Mata air berasal dari gunung,
membentuk aliran sungai
Memberi penghidupan pada pepohonan dan unggas
berujung di muara lautan, itu mukjizat Sang
Khalik
Kita mengotorinya dengan uang dan kekuasaan
Lupa pada asal dan muasal,
tanah dan kisah buah Kuldi
Waktu
menggelinding dengan kehendak Allah. Pak tani menanam benih, dan tumbuh jadi
padi. Serangga menyerbuki pepohonan, dan tumbuh bunga, lalu berbuah. Begitulah
Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan dan beranak pinak. Itu sudah
dimulai sejak Nabi Adam dan Hawa.
Begitu juga
dengan Siti Jodha Nurkhasanah. Setelah melewati bulan madu yang diselimuti
wangi-wangian surgawi, perutnya makin hari makin membesar. Allah sudah
meniupkan ruh-Nya pada benih yang ditanam Jalal di rahim Jodha.
“Oh anakku
sayang, kapan kita bisa berkumpul ...,” Jodha berdendang setiap waktu sambil
mengelus-elus perutnya. Selama dia hamil, ngidamnya selalu ingin melihat berita
sore di televisi. Mungkin, karena ayah si bayi di dalam perutnya ini pernah
jadi wartawan.
Jodha
memencet tombol power. Bip! Gambar-gambar menyatu menjadi warna yang
bergerak-gerak. Dia terpaku di tempat duduknya! Lalu penyiar televisi
mewartakan berita terkini, konflik suku, ras, dan agama! Anak-anak yang
kepalanya terlepas dari badannya, tubuh yang hangus dibakar, kemaluan yang
ditusuk bambu, bahkan sampai ke tubuh yang dipotong menjadi belasan bagian!
Perutnya yang makin membesar merasa mual dan ingin muntah! Si bayi di dalam
rahimnya mendesak-desak, seolah memprotes pada ketidakadilan dan kekejaman yang
terjadi di bumi Nusantara!
Dia langsung
mematikan televisi. Dia berdiri dan berjalan ke ruang tamu. Di depan jendela
ruang tamu, dia menyingkap gorden, melihat ke luar. Magrib baru saja lewat.
Malam mulai menggelayuti. Gerimis masih saja turun. Dia mengelus perutnya yang
sedang hamil tua. Tadi sore Jalal menelepon. Dia sedang berada di
Rangkasbitung. Dia sudah memulai lagi bisnis pertanian. Menjajaki panen-panen
raya di persawahan di selatan Banten.
Bagi Jodha,
waktu terus bergulir sangat cepat. Terasa seperti baru kemarin saja
pernikahannya dengan Jalal. Dia serasa ikut merasakan denyut Banten yang terus
berbenah. Mulai dari pemilihan gubernur Banten yang sering diundur, sampai ke
penerimaan calon pegawai negeri sipil daerah Banten yang diisukan berbau KKN;
kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dari hari ke hari geliat masyarakatnya makin
terasa. Selalu tak pernah lepas dari perebutan kepentingan, baik itu golongan
maupun partai. Katanya, begitulah politik.
Bahkan
almarhum John F. Kennedy pernah menulis di memoarnya bahwa “Jika politik kotor,
puisilah yang membersihkannya”. Mungkin sebaiknya dia dan para politikus itu
membaca dan memahami dengan teliti isi Al-Quran. Di sana akan banyak hal
ditemui bahwa di mana pun kita berada, tak peduli itu dunia politik, bisnis,
pendidikan, dan apa pun juga ..., sikap jujur dan mencintai sesama makhluk
adalah hal yang paling penting dalam hidup ini. Dengan itu semua, pasti akan
tercipta kehidupan yang kita impi-impikan; gemah ripah loh jinawi aman tentrem
kertaraharja.
Tetapi
jangankan di Banten, bahkan hampir di seluruh pelosok Nusantara, sarapan Jodha
adalah koran lokal. Di sana tertulis dan terpampang berita demo-demo mahasiswa
dan LSM, yang kritis menyikapi isu politik uang saat pemilihan gubernur,
bupati, atau ketua partai. Hal itu jadi menu makanan membosankan bagi dirinya
yang sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Semuanya hanya menghamba
pada keserakahan duniawi!
Berita-berita
seperti itu terkadang terasa hambar tak bergaram baginya karena hanya berhenti
pada retorika saja tanpa ada penyelesaian. Jodha berpikir, entah siapa yang
bebal atau keras kepala. Masyarakatkah atau para elit politik yang sudah
jelas-jelas mengejar status, harta, dan gila kehormatan?! Tak ada itu yang
namanya mengatasnamakan rakyat karena untuk urusan gaji dan tunjangan saja
ributnya minta ampun. Kata mereka, kalau kerja tidak bermobil, dibilang kurang
berwibawa. Nyuci tidak memakai mesin cuci, ketinggalan zaman. Kenapa para wakil
rakyat yang rakus itu tidak mau membeli kedua benda impor itu dengan
menyisihkan gaji mereka? Tetapi malah memaksa membelinya lewat brankas daerah. Memaksa
rakyat yang diwakilinya membayarkan ongkos keserakahan mereka.
Sungguh ...,
mereka tidak pernah memikirkan bahwa para petani yang selalu membungkuk
keringatan saat menanam padi, para nelayan yang bertarung melawan badai saat
menjating ikan, para guru taman kanak-kanak yang mendidik anak mereka dengan
gaji ala kadarnya, para tukang sampah yang membersihkan halaman rumah mentereng
mereka, hidupnya kembang kempis! Hidupnya hanya penuh dengan harapan dan
impian!
Astaghfirullahaladzim…..
Ingatlah selalu pada saat kita dipanggil untuk menghadap-Nya! Sudah cukupkah
bekal yang dibawa? Bukan harta, bukan pula jabatan. Tetapi, amal perbuatan!
Audzubillahhimindzalik….
Padahal
semua akan dipanggil oleh Allah. Akan mati. Akan dikubur di dalam tanah. Akan
jadi tengkorak. Akan dimakan dengan lahap oleh rayap dan cacing tanah. Mungkin
para birokrat di pemerintahan dan di gedung dewan yang terhormat itu sudah lupa
pada tanah seukuran dua meter persegi! Tanah tempat kita akan dikubur kelak.
Tempat kita akan didatangi Malaikat Munkar dan Nakir untuk dimintai
pertanggungjawabannya, mengenai amal perbuatan kita selama di dunia. Masya
Allah! Apakah kita termasuk orang.orang yang pantas berada di sisi-Nya?
Jodha
bergidik jika mengingat itu semua! Dia sendiri selalu belum merasa pantas untuk
mendapat tempat yang layak di sisi-Nya!
Lamunan Jodha
buyar ketika terdengar suara klakson mobil di pintu gerbang. Lampu mobil itu
menyorot, sehingga gerimis hujan tampak seperti garisgaris yang sengaja
diciptakan Sang Pelukis Agung di atas kanvas cahaya! Kini sebuah mobil mewah
berhenti di depan pintu gerbang rumah. Mang Kasman, tukang kebun, lari
tergopoh-gopoh berpayungkan sarungnya membuka pintu gerbang. Jodha bergegas
menuju pintu. Membukanya dan berjalan ke teras sambil menopang perutnya.
Mobil sedan
itu berhenti di pelataran depan. Jodha menunggu di teras.
Penumpangnya
Pak Hari Natadiningrat dan Natalia. Kedua manusia yang dahulu pernah melakukan
dosa besar; melakukan perzinaan dan membuang bayi dari hasil nafsu birahi
mereka, kini tampak makin tenang di hari tuanya. Kedua orangtuanya sudah
menemukan bahwa inti dari kebahagiaan itu terletak pada semakin dekatnya hati
kita dengan Allah. Ada rasa ikhlas dan pasrah bahwa segala sesuatu itu milik
Allah dan akan kembali kepada-Nya!
Jodha
menyambut kedatangan orangtuanya di teras dengan kedua tangan terbuka.
“Assalamu'alaikum
...,” Natalia memberi salam dengan penuh sayang sambil mengelus-elus perut Jodha
yang sedang hamil tua.
“Wa'alaikum
salam,” Jodha memeluk ibunya. Kemudian ke ayahnya.
“Sudah
waktunya, ya?” Pak Hari tampak bahagia sekali.
“Insya Allah,
minggu depan, Pak,” kata Jodha.
~Episode 8~
“Alhamdulillah,
Papa masih diberi kesempatan menjadi seorang Kakek,” Pak Hari merasa bersyukur
akan mendapat karunia seorang cucu.
“Begitu juga
Jodha, Pak,” Jodha ikut bersyukur. “Masih diberi kesempatan menjadi seorang
Ibu,” tambahnya bahagia melihat ayahnya bahagia. Siapa yang tidak bahagia
menjadi seorang ibu? Dikarunia anak itu pertanda Allah mempercayai kita. Anak
adalah amanah serta anugerah. Di mana-mana setiap wanita mendambakannya.
“Mana Jalal?”
Natalia mencari-cari ke dalam rumah.
“Kak Jalal
ke Rangkasbitung, Bu. Di sana sedang ada panen raya. Yah, Kak Jalal kayaknya
tertarik untuk kembali ke bisnis pertanian.”
Mereka
berjalan ke ruang keluarga. Mereka duduk. Jodha dengan hati-hati mencari kursi
yang nyaman untuk duduk.
“Hati-hati,”
Natalia mengingatkan.
Jodha
mengangguk dan tersenyum sambil memegangi pinggangnya, seolaholah menahan beban
berat si bayi di dalam perutnya.
“Sudah
di-USG?” Natalia penasaran.
“Lelaki atau
perempuan?” kali ini Pak Hari yang tidak sabar.
“Kak Jalal
nggak mau bayinya di-USG. Nanti nggak surprise. Perempuan atau laki-laki, kita
terima saja sebagai karunia Ilahi.”
Pak Hari dan
Natalia saling pandang dan tersenyum. Kemudian mereka berdua seperti sedang
menyuruh untuk memulai percakapan dengan topik yang baru. Jodha memperhatikan
mereka. Ada apa gerangan?
“Kenapa,
Pak?” Jodha menyelidik.
“Itu ...”
Pak Hari ragu-ragu.
“Itu apa,
Pak?” Jodha tersenyum lucu.
“Papa ini!
Ngomong itu saja susah!” Natalia tertawa. “Itu, rencana kamu membangun klinik
Asy Syifa!” Natalia menegaskan.
“Oh, itu.
Insya Allah,” Jodha menerawang. “Tapi….”
“Tapi,
kenapa?” Pak Hari cemas menanti kelanjutan kalimat anaknya yang pernah
disia-siakannya.
“Aduh,
gimana ya? Mestinya ada Kak Jalal. Biar enak membicarakannya,”
Jodha
merasakan perutnya mulas. Dia mengelus-elus perutnya.
“Kenapa, Jodha?
Mulas?” Natalia cemas.
“Iya…..”
“Katanya
minggu depan?” Pak Hari panik.
Jodha
tersenyum. “Kayaknya belum saatnya. Masih mulas biasa,” katanya menenangkan
kedua orangtuanya.
“Bener?”
Natalia meminta kepastian.
Jodha
mengangguk.
“Oke.
Sekarang kita bicarakan lagi soal klinik Asy Syifa!” Pak Hari serius.
Jodha
mengangguk-angguk.
“Bagaimana?”
Pak Hari sudah tidak sabar.
Bola mata Jodha
menerawang jauh. “Aku ingin sekali mempunyai klinik Asy Syifa. Ini semua demi
almarhumah Bik Eti, orang yang aku anggap seperti ibu kandung sendiri. Beliau
sakit karena tidak mampu pergi ke dokter. Andai saja saat itu ada klinik yang
khusus membantu orang-orang miskin untuk berobat, Bik Eti pasti tertolong
jiwanya,” dia mengenang masa lalunya dengan pedih. Air mata menggenang di kedua
bola matanya. “Tapi, pembangunannya mesti ditunda tahun depan. Tanahnya saja
belum dibeli,” Jodha menjelaskan dengan sedih.
“Jodha,
sudahlah, jangan mengingat-ingat masa lalu lagi,” Natalia ikut sedih.
“Sekarang,
konsentrasikan saja pada apa yang akan kamu kerjakan sekarang. Insya Allah,
mimpi kamu memiliki klinik itu akan terwujud,” Natalia menggenggam tangannya. “Kami
akan membantu mewujudkannya.”
“Terlalu
mahal biayanya. Kak Jalal dan aku nggak akan sanggup.”
“Soal biaya
tidak ada masalah. Papa yang akan menanggungnya. Anggap saja ini hadiah dari
Papa buat kamu. Iya, kan Pa?” Natalia menatap suaminya.
“Mamamu
betul,” Pak Hari tersenyum.
Jodha
tertegun.
“Kenapa?
Kamu keberatan?” Pak Hari agak kecewa.
“Harus
dibicarakan dulu dengan Kak Jalal, Pak….”
“Apa Jalal
akan keberatan?” Pak Hari mendesak terus. “Bukankah kamu berhak dengan segala
yang Papa miliki? Buat siapa lagi semua yang Papa miliki ini, kecuali kamu?
Papa tidak punya siapa-siapa lagi. Kamu yang berhak mewarisi semuanya.”
Jodha
menatap Natalia dengan wajah bingung.
Natalia
mengangguk.
~NEXT~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar