Senin, 22 Juni 2015

TempatKu di Sisi Mu Episode 7 & 8 – By Gola Gong

~Episode 7~

Mata air berasal dari gunung,
membentuk aliran sungai
Memberi penghidupan pada pepohonan dan unggas
berujung di muara lautan, itu mukjizat Sang Khalik
Kita mengotorinya dengan uang dan kekuasaan
Lupa pada asal dan muasal,
tanah dan kisah buah Kuldi

Waktu menggelinding dengan kehendak Allah. Pak tani menanam benih, dan tumbuh jadi padi. Serangga menyerbuki pepohonan, dan tumbuh bunga, lalu berbuah. Begitulah Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan dan beranak pinak. Itu sudah dimulai sejak Nabi Adam dan Hawa.

Begitu juga dengan Siti Jodha Nurkhasanah. Setelah melewati bulan madu yang diselimuti wangi-wangian surgawi, perutnya makin hari makin membesar. Allah sudah meniupkan ruh-Nya pada benih yang ditanam Jalal di rahim Jodha.

“Oh anakku sayang, kapan kita bisa berkumpul ...,” Jodha berdendang setiap waktu sambil mengelus-elus perutnya. Selama dia hamil, ngidamnya selalu ingin melihat berita sore di televisi. Mungkin, karena ayah si bayi di dalam perutnya ini pernah jadi wartawan.

Jodha memencet tombol power. Bip! Gambar-gambar menyatu menjadi warna yang bergerak-gerak. Dia terpaku di tempat duduknya! Lalu penyiar televisi mewartakan berita terkini, konflik suku, ras, dan agama! Anak-anak yang kepalanya terlepas dari badannya, tubuh yang hangus dibakar, kemaluan yang ditusuk bambu, bahkan sampai ke tubuh yang dipotong menjadi belasan bagian! Perutnya yang makin membesar merasa mual dan ingin muntah! Si bayi di dalam rahimnya mendesak-desak, seolah memprotes pada ketidakadilan dan kekejaman yang terjadi di bumi Nusantara!

Dia langsung mematikan televisi. Dia berdiri dan berjalan ke ruang tamu. Di depan jendela ruang tamu, dia menyingkap gorden, melihat ke luar. Magrib baru saja lewat. Malam mulai menggelayuti. Gerimis masih saja turun. Dia mengelus perutnya yang sedang hamil tua. Tadi sore Jalal menelepon. Dia sedang berada di Rangkasbitung. Dia sudah memulai lagi bisnis pertanian. Menjajaki panen-panen raya di persawahan di selatan Banten.

Bagi Jodha, waktu terus bergulir sangat cepat. Terasa seperti baru kemarin saja pernikahannya dengan Jalal. Dia serasa ikut merasakan denyut Banten yang terus berbenah. Mulai dari pemilihan gubernur Banten yang sering diundur, sampai ke penerimaan calon pegawai negeri sipil daerah Banten yang diisukan berbau KKN; kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dari hari ke hari geliat masyarakatnya makin terasa. Selalu tak pernah lepas dari perebutan kepentingan, baik itu golongan maupun partai. Katanya, begitulah politik.

Bahkan almarhum John F. Kennedy pernah menulis di memoarnya bahwa “Jika politik kotor, puisilah yang membersihkannya”. Mungkin sebaiknya dia dan para politikus itu membaca dan memahami dengan teliti isi Al-Quran. Di sana akan banyak hal ditemui bahwa di mana pun kita berada, tak peduli itu dunia politik, bisnis, pendidikan, dan apa pun juga ..., sikap jujur dan mencintai sesama makhluk adalah hal yang paling penting dalam hidup ini. Dengan itu semua, pasti akan tercipta kehidupan yang kita impi-impikan; gemah ripah loh jinawi aman tentrem kertaraharja.

Tetapi jangankan di Banten, bahkan hampir di seluruh pelosok Nusantara, sarapan Jodha adalah koran lokal. Di sana tertulis dan terpampang berita demo-demo mahasiswa dan LSM, yang kritis menyikapi isu politik uang saat pemilihan gubernur, bupati, atau ketua partai. Hal itu jadi menu makanan membosankan bagi dirinya yang sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Semuanya hanya menghamba pada keserakahan duniawi!

Berita-berita seperti itu terkadang terasa hambar tak bergaram baginya karena hanya berhenti pada retorika saja tanpa ada penyelesaian. Jodha berpikir, entah siapa yang bebal atau keras kepala. Masyarakatkah atau para elit politik yang sudah jelas-jelas mengejar status, harta, dan gila kehormatan?! Tak ada itu yang namanya mengatasnamakan rakyat karena untuk urusan gaji dan tunjangan saja ributnya minta ampun. Kata mereka, kalau kerja tidak bermobil, dibilang kurang berwibawa. Nyuci tidak memakai mesin cuci, ketinggalan zaman. Kenapa para wakil rakyat yang rakus itu tidak mau membeli kedua benda impor itu dengan menyisihkan gaji mereka? Tetapi malah memaksa membelinya lewat brankas daerah. Memaksa rakyat yang diwakilinya membayarkan ongkos keserakahan mereka.

Sungguh ..., mereka tidak pernah memikirkan bahwa para petani yang selalu membungkuk keringatan saat menanam padi, para nelayan yang bertarung melawan badai saat menjating ikan, para guru taman kanak-kanak yang mendidik anak mereka dengan gaji ala kadarnya, para tukang sampah yang membersihkan halaman rumah mentereng mereka, hidupnya kembang kempis! Hidupnya hanya penuh dengan harapan dan impian!

Astaghfirullahaladzim….. Ingatlah selalu pada saat kita dipanggil untuk menghadap-Nya! Sudah cukupkah bekal yang dibawa? Bukan harta, bukan pula jabatan. Tetapi, amal perbuatan! Audzubillahhimindzalik….

Padahal semua akan dipanggil oleh Allah. Akan mati. Akan dikubur di dalam tanah. Akan jadi tengkorak. Akan dimakan dengan lahap oleh rayap dan cacing tanah. Mungkin para birokrat di pemerintahan dan di gedung dewan yang terhormat itu sudah lupa pada tanah seukuran dua meter persegi! Tanah tempat kita akan dikubur kelak. Tempat kita akan didatangi Malaikat Munkar dan Nakir untuk dimintai pertanggungjawabannya, mengenai amal perbuatan kita selama di dunia. Masya Allah! Apakah kita termasuk orang.orang yang pantas berada di sisi-Nya?
Jodha bergidik jika mengingat itu semua! Dia sendiri selalu belum merasa pantas untuk mendapat tempat yang layak di sisi-Nya!

Lamunan Jodha buyar ketika terdengar suara klakson mobil di pintu gerbang. Lampu mobil itu menyorot, sehingga gerimis hujan tampak seperti garisgaris yang sengaja diciptakan Sang Pelukis Agung di atas kanvas cahaya! Kini sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu gerbang rumah. Mang Kasman, tukang kebun, lari tergopoh-gopoh berpayungkan sarungnya membuka pintu gerbang. Jodha bergegas menuju pintu. Membukanya dan berjalan ke teras sambil menopang perutnya.

Mobil sedan itu berhenti di pelataran depan. Jodha menunggu di teras.

Penumpangnya Pak Hari Natadiningrat dan Natalia. Kedua manusia yang dahulu pernah melakukan dosa besar; melakukan perzinaan dan membuang bayi dari hasil nafsu birahi mereka, kini tampak makin tenang di hari tuanya. Kedua orangtuanya sudah menemukan bahwa inti dari kebahagiaan itu terletak pada semakin dekatnya hati kita dengan Allah. Ada rasa ikhlas dan pasrah bahwa segala sesuatu itu milik Allah dan akan kembali kepada-Nya!

Jodha menyambut kedatangan orangtuanya di teras dengan kedua tangan terbuka.

“Assalamu'alaikum ...,” Natalia memberi salam dengan penuh sayang sambil mengelus-elus perut Jodha yang sedang hamil tua.

“Wa'alaikum salam,” Jodha memeluk ibunya. Kemudian ke ayahnya.

“Sudah waktunya, ya?” Pak Hari tampak bahagia sekali.

“Insya Allah, minggu depan, Pak,” kata Jodha.

~Episode 8~

“Alhamdulillah, Papa masih diberi kesempatan menjadi seorang Kakek,” Pak Hari merasa bersyukur akan mendapat karunia seorang cucu.

“Begitu juga Jodha, Pak,” Jodha ikut bersyukur. “Masih diberi kesempatan menjadi seorang Ibu,” tambahnya bahagia melihat ayahnya bahagia. Siapa yang tidak bahagia menjadi seorang ibu? Dikarunia anak itu pertanda Allah mempercayai kita. Anak adalah amanah serta anugerah. Di mana-mana setiap wanita mendambakannya.

“Mana Jalal?” Natalia mencari-cari ke dalam rumah.

“Kak Jalal ke Rangkasbitung, Bu. Di sana sedang ada panen raya. Yah, Kak Jalal kayaknya tertarik untuk kembali ke bisnis pertanian.”

Mereka berjalan ke ruang keluarga. Mereka duduk. Jodha dengan hati-hati mencari kursi yang nyaman untuk duduk.

“Hati-hati,” Natalia mengingatkan.

Jodha mengangguk dan tersenyum sambil memegangi pinggangnya, seolaholah menahan beban berat si bayi di dalam perutnya.

“Sudah di-USG?” Natalia penasaran.

“Lelaki atau perempuan?” kali ini Pak Hari yang tidak sabar.

“Kak Jalal nggak mau bayinya di-USG. Nanti nggak surprise. Perempuan atau laki-laki, kita terima saja sebagai karunia Ilahi.”

Pak Hari dan Natalia saling pandang dan tersenyum. Kemudian mereka berdua seperti sedang menyuruh untuk memulai percakapan dengan topik yang baru. Jodha memperhatikan mereka. Ada apa gerangan?

“Kenapa, Pak?” Jodha menyelidik.

“Itu ...” Pak Hari ragu-ragu.

“Itu apa, Pak?” Jodha tersenyum lucu.

“Papa ini! Ngomong itu saja susah!” Natalia tertawa. “Itu, rencana kamu membangun klinik Asy Syifa!” Natalia menegaskan.

“Oh, itu. Insya Allah,” Jodha menerawang. “Tapi….”

“Tapi, kenapa?” Pak Hari cemas menanti kelanjutan kalimat anaknya yang pernah disia-siakannya.

“Aduh, gimana ya? Mestinya ada Kak Jalal. Biar enak membicarakannya,”

Jodha merasakan perutnya mulas. Dia mengelus-elus perutnya.

“Kenapa, Jodha? Mulas?” Natalia cemas.

“Iya…..”

“Katanya minggu depan?” Pak Hari panik.

Jodha tersenyum. “Kayaknya belum saatnya. Masih mulas biasa,” katanya menenangkan kedua orangtuanya.

“Bener?” Natalia meminta kepastian.

Jodha mengangguk.

“Oke. Sekarang kita bicarakan lagi soal klinik Asy Syifa!” Pak Hari serius.

Jodha mengangguk-angguk.

“Bagaimana?” Pak Hari sudah tidak sabar.

Bola mata Jodha menerawang jauh. “Aku ingin sekali mempunyai klinik Asy Syifa. Ini semua demi almarhumah Bik Eti, orang yang aku anggap seperti ibu kandung sendiri. Beliau sakit karena tidak mampu pergi ke dokter. Andai saja saat itu ada klinik yang khusus membantu orang-orang miskin untuk berobat, Bik Eti pasti tertolong jiwanya,” dia mengenang masa lalunya dengan pedih. Air mata menggenang di kedua bola matanya. “Tapi, pembangunannya mesti ditunda tahun depan. Tanahnya saja belum dibeli,” Jodha menjelaskan dengan sedih.

“Jodha, sudahlah, jangan mengingat-ingat masa lalu lagi,” Natalia ikut sedih.

“Sekarang, konsentrasikan saja pada apa yang akan kamu kerjakan sekarang. Insya Allah, mimpi kamu memiliki klinik itu akan terwujud,” Natalia menggenggam tangannya. “Kami akan membantu mewujudkannya.”

“Terlalu mahal biayanya. Kak Jalal dan aku nggak akan sanggup.”

“Soal biaya tidak ada masalah. Papa yang akan menanggungnya. Anggap saja ini hadiah dari Papa buat kamu. Iya, kan Pa?” Natalia menatap suaminya.

“Mamamu betul,” Pak Hari tersenyum.

Jodha tertegun.

“Kenapa? Kamu keberatan?” Pak Hari agak kecewa.

“Harus dibicarakan dulu dengan Kak Jalal, Pak….”

“Apa Jalal akan keberatan?” Pak Hari mendesak terus. “Bukankah kamu berhak dengan segala yang Papa miliki? Buat siapa lagi semua yang Papa miliki ini, kecuali kamu? Papa tidak punya siapa-siapa lagi. Kamu yang berhak mewarisi semuanya.”

Jodha menatap Natalia dengan wajah bingung.

Natalia mengangguk.

~NEXT~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar