan Jodha
mengangguk-angguk dan tersenyum.
“Sekarang,
Tuan istirahat saja. Jangan banyak bicara dulu,” kata Jalal.
Tuan
Marabunta hanya tersenyum. Wajahnya kini tampak bergairah sekali. Warna pucat
berganti menjadi memerah, pertanda kehidupan mulai muncul.
Tetapi, itu
hanya sekejap saja. Karena setelah itu, tak ada tanda.tanda kehidupan lagi.
Wajahnya terbujur kaku. Tinggal senyumnya saja yang masih membekas.
Dicky panik.
Dicky mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya. “Papa! Bangun, Papa!” teriaknya.
“Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun ...,” Jalal dan Jodha menundukkan kepalanya,
pertanda memberi hormat pada ruh yang keluar dari jasad Tuan Marabunta.
Dari asal,
kembali ke asal. Semoga Allah menerima segala amal perbuatannya. Semoga dia
diterima di sisi-Nya!
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar